Jumat, 20 Maret 2020

Membeli Pecel Bersama Mbakyu

Kabar panas di dunia mbakyu: Harga pecel naik seribu.


Saya suka pecel—well, siapa yang tidak? Karenanya, sewaktu-waktu, saya mendatangi warung pecel, membeli seporsi, plus hal lain—misal peyek kacang atau emping—dan menikmatinya di rumah. Menikmati pecel adalah salah satu hal yang membuat saya bersyukur hidup di planet ini. Saya tidak yakin di Mars atau di Merkurius ada penjual pecel.

Tapi membeli pecel, setidaknya bagi saya, adalah urusan yang complicated.

Tidak jauh dari rumah saya, ada warung pecel. Penjualnya seorang wanita berusia 60-an. Warungnya semi permanen di pinggir jalan, dan di sana ada pecel, rujak, sayur lodeh, mi, dan aneka makanan tradisional yang biasa ada di warung pecel. Warung pecel ini kesohor karena menyediakan pecel yang—konon, menurut banyak orang—sangat enak. Seperti umumnya warung semacam itu, yang datang ke sana adalah para wanita, dari para gadis sampai ibu-ibu.

Karena kenyataan itu, saya tidak pede mendatangi warung pecel tersebut, hingga bertahun-tahun. Masalahnya itu tadi, tidak ada laki-laki yang datang ke warung pecel! Tiap kali saya melewati warung itu, pasti di sana sedang penuh wanita. Tidak ada laki-laki satu pun!

Gara-gara kenyataan itu, saya kadang mengangankan punya mbakyu, biar tidak menghadapi masalah kalau ingin menikmati pecel. Kalau punya mbakyu, saya tinggal mengajak, “Mbakyuuuu, ayo kita beli pecel, habis itu kita pecel-peceeeeeel... appeeeuuuhh!”

Lalu saya mengantarkannya ke warung pecel. Di sana, dia yang masuk warung dan membeli pecel, sementara saya menunggu di luar. Habis itu, kami bawa pulang pecel, dan menikmatinya di rumah. Well, kedengarannya seperti orang normal—sepasang bocah dan mbakyu yang membeli pecel.

Yang jadi masalah, saya tidak punya mbakyu. Karenanya, selama bertahun-tahun, saya hanya bisa menahan hasrat ingin membeli dan menikmati pecel, tapi hasrat itu tidak juga kesampaian.

Lalu tiba hari penuh keajaiban. Sebelumnya, saya sempat bersumpah pada diri sendiri; jika warung pecel itu kebetulan sepi pas saya lewat, saya akan mampir untuk membeli pecel. Dan hari itu akhirnya datang.

Suatu siang, saat melaju pulang, saya menengok warung pecel itu, dan kelihatan sepi. Saya pun memberanikan diri, dan mendatangi warung tersebut, lalu membeli seporsi pecel. Dibungkus, tentu saja, karena saya ingin segera kabur dari warung itu sebelum para wanita berdatangan ke sana seperti biasa.

Ketika sampai di rumah, dengan penuh hasrat yang dibakar penasaran, saya pun mulai menikmati pecel. Ternyata memang benar, kenikmatan pecel di warung itu bukan mitos! Usai menghabiskan seporsi pecel, siang itu, saya langsung merasa kecanduan.

Beberapa hari kemudian, saya kembali lewat di depan warung pecel, berharap warung sepi seperti kemarin. Tapi dasar warung terkenal, selalu ada pembeli yang datang, dan yang datang ke sana pasti wanita. Kenyataan itu membuat saya tersiksa. Di satu sisi, saya ingin kembali menikmati pecel. Di sisi lain, saya tidak pede memasuki warung pecel yang dijubeli para wanita.

Selama waktu-waktu itu, setiap kali lewat warung pecel, saya akan menengok. Kalau sepi, saya akan berhenti. Untungnya, seramai apa pun, warung pecel itu kadang sepi juga. Jadi, saya pun bisa mampir ke sana, untuk membeli pecel.

Kadang-kadang, selagi pecel sedang dibuat, dan saya masih duduk di sana, datang dua atau tiga wanita, dan saya pun salah tingkah. Wanita-wanita itu kadang memandangi saya, seolah saya salah masuk—inilah yang sedari awal membuat saya tidak pede masuk warung pecel. Karena di sana seolah ada diskriminasi gender, dan yang terdiskriminasi adalah kaum pria! Seolah, warung pecel di pinggir jalan hanya untuk kaum wanita! Oh, well, di mana kesetaraan gender? Di mana Komnas HAM? Di mana negara? Di mana Tunggal Pawestri?

