Beberapa tahun lalu, ketika Maria Ozawa masih ngetop dan menjadi buah bibir, lalu lintas internet di seluruh dunia meningkat drastis sehingga jauh lebih padat dibanding waktu-waktu sebelumnya.
Peningkatan besar-besaran jumlah pengakses internet itu karena bertebarannya foto-foto serta film-film Maria Ozawa yang bisa di-download melalui situs-situs tertentu—dan bocah-bocah dari seluruh dunia pun “berebutan” mengunduhnya. Sebuah situs porno Jepang bahkan menyatakan di laman webnya, bahwa dalam satu hari mereka mengunggah foto-foto Maria Ozawa tiga hingga lima kali, karena banyaknya jumlah pengakses web tersebut. Kenyataan itu merupakan rekor tersendiri dalam industri bokep dunia, khususnya di Asia.
Sampai kemudian, entah bagaimana asal-usulnya, muncul foto-foto baru Maria Ozawa, namun kali ini jauh lebih sopan, bahkan terkesan “salihah”. Foto-foto itu menampilkan Maria Ozawa mengenakan jilbab, dengan busana tertutup khas muslimah. Foto-foto “unik” ini banyak bertebaran di web dan blog-blog Indonesia.
Tentu saja foto-foto Maria Ozawa berjilbab itu kemungkinan besar rekayasa montase, tetapi yang jelas hasilnya benar-benar “mulus”—dalam arti jilbab itu benar-benar pas di wajah Maria Ozawa. Karenanya, jika foto-foto tersebut ditunjukkan pada orang yang sama sekali tidak mengenal Maria Ozawa, dia pasti akan terkecoh dan langsung terkesan. Bisa jadi dia akan menganggap itu foto wanita muslimah yang benar-benar salihah.
Nyokap saya juga terkecoh pada hal tersebut. Karena iseng, saya dulu pernah menjadikan foto Maria Ozawa berjilbab sebagai wallpaper ponsel. Tanpa sengaja, nyokap melihat tampilan tersebut, dan langsung tertarik. Dipandanginya foto Maria Ozawa di ponsel, kemudian bertanya, “Da’, ini Siti Nurhaliza, ya?”
Secara nyokap memang fans berat Siti Nurhaliza. Dan kalau diperhatikan, Maria Ozawa yang berjilbab memang sedikit mirip dengannya. Tapi saya sudah keburu menjawab jujur, “Uh, bukan. Itu… Maria Ozawa.”
Sepertinya nyokap tidak mengenal nama itu. “Artis Malaysia juga, ya?” tanyanya.
Dalam hati saya bersyukur nyokap tidak mengenal Maria Ozawa. Karenanya, agar tidak memperpanjang urusan, saya pun menjawab, “Iya, artis Malaysia.”
Lalu nyokap memandangi foto itu dengan kekaguman yang nyata. “Cantik sekali, ya. Namanya juga indah—Maria Ozawa. Agak-agak mirip dengan Siti Nurhaliza.”
Hah, bukannya itu jauh banget, pikir saya.
Lalu nyokap menyatakan harapannya, “Semoga istrimu kelak seperti ini, ya.”
Seperti Maria Ozawa??? Semoga saja harapan itu tidak terkabul!
Well, jika nyokap teringat pada Siti Nurhaliza setelah menyaksikan foto Maria Ozawa berjilbab, saya justru teringat pada Siti Musdah Mulia.
Pada suatu waktu, Siti Musdah Mulia pernah menyatakan bahwa jilbab sesungguhnya bukan tradisi Islam, melainkan "hanya" tradisi Arab. Karenanya, menurut intelektual wanita ini, perempuan Islam boleh tidak berjilbab. Jika jilbab dikatakan sebagai identitas, maka ia sesungguhnya identitas Arab, dan bukan identitas Islam. Tesisnya tersebut didasarkan pada fakta turunnya Islam di tanah Arab, sehingga budaya Arab ikut teradopsi ke dalam Islam.
