Senin, 19 September 2011

Ya, Mama, Aku akan Menikah dengan Wanita itu…

“Akhirnyaa… senang mendengarmu sekarang telah menemukan pasangan yang cocok. Boleh tahu kenapa kau ingin menikahinya?”

“Karena dia sempurna!”

“Oh, jangan begitu. Kita tahu tidak ada manusia yang sempurna. Ketika jatuh cinta, sering kali kita dibutakan oleh rasa cinta, namun sebaiknya tidak berekspektasi terlalu tinggi. Dia pasti juga memiliki kekurangan tertentu, dan kau harus siap menerimanya.”

“Uh, iya sih, dia juga memiliki kekurangan…”

“Ya? Apa kekurangannya?”

“Cuma satu. Dia terlalu sempurna!”

Keluar dari Kebutaan

Berabad-abad yang lalu, Newton menyatakan bahwa semua benda memiliki realitas yang tak berubah dan tetap. Tetapi kini, dalam fisika kuantum dan prinsip ketidakpastian Heisenberg, prinsipnya menjadi berbeda; sifat benda sesungguhnya berubah tergantung sudut pengamatan.

Kalau tiga orang buta disuruh mengenal gajah, mungkin pendapat mereka akan berbeda-beda. Orang buta yang kebetulan memegang kaki gajah akan mengatakan gajah seperti pohon kelapa. Orang yang memegang telinganya akan mengatakan gajah seperti kipas yang tebal. Orang yang kebetulan memegang ekornya akan mengatakan gajah seperti cemeti. Padahal gajah bukanlah seperti itu, meski punya unsur-unsur seperti itu.

Apa maksudnya? Kita tidak bisa menilai seseorang, suatu situasi atau keadaan secara bagian per bagian. Untuk bisa memahami sesuatu, kita harus mengenalinya secara menyeluruh sebelum menilai. Untuk objektif, pikiran tidak boleh terkotak-kotakkan oleh bagian-bagian tertentu saja yang kita kenal, karena sering kali “itu bukanlah seperti itu, meski itu memiliki unsur seperti itu”.

Kekosongan yang Sombong

Selembar kertas bersih seputih salju berbicara pada dirinya sendiri, “Aku tercipta dengan kemurnian, karena itu selamanya aku akan tetap murni. Lebih baik aku dibakar dan hangus menjadi abu daripada menderita karena tersentuh kegelapan atau didekati sesuatu yang kotor.”

Tinta dalam botol mendengar kata-kata itu, dan ia tertawa dalam hatinya yang hitam, namun tidak mendekatinya. Pensil-pensil beraneka warna pun mendengarnya, namun mereka pun tak pernah mendekatinya.

Dan selembar kertas bersih seputih salju itu pun selamanya tetap putih murni, putih dan murni, tetapi... kosong.

Cara Mudah untuk Sehat, Bahagia, dan Panjang Umur

Dr. David J. Schwartz menyatakan dengan pasti bahwa pekerjaan yang kita nikmati merupakan jaminan paling baik yang bisa kita temukan untuk kehidupan yang lama, bahagia, dan sehat. Untuk menunjang tesisnya itu, ia mengemukakan sebuah survai yang telah dilakukan oleh majalah Nation’s Business menyangkut objek tersebut.

Majalah Nation’s Business pernah melangsungkan survai dengan meminta pembacanya memilih sepuluh orang bisnis puncak yang dihasilkan Amerika dalam 200 tahun pertama. Mungkin orang akan menduga bahwa orang-orang top ini harus banyak menderita kekhawatiran kerja yang keras sekali, frustrasi, dan kesulitan lainnya, yang berhubungan dengan pekerjaan untuk menjadi salah satu pencapai prestasi yang luar biasa.

Responden survai itu memberikan nominasi kepada orang-orang ternama seperti Thomas Edison, Graham Bell, dan juga Henry Ford. Masing-masing dari sepuluh orang puncak ini bertanggung jawab atas mata pencaharian puluhan ribu pekerja di perusahaannya. Mereka masing-masing terlibat dalam pengumpulan uang bermilyar-milyar dolar. Dan mereka masing-masing sibuk mengurus industri yang sangat kompetitif, yang sering kali dikutip dalam majalah kesehatan sebagai salah satu penyebab mati muda.

Nah, berapa umur rata-rata saat kematian bagi para pencapai prestasi besar ini? Delapan puluh tujuh tahun!

Apa rahasianya...? Apa yang membuat mereka tetap sehat hingga hari-hari tua mereka? Apa yang tetap menjaga kesehatan dan vitalitas mereka? Jawabannya satu itu; mereka mencintai pekerjaan mereka, mereka menyukai apa yang mereka lakukan!

Pekerjaan adalah Istri Kedua Saya

Sebenarnya saya ingin menyatakan bahwa pekerjaan adalah istri saya yang pertama. Tetapi, kalau itu yang saya nyatakan, nanti tidak ada wanita yang mau menikah dengan saya! :D

Para filsuf, juga para pakar pengembangan diri, menyatakan bahwa hanya ada dua jalan menuju kebahagiaan. Yang pertama adalah cinta, dan yang kedua adalah bekerja.

Kalau melihatnya sekilas, alangkah sederhananya rumus untuk menjadi bahagia. Hanya cinta dan bekerja. Yakni mencintai pekerjaan yang kita lakukan! Dan saya setuju dengan rumus sederhana itu. Jika hari ini saya ditanya apa yang paling membuat saya bahagia, maka jawabannya adalah ketika saya sedang bekerja!

Siapa pun yang mencintai pekerjaannya dengan sungguh-sungguh cinta, ia pasti akan hidup bahagia!

Bagaimana tidak? Waktu rata-rata yang kita habiskan untuk bekerja dalam sehari adalah 8 jam. Itu adalah 1/3 dari seluruh waktu sehari kita yang 24 jam. Sementara 8 jam lainnya, (1/3 waktu yang lain) digunakan untuk tidur. Sisanya, 1/3 dari waktu yang tersisa yang juga sebanyak 8 jam, biasanya digunakan untuk kehidupan rumah, bercengkerama dengan keluarga.

Jika seseorang mencintai pekerjaannya, maka 1/3 dari waktunya akan berisi lebih banyak kebahagiaan karena orang selalu bahagia mengerjakan sesuatu yang dicintainya. Ketika ia pulang ke rumah, dia membawa senyum karena diliputi kebahagiaan setelah seharian bekerja.

Karena hati yang bahagia sepulang kerja, suasana rumah pun akan terasa menyenangkan. Saat tidur di malam hari, ia pun bisa tidur dengan perasaan bahagia yang sama, karena merasa puas dengan satu hari yang telah dilewatinya. Ia berharap bisa bangun di esok hari untuk kembali menikmati hari yang indah.

Sebaliknya, jika seseorang tidak mencintai pekerjaannya, maka waktu kerja yang 1/3 hari itu akan menjadi waktu yang menyiksa dan menekan batinnya. Ia akan pulang dengan wajah murung, dan karena seharian telah ditekan oleh rasa tidak senang, maka suasana keluarga pun akan tampak menjengkelkan.

Tekanan pekerjaan yang dirasa menyiksa akan terus mempengaruhi suasana hatinya hingga ia kemudian tidur di malam hari, dengan tetap membawa perasaan tidak enak tentang hidupnya. Dan besok, mungkin dia akan kembali mengutuk kehidupannya karena telah menempatkan dirinya dalam suasana yang begitu tidak disukainya.

Mungkin ilustrasi ini terlalu ekstrim, tetapi gambaran kecil semacam itulah yang terjadi jika kita mencintai atau tidak mencintai pekerjaan kita. Jadi, jika kita mencintai pekerjaan yang kita miliki, bersyukurlah. Jika tidak, belajarlah untuk mencintainya.

Lumpur yang Kita Lempar akan Kembali Menjadi Lumpur Kita

Di bandar udara, seorang turis mengamati seorang lelaki berpakaian bagus yang tengah berteriak memaki-maki seorang kuli pembawa barang, karena cara si kuli menangani kopernya dinilainya tidak benar. Semakin senewen lelaki itu, tampaknya semakin tenang sikap si kuli. Setelah lelaki itu pergi, sang turis memuji kuli tersebut karena bisa menahan diri.

“Ah, itu bukan apa-apa,” jawab si kuli sambil tersenyum. “Kalau Anda ingin tahu, orang itu akan pergi ke Bali, dan koper-kopernya… semua pergi ke Surabaya.”

Ketika kita tersenyum kepada orang lain, lihatlah, orang lain pun membalas dan memberikan senyumnya untuk kita. Namun ketika kita mencaci-maki orang lain, barangkali dia tak membalas secara serupa... tetapi dia akan membalas dengan caranya sendiri.

Pelajaran yang Terlupakan

Ibda’ binafsik—mulailah dari dirimu sendiri.
Muhammad, Rasulullah

Banyak orang yang terlalu gampang menyalahkan orang lain tanpa melihat terlebih dulu kesalahan-kesalahannya sendiri. Banyak orang yang terlalu gampang mencela orang lain, tanpa pernah bercermin untuk melihat cacat celanya sendiri. Banyak orang yang bermimpi ingin mengubah dunia, tapi terkadang tak pernah terbetik di hati mereka untuk mengubah dirinya sendiri terlebih dulu.

Itu persis sekali dengan sajak yang ditulis oleh seorang bijak Anglikan, lebih dari tiga ribu tahun yang lalu...

Ketika aku masih kecil dan bebas, dan imajinasiku tiada batas,
aku mengimpikan untuk bisa mengubah dunia.

Ketika semakin besar dan makin bijaksana, aku sadar bahwa dunia
tak mungkin diubah. Dan aku putuskan untuk mengurangi
impianku sedikit,
dan hanya mengubah negaraku.

Tetapi itu pun tampaknya tidak mungkin.
Ketika aku memasuki usia senja, dalam suatu upaya terakhir,
aku berusaha mengubah keluargaku sendiri;
mereka yang paling dekat denganku—tetapi sayang, mereka
tidak menghiraukanku.


Dan sekarang menjelang ajal, aku menjadi sadar
bahwa kalau saja aku mengubah diriku terlebih dulu, lalu dengan
teladan mungkin aku bisa mempengaruhi keluargaku,
dan dengan dorongan serta dukungan mereka
mungkin aku bisa membuat negaraku menjadi lebih baik,
dan…
siapa tahu, mungkin aku bisa mengubah dunia.