Tetapi, gara-gara itu pula, keberanian—atau kendablegan—saya akhirnya tumbuh perlahan-lahan. Jika sebelumnya saya selalu waswas tiap kali akan masuk warung pecel—karena khawatir ke-gap pembeli wanita yang datang—perlahan-lahan waswas dan khawatir itu berkurang. Seiring dengan itu, saya makin pede masuk warung pecel, khususnya kalau pembeli di sana hanya satu dua.

So, itulah awal kebiasaan saya menikmati pecel. Kini, kapan pun saya ingin pecel, saya akan datang ke warung pecel, meski tetap berharap di sana tidak sedang banyak pembeli.

Warung pecel sebenarnya hanya satu kasus. Ada tempat-tempat lain yang juga ingin saya datangi, tapi saya tidak pede mendatanginya sendiri. Di antaranya penjual jajan tradisional di pagi hari.

Tidak jauh dari tempat saya tinggal, ada penjual jajan tradisional untuk keperluan sarapan. Dari lumpia, onde-onde, kue lapis, dan lain-lain. Seperti umumnya warung semacam itu, penjualnya seorang wanita, dan yang datang ke sana juga para wanita—ibu-ibu yang membeli sarapan untuk keluarganya. Tiap pagi, warung itu pasti dijejali banyak orang yang semuanya wanita.

Selama ini, saya memendam hasrat ingin membeli jajan di sana, tapi tak pernah kesampaian. Sampai sekarang, saya belum pernah berani datang ke tempat jajan itu. Karenanya pula, saya kadang mengangankan punya mbakyu, biar urusan membeli jajan lebih mudah. Kalau punya mbakyu, saya tentu bisa meminta, “Mbakyuuuu, ayo kita beli jajan biar emmeeesssshhhh... appeeuuuuh!”

Selain warung jajan, ada tempat lain yang juga ingin saya datangi, tapi saya tidak pernah punya keberanian. Yaitu tempat penjual jagung bakar.

Dari sore sampai malam hari, ada seorang wanita yang menjual jagung bakar di pinggir jalan.

Saya sangat suka jagung bakar, dan ingin sekali mendatangi tempat jagung bakar itu, membeli sebanyak yang saya ingin. Tetapi saya tidak pernah pede. Pasalnya, yang membeli jagung bakar di tempat itu para wanita dan anak-anak. Tidak pernah satu kali pun saya mendapati ada laki-laki dewasa yang membeli jagung bakar di sana.

Ini mungkin persoalan yang bukan persoalan bagi orang lain. Bagi orang lain, khususnya bagi laki-laki lain, mendatangi warung atau tempat jualan apa pun mungkin bukan persoalan, tak peduli para pembeli di sana para wanita atau ada laki-lakinya.

Tapi saya tidak punya ke-pede-an semacam itu. Karena, di lingkungan tempat saya tinggal, ada semacam konstruksi sosial yang menempatkan mana warung yang bisa dimasuki pria maupun wanita, dan mana warung yang hanya dimasuki wanita—di sisi lain, juga ada warung yang hanya dimasuki laki-laki.

Dalam hal ini, memang tidak ada kewajiban, dan warung mana pun tentu membebaskan semua orang—pria maupun wanita—untuk datang. Tapi konstruksi sosial seperti telah mengatur kami. Kalau kau laki-laki, dan mendatangi tempat penjual sarapan—seperti warung jajan tradisional yang saya ceritakan tadi—kau akan dipandang aneh oleh orang-orang lain. Karena warung sarapan, khususnya di tempat tinggal saya, telah dikonstruksi hanya untuk wanita!

Begitu pula warung pecel, hingga warung jagung bakar yang saya ceritakan tadi. Meski tidak ada tulisan “HANYA UNTUK WANITA” tertempel di sana, tapi konstruksi sosial—di lingkungan tempat saya tinggal—seolah telah memasang papan pengumuman semacam itu, dan kami mematuhinya. Karenanya, jika saya nekat mendatangi tempat-tempat itu—sendirian, sebagai laki-laki—peristiwa itu akan dianggap anomali. Karena itulah orang-orang di sana memandangi saya.

Isu kesetaraan gender mungkin seksi ketika menjadi teori, tapi meruntuhkan konstruksi sosial yang telah mapan adalah persoalan lain.

Warung sarapan dan semacamnya identik dengan kaum wanita, karena hal itu dikonstruksi selama bertahun-tahun oleh—well, siapa lagi? Bahwa membeli sarapan adalah tugas wanita. Bahwa membeli cemilan adalah tugas wanita. Bahwa membeli makanan kesukaan semacam pecel adalah tugas wanita.

Di dalam kultur patriarki yang selama ini kita jalani, kita pasti lebih sering menyaksikan ibu-ibu membeli pecel, meski suami mereka juga sama menggemari pecel. Sama halnya, kita pasti lebih sering menyaksikan para wanita berjubel di tempat penjual sarapan, meski suami mereka sama-sama sarapan.