Karena pernyataan tersebut, wanita yang memiliki gelar Profesor Doktor dan MA ini dicaci dan dihujat, bahkan dikafir-kafirkan oleh sebagian orang Islam sendiri. Tetapi, sebagaimana orang hebat lain, Siti Musdah Mulia bergeming—tidak goyah sedikit pun dalam keyakinan tesisnya. Bahkan, setelah itu, dia terus menggulirkan pemikiran-pemikirannya yang—entah mengapa—selalu saja membuat orang-orang Islam di Indonesia kalang kabut.
Kontroversi paling mutakhir menyangkut Siti Musdah Mulia adalah ketika Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi digulirkan. Dia menjadi salah satu tokoh yang secara terang-terangan menolak keras undang-undang tersebut. Sebagaimana para intelektual lain, dia juga mengajukan penolakannya pada RUU itu berdasarkan pemikiran intelektual, dan bukan semata karena tendensi emosi.
Tetapi, sekali lagi, upaya wanita ini dihadang caci-maki, hujatan, serta pengkafiran. Pada waktu-waktu itu, di hampir semua web dan blog yang mengulas tentangnya berisi komentar-komentar pedas dan “mengerikan”, yang isinya penghujatan pada Siti Musdah Mulia.
Ketika kemudian diwawancara di acara Mata Najwa di televisi, Siti Musdah Mulia menyatakan dengan nada menyayangkan, “Undang-undang ini diberi nama Anti Pornografi dan Pornoaksi. Akibatnya, orang yang menolak undang-undang tersebut langsung dianggap atau dituduh mendukung pornografi dan pornoaksi. Padahal tidak sesederhana itu masalahnya.”
Di sinilah urat akarnya—“Tidak sesederhana itu masalahnya.”
Jika saya membungkus sebuah bom waktu yang saya kemas dalam sebuah kotak indah bertatahkan mutiara, dan saya memberikannya kepadamu, apakah kau akan menerimanya…?
Orang yang hanya melihat bungkusnya (kotak indah berhiaskan mutiara), pasti akan langsung menerima dengan senang hati—tanpa tahu bahwa kotak indah itu membahayakan kehidupannya. Tetapi, orang yang tahu bahwa di dalam kotak indah itu ada bom waktu yang setiap saat dapat meledak, pasti akan menolaknya. Buat apa memiliki kotak indah berhias mutiara, jika kehidupan menjadi taruhannya?
Ini persoalan kesan—persoalan identitas. Sebagaimana jilbab yang dikenakan Maria Ozawa tidak serta-merta menjadikannya seorang muslimah, begitu pula identitas lainnya. Saya tahu siapa Maria Ozawa, dan saya tidak akan mau menjadi suaminya, meski dia tampak salihah dengan tampilan jilbab dan busana muslimah. Sebaliknya, nyokap saya tidak mengenal Maria Ozawa, sehingga mendoakan anaknya memiliki istri seperti dia.
Persoalan identitas adalah persoalan rawan, karena ia mengaburkan batas-batas logika. Karena identitas, orang rela menyabung nyawa untuk berperang dengan orang lainnya. Karena identitas, orang kadang terjebak pada pengultusan yang bahkan tak masuk akal. Dan karena identitas pula, orang sering keliru memahami apa yang sesungguhnya ada di balik identitas.
Tidak selamanya yang ada di atas nampan itu emas, dan tidak selamanya yang terbungkus beludru itu intan. Artinya, identitas adalah kemasan, sedang apa yang ada di balik identitas itulah isi atau esensinya. Sekali lagi, Maria Ozawa tidak serta-merta menjadi wanita salihah, meski dia mengenakan jilbab dan busana muslimah—karena itu hanya kemasan yang membungkusnya.
Pertanyaan pentingnya adalah, manakah yang sesungguhnya ingin kita pilih, ingin kita miliki? Bungkus atau kemasannya, ataukah isinya? Semata identitas, ataukah esensinya?