Pilihlah dengan Bijak

Pepatah lama Swedia menyatakan, “Kau harus segera memilih teman-temanmu selagi hari masih terang.”

Peribahasa Cina kuno menyebutkan, “Hidup itu sebagian kita yang menentukan, dan sebagian lagi ditentukan oleh teman-teman dan sahabat-sahabat yang kita pilih.”

Kita tumbuh menjadi gemuk atau kurus, sehat atau sakit, melalui pilihan makanan yang kita pilih untuk dimakan. Kita berkembang menjadi individu yang lebih mandiri dengan cara memilih buku-buku dan bahan-bahan bacaan yang kita pilih untuk dibaca. Kita membentuk kehidupan dan gaya hidup kita tidak hanya karena perilaku pribadi kita semata-mata, tetapi juga karena pengaruh dari orang-orang yang telah kita pilih sebagai teman-teman atau sahabat kita.

Kita memiliki hak untuk memilih apa pun untuk hidup kita, sekaligus kita pun memiliki tanggung jawab untuk setiap pilihan yang kita ambil. George Eliot menegaskan, “Prinsip perkembangan yang paling kuat terletak dalam pilihan manusia itu sendiri.”

Karenanya, ambillah dan pilihlah dengan bijak.

Seharusnya itu Telah Terjadi

Seratus lima puluh tahun yang lalu, John Greenleaf Whittier menulis kalimat yang mengusik pikiran berikut ini, “Untuk semua kata-kata sedih yang disampaikan oleh lidah dan pena, yang paling menyedihkan adalah, ‘Seharusnya itu telah terjadi’”.

Kita paham maksud dari kata-kata itu? Benar, itu adalah kata-kata menyedihkan yang menggambarkan bagaimana akhir dari orang yang biasa menunda-nunda segala sesuatu dalam hidupnya, hingga ketika waktu mengantarkannya pada saat yang telah terlambat, orang itu pun hanya bisa memandang jauh ke masa lalu, dan menggumamkan kata-kata itu, “Seharusnya itu telah terjadi...”

Jika kita memiliki niat baik untuk hal-hal baik, lakukanlah sekarang juga. Jika kita memiliki rencana dan tujuan yang kita pikir akan membantu hidup kita atau orang lain, lakukanlah sekarang juga. Jika kita punya impian untuk mengerjakan sesuatu yang besar, mulailah sekarang juga.

Di waktu apa pun, dalam usia berapa pun, waktu sekarang adalah waktu yang paling tepat untuk memulai mengerjakan sesuatu yang kita pikir untuk kita kerjakan. Lakukanlah sekarang, daripada harus menyesal saat kelak kita menengok ke masa lalu, dan menggumam lirih, “Seharusnya itu telah terjadi...”

Jika Memang Harus Dilakukan, Lakukanlah Segera

Theodore Roosevelt dicatat oleh sejarah sebagai salah satu orang besar di dunia. Salah satu ucapannya yang mengilhami adalah, “Tidak ada yang brilian atau hebat dalam tindakan saya, kecuali mungkin satu hal; saya melakukan hal-hal yang saya yakin harus dilakukan, dan ketika saya memutuskan untuk melakukan sesuatu, saya segera bertindak!”

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sudah sering mendengar orang yang menunda-nunda mengerjakan segala sesuatu yang penting dalam hidupnya. Penundaan-penundaan itu sering kali terkesan wajar, tetapi itu sebenarnya membunuh potensi yang seharusnya sudah berkembang. Tragisnya, potensi besar yang seharusnya hadir di dunia itu pun kemudian tak berguna apa-apa, karena akhirnya ikut mati dan terkubur bersama pemiliknya.

Kita sering mendengar orang yang mengatakan, “Besok akan kulakukan.” Apa artinya itu? Besok memiliki kesibukannya sendiri, maka mereka pun berkata, “Besoknya lagi, deh.” Dan besoknya lagi ada hal-hal lain yang ternyata lebih penting, maka mereka menunda lagi, “Mungkin lusa.”

Dan hari-hari pun berlalu, waktu berpacu. Saat ketika mereka kemudian menyadari bahwa ada begitu banyak hari yang telah hilang, mereka meninjau apa yang sudah dilaluinya, dan mereka pun kemudian menyesali waktu yang telah berlalu.

Kerjakanlah segala sesuatunya hari ini, karena besok kita tak kan punya waktu lagi.

Cara Gampang untuk Gagal

Sebagai seorang konsultan warna yang terkenal, Suzanne Caygill sering menangani dekorasi ruangan dan lemari pakaian para selebritis dunia. Dia selalu laris dan menjadi langganan banyak artis. Apa resep suksesnya? Untuk memenuhi permintaan-permintaan yang tercatat dalam jadwal kerjanya, ia mengikuti anjuran yang ia pelajari dari penjahit langganan neneknya. “Jika ada pekerjaan yang harus diselesaikan, segera kerjakan.”

“Banyak orang membuang-buang waktu ketika mereka akan memulai sebuah pekerjaan,” kata Caygill. “Mereka menghabiskan banyak waktu untuk ‘persiapan memulai’ suatu pekerjaan, sampai akhirnya mereka tak punya sisa waktu lagi untuk benar-benar melakukannya.”

Menunda-nunda suatu pekerjaan adalah salah satu cara gampang untuk gagal. Jika kita langsung terjun mengerjakan apa yang ingin kita kerjakan, kita akan terkejut betapa kita ternyata bisa begitu mudah dan cepat menyelesaikan pekerjaan itu.

Waktu terbaik untuk menanam sebatang pohon kelapa adalah 20 tahun yang lalu, sedangkan waktu terbaik kedua untuk melakukannya adalah… sekarang juga!

Cara Menyingkirkan Kebiasaan Menunda-nunda

Kemarin adalah cek yang dibatalkan.
Besok pagi adalah surat promes.
Hari ini adalah tunai. Gunakanlah.

‘Penyakit jiwa’ yang terkadang (atau bahkan sering) menghinggapi diri kita adalah penyakit suka menunda-nunda. Inilah salah satu resep kegagalan yang paling manjur. Tundalah semuanya, dan kita akan menemui kegagalan. Sebaliknya, apabila kita mau mengerjakannya ‘sekarang juga’, maka kita boleh yakin bahwa kesuksesan tak akan lama lagi menjumpai kita.

Cara paling ampuh untuk menyingkirkan penyakit menunda-nunda adalah dengan memberlakukan deadline (batas waktu) pada diri kita sendiri, dan berusaha untuk mematuhinya. Penelitian membuktikan bahwa orang rata-rata cenderung membutuhkan semua waktu yang disediakan untuk menyelesaikan suatu tugas tertentu, padahal kalau keadaannya mendesak mereka dapat menyelesaikannya dalam waktu yang jauh lebih pendek!

Penulis terkenal Prancis, Balzak, selalu memberikan deadline pada dirinya sendiri. Untuk membuat dirinya selalu terdorong menyelesaikan tugasnya, dan selalu berada dalam kreativitas tertinggi, ia selalu berjanji untuk menyerahkan naskahnya pada para editornya dalam waktu yang sangat pendek sehingga seakan-akan tak mungkin. Dengan cara itulah kemudian ia mampu menulis karya-karya besarnya yang berhalaman tebal hanya dalam waktu dua minggu.

Jadi, bagaimana cara menyingkirkan penyakit suka menunda-nunda? Bagi saya, caranya adalah dengan menetapkan deadline yang masuk akal... dan berusaha sekuat tenaga untuk mematuhinya!

Kecil, Tak Terlihat, tapi Merusak

Salah satu kebiasaan negatif kebanyakan kita adalah kebiasaan menunda-nunda. Sesungguhnya, itu bukan hanya kebiasaan negatif, tetapi juga destruktif. Semakin lama kita menunda-nunda sesuatu yang semestinya telah kita lakukan, maka sesuatu yang kita tunda itu pun akan tampak semakin tidak menyenangkan. Ini adalah kebiasaan yang terkesan kecil, tak terlihat, tapi merusak.

Kalau kita suka menunda mencuci piring, umpamanya, maka piring yang harus dicuci pun akan terus menumpuk, dan kita akan semakin malas mengerjakannya karena mencuci tumpukan piring kotor tentu sangat tidak menyenangkan.

Mahasiswa yang menunda-nunda tugas pengerjaan skripsinya akan terus diburu waktu kelulusannya. Jika waktu kelulusan tidak memburunya, ia akan diburu usianya. Semakin lama ia menunda, tugas mengerjakan skripsi akan semakin terasa berat, dan semakin tampak tidak menyenangkan.

Kalau kendaraan kita mengalami kerusakan kecil dan kita menunda-nunda menservisnya ke bengkel, maka kerusakan kecil itu pun akan menjalar ke komponen lain, dan akan membuat kendaraan kita semakin parah kerusakannya. Biaya yang dikeluarkan pun menjadi lebih mahal dibanding kalau kita tidak menunda-nunda reparasinya.

Daftar itu bisa diperpanjang dan diperpanjang terus. Sejauh yang saya tahu, tidak ada satu pun hal positif yang menjadi semakin baik jika kita menunda-nunda melakukannya. Sebuah iklan rokok dengan kreatif menyindir perilaku orang yang suka menunda-nunda dengan bahasanya yang unik, “Kalau bisa dikerjakan lusa, mengapa harus menunggu besok?”

Sebenarnya itu hanya plesetan dari nasihat lama, “Kalau bisa dikerjakan hari ini, mengapa harus menunggu besok?”

Fokus pada Kelebihan

Berbicara tentang kesempurnaan adalah berbicara tentang spesies lain selain manusia, karena tidak ada manusia yang sempurna. Bahkan esensi pada manusia terletak pada ketidaksempurnaannya. Mengharapkan kesempurnaan dari sosok bernama manusia adalah seperti mengharapkan matahari terbit di waktu malam.

Begitu pula orang-orang yang saat ini kita kenal sebagai orang yang sukses. Mereka juga bukan makhluk-makhluk sempurna tanpa kekurangan. Mereka juga memiliki kekurangan dan keterbatasan. Hanya saja, mereka mampu menutupi kekurangan itu dengan kelebihan-kelebihan yang mereka punyai. Mereka memaksimalkan potensi yang ada dalam diri mereka, dan terus mengolahnya hingga kelebihan yang ada kemudian benar-benar mampu menutupi segala kekurangan yang dimiliki.