Tidak ada hukum negara atau hukum agama yang mengatur persoalan ini. Tidak ada undang-undang yang mewajibkan wanita yang membeli sarapan untuk keluarganya, pun tidak ada aturan agama yang melarang pria masuk warung pecel. Tapi kita seperti punya aturan tersendiri yang kita patuhi, dan aturan itu dibuat oleh konstruksi sosial. Dan konstruksi sosial, kita tahu, hanyalah hasil kesepakatan. Pertanyaannya, hasil kesepakatan siapa?

Kita dipaksa mematuhi sesuatu yang dibuat sebagai hasil kesepakatan segerombolan orang, entah siapa, di masa lalu. Padahal masa lalu selalu berbeda dengan masa sekarang, termasuk orang-orangnya. Memaksakan pola pikir masa lalu untuk diterapkan di masa sekarang tentu bisa menimbulkan masalah, karena kehidupan di masa lalu jelas berbeda dengan kehidupan di masa sekarang. Tapi berapa banyak yang mau menyadari kenyataan itu?

Jadi, omong-omong, bagaimana solusinya?

Solusinya ya punya mbakyu! Mosok ngene wae ora paham?

Apalagi Kalau Bukan

Ya, kita sama-sama tahu, apalagi kalau bukan.

Menyesal Dilahirkan

Pertanyaan sederhana yang sering kupikirkan sampai sekarang; jika seorang anak—seorang manusia—menyesali kelahirannya, kepada siapa dia harus mengajukan protes? Kepada siapa dia harus mengatakan bahwa dia menyesal telah dilahirkan?

Jangan mengatakan bahwa tidak ada manusia yang menyesal dilahirkan, karena faktanya sangat banyak anak terluka di bawah langit yang tak usai menangisi kelahirannya sendiri—kelahiran yang ia sesali sampai mati.

Apakah orang-orang tua yang punya anak pernah memikirkan kenyataan itu? Apakah mereka pernah membayangkan bahwa anak-anak mereka menyesali kelahirannya, dan diam-diam mengutuk orang tua yang telah melahirkannya?

Tentu banyak anak yang bahagia dengan hidupnya, mensyukuri kelahirannya, dan sangat mencintai orang tuanya. Mungkin kau termasuk di antara mereka—dan kau orang beruntung. Sayangnya, tidak semua anak seberuntung dirimu.

“Kau harus berbakti pada orang tua, karena merekalah yang melahirkanmu.”

Doktrin itu menggeneralisasi semua orang tua pasti baik, dan si anak pasti menjalani kehidupan yang sama baik. Faktanya, realitas kehidupan setiap orang tidak bisa digeneralisasi.

"Tidak ada orang tua yang bermaksud jahat kepada anaknya."

"Tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya."

Really? Lalu ayah yang memperkosa putrinya sendiri itu apa namanya, bastard? Ibu yang melacurkan anaknya sendiri itu apa namanya, bangsat?

Ada orang tua yang baik—itu pasti. Adakah orang tua yang buruk? Banyak! Dan yang buruk dari orang tua yang buruk adalah... mereka tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya sangat buruk!

Kalau kau tidak tahu apa-apa soal motor dan tidak pernah belajar naik motor, tapi nekat naik motor... kau pasti akan menjadi pengendara motor yang sangat buruk. Begitu pun kalau kau punya anak dengan cara yang sama. Ironisnya, begitulah cara kebanyakan orang punya anak!

Ada anak-anak yang dilahirkan hanya untuk ditimbuni beban demi beban tanpa henti, masalah demi masalah tanpa usai, sampai orang tuanya mati. Bahkan ketika mereka mati, beban dan masalah yang ditinggalkan masih menggunung, dan si anak yang susah payah membenahinya.

In the end, kalau kau dilahirkan, dan semenjak kanak-kanak sampai dewasamu belum pernah merasakan kebahagiaan, sementara orang tuamu tak henti menimpakan masalah dan beban, masih bisakah kau mengatakan bersyukur karena telah dilahirkan?

Besok, di catatan di blog, aku akan menceritakan seseorang yang sampai menjadi ateis karena menyesali kelahirannya, dan karena kebenciannya yang luar biasa terhadap orang tuanya yang sangat... sangat buruk.

....
....

Ini catatan baru. Tapi kalau tidak siap mental, sebaiknya JANGAN BACA.

Semalam Bersama Ateis » https://bit.ly/2JD3Mi5 


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25-26 Mei 2019.

Noffret’s Note: #PrayForHarunRasyid

Gara-gara tagar #PrayForHarunRasyid, aku melihat video-video mengerikan (atau haruskah kusebut "tidak manusiawi"?) yang mungkin mestinya tak kulihat... dan miris sekali. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di negeri ini?

