Minggu, 15 Mei 2011

Note from Biek Island

Dengan kasih, untuk j.w


Tidak jauh dari Teluk Casablanca yang tidak terkenal, ada sebuah gundukan dataran yang lebih tidak terkenal. Tidak terlalu luas, juga tidak terlalu sempit. Tidak terlalu subur, pun tidak terlalu gersang. Itulah Pulau Biek—atau yang dalam beberapa literatur disebut Biek Island.

Orang yang pertama kali menyebutkan keberadaan pulau tak dikenal ini adalah Jason Wiraatmadja, seorang bocah Indonesia yang kuliah di Amrik—tepatnya di KSU, Manhattan. Tetapi Jason pun mendengar tentang pulau itu dari seseorang, ketika dia sedang menikmati teh di Kantin Balbeek.

Di wilayah pedesaan Manhattan, ada sebuah kampus tua yang terhormat bernama Kansas State University. Bocah-bocah Indonesia yang kuliah di sana sering membandingkan KSU dengan UI Depok—mungkin karena kemiripan geografisnya. Tidak jauh dari kampus itu, ada sebuah kafe bernama Balbeek, yang dimiliki warga Amrik peranakan India. Bocah-bocah KSU sering menyebut kafe itu dengan sebutan Kantin Balbeek.

Suatu hari, selepas kuliah sore, Jason mendatangi Kantin Balbeek untuk menikmati teh sambil membaca buku—hal umum yang biasa dilakukan bocah-bocah KSU. Pada waktu itulah, tanpa sengaja, Jason mendengar percakapan beberapa orang tentang keberadaan Biek Island.

“Jadi, secara geografis, pulau itu masuk wilayah mana?” itu ucapan pertama yang didengar Jason menyangkut Biek Island.

Kemudian, terdengar jawabannya, “Pulau itu tidak masuk wilayah mana pun. Tetapi setiap orang bisa mengklaimnya.”

“Setiap orang? Jadi kita bisa datang ke sana dengan kapal ala perompak Karibia?”

Terdengar tawa sumbang. Lalu,

“Ya. Jika tidak ada satu pihak pun yang mengklaim pulau tersebut, maka setiap orang yang menginginkan bisa mengklaimnya.”

“Well, pulau ini... tepatnya dimana?”

Seseorang membisikkan sesuatu—dan naluri Jason mulai tergelitik.

Keesokan harinya, Jason tidak masuk kuliah, karena menghabiskan waktunya di perpustakaan kampus untuk mencari apa pun tentang Biek Island. Ada yang menarik tentang pulau itu, pikirnya. Maka, selama berjam-jam dia menelusuri entri demi entri di komputer kampus untuk melacak pulau asing tersebut—hingga kesibukannya hari itu menarik perhatian Mrs. Davis.

Mrs. Hannah Davis adalah pustakawati kampus yang tekun—dan dia telah terbiasa menyaksikan Jason sibuk di perpustakaannya. Selama ini, Mrs. Davis mengenal Jason sebagai mahasiswa yang senang menelusuri literatur, dan Mrs. Davis mengagumi semangatnya. Tetapi, kali ini kesibukan bocah itu tidak seperti biasanya. Di matanya hari itu, Jason tampak terlalu sibuk dan terlalu bersemangat.

“Ada yang bisa kubantu, Jason?” sapa Mrs. Davis sambil mendekati Jason yang waktu itu sedang duduk di depan layar komputer, dengan dikelilingi tumpukan buku di kanan kirinya.

“Oh, eh, Mrs. Davis, Anda baik sekali.” Jason tergagap. “Saya tidak tahu Anda di situ.”

Mrs. Davis tersenyum hangat. “Kau tampak sibuk sekali sejak tadi. Apa yang kaucari kali ini, eh? Tambang berlian?”

“Sepertinya Anda mampu membaca pikiran, Mrs. Davis,” sahut Jason membalas senyum si penjaga perpustakaan. “Anda pernah mendengar tentang Biek Island?”

“Biek Island...?”

“Ya, itulah yang saya cari sejak tadi. Anda belum pernah mendengarnya?”

“Apakah itu semacam pulau berisi tambang berlian?”

Jason tertawa. “I don’t know—itulah yang ingin saya tahu. Tapi sepertinya isi perpustakaan ini tidak memuat tentang Biek Island. Saya sudah menelusuri empat ribu tujuh ratus entri sampai saat ini, tapi tidak satu pun entri yang memuat kata Biek Island.”