Kalau kita hanya berfokus pada kekurangan yang kita miliki, kita tidak akan pernah bergerak. Kita hanya akan sukses jika seluruh pikiran dipusatkan pada kelebihan, pada potensi yang kita miliki, dan terus memacunya hingga sampai pada titik yang paling tinggi.

Kabar Baik untuk Diri Sendiri

Setiap hari, televisi di rumah kita menyiarkan berita-berita yang menakutkan, bahkan mengerikan. Setiap pagi, loper koran di rumah kita mengantarkan bacaan langganan, dan kita pun bisa melihat ada sekian banyak berita buruk yang terpampang di sana.

Setiap hari kita dibombardir aneka berita buruk, dan mau tak mau kita seolah dipaksa menelannya mentah-mentah. Bagi industri media massa seperti surat kabar dan televisi, berita buruk adalah berita baik, karena berita buruklah yang sering kali laku dijual. Tetapi bagi konsumennya, yakni kita, berita buruk tetap saja berita buruk, dan itu kita konsumsi ke dalam pikiran kita.

Satu hal saja yang perlu kita ingat, bahwa seburuk apa pun keadaan ‘di luar sana’, setiap pagi kita harus tetap menyiarkan dan memberikan kabar baik kepada diri kita sendiri, bahwa hari ini begitu indah, bahwa hari ini penuh dengan harapan.

Cara Mengusir Kebosanan

Kehidupan yang rutin dan monoton banyak membuat orang menjadi bosan, stres, frustrasi, dan juga jenuh. Tetapi hal semacam itu tidak terjadi pada orang-orang yang aktif dan selalu berminat pada segala yang berlangsung di dunia ini. Tampak bahwa semakin orang berminat akan sesuatu, semakin besar pula semangatnya. Semakin aktif pikiran kita, semakin baik pikiran tersebut bekerja dan semakin lama pikiran tersebut akan terus bekerja.

Melambatkan apalagi menghentikan pikiran dapat mengakibatkan kebosanan, tetapi tidak jika orang terus melatih pikiran dengan membaca, berpikir, dan berpartisipasi dalam urusan kehidupannya. Kita dapat menghindari kebosanan sepanjang hidup jika kita tetap bersemangat secara mental sepanjang hidup kita.

Karenanya, teruslah bergerak, teruslah berpikir, teruslah berpartisipasi. Itu adalah rahasia emas dari keberadaan yang mempesona terus-menerus.

Senin, 12 September 2011

Agar Tidak Goblok Gara-gara Blog

Hanya orang goblok yang mau punya blog.
Pakar telematika

Hanya orang goblok yang menganggap punya blog itu goblok.
Bukan pakar telematika


Di beberapa blog milik teman, sedang ada sebuah trending topic menyangkut seseorang berinisial RJ. Sebagian bahkan mengulas sosok si RJ tersebut dengan serius dalam sebuah posting tersendiri. Sekarang, saya juga “gatal” ingin mengulas topik yang sama, meski saya akan menyamarkan identitasnya.

(Catatan: Saya sengaja tidak mau menyebutkan nama aslinya, karena saya tidak ingin dituduh menulis topik ini sebagai upaya untuk mengundang trafik. Selain itu, saya juga punya etiket pribadi untuk menyamarkan nama atau identitas orang jika ingin membicarakan sisi negatifnya, karena saya percaya bahwa setiap manusia punya hak untuk dijaga perasaannya).

Pertama kali mengenal nama RJ adalah ketika sebuah blog yang sering saya kunjungi membahas tentang orang tersebut. Berdasarkan postingnya, rupanya si RJ ini telah membuat “keributan” di blog-blog lain melalui kolom komentar. Dari posting itu pula kemudian saya menelusuri link-link yang diberikan, dan saya pun melihat langsung seperti apa “keributan” yang telah dilakukan oleh si RJ tersebut.

Di dalam kolom komentar di beberapa blog yang saya baca, si RJ meninggalkan komentar-komentarnya yang memang “tidak sopan”—dengan menyatakan bahwa nge-blog adalah aktivitas yang tak berguna atau bodoh, atau mengkritik sesuatu yang keluar dari konteks posting, atau bahkan secara terang-terangan menyerang si empunya blog. Tentu saja, karena komentarnya yang tidak layak tersebut, si RJ pun diserang balik oleh banyak orang.

Siapakah RJ yang kontroversial itu? Sebenarnya, RJ bukan nama asli, karena orang ini memiliki nama asli yang ia sebutkan di halaman profilnya. Oh ya, dia punya blog sendiri, hanya saja isi blognya hanya membahas bisnis online yang dilakukannya. Saya tidak tertarik dengan bisnis online-nya itu, tetapi saya tertarik membahas kepribadian si RJ sebagai manusia—khususnya dalam konteks dunia blog.

Bertahun-tahun lalu sebelum RJ mengeluarkan statemen-statemennya yang pasti membuat kuping para blogger memerah, di negeri ini telah ada seorang lelaki lain yang disebut (atau menyebut diri) sebagai “pakar telematika” yang juga mengeluarkan hal senada. Si “pakar telematika” itu dengan terang-terangan menyatakan, “Hanya orang goblok yang punya blog.” Selain cemoohannya yang terang-terangan itu, dia juga menunjukkan kebenciannya yang nyata pada para blogger.

Tak usah dikatakan lagi, para blogger pun langsung membencinya. Pada waktu-waktu itu, ratusan blogger di negeri ini seperti kompak menyerang si “pakar telematika” melalui blog mereka, dan hampir bisa dipastikan setiap posting yang membahas tentang itu akan menuai banyak komentar dukungan. Puncaknya, beberapa blogger senior mengusahakan pertemuan langsung antara si “pakar telematika” dengan para blogger di Indonesia.

Mereka mengirimkan undangan kepada si “pakar telematika” tersebut, agar mau bertemu langsung untuk berdiskusi. Karena si “pakar telematika” telah menganggap bahwa para blogger adalah kaum goblok, maka dia pun mungkin jadi khawatir dipukuli atau diculik. Jadi, waktu itu, dia menyatakan mau bertemu langsung, dengan syarat pertemuan itu dilaksanakan secara “akademis” dan di tempat yang “terhormat”.

Permintaan itu dituruti. Beberapa blogger menghubungi kampus-kampus yang memiliki ruang auditorium cukup luas, dan hasilnya sebuah kampus di Jakarta bersedia membantu menyediakan ruang auditoriumnya untuk pertemuan itu.

Si “pakar telematika” pun diberitahu, dan tanggal pertemuan ditetapkan. Sekarang si “pakar telematika” tidak punya alasan lagi untuk menolak. Para blogger se-Indonesia waktu itu sudah harap-harap cemas, dan mungkin diam-diam bahkan berdoa semoga Tuhan tidak buru-buru mencabut nyawa si “pakar telematika” agar dia punya kesempatan mengunjungi pertemuan tersebut.

Sebenarnya, tujuan para blogger ingin bertemu langsung dengan si “pakar telematika” waktu itu hanya ingin bertanya baik-baik, “Hei, Tuan Pakar, kenapa Anda kok selama ini sepertinya sangat membenci kami? Kenapa Anda terus-terusan menyerang eksistensi kami? Kenapa Anda secara terang-terangan menyebut kami goblok?”

Pasalnya, pada waktu-waktu itu, si “pakar telematika” sering berkoar-koar di media massa tentang “kegoblokan” para blogger, dan dia pun terus-menerus menunjukkan kebenciannya. Tapi dia tidak mau menjelaskan alasannya (secara akademis) mengapa dia membenci blogger hingga demikian antipatinya. So, si “pakar telematika” ini dinilai cuma omdo, besar mulut, tapi tidak mau menjelaskan latar belakang pemikirannya secara ilmiah dan akademis—mengingat dia seorang akademisi.

Nah, yang dilakukan RJ sekarang ini tidak jauh beda dengan si “pakar telematika” di atas. Dia hanya berkoar-koar di kolom komentar blog orang, menyerang aktivitas blogging, atau bahkan menyerang si bloggernya secara tidak relevan, namun tidak mau menjelaskan latar belakang pemikirannya. Hasilnya tentu caci-maki balasan. Jika dia menuduh para blogger adalah sekumpulan orang goblok, maka sesungguhnya dia justru sedang menunjukkan kegoblokannya sendiri.

Tetapi, sesungguhnya, kasus semacam itu tidak semata dilakukan oleh RJ. Kita sendiri pun bisa jadi tergelincir melakukan apa yang dilakukan RJ, hanya saja dalam bentuk yang berbeda. RJ, dalam perspektif saya, hanya personifikasi atas ketidakmampuan melihat perbedaan dengan orang lain. RJ adalah ilustrasi mudah untuk menunjukkan betapa ternyata seseorang bisa memiliki pikiran yang amat sempit—sebegitu sempitnya hingga mudah menyalahkan orang lain.

Dunia blog adalah dunia pribadi orang per orang. Artinya, setiap pemilik blog memiliki hak untuk menggunakan blognya dengan tujuan apa pun secara personal. Ia boleh menggunakannya untuk menulis kisah-kisah pribadinya, untuk menuangkan uneg-unegnya, untuk berbisnis dan mendapatkan uang, untuk menjalin persahabatan, untuk menuangkan pemikiran, untuk memajang foto-foto atau lukisan karyanya, dan untuk hal-hal lain.

Semuanya itu sah, selama tidak melanggar etika sosial dan aturan yang ditetapkan pihak penyedia platform yang digunakan. Karenanya, meminjam ilustrasi Itik Bali, blog itu seperti restoran atau warung makan. Jika kita masuk warung Padang, maka bersiaplah untuk mendapatkan sajian masakan ala Padang. Sungguh konyol dan ironis jika kita masuk warung Padang dan meminta menu yang tak disediakan di sana, lalu marah-marah pada pemilik warungnya.

Setiap isi blog tergantung pada pemiliknya. Jika kita menyukai artikel-artikel bisnis, maka kunjungilah blog yang memang memuat materi itu. Jika kita mengunjungi blog pribadi dan kemudian merasa tidak cocok, itu bukan salah bloggernya, melainkan kita yang salah masuk!