Kemarin ada perempuan yang mengingatkan agar kita "berhenti meromantisasi para petugas yang menghalau para pendemo", dan perempuan itu malah dihujat serta dicaci-maki. Sekarang aku mulai memahami mengapa sampai ada orang yang mengingatkan hal itu.

Jika kuperhatikan, sejak awal demo dan keributan (atau kerusuhan) meletus, memang tampak terjadi "romantisasi" terhadap satu pihak, sambil "menganggap tidak ada" pihak lain. Itu sangat jelas terlihat, setidaknya bagiku, dan sebagian media jelas tampak (sangat) tak berimbang.

Jika ingin membuktikan yang kukatakan, lakukan hal mudah ini: Baca dan cermati berita-berita terkait demo dan kerusuhan itu, dan lihat hasilnya. Jika membaca ratusan berita terasa berat, buka saja akun-akun Twitter media di Indonesia dan lihat TL mereka. Tidak ada objektivitas!

Sekarang aku telah melihat video-video mengerikan itu—yang dengan gamblang memaparkan kenyataan, dan jelas bukan rekayasa—dan aku pun akhirnya memahami kenapa berbagai media sosial sengaja "ditutup". Pemerintah pasti ketakutan kalau video-video brutal itu sampai bocor keluar.

Aku tidak tahu siapa Harun Rasyid, dan mungkin tidak akan pernah tahu, karena bocah itu telah mati, ketika usianya baru 15 tahun, dengan darah dan luka. Tapi aku bisa menunggu... akan seperti apa media-media di Indonesia memberitakan kematiannya.

#PrayForHarunRasyid

....
....

So, video brutal yang viral itu benar-benar terjadi, tapi narasi yang mengiringinya tidak benar (hoax), karena si korban bukan Harun Rasyid. Tapi Harun Rasyid benar-benar tewas dalam kerusuhan kemarin.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24-25 Mei 2019.

Diam-diam Curang

Ooh... diam-diam curang.

Selasa, 10 Maret 2020

Perang di Balik Booming Media Cetak Era 2000

Kalau aku diberi kesempatan untuk menentukan 
apakah kita harus memiliki pemerintahan tanpa media 
atau media tanpa pemerintahan, aku tidak akan ragu 
untuk memilih yang terakhir. 


Salah satu hal penting yang terjadi setelah Indonesia memasuki era Reformasi adalah dicabutnya SIUPP, sehingga sejak itu media cetak (koran, tabloid, majalah, dan semacamnya) bisa terbit leluasa tanpa izin ribet seperti pada masa Orde Baru. Lalu booming media cetak pun dimulai.

Media cetak, yang pada masa Orde Baru hanya segelintir dan menjadi bisnis eksklusif, tiba-tiba berubah menjadi bisnis dalam skala masif, yang—menggunakan istilah mudah—bisa dilakukan siapa pun dan di mana pun. Era Reformasi benar-benar berkah untuk media cetak di Indonesia!

Soeharto jatuh dan Orde Baru runtuh pada ’98. Segera setelah itu, media-media cetak baru lahir di Indonesia. Seiring waktu, jumlahnya makin banyak, dan mencapai booming pada akhir ’90-an atau menjelang 2000. Memasuki milenium baru, Indonesia menjadi negeri yang rajin membaca.

Sebagai perbandingan, selama 32 tahun masa Orde Baru, hanya ada 289 media cetak. Setahun setelah Reformasi, jumlahnya naik menjadi 1.687 media cetak. Artinya, dalam setahun itu ada 1.389 media cetak baru, atau 140 media cetak lahir tiap bulan, atau 5 media baru lahir setiap hari!

Di masa itu, nyaris di mana pun ada orang-orang yang membaca koran atau tabloid, dari para mahasiswa sampai abang-abang becak. Karena media cetak ada di mana-mana, dan harganya relatif murah untuk masa itu. Media-media itu pun menarik, karena mereka menulis secara apa adanya.

Di masa Orde Baru, isi media dipantau pemerintah, dan yang melanggar bisa dibredel. Akibatnya, media massa tidak bisa ngablak seenaknya. Setelah Reformasi, hal semacam itu tidak ada, dan media-media bisa ngoceh apa adanya, dan hasilnya sangat menarik bagi masyarakat zaman itu.

Karena isu terbesar saat itu adalah jatuhnya Soeharto, reformasi, suksesi, dan berbagai urusan politik terkait, media-media cetak yang waktu itu laris pun kebanyakan berisi berita politik. Di antaranya Tabloid ADIL, AKSI, BANGKIT, OPOSISI, GUGAT, dan lain-lain semacamnya.