Di sinilah perlunya kesadaran untuk tidak mudah emosi apalagi menghidupkan fanatisme yang membuta dalam menghadapi sesuatu, hanya karena “tampaknya” atau karena “kemasannya”. Di sini pula pentingnya arti pembelajaran, agar kita tahu apa yang sesungguhnya kita pilih dan inginkan—bukan karena terkecoh oleh penampilan dan penampakan identitas, melainkan karena kesadaran dan pengetahuan atas apa yang ada di balik identitas.
Sepertinya amat konyol jika kita membangga-banggakan kotak emas berhias mutiara, tapi ternyata ada bom waktu yang siap meledakkan kepala kita. Karenanya, jika ada orang yang kemudian mengingatkan bahaya itu, sebaiknya kita periksa isi kotak terlebih dulu, dan bukan buru-buru menghujat atau mengkafir-kafirkannya.
Persoalan manusia adalah persoalan ego, dan ego inilah sumbu paling panas yang mudah terbakar oleh fanatisme, dan fanatisme selalu berhubungan dengan identitas. Manusia mudah terbakar ketika bersinggungan dengan persoalan identitas. Karena itu pula, tidak sedikit orang-orang licik yang sengaja memanipulasi identitas, demi menggulirkan sesuatu yang diinginkannya, demi memperoleh dukungan massa atas kepentingannya.
Konsekuensi buruknya, orang yang mengetahui kelicikan itu justru menjadi pihak yang dimusuhi, hanya karena berusaha mengingatkan bahwa ada sesuatu yang busuk di dalam identitas yang tampak indah. Sayangnya, orang-orang yang benar-benar tahu semacam itu biasanya bukan bagian dari massa, sehingga kalah jumlah dan kalah suara.
Melalui paragraf terakhir ini, saya ingin siapa pun tahu, saya tidak sedang membela Siti Musdah Mulia. (Lagian saya ini siapa, kok berani-beraninya membela wanita sekaliber dia?). Saya hanya sedang mengajak siapa pun untuk mengenali dan menggali esensi sebelum memuja identitas, mempelajari dan memahami isi sebelum menyanjung dan mendukung bungkus. Karena… Maria Ozawa tetap bintang bokep meski ia tampil mengenakan jilbab.
Peningkatan besar-besaran jumlah pengakses internet itu karena bertebarannya foto-foto serta film-film Maria Ozawa yang bisa di-download melalui situs-situs tertentu—dan bocah-bocah dari seluruh dunia pun “berebutan” mengunduhnya. Sebuah situs porno Jepang bahkan menyatakan di laman webnya, bahwa dalam satu hari mereka mengunggah foto-foto Maria Ozawa tiga hingga lima kali, karena banyaknya jumlah pengakses web tersebut. Kenyataan itu merupakan rekor tersendiri dalam industri bokep dunia, khususnya di Asia.
Sampai kemudian, entah bagaimana asal-usulnya, muncul foto-foto baru Maria Ozawa, namun kali ini jauh lebih sopan, bahkan terkesan “salihah”. Foto-foto itu menampilkan Maria Ozawa mengenakan jilbab, dengan busana tertutup khas muslimah. Foto-foto “unik” ini banyak bertebaran di web dan blog-blog Indonesia.
Tentu saja foto-foto Maria Ozawa berjilbab itu kemungkinan besar rekayasa montase, tetapi yang jelas hasilnya benar-benar “mulus”—dalam arti jilbab itu benar-benar pas di wajah Maria Ozawa. Karenanya, jika foto-foto tersebut ditunjukkan pada orang yang sama sekali tidak mengenal Maria Ozawa, dia pasti akan terkecoh dan langsung terkesan. Bisa jadi dia akan menganggap itu foto wanita muslimah yang benar-benar salihah.
Nyokap saya juga terkecoh pada hal tersebut. Karena iseng, saya dulu pernah menjadikan foto Maria Ozawa berjilbab sebagai wallpaper ponsel. Tanpa sengaja, nyokap melihat tampilan tersebut, dan langsung tertarik. Dipandanginya foto Maria Ozawa di ponsel, kemudian bertanya, “Da’, ini Siti Nurhaliza, ya?”