Begitu pun, kalau kita membaca sebuah blog dan kemudian merasa tidak cocok dengan postingnya, maka tidak perlu repot-repot menyalahkannya. Sekali lagi, blog adalah ruang pribadi masing-masing pemiliknya. Di dalam blog pribadi, ada orang yang menuangkan pengalaman sehari-harinya, ada pula yang menuangkan pemikiran-pemikirannya. Jika pengalaman sehari-hari setiap orang biasanya berbeda-beda, maka tentu sungguh wajar jika pemikiran orang pun bisa berbeda-beda.

Coba bayangkan ilustrasi yang konyol ini.

Saya seorang cowok berusia 27 tahun, dengan kegiatan sehari-hari yang hanya berkutat di ruang kerja, perpustakaan, dan laboratorium. Teman saya sehari-hari cuma buku, komputer, rokok, makalah, dan kertas-kertas kerja. See, saya punya latar belakang pribadi yang unik. Karena latar belakang pribadi itulah yang kemudian menjadikan blog saya sekarang jadi seperti ini.

Sekarang bayangkan saya mengunjungi blog Itik Bali. (Sori, terpaksa contohnya menggunakan blog Itik Bali, karena saya telanjur memberikan link di atas, hehe). Ayu, pemilik blog Itik Bali, adalah seorang cewek sweet seventeen yang masih SMA, dengan umur yang tentu jauh di bawah saya. Jika dia menceritakan kisah pribadinya di blog, apakah mungkin kisahnya akan sama dengan saya? Kita semua tentu tahu jawabannya!

Nah, sekarang bayangkan saya marah-marah ketika membaca kisah Ayu di blognya, karena saya merasa kisah keseharian Ayu berbeda dengan kisah keseharian saya. Apa yang akan terjadi? Saya akan menjadi orang paling idiot di muka bumi! Sungguh konyol sekaligus tolol jika saya berharap Ayu memiliki kisah keseharian yang sama dengan saya, padahal latar belakang kami jelas-jelas berbeda!

Lebih konyol lagi jika saya mencaci-maki Ayu di kolom komentar blognya, hanya gara-gara saya menganggap kisahnya berbeda dengan saya. Atau, yang tidak kalah konyolnya, saya membuat posting khusus di blog saya, hanya untuk mengkritik Ayu karena saya merasa dia berbeda dengan saya! Jika itu yang saya lakukan, maka benarlah yang dikatakan si “pakar telematika”, bahwa “Hanya orang goblok yang punya blog!”

Sekali lagi, kita semua memiliki latar belakang berbeda. Karena latar belakang berbeda, maka kisah keseharian pun berbeda. Karena latar keseharian berbeda, maka pemikiran pun berbeda. Jika Tuhan menciptakan kita semua dalam bentuk yang berbeda, mengapa kita harus menyalahkan orang lain jika berbeda…???

Pemikiran semacam itulah yang seyogyanya kita terapkan pada diri sendiri ketika mengunjungi blog milik orang lain, dan kemudian membaca tulisan-tulisannya. Setiap pribadi adalah unik—dengan ragam perbedaan latar belakang, pemikiran, cara memandang sesuatu, usia, bahkan jenis kelamin dan tempat tinggal yang berbeda.

Karenanya, syarat mutlak untuk tidak goblok ketika membaca tulisan di blog adalah menyadari bahwa selalu ada kemungkinan kita akan berbeda dengan orang yang tulisannya kita baca. Jika kita tidak mau atau tidak siap menerima perbedaan, maka sebaiknya tinggal saja di goa, dan tidak usah membuka blog orang lain.

Back to topic, kita kembali pada si RJ di atas. Kemungkinan, orang semacam RJ adalah orang yang tidak memahami kenyataan tersebut, sehingga menganggap orang yang berbeda dengannya adalah salah.

Orang-orang semacam inilah yang sering kali menjadikan hidup orang lain tak pernah tenteram. Bahkan, jika kita membaca sejarah, kita akan disuguhi kenyataan bahwa sebagian besar perang terjadi karena adanya orang-orang yang tidak bisa menerima perbedaan dengan orang lainnya.

Blog diciptakan tidak untuk membuat perang atau permusuhan, melainkan untuk dijadikan sebagai sarana aktualisasi diri, berbagi, dan saling belajar. Akan lebih bagus jika melalui blog terjalin persahabatan sehingga menambah kawan. Namun, jika tidak, saya lebih suka menganggap blog sebagai sarana pembelajaran untuk memahami bahwa masing-masing kita memang berbeda, dan kita harus belajar berbesar hati untuk menerima perbedaan itu.

Filsuf besar Aristoteles adalah murid Plato. Pada waktu Plato sedang sekarat menjemput kematian, Aristoteles berkata dengan suara terisak, “Guru, tinggalkanlah satu pelajaran lagi untukku sebelum kau pergi selamanya.”

Plato, sang guru, dengan suara lirih membisikkan pelajaran penting terakhirnya untuk sang murid, “Terimalah perbedaan… Jangan salahkan orang lain jika ia berbeda denganmu.”

Terimalah perbedaan. Jangan salahkan orang lain jika ia berbeda denganmu. RJ mungkin perlu mendengar pelajaran Plato tersebut. Tetapi, pelajaran itu pun sama perlunya untuk kita semua.

Menurut Saya...

Menurut saya, satu ditambah satu sama dengan dua.

Itu menurut saya, karena begitulah yang saya tahu, karena begitulah yang diajarkan pada saya sejak kecil. Jadi saya pun berpikir satu ditambah satu sama dengan dua. Kalau kau setuju, silakan saja. Tapi kalau kau tidak setuju ya tidak apa-apa, karena pikiran manusia memang kadang berbeda. Sekali lagi, itu tidak apa-apa, jadi nyantai saja.

Menurut saya, dua ditambah satu sama dengan tiga.

Itu menurut saya, karena pengetahuan saya baru sebatas itu. Kalau mungkin kau lebih pintar dari saya dan menemukan jawaban lain, ya silakan saja. Kalau menurutmu dua tambah satu sama dengan tujuh puluh sembilan, ya silakan. Tapi kau tidak perlu marah-marah pada saya, apalagi sampai menuduh saya macam-macam.

Ini blog saya, dan tentunya saya bebas menulis apa saja sesuai kapasitas pikiran saya. Kalau tidak setuju dengan pikiran saya, tidak usah pusing! Cari dan baca saja blog lain yang sesuai dengan pikiranmu. Jadi, kalau saya pikir satu tambah dua sama dengan tiga, dan kau tidak setuju dengan saya, tidak perlu ngambek atau ngamuk-ngamuk!

Menurut saya, tiga tambah dua sama dengan lima.

Itu menurut saya. Kalau kau berpikir tiga tambah dua sama dengan empat puluh sembilan, itu urusanmu. Saya tidak akan buang-buang waktu untuk menyalahkanmu, jadi kau tidak perlu repot-repot menyalahkan saya. Kalau kau berpikir saya keliru, maka saya berpikir jangan-jangan kau yang keliru. Jadi yakini saja hitunganmu sebagaimana saya meyakini hitungan saya.

Menurut saya, lima tambah satu sama dengan enam.

Itu menurut saya. Kalau kau berpikir satu tambah lima sama dengan sembilan puluh empat, ya tidak apa-apa. Saya tidak akan berhenti hidup hanya karena berbeda denganmu.

Jadi kau tidak perlu menangis apalagi marah-marah. Begitu pun, kau tidak perlu buang-buang waktu untuk menunjukkan bahwa kau benar dan saya salah, karena yang benar menurutmu belum tentu benar menurut saya. Begitu pun, yang benar menurut saya belum tentu benar menurut orang lainnya. Jadi nyantai saja.

Menurut saya, empat ditambah satu sama dengan lima.

Itu menurut saya. Kalau menurutmu empat ditambah satu sama dengan tujuh ratus tiga puluh, ya silakan saja. Manusia diciptakan berbeda, jadi tidak perlu ngotot kita harus sama. Meminjam istilah almarhum Gus Dur, “Gitu aja kok repot!”

Hukum Tak Terlihat

Di dalam diri kita, ada suatu dimensi psikis yang disebut pikiran bawah sadar. Pikiran bawah sadar itu menampung begitu banyak pikiran yang pernah kita produksi, dari semenjak kita dilahirkan hingga waktu hari ini.

Semua pikiran itu mengendap, bahkan mengendap sangat kuat, di pikiran bawah sadar tersebut. Yang mengerikan, semua memori yang berhasil mengendap di pikiran bawah sadar itu akan menghasilkan realitas yang sama dalam kehidupan kita. Di sinilah kemudian ada banyak orang yang hidup dengan terjebak pada kesalahan pola pikirnya sendiri.

Jika kita terlalu sering berpikir tentang kekurangan, maka kehidupan kita pun akan terus bergelut dengan segala macam kekurangan. Sebaliknya, jika kita lebih sering berpikir keberlimpahan, maka kehidupan kita pun akan menuju pada hal itu.

Ketika seseorang berpikir negatif, ia mengaktifkan dunia di sekeliling dirinya secara negatif sehingga menarik hasil yang negatif pula kepada dirinya sendiri. Sebaliknya, ketika seseorang berpikir positif, ia mengaktifkan dunianya secara positif dan menarik hasil yang positif pula kepada dirinya sendiri. Jadi, kalau mau dirumuskan, maka beginilah rumusannya; Pikiran negatif = Hasil Negatif; Pikiran Positif = Hasil Positif.

Ini bukan kenyataan baru, karena sekian abad yang lampau, filsuf Plato sudah mengajarkan hal itu ketika dia meminta, “Kuasailah pikiranmu. Kau dapat melakukan apa pun yang kau kehendaki dengan pikiranmu.”

Semuanya Tergantung Kita

Apa yang kita rasakan sesungguhnya bukanlah hasil dari apa yang terjadi dalam hidup kita, tetapi hasil dari bagaimana cara kita menafsirkan dan menghadapi apa yang terjadi. Kehidupan orang-orang yang berhasil telah menunjukkan kepada kita berkali-kali bahwa mutu kehidupan kita ditentukan bukan oleh apa yang terjadi pada kita, melainkan lebih dari apa yang kita lakukan pada apa yang terjadi.