Aku sengaja tidak menyebut nama-nama semacam KOMPAS, TEMPO, JAWA POS, dan semacamnya, karena mereka sudah eksis sejak dahulu kala (jauh sebelum reformasi). Sementara nama-nama tabloid yang kusebut itu baru muncul setelah era Reformasi—kecuali ADIL yang sudah lahir sebelumnya.

Sebagai bocah, aku senang sekali di masa-masa itu, karena melihat antusiasme luar biasa masyarakat terhadap bacaan (media cetak). Di mana-mana ada orang yang asyik membaca. Itu pemandangan luar biasa. Hampir semua orang Indonesia, tiba-tiba, jadi masyarakat yang gemar membaca.

Memasuki tahun 2000, booming media cetak mencapai puncak. Seperti booming yang lain, sesaknya bisnis media cetak waktu itu juga mengalami kejenuhan, khususnya untuk media-media politik. Lalu lahirlah media-media alternatif—sebagian mengusung tema agama, sebagian lagi urusan seks.

Di masa-masa itulah, lahir aneka tabloid dan majalah dengan tema agama, juga aneka tabloid dan majalah yang mengusung tema seks, gaya hidup, entertainment, lengkap dengan foto-foto wanita mengumbar keindahan tubuhnya. Sebagai bocah, sekali lagi, aku benar-benar cinta zaman itu!

Media-media yang mengusung tema agama waktu itu pun sangat variatif. Dari yang bertema azab kubur semacam Hidayah atau Kisah, sampai yang bertema sufi semacam Tarbawi—oh, ya, ada majalah bernama Tarbawi, kalau-kalau kalian belum tahu. Entah sekarang masih ada atau tidak.

Sementara dari kubu media “duniawi”—berisi ulasan seks, gaya hidup, entertainment, dan foto-foto hot—di antaranya Tabloid POP, MaP, LIPSTIK, HOT, X-HOT, EXOTICA, Majalah TOP, SEXY, HOKI, dll. LIBERTY gimana? Tidak usah disebut, majalah itu sudah ada sejak zaman kuno, btw!

Selain tema-tema agama dan "topik duniawi", ada pula media-media cetak yang mengusung tema misteri, yang waktu itu sama-sama laris. Dua yang paling menonjol adalah Majalah MISTIK dan Majalah MISTERI. Dari kalangan tabloid ada POSMO, dan beberapa tabloid lain yang kurang populer.

Di luar urusan politik, agama, seks, dan misteri, ada pula media-media cetak yang mengusung tema lain, misal wirausaha, di antaranya Tabloid PELUANG, Majalah DUIT, dll. Ada pula yang bertema komputer, internet, teknologi, kesehatan, dunia kampus, sains, daftarnya masih panjang.

Jadi, di masa-masa itu, Indonesia menjadi surga media cetak, dan kita bisa mendapatkan bacaan dengan topik apa pun yang diinginkan, dengan harga relatif murah. Dan ketika bisnis makin sesak, perang mulai terjadi—meski diam-diam, di balik layar, tak diketahui masyarakat umum.

Di antara media cetak yang mengusung tema politik, perang itu terjadi dengan cara adu cepat dan adu berani. Di masa-masa itulah, muncul foto-foto “mengerikan” (misal potongan kepala dengan darah menetes dari suatu kerusuhan) yang terpampang jelas di sampul dan halaman tabloid!

Masing-masing media waktu itu tampaknya berusaha sekuat tenaga menarik perhatian masyarakat, dengan cara apa pun, meski kadang harus melangkahi etika jurnalisme. Di masa sekarang, yang mereka lakukan mungkin bisa disamakan dengan clickbait yang dilakukan sebagian media online.

Sementara di kalangan media yang mengusung tema-tema misteri, perang yang terjadi adalah saling sindir. Ini lucu, kalau diingat sekarang. Majalah MISTERI, misalnya, pernah menyindir Tabloid POSMO yang mereka nilai hanya menjual sensasi, lalu POSMO balik menyindir MISTERI.

Yang paling seru adalah perang di kalangan media dengan tema agama, berhadapan dengan media yang mengusung tema seks. Salah satu “peristiwa besar” yang waktu itu terjadi, ada majalah bertema agama yang menjadikan media-media bertema seks sebagai topik utama di salah satu edisi.

Untuk keperluan itu, majalah agama bersangkutan—sebut saja Majalah X—menghubungi media-media bertema seks, untuk wawancara dan lain-lain. Sebagian media bertema seks bersikap terbuka pada mereka, sebagian lagi menutup diri. Itu benar-benar topik yang sensitif, sebenarnya.

Lalu perang meletus ketika edisi Majalah X terbit dengan topik utama “bisnis media esek-esek”. Asal usul perang itu, karena kalangan media esek-esek menilai Majalah X telah melakukan distorsi terhadap fakta-fakta yang ada, dan menggiring opini pembaca dengan cara negatif.

