Tembang sunyi ini, hatiku, adalah suara yang tak kukatakan,
denting hati yang kunyatakan, nada lagu di larut malam.
Tembang sunyi ini, nadiku, adalah bayang yang kusentuh,
keindahan sunyi yang biasa kurengkuh, pada saat rembulan utuh.
—Tembang Sunyi
Aku telah mencari selama hidupku untuk menemukanmu. Kau telah membuatku tersadar. Sebelum kehadiranmu, aku hanyalah lelaki bodoh, manusia liar, sebuah hati yang terluka. Aku belum terjinakkan, tak mempercayai siapa pun dengan hati yang lari ini.
Sekarang aku belajar dalam sekolah cintamu. Yang duduk di kakimu, dan terkadang melangkah di jembatan antara kita. Kau telah membawaku dengan tulus kepada kasih pada diriku sendiri, dan kepada Tuhan. Kau menunggu dengan sabar sampai hatiku bernapas lagi.
Aku seorang lelaki dengan jiwa yang lapar—dan senyum, tawa, ketulusan, serta kebersamaan denganmu membuatku bersyukur. Sekarang aku menunggu kedatangan setiap saat yang sangat indah darimu.
Aku dapat melihat ke dalam matamu dan melihat mataku sendiri. Aku dapat berenang dalam keabadian cinta yang terbuka di antara kita, ketika kau menatap kembali kepadaku dengan kerinduan yang sama. Kau tahu aku tersesat tanpamu di sisiku.
Dulu, aku lelaki yang liar, pria bodoh, manusia padang pasir, yang berpikir bahwa aku sendirian dan harus melakukan semuanya sendiri, berbangga dan berjalan sendirian melawan padang pasir dalam diriku, dan dengan bodohnya berpikir itu tak akan dapat membunuhku.
Dan kemudian oasismu mendekat. Jiwaku meminta kejujuranku. Aku pulang ke rumah untuk mengetahui apa yang telah hilang, untuk menemukan apa yang pura-pura tak kuperlukan.
Jadi kaujinakkan lelaki bodoh ini dengan kelembutan dan kecantikanmu. Kauajarkan kepadaku saat-saat manis dari keberanian untuk mencintai.
Denganmu, aku berjalan keluar dari neraka-neraka yang telah kuciptakan sendiri. Dan anak-anak tertawa, kebun-kebun melambai. Denganmu aku berjalan, menyusuri jalan menuju surga.
denting hati yang kunyatakan, nada lagu di larut malam.
Tembang sunyi ini, nadiku, adalah bayang yang kusentuh,
keindahan sunyi yang biasa kurengkuh, pada saat rembulan utuh.
—Tembang Sunyi
Aku telah mencari selama hidupku untuk menemukanmu. Kau telah membuatku tersadar. Sebelum kehadiranmu, aku hanyalah lelaki bodoh, manusia liar, sebuah hati yang terluka. Aku belum terjinakkan, tak mempercayai siapa pun dengan hati yang lari ini.
Sekarang aku belajar dalam sekolah cintamu. Yang duduk di kakimu, dan terkadang melangkah di jembatan antara kita. Kau telah membawaku dengan tulus kepada kasih pada diriku sendiri, dan kepada Tuhan. Kau menunggu dengan sabar sampai hatiku bernapas lagi.
Aku seorang lelaki dengan jiwa yang lapar—dan senyum, tawa, ketulusan, serta kebersamaan denganmu membuatku bersyukur. Sekarang aku menunggu kedatangan setiap saat yang sangat indah darimu.
Aku dapat melihat ke dalam matamu dan melihat mataku sendiri. Aku dapat berenang dalam keabadian cinta yang terbuka di antara kita, ketika kau menatap kembali kepadaku dengan kerinduan yang sama. Kau tahu aku tersesat tanpamu di sisiku.
Dulu, aku lelaki yang liar, pria bodoh, manusia padang pasir, yang berpikir bahwa aku sendirian dan harus melakukan semuanya sendiri, berbangga dan berjalan sendirian melawan padang pasir dalam diriku, dan dengan bodohnya berpikir itu tak akan dapat membunuhku.
Dan kemudian oasismu mendekat. Jiwaku meminta kejujuranku. Aku pulang ke rumah untuk mengetahui apa yang telah hilang, untuk menemukan apa yang pura-pura tak kuperlukan.
Jadi kaujinakkan lelaki bodoh ini dengan kelembutan dan kecantikanmu. Kauajarkan kepadaku saat-saat manis dari keberanian untuk mencintai.
Denganmu, aku berjalan keluar dari neraka-neraka yang telah kuciptakan sendiri. Dan anak-anak tertawa, kebun-kebun melambai. Denganmu aku berjalan, menyusuri jalan menuju surga.