Secara nyokap memang fans berat Siti Nurhaliza. Dan kalau diperhatikan, Maria Ozawa yang berjilbab memang sedikit mirip dengannya. Tapi saya sudah keburu menjawab jujur, “Uh, bukan. Itu… Maria Ozawa.”
Sepertinya nyokap tidak mengenal nama itu. “Artis Malaysia juga, ya?” tanyanya.
Dalam hati saya bersyukur nyokap tidak mengenal Maria Ozawa. Karenanya, agar tidak memperpanjang urusan, saya pun menjawab, “Iya, artis Malaysia.”
Lalu nyokap memandangi foto itu dengan kekaguman yang nyata. “Cantik sekali, ya. Namanya juga indah—Maria Ozawa. Agak-agak mirip dengan Siti Nurhaliza.”
Hah, bukannya itu jauh banget, pikir saya.
Lalu nyokap menyatakan harapannya, “Semoga istrimu kelak seperti ini, ya.”
Seperti Maria Ozawa??? Semoga saja harapan itu tidak terkabul!
Well, jika nyokap teringat pada Siti Nurhaliza setelah menyaksikan foto Maria Ozawa berjilbab, saya justru teringat pada Siti Musdah Mulia.
Pada suatu waktu, Siti Musdah Mulia pernah menyatakan bahwa jilbab sesungguhnya bukan tradisi Islam, melainkan "hanya" tradisi Arab. Karenanya, menurut intelektual wanita ini, perempuan Islam boleh tidak berjilbab. Jika jilbab dikatakan sebagai identitas, maka ia sesungguhnya identitas Arab, dan bukan identitas Islam. Tesisnya tersebut didasarkan pada fakta turunnya Islam di tanah Arab, sehingga budaya Arab ikut teradopsi ke dalam Islam.
Karena pernyataan tersebut, wanita yang memiliki gelar Profesor Doktor dan MA ini dicaci dan dihujat, bahkan dikafir-kafirkan oleh sebagian orang Islam sendiri. Tetapi, sebagaimana orang hebat lain, Siti Musdah Mulia bergeming—tidak goyah sedikit pun dalam keyakinan tesisnya. Bahkan, setelah itu, dia terus menggulirkan pemikiran-pemikirannya yang—entah mengapa—selalu saja membuat orang-orang Islam di Indonesia kalang kabut.
Kontroversi paling mutakhir menyangkut Siti Musdah Mulia adalah ketika Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi digulirkan. Dia menjadi salah satu tokoh yang secara terang-terangan menolak keras undang-undang tersebut. Sebagaimana para intelektual lain, dia juga mengajukan penolakannya pada RUU itu berdasarkan pemikiran intelektual, dan bukan semata karena tendensi emosi.
Tetapi, sekali lagi, upaya wanita ini dihadang caci-maki, hujatan, serta pengkafiran. Pada waktu-waktu itu, di hampir semua web dan blog yang mengulas tentangnya berisi komentar-komentar pedas dan “mengerikan”, yang isinya penghujatan pada Siti Musdah Mulia.
Ketika kemudian diwawancara di acara Mata Najwa di televisi, Siti Musdah Mulia menyatakan dengan nada menyayangkan, “Undang-undang ini diberi nama Anti Pornografi dan Pornoaksi. Akibatnya, orang yang menolak undang-undang tersebut langsung dianggap atau dituduh mendukung pornografi dan pornoaksi. Padahal tidak sesederhana itu masalahnya.”
Di sinilah urat akarnya—“Tidak sesederhana itu masalahnya.”
Jika saya membungkus sebuah bom waktu yang saya kemas dalam sebuah kotak indah bertatahkan mutiara, dan saya memberikannya kepadamu, apakah kau akan menerimanya…?