Ilustrasi mudahnya seperti ini; Majalah X menulis tiras Tabloid Z sejumlah 300.000 eksemplar. Padahal, tiras Tabloid Z mencapai 800.000 eksemplar. Ini sangat berdampak pada urusan iklan di Tabloid Z—dan media-media semacamnya—karena tiras akan ikut menentukan harga iklan.

Belakangan, perang itu makin “berdarah-darah”, karena dua kubu saling menyerang, dengan cara menulis di media masing-masing, dengan menyebut nama-nama media bersangkutan secara frontal dan blak-blakan. Lalu, entah berkaitan langsung atau tidak, terjadi aneka “perpecahan”.

Tabloid POP bisa dibilang sebagai media pertama yang mengusung tema “panas” setelah era Reformasi. Orang-orang di balik tabloid itu belakangan pecah, dan saling mendirikan media sendiri. Sebagian mendirikan Pop Indonesia (disebut POPI), sebagian lain mendirikan Tabloid LIPSTIK.

Belakangan, perpecahan kembali terjadi di kalangan masing-masing, lalu mereka yang pecah mendirikan media lain lagi, bernama Pop Flash. Lanjutannya masih panjang. Yang jelas, di masa itulah mulai muncul aneka hoax, yang salah satunya mengaitkan Majalah Hidayah dengan Tabloid POP.

Booming media cetak di Indonesia mulai surut, seiring memasuki tahun-tahun baru di era 2000. Ada berbagai penyebab, di antaranya suhu politik yang mulai turun, kejenuhan pasar, sampai mulai dikenalnya internet di kalangan masyarakat umum. Satu per satu media itu lalu hilang.

Dari ribuan media cetak yang lahir di era Reformasi, hanya segelintir yang mampu bertahan sampai 2010. Belakangan, segelintir yang mampu bertahan itu pun akhirnya tumbang, dan ikut hilang. Bisa dibilang, media cetak era itu yang masih eksis sampai sekarang hanya satu dua biji.

Sekali lagi, kita tidak membicarakan media cetak semacam KOMPAS, TEMPO, atau Jawa Pos, karena mereka perusahaan raksasa, dengan modal tak terbatas, dan telah eksis jauh-jauh hari sebelum era Reformasi. Masa surut media cetak di zaman itu bisa dibilang tak berpengaruh pada mereka.

Tapi ribuan media cetak yang lahir di era Reformasi kebanyakan berasal dari perusahaan-perusahaan kecil-menengah, dengan modal dan sumber daya terbatas, serta tidak memiliki fondasi sekuat KOMPAS, TEMPO, atau Jawa Pos. Ketika masa surut menghantam, mereka pun goyah dan kolaps.

Kini, kisah tentang booming media cetak di zaman itu, hingga masa surutnya, menjadi salah satu keping ingatan di memoriku, juga salah satu tonggak penting dalam hidupku. Karena, di zaman itulah aku membangun... well, kekayaan pertamaku, saat usiaku masih belasan tahun.

Jika aku ditanya, kapan merasa sangat kaya, di zaman itulah jawabannya. Di masa-masa itu, aku mampu menghasilkan puluhan juta per bulan—menjadi bocah kaya-raya—sesuatu yang bahkan melampaui mimpi-mimpi terliarku. Oh, well, aku benar-benar merindukan masa-masa itu....


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 Agustus 2019.

Voltaire, Seorang Bocah

Ribut-ribut soal WNI eks ISIS tempo hari, mengingatkanku pada Voltaire, tokoh paling berpengaruh di Era Pencerahan Prancis—bahkan bisa dibilang dialah yang menggerakkan zaman itu. Hidup Voltaire adalah pertarungan dengan dogma, perang abadi melawan doktrinasi.

Kehidupan Voltaire ditandai dua masa, yaitu Abad Kegelapan dan Abad Pencerahan. Abad Kegelapan adalah masa ketika doktrin dan dogma menguasai dan mencengkeram kehidupan manusia, sementara Abad Pencerahan adalah dimulainya era filsafat empirisme.

Filsafat empirisme menekankan pengetahuan pada realitas, dan merupakan antitesis doktrin-doktrin dari Abad Kegelapan. Ketika mulai meruntuhkan doktrin-doktrin itu, Voltaire bahkan sampai dipenjara dan diusir dari negaranya, akibat banyak orang merasa terusik dan ketakutan.

Bagi Voltaire, sumber segala kejahatan dan bencana kemanusiaan di dunia adalah agama yang terorganisir. Karenanya, Voltaire menganggap agama sebagai sesuatu yang menakutkan, bahkan menjadi antitesis kemanusiaan. Gara-gara itu, Voltaire diusir dari Prancis.