“Kenapa tidak mencoba Google Earth? Siapa tahu Uncle Google sudah lebih maju dalam hal ini?”

Jason mengerutkan keningnya. “Itu pula yang membuat saya bingung. Google Earth juga tidak mendeteksi keberadaan pulau ini.”

Sekarang Mrs. Davis duduk di dekat Jason, di depan layar komputer, dan dia ikut mengerutkan keningnya. “Boleh tahu dari mana kau mendengar tentang pulau itu—Biek Island?”

“Saya tidak sengaja mendengarnya. Di Kantin Balbeek—maksud saya, di Balbeek Cafe—kemarin waktu saya minum teh di sana.”

“Begitu. Dan ada sesuatu yang menggelitikmu untuk mengetahui lebih lanjut tentang pulau itu?”

“Ya, dan itulah yang sekarang saya lakukan.”

“Biek Island, ya,” gumam Mrs. Davis sambil masih mengerutkan keningnya. “Eh, kalau Google Earth tidak mendeteksi keberadaan pulau itu—apakah kau yakin kalau Biek Island memang sebuah pulau? Maksudku, apakah kau benar-benar yakin itu nama suatu tempat?”

“Itu sempat terpikir oleh saya, Mrs. Davis.” Dan setelah terdiam sesaat, Jason melanjutkan, “Pada mulanya saya juga ragu, jangan-jangan Biek Island bukan nama suatu pulau atau nama tempat. Tapi lalu saya menemukan ini.”

Jason mengambil sebuah buku di dekat layar monitor, dan memperlihatkannya kepada Mrs. Davis. Buku itu tidak terlalu tebal, tetapi sudah kusam dan judulnya pun sudah nyaris hilang. Tapi mata Mrs. Davis masih dapat membacanya dengan jelas.

“The Dark Island,” ucap Mrs. Davis perlahan, membaca judul yang tertera di sampul buku itu. “Tapi, Jason, buku ini tidak menyebut nama Biek Island?”

“Begitulah. Buku itu tidak secara eksplisit menyebutkan nama Biek Island, tapi deskripsi yang tertulis di dalamnya menyerupai bayangan saya tentang Biek Island. Secara tersirat, buku ini menyebutkan kalau Biek Island adalah sebuah pulau—sebuah tempat—hanya saja buku ini menyebutnya ‘Dark Island’.”

Mrs. Davis mengangguk-angguk. “Jadi, pulau ini semacam tanah kegelapan, eh?”

Jason memahami canda itu, dan dia pun tersenyum. “Moreless. Saya pikir juga begitu—well, saya sebenarnya berencana menggunakan kata kunci yang terdapat dalam buku itu untuk melacaknya melalui search engine.”

“Buku ini memuat kata kunci?”

“Ya. Ada kata-kata tertentu yang tidak biasa menyangkut pulau ini—dan mungkin kata kunci itu bisa digunakan untuk melacaknya lebih jauh. Anda tahu, setiap kali sebuah deskripsi ditulis mengenai sebuah pulau, maka isinya akan berkisar pada tanah bumi, flora, fauna, atau semacamnya—dalam bentuk yang wajar. Tetapi ada yang tidak lazim di buku ini. Di situ tertulis, bahwa Dark Island menarik perhatian orang karena di sana banyak.... well, flèur l’epàc”

“Flèur l’epàc...?” Mrs. Davis kembali mengerutkan keningnya—kali ini lebih dalam.

“Anda sepertinya mengenali frasa itu?”

“Itu bukan frasa biasa, Jason. Perhatikan komposisi frasanya—itu bukan istilah Prancis murni—itu frasa asing yang disamarkan dalam bahasa Prancis.” Lalu Mrs. Davis membisikkan sesuatu yang hanya didengar oleh Jason.

Jason meraih mouse di samping layar monitor, membuka search engine, dan mengetikkan Flèur l’epàc sebagai kata kunci. Dan ketika ia menekan Enter di keyboard, hanya sedikit link yang tersedia. Jason meng-klik link teratas, membuka dan membaca isinya... dan terpana.

Detik itu dia seperti diberitahu, dunia yang dilihatnya tidak akan pernah sama.



 
;