Socrates pernah mengungkapkan suatu jalan menuju keterbukaan pikiran dengan sangat gamblang. Katanya, “Bagi saya, segala yang saya ketahui justru adalah segala yang tidak saya ketahui sama sekali.”
Ungkapan itu juga merupakan suatu bentuk kerendahhatian, dimana dia tak mau menjadi orang yang sok tahu atau selalu merasa mengerti.
Dan berapa banyak dari kita yang lebih memilih untuk tinggi hati, untuk terbiasa mengatakan ‘Saya tahu’ atau ‘Saya mengerti’? Kita lebih terbiasa untuk mendengar ‘siapa’ yang mengatakan daripada ‘apa’ yang dikatakan. Padahal, mutiara tetaplah mutiara meskipun ada di dalam comberan, dan kotoran tetaplah kotoran meski ada di dalam mangkuk emas.
Antonie Gilly adalah seorang juru masak terkenal dari Prancis. Ia sering didatangi orang-orang yang ingin menceritakan pengalaman mereka dalam memasak. Suatu hari, seorang ibu datang kepadanya hanya untuk menceritakan bagaimana dia memasak telur dadar.
Sebagai juru masak kaliber internasional, Antonie Gilly tentu telah tahu bagaimana cara membuat telur dadar dalam ratusan versi. Tapi dia tidak menampik ibu itu, dan justru mendengarkannya dengan penuh perhatian.
Setelah ibu itu selesai bercerita dan berlalu, Antonie Gilly tersenyum dan mengatakan, “Anda tahu, saya belum pernah menggunakan teknik-teknik yang digunakan ibu tadi. Ia membuat telur dadar dengan caranya yang sangat unik. Tampaknya cara tersebut cukup masuk akal dan menghemat waktu serta tenaga. Saya akan mempraktekkan teknik yang dikembangkan ibu tadi.”
Inilah yang membedakan antara seorang koki hebat, yang bersedia menerima pandangan orang lain, dan koki biasa, yang sering kali merasa sudah tahu segalanya.