Dari Prancis, dia pindah ke Inggris, dan mengenal bocah-bocah di sana—sekaligus menyerap pemikiran dan kehidupan mereka—yang belakangan membentuknya menjadi pembelajar dengan pikiran paling frontal, sekaligus penulis paling produktif sepanjang zaman.

Berbeda dengan kebanyakan filsuf lain, Voltaire tidak mendirikan filsafat apa pun yang berbeda dengan filsuf lainnya. Tapi dia dianggap tokoh paling terkemuka di Abad Pencerahan, yang pengaruhnya lebih besar dibanding jika semua filsuf zaman itu digabung jadi satu!

Bagaimana Voltaire bisa menempati posisi semacam itu? Karena dia menulis jauh lebih banyak dari siapa pun—di zaman dulu, maupun di zaman sekarang. Sepanjang hidupnya, dia menulis 2.000-an buku dan puluhan ribu catatan. Itu pencapaian yang sulit ditandingi siapa pun.

Dalam ribuan tulisannya, Voltaire membicarakan hampir semua hal yang dipikirkan manusia di zamannya, dan—berbeda dengan kebanyakan filsuf lain yang menulis dan berbicara secara kalem dan akademis—Voltaire menulis dan ngoceh dengan bahasa lugas, tajam, bahkan frontal.

Baca lebih lanjut tentang Voltaire di sini: Siapakah Voltaire?

Omong-omong Soal Agama...

Beberapa orang yang menganggap agama sebagai sumber kebenaran sering kali menggunakan agama untuk menyampaikan nasihat. Yang barangkali tidak sempat mereka pikirkan adalah kemungkinan bahwa orang yang mereka nasihati tidak percaya agama. Itu lucu, sebenarnya, kalau bukan konyol.

Pernah ada seseorang menasihati orang lain, dengan dalil-dalil agama. Yang dinasihati hanya diam manggut-manggut, tak menjawab. Setelah dia pergi, aku bilang pada yang memberi nasihat, "Percuma memberi nasihat seperti itu. Dia orang baik, tapi agnostik, tak percaya ajaran agama."

Mungkin, sebelum berceramah menggunakan dalil agama, hal yang perlu diperhatikan terlebih dulu adalah mengetahui dan memastikan, apakah orang yang akan menerima ceramah itu percaya agama atau tidak. Agama memang benar... tapi hanya bagi pemeluknya. Itu pahit, memang, tapi benar.

Lebih penting dari itu, adalah memastikan apakah nasihat berdalil agama yang akan kita ceramahkan memang sahih dan "terverifikasi" atau tidak. Karena ada orang-orang menyemburkan nasihat agama, tanpa menyadari bahwa nasihat yang mereka sampaikan berdasarkan sumber yang meragukan.

Terkait hal itu, ada pengalaman yang sempat membuatku kecewa luar biasa. Di madrasah (SMP), kami belajar fiqih dengan satu kitab. Dalam kitab itu ada banyak hadist yang sifatnya doktrinasi. Belakangan aku tahu, 90% hadist dalam kitab itu dhaif! Aku merasa ditipu habis-habisan!

Aku tidak tahu apakah guru yang mengajar kami benar-benar tidak tahu itu hadist-hadist dhaif, atau tahu tapi pura-pura tak tahu. Yang jelas, belakangan, aku sangat kecewa, karena patah hati dan merasa dikibuli. Hadist-hadist dhaif kok diajarkan hingga mendoktrinasi otak kami!

Sebenarnya, tidak masalah menggunakan hadist-hadist dhaif sebagai bahan pelajaran. Tapi ada adab/etika tersendiri terkait hal itu. Guru harus menjelaskan/memberitahu, misal, "Isi hadist ini layak diikuti, tapi hadist ini dhaif." Tanpa pemberitahuan, itu sama saja menyesatkan.

Bahkan untuk hadist-hadist yang jelas disahihkan oleh Bukhari/Muslim pun, tidak semua bisa ditelan mentah-mentah, karena ada konteks di balik teks hadist-hadist tersebut, yang bisa jadi maksudnya jauh beda dengan yang kita pahami (yang tersurat dalam hadist). Apalagi yang dhaif.

Pelajaran penting yang kuperoleh dari kekecewaan di masa SMP itu adalah... jika ada ajaran yang terkesan "sangar" atau "sangat keras" terkait sesuatu, aku akan menelusurinya. Dan, percaya atau tidak, ajaran itu biasanya berasal dari hadist dhaif, atau sesuatu yang tidak jelas.