Orang yang hanya melihat bungkusnya (kotak indah berhiaskan mutiara), pasti akan langsung menerima dengan senang hati—tanpa tahu bahwa kotak indah itu membahayakan kehidupannya. Tetapi, orang yang tahu bahwa di dalam kotak indah itu ada bom waktu yang setiap saat dapat meledak, pasti akan menolaknya. Buat apa memiliki kotak indah berhias mutiara, jika kehidupan menjadi taruhannya?
Ini persoalan kesan—persoalan identitas. Sebagaimana jilbab yang dikenakan Maria Ozawa tidak serta-merta menjadikannya seorang muslimah, begitu pula identitas lainnya. Saya tahu siapa Maria Ozawa, dan saya tidak akan mau menjadi suaminya, meski dia tampak salihah dengan tampilan jilbab dan busana muslimah. Sebaliknya, nyokap saya tidak mengenal Maria Ozawa, sehingga mendoakan anaknya memiliki istri seperti dia.
Persoalan identitas adalah persoalan rawan, karena ia mengaburkan batas-batas logika. Karena identitas, orang rela menyabung nyawa untuk berperang dengan orang lainnya. Karena identitas, orang kadang terjebak pada pengultusan yang bahkan tak masuk akal. Dan karena identitas pula, orang sering keliru memahami apa yang sesungguhnya ada di balik identitas.
Tidak selamanya yang ada di atas nampan itu emas, dan tidak selamanya yang terbungkus beludru itu intan. Artinya, identitas adalah kemasan, sedang apa yang ada di balik identitas itulah isi atau esensinya. Sekali lagi, Maria Ozawa tidak serta-merta menjadi wanita salihah, meski dia mengenakan jilbab dan busana muslimah—karena itu hanya kemasan yang membungkusnya.
Pertanyaan pentingnya adalah, manakah yang sesungguhnya ingin kita pilih, ingin kita miliki? Bungkus atau kemasannya, ataukah isinya? Semata identitas, ataukah esensinya?
Di sinilah perlunya kesadaran untuk tidak mudah emosi apalagi menghidupkan fanatisme yang membuta dalam menghadapi sesuatu, hanya karena “tampaknya” atau karena “kemasannya”. Di sini pula pentingnya arti pembelajaran, agar kita tahu apa yang sesungguhnya kita pilih dan inginkan—bukan karena terkecoh oleh penampilan dan penampakan identitas, melainkan karena kesadaran dan pengetahuan atas apa yang ada di balik identitas.
Sepertinya amat konyol jika kita membangga-banggakan kotak emas berhias mutiara, tapi ternyata ada bom waktu yang siap meledakkan kepala kita. Karenanya, jika ada orang yang kemudian mengingatkan bahaya itu, sebaiknya kita periksa isi kotak terlebih dulu, dan bukan buru-buru menghujat atau mengkafir-kafirkannya.
Persoalan manusia adalah persoalan ego, dan ego inilah sumbu paling panas yang mudah terbakar oleh fanatisme, dan fanatisme selalu berhubungan dengan identitas. Manusia mudah terbakar ketika bersinggungan dengan persoalan identitas. Karena itu pula, tidak sedikit orang-orang licik yang sengaja memanipulasi identitas, demi menggulirkan sesuatu yang diinginkannya, demi memperoleh dukungan massa atas kepentingannya.
Konsekuensi buruknya, orang yang mengetahui kelicikan itu justru menjadi pihak yang dimusuhi, hanya karena berusaha mengingatkan bahwa ada sesuatu yang busuk di dalam identitas yang tampak indah. Sayangnya, orang-orang yang benar-benar tahu semacam itu biasanya bukan bagian dari massa, sehingga kalah jumlah dan kalah suara.
Melalui paragraf terakhir ini, saya ingin siapa pun tahu, saya tidak sedang membela Siti Musdah Mulia. (Lagian saya ini siapa, kok berani-beraninya membela wanita sekaliber dia?). Saya hanya sedang mengajak siapa pun untuk mengenali dan menggali esensi sebelum memuja identitas, mempelajari dan memahami isi sebelum menyanjung dan mendukung bungkus. Karena… Maria Ozawa tetap bintang bokep meski ia tampil mengenakan jilbab.