Kita selalu dapat menganggap kemiskinan sebagai batu penghalang menuju masa depan, kita pun selalu dapat menganggapnya sebagai batu loncatan yang akan membawa kepada keberhasilan.

Kita bisa menganggap kurangnya pendidikan sebagai batas kehidupan, kita pun bisa menganggapnya sebagai motivasi untuk terus dan tak pernah berhenti belajar.

Jika kita terjatuh, kita dapat memilih untuk tetap berdiam diri, namun kita pun dapat memilih untuk bangkit lagi. Jika usaha yang kita lakukan mengalami kegagalan, kita bisa menganggapnya sebagai akhir dari segala-galanya, juga bisa menganggapnya sebagai awal dari segala-galanya.

Sekali lagi, yang paling penting bukanlah apa yang terjadi dalam hidup kita. Yang paling penting adalah bagaimana sikap pikiran dan tindakan kita terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan kita.

Keliru itu Penting

Pada tahun 1905, Albert Einstein menciptakan Teori Relativitas Umum. Lalu pada tahun 1916 ia menemukan Teori Relativitas Khusus yang kemudian disusul banyak penemuan fisika lain yang di antaranya menjadi landasan penemuan energi dan bom atom.

Einstein, ahli fisika teori kelahiran Jerman ini, dianggap sebagai pemikir paling kreatif di dunia, dan mendapatkan Hadiah Nobel karena menemukan Teori Foton Cahaya. Selain sebagai ahli fisika, ilmuwan besar kelahiran Ulm ini juga seorang pengarang, pemain biola, dan seorang yang sering meneriakkan anti peperangan.

Karena ancaman Nazi (pada masa holocaust, 1933) ia meninggalkan Jerman dan bekerja di Princeton University, AS. Sejarah mencatat bahwa Albert Einstein adalah seorang jenius. Tetapi dia sendiri menyangkal hal itu. Katanya, “Saya berpikir terus, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Sembilan puluh sembilan kali kesimpulan saya keliru, tetapi yang keseratus, benar.”

Memang ada beberapa orang yang dilahirkan dalam keadaan jenius. Tetapi banyak orang yang kita anggap jenius mengakui bahwa dia memperoleh kejeniusannya dari hasil kerja keras. Dan kalau Einstein yang dianggap jenius saja mengalami kesalahan sampai sembilan puluh sembilan kali dan baru menemukan kebenaran pada percobaan yang keseratus, apalagi kita…?

Tak perlu takut mengalami kekeliruan, karena kekeliruan demi kekeliruan itu akan mengantarkan kita kepada kebenaran.

Rabu, 07 September 2011

Kuasa Kelembutan

Pada waktu SD, saya bersekolah di madrasah, jadi saya—dan murid-murid yang lain—memanggil guru-guru kami dengan sebutan Ustadz dan Ustadzah. Selama enam tahun bersekolah di madrasah tersebut, saya memiliki guru favorit bernama Ustadzah Anisah, sosok guru yang juga sangat dihormati sekaligus disayangi murid-murid yang lain. Dia guru terbaik yang pernah saya miliki, dan kepadanya pula saya berutang budi atas semua yang telah saya capai hari ini.

Semenjak kecil, saya sangat pemalu dan introver, jadi kurang bisa berkomunikasi dengan baik. Ustadzah Anisah tahu hal itu—tapi dia tak pernah mencela sedikit pun kekurangan saya. Dia mengajar pelajaran bahasa Indonesia. Setiap kali ada tanya-jawab di kelas, dan saya tergagap atau kesulitan saat menjawabnya, dia akan tersenyum sabar penuh pemakluman.

Sebaliknya, ketika ada tugas mengarang, dan saya mengerjakannya dengan baik, dia akan memberikan pujian dan penghargaan yang membesarkan hati, yang membuat saya tersenyum. Sampai hari ini, saya masih ingat bagaimana ekspresinya yang tulus saat memuji tugas karangan saya, dan sedikit pun tidak pernah memberikan kritikan yang mungkin menyakiti.

Suatu hari, bertahun-tahun yang lalu, dia menyerahkan tugas karangan saya di dalam kelas, dan berkata dengan tulus, “Karanganmu ini bagus sekali. Kamu memiliki bakat besar dalam menulis!”

Kelak, bertahun-tahun kemudian ketika saya telah dewasa, saya tahu betul bahwa tugas karangan yang saya tulis waktu itu BENAR-BENAR JELEK SEKALI. Tetapi di situlah kehebatan guru saya yang satu ini. Dia tidak pernah mencela, tidak pernah mengkritik atau mencemooh, sebaliknya dia selalu memberikan kata-kata yang membesarkan hati. Dan, untuk itu, saya benar-benar merasa berutang budi.

Pada waktu itu saya percaya pada ucapan Ustadzah Anisah—bahwa saya berbakat menulis. Dan, karena kepercayaan itu, saya pun semakin rajin menulis—membuat sajak, cerpen, dan apa pun yang bisa ditulis. Waktu itu saya masih kelas lima SD. Dan ketika guru kami di kelas bertanya apa cita-cita kami, saya pun dengan yakin menjawab, “Ingin jadi penulis!”

Sejujurnya, waktu itu saya tidak tahu karir macam apa yang disebut “Penulis” itu. Tetapi, karena dorongan positif dari Ustadzah Anisah yang meyakinkan saya berbakat menulis, saya pun memiliki kepercayaan bahkan keyakinan. Sejak itu saya semakin rajin belajar, semakin banyak membaca, semakin giat mengasah kemampuan dalam menulis. Dan, setiap kali tugas mengarang datang, saya akan bersemangat mengerjakannya.

Bertahun-tahun kemudian setelah saya lulus SD dan benar-benar menjadi seorang penulis yang telah menerbitkan lebih dari 20 buku, saya tahu bahwa pencapaian itu belum tentu saya peroleh jika saya tak pernah mengenal guru luar biasa saya semasa SD dulu. Tahun 2005, ketika Ustadzah Anisah meninggal dunia, saya menangisi kepergiannya hingga berhari-hari. Kedekatan kami selama saya di SD dulu telah menjadikan dia seperti ibu kedua bagi saya.

Pelajaran penting yang saya peroleh dari Ustadzah Anisah bukan hanya dalam proses menulis, tetapi juga dalam hal lain yang lebih besar. Tanpa dia mengucapkannya, saya mendapatkan pelajaran yang amat berharga tentang hidup, yakni kekuatan kelembutan. Selama bertahun-tahun menjadi muridnya, saya tidak pernah sekali pun mendengarnya mengkritik muridnya, atau mencemooh, apalagi sampai merendahkannya.

Ketika ada murid yang berbuat kekeliruan, dia akan menegurnya dengan halus, dengan kelembutan seorang guru yang bijaksana, sehingga si murid tidak malu apalagi marah dan sakit hati. Sebaliknya, ketika ada murid yang berbuat baik atau mendapatkan prestasi sekecil apa pun—semisal mendapatkan nilai 10 untuk suatu tugas—dia akan memberikan pujian serta penghargaan yang sangat membesarkan hati. Dia adalah guru dalam arti yang sebenarnya.

Seperti yang telah saya ceritakan di atas. Tulisan karya saya waktu itu sangat jelek sekali (jika saya nilai secara objektif hari ini). Tetapi, alih-alih mengkritik atau memberikan cemoohan, Ustadzah Anisah justru memberikan penghargaan dan kata-kata yang membesarkan hati. Sehingga, alih-alih saya merasa malu atau sakit hati, saya justru makin giat belajar dan semakin rajin memperbaiki diri.

Karena kelembutannya, dia telah mengubah diri saya yang waktu itu bodoh dan introver menjadi sosok yang jauh lebih baik. Tuhan tahu betapa besarnya cinta kasih saya untuknya, besarnya utang budi saya kepadanya.

Nah, memasuki SMP, terjadi pengalaman yang sangat bertolak belakang. Waktu itu saya memiliki seorang guru olahraga yang luar biasa galak, dengan cara mengajar yang—menurut saya—tidak layak digunakan oleh seorang guru.

Guru yang satu ini sangat hobi mengkritik muridnya, bahkan mencemooh serta merendahkan seorang murid di hadapan murid-murid lainnya. Jadi, kalau ada seorang murid yang tidak bisa melakukan suatu hal dalam pelajaran olahraga, guru satu itu bukannya memotivasi si murid agar semakin giat belajar, tetapi justru mengeluarkan setumpuk caci-maki, sindiran, dan ucapan yang merendahkan.

Sialnya, saya termasuk murid yang goblok dalam pelajaran olahraga. Akibatnya, saya sering menjadi korban “ocehannya” yang sangat tidak berpendidikan. Ketika saya dikritik, dicaci-maki dan disalahkan di depan kawan-kawan saya yang lain, apakah kemudian saya punya keinginan untuk memperbaiki diri? TIDAK! Saya justru menjadi benci pada pelajaran olahraga, juga kepada si guru tersebut!

Kenyataan itu juga dialami kawan-kawan saya yang lain, yang juga sering mendapatkan semburan si guru olahraga. Kami semua tidak menjadi lebih baik atau lebih benar gara-gara caci-maki itu, tetapi justru menjadi benci. Puncaknya, kami akan berusaha bolos setiap kali ada pelajaran olahraga. Ketika guru saya mengancam untuk tidak memberikan nilai untuk pelajaran olahraga, saya cuma diam, dan dalam hati berkata, “Peduli amat!”

Sampai hari ini, meski bertahun-tahun telah berlalu, saya masih ingat bagaimana ekspresi guru saya yang jahat itu ketika merendahkan dan mencemooh murid-muridnya. Dan, saya malu mengakuinya, saya tetap merasa benci kepadanya.

Kelembutan yang diberikan Ustadzah Anisah di masa SD dulu tetap membawa bekas hingga hari ini dalam hidup saya—tetapi bekas yang baik dan positif, bahkan mulia. Sebaliknya, kekerasan dan perilaku kebencian yang ditunjukkan guru olahraga saya di SMP juga membawa bekas dalam hidup saya—tetapi bekas yang buruk dan juga penuh kebencian.

Guru olahraga saya mungkin telah lupa pada apa yang dilakukannya terhadap saya dan murid-murid yang lain. Tetapi saya, dan murid-murid yang lain, tak pernah bisa melupakan tindakan buruknya. Hari ini, saya menyadari, bahwa jika saya berbuat buruk kepada seseorang, maka orang itu akan mengingatnya hingga bertahun-tahun, bahkan ketika saya sendiri telah melupakan perbuatan saya.

Kelembutan memberikan bekas, begitu pula kekerasan. Dan jika ada bekas yang ingin saya tinggalkan pada orang lain, saya berdoa dan berharap kepada Tuhan yang Maha Baik, semoga bekas itu adalah bekas yang baik dan positif.

....
....

Seribu lima ratus tahun yang lalu, seorang lelaki di Tanah Arabia ditanya para sahabatnya, “Ya Rasul, seperti apakah orang yang baik itu?”

Dan Muhammad, sang Rasul, menjawab, “Orang yang memiliki kasih sayang pada sesamanya.”

Lima ratus tahun sebelum Rasulullah Muhammad menyatakan kalimat mulia itu, seorang lelaki lain di Bukit Yudea ditanya murid-muridnya, “Guru, pelajaran apakah yang sebaiknya kami ingat selamanya?”

Dan Yesus, sang Guru, menjawab, “Perlakukanlah orang lain dengan lembut dan penuh kasih.”

Jauh-jauh hari sebelum Yesus menyampaikan pelajaran penting itu, Aesop di Yunani menceritakan analogi indah tentang kisah Angin dan Matahari.

Angin dan Matahari menyaksikan seorang lelaki yang memakai jubah tebal di tengah padang. Angin dan Matahari kemudian bertaruh untuk menentukan siapa yang lebih kuat, dan Angin berkata, “Aku akan membuktikan bahwa akulah yang terkuat. Aku akan memaksa lelaki itu melepaskan jubahnya yang tebal.”

Maka Matahari pun pindah ke belakang awan, kemudian Angin berhembus menciptakan badai. Tetapi, semakin keras dia berhembus, semakin erat pula lelaki itu mencengkeram jubah ke tubuhnya.

Akhirnya Angin pun menyerah, dan Matahari muncul dari balik awan. Matahari tersenyum ramah pada lelaki berjubah itu dengan sinarnya. Kini, tanpa diminta, lelaki itu menanggalkan jubahnya, menyeka alisnya, dan mulai mengipasi diri dengan topinya.

Matahari kemudian berbisik kepada Angin, “Kekerasan sering kali gagal, tapi kelembutan… selalu menang.”

Pilihan Midas

Tuhan telah memberikan suatu kekuatan kepada kita, kekuatan yang begitu besar sehingga para malaikat pun tidak memilikinya.

Manusia diberi kekuatan untuk memilih. Inilah salah satu hal yang membuat manusia lebih istimewa dibandingkan makhluk lainnya. Tetapi anugerah keistimewaan ini juga mengandung risiko, mengandung konsekuensi, karena apabila tidak bijak menggunakannya, kita justru akan terperosok dalam pilihan kita sendiri.

Dongeng Yunani Kuno mengisahkan tentang Raja Midas yang oleh Dewa Dionysus dianugerahi kebebasan untuk memilih hadiah apa pun yang diinginkannya. Tetapi dia hanya bisa meminta satu kali. Tanpa ragu sedikit pun, Raja Midas menjawab, “Aku ingin segala yang kusentuh menjadi emas.”

Dewa Dionysus pun mengabulkan keinginannya. Maka batu dan daun-daun yang dipungut Raja Midas pun menjadi emas. Tanah yang digenggamnya berubah menjadi emas.

“Aku sekarang menjadi orang terkaya dan paling bahagia di dunia ini!” Ia berseru kegirangan. Bahkan ia pun kemudian mengadakan pesta besar untuk merayakan kebahagiaannya itu. Tapi susahnya, makanan dan minuman yang disentuhnya berubah menjadi emas, bahkan putrinya sendiri yang ia sentuh juga menjadi patung emas.

Jika masih diizinkan untuk kembali memilih, masih mungkinkah Raja Midas tetap memilih keinginannya semula...?

Ada kalanya—dan sering kali—hidup menawarkan pilihan yang hanya sekali. Dan, ada kalanya pula, kita salah dalam memilih sehingga kebahagiaan yang kita cari ternyata berakhir dengan penyesalan tak kunjung usai.

Kita punya kekuatan untuk memilih tersenyum atau menangis, kita punya kekuatan untuk memilih tumbuh atau membusuk, untuk gigih atau menyerah, untuk memberi atau mencuri, untuk bertindak atau menunda, untuk menyembuhkan atau melukai, untuk hidup atau untuk mati. Kekuatan untuk memilih adalah kekuatan yang terbesar, dan pilihan selalu ada di tangan kita. Karena itu, marilah bijaksana dalam menggunakannya.

Makanan Sehat untuk Pikiran

Iklan-iklan di televisi begitu gencar menayangkan berbagai produk makanan dan minuman, bahkan berbagai suplemen untuk menunjang kesehatan tubuh. Masyarakat kita hari ini telah menjadi masyarakat modern yang telah ‘sadar gizi’, telah menyadari bahwa tubuh kita akan terbentuk sesuai dengan yang kita masukkan ke dalamnya.

Namun, sayangnya, hanya sedikit orang yang telah memahami bahwa pikiran kita juga berlaku seperti itu. Pikiran kita akan terbentuk sesuai dengan apa yang kita masukkan ke dalamnya. Seperti halnya tubuh yang membutuhkan makanan sehat dan bergizi untuk menunjang kesehatan, begitu pula kita membutuhkan makanan mental untuk ‘diet sehat’ bagi pikiran kita.

Pikiran kita tak jauh beda dengan rekening di bank. Setiap hari kita memasukkan uang ke dalam rekening itu, dan uang pun berkembang serta berbunga. Itu sama halnya dengan pemikiran yang biasa kita masukkan ke dalam pikiran kita. Semua pemikiran itu akan berkumpul, menumpuk, bahkan berkembang, dan itu akan membentuk bagaimana cara kita menghadapi kehidupan.

Ketika kita mulai berpikir karena menghadapi suatu masalah, sebenarnya kita mengatakan kepada bank ingatan kita, “Apa yang sudah saya ketahui mengenai hal ini?”

Bank pikiran kita pun secara otomatis menjawab dan menyuplai kita dengan potongan informasi, yang berkaitan dengan situasi itu, yang biasa kita masukkan ke dalamnya sebelumnya. Jadi, ingatan kita adalah penyuplai dasar dari bahan mentah untuk pikiran kita yang baru.

Berdasarkan hal itulah, kita diingatkan untuk tidak membiasakan diri memasukkan pemikiran-pemikiran yang negatif, karena semua pemikiran itu akan muncul saat kita menghadapi suatu masalah yang membutuhkan pikiran. Memikirkan kekalahan akan terus membawa kita pada kekalahan, begitu pun memikirkan kemenangan akan terus membawa kita pada kemenangan.

Kalau kesehatan tubuh berguna untuk melakukan apa yang kita inginkan, maka kesehatan pikiran kita akan menentukan apa yang kita inginkan. Kesehatan pikiran tanpa kesehatan tubuh mungkin masih bisa membawa kita pada tujuan meski tertatih-tatih, tapi kesehatan tubuh tanpa kesehatan pikiran tak akan pernah membawa kita kemana-mana.

Makanan sehat untuk tubuh itu perlu, makanan sehat untuk pikiran jauh lebih perlu.

Hakikat Keyakinan

Jika kita percaya bahwa sesuatu itu tidak mungkin, maka pikiran kita pun akan bekerja bagi kita untuk membuktikan mengapa hal itu tidak mungkin. Tetapi, jika kita percaya, benar-benar percaya, bahwa sesuatu dapat dilakukan, maka pikiran kita pun akan bekerja bagi kita dan membantu kita mencari jalan untuk melaksanakannya.

Dulu, ketika Wright Bersaudara sedang menyusun kerangka pesawat yang diharapkan bisa terbang di udara, bersamaan dengan itu ada sekelompok ilmuwan yang juga sedang serius dalam penelitian untuk membuktikan bahwa apa pun yang beratnya melebihi udara tak akan bisa terbang!

Dan apa yang sama-sama mereka yakini itu pun kemudian sama-sama menjadi kenyataan. Wright bersaudara berhasil membuktikan keyakinannya bahwa pesawat mereka bisa terbang, sementara kelompok ilmuwan itu juga bisa membuktikan keyakinannya bahwa segala benda yang melebihi berat udara tak akan bisa terbang!

Wright bersaudara berkeyakinan pada kemungkinan; bahwa itu mungkin, maka mereka mendapatkan kemungkinan-kemungkinan, dan mereka mampu mewujudkan kemungkinan itu. Sementara ilmuwan yang lain berkeyakinan pada kemustahilan; bahwa itu tidak mungkin, dan mereka pun menghadapi segala ketidakmungkinan, membentur segala kemustahilan.

Keyakinan adalah hakikat hal-hal yang diharapkan, bukti hal-hal yang tak terlihat.

Kamis, 01 September 2011

Pengetahuan Tertinggi

Min huna nabda’ wa takhta dhilaali 
‘arsyi arrahmaani naltaqi.


Dulu, saya berpikir bahwa diciptakannya bulan Ramadhan adalah bentuk kecemburuan Tuhan. Selama Ramadhan, Tuhan seolah ingin menjadi satu-satunya yang diingat manusia, setelah sebelas bulan lamanya manusia hanya mengingat Tuhan di waktu-waktu tertentu saja.

Selama Ramadhan, umat Muslim sedunia akan menjalankan ibadah, dalam arti sesungguhnya, dimana sejak bangun tidur sampai tidur kembali—bahkan dalam tidur itu sendiri—semuanya dalam rangka ibadah. Berbeda dengan bentuk ibadah lain yang kasatmata, ibadah puasa selama Ramadhan adalah ibadah yang tak terlihat manusia lainnya, selain hanya untuk Tuhan.

Puasa dalam arti sesungguhnya
, yakni meninggalkan makan minum dan hawa nafsu, adalah bentuk ibadah murni yang secara langsung ditujukan untuk Tuhan. Di hadapan manusia, kita mungkin dapat menunjukkan bahwa kita tidak makan dan minum selama Ramadhan. Tetapi di hadapan Tuhan, tidak makan dan minum hanya hal kecil, karena pantangan yang jauh lebih besar tak pernah terlihat, yakni yang ada di hati kita.

Selama Ramadhan, orang yang benar-benar berpuasa akan seratus persen mengingat Tuhan, dari hari ke hari, bahkan dari saat ke saat—dalam tidur maupun terjaga. Karena itulah kemudian saya sempat berpikir bahwa Tuhan sengaja menciptakan bulan Ramadhan karena kecemburuan. Ia ingin diingat selama satu bulan penuh oleh manusia, setelah sebelas bulan lamanya manusia begitu sibuk dengan kesibukannya.

Tetapi kemudian saya menyadari bahwa Tuhan tidak cemburu. Karena bahkan umpama manusia di seluruh dunia tidak menjalankan perintah-Nya pun, Tuhan tak kan terluka. Sekarang, saya menyadari bahwa Ramadhan diciptakan untuk manusia, dengan tujuan agar manusia memiliki waktu sesaat untuk mulai mengenali dirinya sendiri, untuk memahami eksistensinya di dunia, untuk memakrifati kefitriannya.

Ramadhan adalah waktu yang diciptakan untuk memberi kesempatan kepada kita untuk lebih mengenali diri sendiri. Setelah sebelas bulan lamanya kita disibukkan dengan segala urusan di luar kita, Ramadhan mengajak masing-masing manusia untuk rehat sejenak, meninggalkan hiruk-pikuk dunia, dan masuk ke dalam kesadaran kehambaannya, untuk mengingat Eksistensi Multak Alam Semesta.

....
....

Di dalam kisah Saur Sepuh yang legendaris, diceritakan bahwa Brama Kumbara yang sakti mandraguna akhirnya dapat dikalahkan oleh Biksu Kampala. Setelah malang-melintang di dunia persilatan tanpa ada satu pendekar pun yang dapat mengalahkannya, akhirnya Brama Kumbara yang tangguh dan perkasa tumbang, dan dipaksa bertekuk lutut di hadapan Biksu Kampala.

Siapakah Biksu Kampala? Merujuk pada kisah Saur Sepuh, Biksu Kampala adalah seorang biksu dari Tibet yang sedang mengembara. Pertemuannya dengan Brama Kumbara—hingga mereka kemudian bertarung unjuk kesaktian—adalah ketika sang Biksu sampai di kerajaan Madangkara. Dan, seperti yang telah dinyatakan di atas, Brama Kumbara kalah. Kekalahan itu adalah berita yang mengguncang alam semesta.

Bagaimana mungkin orang yang dianggap manusia bijak, sakti, hebat, dan raja yang sangat dihormati jutaan manusia lainnya itu bisa dikalahkan...?

FYI, di dunia persilatan Saur Sepuh, Brama Kumbara adalah satu-satunya orang yang mampu menguasai Ajian Serat Jiwa Tingkat 10. Rata-rata pendekar di sana hanya mampu menguasai Serat Jiwa Tingkat 3, mentok-mentoknya Tingkat 5.

Selain itu, Brama Kumbara juga menguasai Ajian Tapak Sakti Tingkat Akhir, sehingga dia dapat menghantam batu karang di lautan sampai hancur menjadi pasir. Puncaknya, orang ini juga menguasai Ajian Bayu Bajra, sehingga dapat menciptakan badai berkekuatan skala Richter untuk mengguncangkan bagian bumi mana pun yang diinginkannya.

Tetapi, meski memiliki kesaktian hebat semacam itu, Brama Kumbara kalah. Dan yang mengalahkannya adalah seorang biksu yang sama sekali tak terkenal. Karena itu, seperti yang dinyatakan di atas, berita kekalahan itu pun mengguncang jagad persilatan.

Karena kekalahan itu, Brama Kumbara pun menemui gurunya, yang ia panggil dengan sebutan Eyang Astagina. Sang Guru memberikan petuahnya, “Kalau kau ingin menang, kau harus mempelajari Ilmu Lampah-Lumpuh.”

Apakah Ilmu Lampah-Lumpuh itu?

Guru Astagina menjelaskan, bahwa Lampah-Lumpuh adalah kemampuan mengosongkan segala kekotoran yang ada di dalam hati dan pikiran manusia. Lampah-Lumpuh adalah pengosongan segala hal—selain kesucian—dari dalam diri kita. Lampah-Lumpuh adalah kemampuan seseorang untuk kembali kepada fitrahnya, kepada hakikat kesuciannya. Ketika seseorang menguasai Lampah-Lumpuh, dia akan menjadi manusia yang benar-benar manusia.

“Lampah-Lumpuh adalah puncak segala ilmu kesaktian,” ujar Guru Astagina.

Brama Kumbara bertekad untuk dapat menguasai ilmu itu. Tetapi, karena ini adalah ilmu puncak, maka syaratnya pun sangat berat—yakni berpuasa selama 40 hari 40 malam.

“Untuk kembali kepada fitrah, kepada kesucian,” kata Guru Astagina, “kau harus menjadi bayi kembali. Karena itulah, kau harus berpuasa selama 40 hari 40 malam, tanpa makan atau memasukkan apa pun ke dalam tubuh dan pikiranmu.”

Jadi begitulah. Di suatu hari yang telah disepakati, Brama Kumbara menyepi ke Pesanggrahan Keramat—semacam villa-nya orang-orang istana Madangkara—dan di sana ia mulai menjalankan puasa sebagai persyaratan memperoleh Ilmu Lampah-Lumpuh. Selama 40 hari itu, komplek Pesanggarahan Keramat dijaga ratusan prajurit dan para pendekar, demi keselamatan raja mereka selama menjalani laku puasa.

Empat puluh hari kemudian, Brama Kumbara berhasil selamat setelah tidak makan dan minum apa pun. Tentu saja waktu itu kondisinya benar-benar kritis. Energi fisiknya telah hilang, kekuatannya benar-benar sirna. Kalau mau menggunakan istilah Guru Astagina, “Dia (Brama) telah berhasil menjadi bayi kembali.”

Sebagaimana bayi pada umumnya, Brama pun waktu itu belum mampu mengunyah makanan apa pun selain air tajin. Jadi, setiap hari istrinya menyuapkan air tajin untuknya, dan dari hari ke hari kekuatan Brama mulai pulih kembali. Akhirnya, setelah energi dan kekuatan Brama telah benar-benar dipulihkan, Guru Astagina mulai memasukkan Ilmu Lampah-Lumpuh kepadanya.

Lampah-Lumpuh adalah kembali kepada fitri, kepada titik awal eksistensi manusia di bumi. Ketika Brama Kumbara berhasil menguasai Lampah-Lumpuh—setelah mampu berpuasa 40 hari 40 malam—dia tidak lagi memiliki iri hati dan dengki, tidak lagi memiliki nafsu kotor, bahkan tidak lagi memiliki hasrat ingin mengalahkan. Dia telah benar-benar kembali menjadi bayi, kembali kepada fitri.

Akhirnya, ketika ia kembali bertemu dengan Biksu Kampala yang dulu mengalahkannya, Brama Kumbara tidak bertarung untuk balas dendam. Bahkan, melalui Lampah-Lumpuh, dia berhasil memenangkan pertarungan itu, tanpa mengalahkan. Yang dilakukan Brama waktu itu hanya menyentuh Biksu Kampala dengan lembut, dan si Biksu pun lumpuh. Pertarungan itu tanpa teriakan, tanpa kekuatan, bahkan tanpa hasrat mengalahkan.

Kalau menggunakan istilah Ronggowarsito, Brama Kumbara telah mampu “menang tanpo ngasorake”—menang tanpa mengalahkan. Dan kemampuan itu diperolehnya setelah dia mampu kembali kepada eksistensi murninya, yakni mengosongkan segala sesuatu selain fitrah suci di dalam dirinya. Seperti yang dikatakan Guru Astagina, “Lampah-Lumpuh adalah ilmu kesaktian paling puncak.”

Dengan Lampah-Lumpuh, Brama Kumbara telah mampu mengalahkan musuh terbesarnya, yakni dirinya sendiri, hawa nafsunya sendiri. Satu-satunya kemenangan yang dapat dicapai tanpa mengalahkan adalah kemenangan atas diri sendiri.

Ketika ia berpuasa selama 40 hari 40 malam, segala nafsu manusiawinya lenyap. Kelaparan dan kehausan membunuh nafsu, dan matinya nafsu adalah hidupnya eksistensi sejati manusia. Ketika dia tidak lagi disibukkan untuk memikirkan hal-hal lain di luar dirinya, maka mau tak mau dia akan berpikir tentang dirinya. Dan, pengenalan diri, adalah Pengetahuan Tertinggi.

....
....

Sekarang, saat Ramadhan menjelang dan kini menghilang, saya kembali teringat pada kisah Brama Kumbara yang menyepi di Pesanggrahan Keramat untuk berpuasa—untuk membersihkan segala hawa nafsunya, sekaligus untuk kembali kepada fitrahnya.

Tentu saja kita bukan Brama Kumbara yang sedang mengharapkan ilmu kesaktian. Tetapi, secara esensi, kita juga melakukan apa yang dilakukannya, yakni berupaya “menjadi bayi kembali”. Setelah kita mampu menundukkan hasrat pada makan-minum dan hawa nafsu, maka kita pun akan kembali menghidupkan apa yang mungkin telah mati di dalam kemanusiaan kita, yang mungkin tidak kita sadari.

Ramadhan dimaksudkan untuk memberi waktu kepada kita untuk melakukan hal itu—mengenali diri sendiri, untuk kemudian menemukan eksistensi sejati keberadaan kita di dunia ini. “Kalau kau mengenal dirimu sendiri,” kata Sunan Kalijaga, “kau akan mengenal Tuhanmu.”

Jadi itulah, saya pikir, tujuan Tuhan memberikan Ramadhan untuk manusia. Bukan karena kecemburuan, melainkan karena cinta kasih-Nya. Ramadhan adalah kesempatan agung yang diberikan-Nya kepada manusia untuk mengetahui eksistensi sejati, untuk mengenal Pengetahuan Tertinggi... yakni menemukan diri sendiri.

Taqabbalallaahu minna wa minkum.

Destination Unknown (3)

Mrs. Davis mengarahkan tatapannya ke layar monitor di hadapannya dengan penuh konsentrasi, dan seketika mengetahui maksud Jason. Ada sesuatu yang aneh namun nyaris tak terlihat menyangkut post itu, yang pasti dilakukan dengan sengaja oleh penulisnya—entah siapa pun dia.

“Ini seperti olok-olok yang sangat cerdik,” gumam Mrs. Davis kemudian.

“Benar, dan olok-olok itu dilakukan dengan sangat halus, sehingga meski telah dilihat ribuan orang, namun mungkin tidak ada yang menyadari keanehannya.”

“Kecuali kau, tentu saja,” ujar Mrs. Davis dengan sayang. “Apa lagi yang telah kaudapatkan?”

“Blog ini benar-benar sinting,” sahut Jason. “Saya telah menyisihkan sekitar tiga puluhan post yang saya pikir akan saling berkaitan. Tapi saya belum yakin. Mungkin masih banyak post lain yang tertumpuk di sini—yang belum saya lihat—yang mungkin juga memiliki kaitan. Coba Anda lihat beberapa post ini.”

Mrs. Davis membuka-buka halaman post yang telah disisihkan Jason, dengan kening yang berkerut. Dengan kecepatan membaca karena kebiasaan bertahun-tahun, dia bisa segera menyelesaikan tulisan-tulisan itu.

“Aku tidak yakin ini saling berkaitan,” ujar Mrs. Davis kemudian. “Masing-masing post ini sepertinya memiliki maksud sendiri-sendiri.”

Jason tersenyum lebar. “Jika Anda juga terkecoh, Mrs. Davis, saya tidak akan heran kalau orang lain juga akan sama terkecoh.”

“Coba katakan bagaimana catatan-catatan yang tampak saling berdiri sendiri ini memiliki keterkaitan. Aku tidak yakin…”

Senyum Jason makin mengembang. “Seperti yang tadi saya bilang, blog ini benar-benar sinting—atau penulisnya yang sinting. Catatan-catatan yang saya sisihkan ini memang sekilas tampak terpisah atau saling berdiri sendiri dengan tema masing-masing. Pada mulanya saya pun berpikir begitu. Tapi rupanya penulis sinting ini cukup berbaik hati. Dia memberikan kuncinya.”

“Dan kuncinya…?”

“Ini,” sahut Jason sambil menggerakkan pointer untuk membuka satu halaman posting yang sejak tadi disembunyikannya.

Sepuluh Pecahan.” Tanpa sadar Mrs. Davis membaca catatan dalam halaman posting itu. Lalu segera menangkap apa yang tersembunyi di dalamnya. Post itu sangat singkat, hanya berupa daftar tidak jelas, tidak menyatakan apa pun, bahkan tidak dapat dipahami. Tapi rupanya Jason telah melihat apa yang dimaksudkan penulisnya dalam catatan itu… dan dia pun kini sama melihatnya.

“Oh, my God…” gumam Mrs. Davis tanpa sadar.

Destination Unknown (2)

Kekhusyukannya itu kemudian terhenti ketika terdengar suara Mrs. Davis, yang sepertinya baru kembali dari pekerjaan rutinnya.

“Sudah menemukan sesuatu, Jason?”

Jason mengangkat mukanya dari depan komputer, dan menatap kosong pada wanita itu. “Saya tidak yakin,” ujarnya kemudian. “Kata kunci yang saya dapatkan dari buku itu sekarang malah membuat saya berputar-putar dalam kebingungan yang makin aneh.”

Mrs. Davis tersenyum. “Mungkin sudah saatnya kau mengizinkan wanita tua ini untuk membantumu.”

Jason selalu senang pada Mrs. Davis. Wanita 50-an tahun itu selalu ringan tangan, dan pengetahuannya yang amat luas karena bertahun-tahun menjadi pustakawan memang menjadikannya seperti ensiklopedia berjalan. Jason tahu, ada banyak mahasiswa, bahkan dosen, di KSU yang menjadikan Mrs. Davis sebagai semacam “buku hidup”. Dan sekarang wanita luar biasa itu telah duduk di samping Jason, menatap ke arah layar monitor.

“Coba lihat apa yang telah kaudapatkan,” ujar Mrs. Davis dengan ringan.

Jason membuka satu halaman posting. Flèur l’Epàc.

“Kita mulai dari post ini, Mrs. Davis. Karena post inilah yang pertama kali saya temukan ketika menggunakan kata kunci yang saya peroleh dari buku ‘The Dark Island’. Seperti yang Anda lihat, ada sesuatu yang disembunyikan penulisnya dalam posting ini dengan amat cerdik. Tapi dia tidak mau membukakan semuanya dalam catatan ini. Artinya, saya pikir, dia memecah-mecah rahasianya dalam beberapa post lain.”

“Hmm…” Mrs Davis menggumam sambil menatap ke barisan kalimat di hadapannya. Ia tahu, sebagaimana Jason tahu, tulisan dalam posting itu tidak seperti tampaknya. Sesuatu ditanamkan dalam rangkaian kata-kata itu—dengan sangat halus—sehingga orang-orang yang membaca tidak menyadarinya.

“Nah,” lanjut Jason sambil membuka sebuah tab di monitor, “sekarang lihat post yang ini.”

Mrs. Davis membaca judul postingnya, Mereka Pergi ke Bora Bora.

“See. Anda tentu tahu apa makna Bora Bora,” ujar Jason sambil tersenyum. “Kalau kita baca catatan di bawah judul tersebut, kita tahu Bora Bora yang dimaksudkan di situ bukan nama tempat, melainkan analogi.”

Mrs. Davis memahami senyum itu. “Tentu saja. Itu kamuflase untuk penyebutan fatamorgana.”

“Posting ini seperti dialog absurd,” lanjut Jason. “Well, istilah Bora Bora sendiri tidak terkenal, sehingga tidak menarik perhatian. Dengan judul aneh dan isi posting yang sama anehnya, orang pasti tidak menghiraukannya. Tapi posting yang singkat dan terkesan absurd ini memberikan jawaban yang saya inginkan.”

“Tapi, Jason, nyatanya memang isi posting ini hanya dialog yang tidak jelas, kan? Eh, jujur, aku tidak menemukan apa pun yang disembunyikan di sini.”

“Memang tidak,” sahut Jason sambil menahan senyum. “Kita tidak akan menemukan apa-apa jika hanya membaca judul dan isi postingnya.”

“Jadi, selain judul dan isi catatan di dalamnya, apa lagi yang harus kita lihat?”

Kali ini Jason benar-benar tersenyum. “Coba perhatikan lebih saksama lagi, Mrs. Davis.”


Lanjut ke sini.

Destination Unknown (1)

—Lanjutan Note from Biek Island


Jason termangu di depan layar monitor, menatapi rangkaian paragraf dalam posting di blog itu, sementara Mrs. Davis telah pergi meninggalkannya beberapa waktu yang lalu, karena perlu mencarikan beberapa buku untuk seorang profesor yang akan mengajar.

“What the...?” dia tak menyelesaikan gumamannya ketika menyadari apa yang dilihatnya.

Posting yang tak terlalu panjang itu benar-benar mengguncangkan pikirannya. Ia tahu, di balik rangkaian kata-kata yang terkesan puitis itu terdapat sesuatu yang disembunyikan penulisnya dengan sangat cerdik—dan pilihan judul ‘Flèur l’Epàc’ benar-benar mengecoh, karena frasa aslinya ditutupi dengan amat tersamar.

Tangan Jason bergerak menyentuh mouse, dan dengan cepat membuka-buka halaman blog itu satu per satu. Ini memang blog sinting, pikirnya sambil terus membuka halaman demi halaman. Di antara ratusan posting yang ada di blog itu, Jason menyisihkan beberapa post yang ia pikir saling berkaitan. Dan tangannya terus sibuk, membuka satu per satu posting di sana, dengan pikiran yang semakin terguncang.

Satu jam kemudian, Jason telah menyisihkan setumpuk posting yang ia yakini memiliki keterkaitan—meski belum terlalu yakin. Ia tahu akan menemukan apa yang dicarinya—sesuatu yang telah disembunyikan penulis-entah-siapa ini di dalam tumpukan catatan-catatannya.

Ia bangkit dari tempat duduknya, melangkah ke tempat dispenser, dan menuangkan kopi panas ke dalam gelas. Ia butuh suntikan kafein untuk membuka matanya setelah semalaman belum tidur. Einstein tidak tidur sebelum menemukan E=MC2, Edison tidak tidur sebelum menemukan filamen untuk bola lampu, Beethoven tidak tidur sebelum menemukan nada yang tepat untuk sonata kelima, dan ia pun tidak ingin tidur sebelum menemukan apa yang dicarinya.

Sekarang, setelah aliran kopi panas menghangatkan tenggorokannya, Jason kembali menekuri monitor di hadapannya. “Flèur l’Epàc,” gumamnya sambil menatap post itu lama-lama.

Jason tahu, sesuatu disembunyikan di dalam catatan itu, tetapi hanya sebagian kecilnya. Artinya, ia menyimpulkan, keping-keping rahasia lain disembunyikan oleh si penulis dalam banyak catatan lainnya. Masalahnya sekarang, dia tidak tahu di catatan mana saja keping-keping rahasia itu ditanamkan. Ia sendiri menemukan frasa ‘Flèur l’Epàc’ dari buku tua yang ditemukannya di perpustakaan, hingga kemudian menemukan posting berjudul sama di sebuah blog-entah-milik-siapa.

Sekarang dia membuka satu per satu halaman posting yang telah disisihkannya, dan berharap—entah bagaimana caranya—salah satu halaman posting itu akan mengungkapkan sesuatu.

“Jika perlu, aku akan membaca seluruh isi blog sialan ini,” pikirnya penuh tekad. Dan dia pun memulainya. Posting-posting yang tadi disisihkannya itu dibacanya dengan cermat, seperti pemanah yang membidik sasaran dengan harapan memperoleh tembakan yang akurat.

Dan jam demi jam pun berlalu. Jason masih duduk tanpa suara di depan layar komputer, dengan kening yang semakin berkerut, dengan bergelas-gelas kopi yang terus ia tuangkan dari dispenser perpustakaan.


Lanjut ke sini.

 
;