Sama seperti di zaman sekarang, di masa lalu juga ada orang-orang yang terlalu "keras" dalam beragama, dan (mungkin) merekalah yang kemudian melahirkan hadist-hadist dhaif atau aturan-aturan tidak jelas yang, sialnya, masuk dalam kitab fiqih yang menjadi pelajaranku di madrasah.

Jadi, sebelum sibuk menasihati orang lain dengan dalil-dalil agama, ada baiknya (dan jauh lebih baik) kita mempelajari terlebih dulu dalil-dalil yang akan kita semburkan. Karena apa pun yang kita anggap benar, tetap saja salah jika sumbernya salah dan konteks/maksudnya salah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 5 Januari 2018.

Biar Terlihat Anu

Wfsfllalsfasfasfafa uuuuuaahh... adhsnadadasdasdah, dsfahhfff, sasuuurrrrvv, hheemm... heeemmm... asdsfuhhgy, asdnxzczxky, daxvvjjarqwrwuughhh, safafhdbbfyashoohh.

Dam dam dam.

Fsllxcvxcviiixbxcbuuaaahhh, adadayy dadayvvvadsy arsasfasfashhh hem hem hem... asfasfjasjjxvcvxcvjyih asdasyc asfasfasfashy bcvewrkkfyy fafafkkkxvzxv nmllfhty, saafasvywqqwy.

Dem dem dem.

Trojan

Ooh... trojan.

Minggu, 01 Maret 2020

Tertawa Gila di Warung Ayam Goreng

Dari tadi cekikikan sendiri tanpa henti ... sambil mikir, 
"Sebenarnya apa yang aku tertawakan?" Humor kadang bisa seaneh itu.


Alasan atau penyebab kita tertawa, kadang-kadang sangat absurd bahkan gila. Setidaknya, saya sering begitu. Ada hal-hal yang mungkin sebenarnya biasa saja, tapi mampu membuat kita—khususnya saya—cekikikan tanpa hanti, bahkan kadang sampai tertawa guling-guling.

Di Twitter, pernah ada twit yang isinya relatif singkat, dan secara objektif mungkin biasa-biasa saja, tapi membuat saya dan orang-orang lain cekikikan. Twit itu cuma seperti ini: NKCTHI, Nanti Kita Cerita Tentang Hamengkubuwono I.

Ketika mendapati twit itu di timeline, saya spontan cekikikan, dan terus cekikikan tanpa henti. Sebegitu lama cekikikan, sampai saya mikir, “Sebenarnya apa yang kutertawakan?”

Tempo hari, peristiwa semacam itu kembali terjadi—saya tertawa-tawa gila, padahal inti yang membuat saya tertawa-tawa agak membingungkan, bahkan mungkin absurd.

Ceritanya, dalam beberapa waktu terakhir, saya suka makan malam dengan ayam goreng telur (daging ayam yang digoreng bersama telur), plus sambal dan lalapan. Ada warung makan terkenal yang saban malam menyediakan menu itu, dan saya pun sering ke sana.

Warung itu selalu ramai, karena sajian ayam goreng di sana memang terkenal enak. Sebegitu ramai, sampai saya kadang harus buru-buru bangkit begitu makan selesai, karena banyak orang yang sudah antre untuk menggantikan tempat duduk.

Itu membuat saya tidak nyaman. Biasanya, seusai makan, saya suka duduk dulu agak lama sambil udud, dan baru bangkit setelah udud habis. Tapi gara-gara ramainya orang di sana, saya harus cabut meski perut masih terasa sesak setelah makan.

Akhirnya saya mengalah. Saya tidak lagi menikmati makan malam di sana, tapi saya makan di rumah. Jadi, sejak itu, saban malam saya datang ke warung tadi, memesan nasi dan ayam goreng—dibungkus—lalu saya makan di rumah sambil menonton film. Ternyata lebih nikmat, karena saya bisa makan lebih santai, dan usai makan pun bisa duduk leyeh-leyeh sambil menikmati udud.

Sebagian kalian mungkin ada yang bertanya-tanya, “Kenapa tidak pesan lewat order online semisal GoFood saja?”

Pertanyaan bagus, dan saya akan senang menjawabnya.

Sehari-hari, saya sangat jarang keluar rumah, karena memang bekerja di rumah. Dan itu artinya saya tidak berinteraksi atau berkomunikasi dengan siapa pun, karena saya tinggal sendirian di rumah, tanpa ada orang lain. Sementara keperluan komunikasi dengan orang lain, khususnya terkait urusan kerja, dilakukan lewat teks atau e-mail.

Kalau mau, saya bisa tetap berada di rumah tanpa keluar sama sekali sampai berhari-hari, berminggu-minggu, atau bahkan berbulan-bulan, karena saya bisa mendapatkan apa pun yang saya inginkan, tanpa harus keluar rumah.

Tetapi, saya sadar itu tidak baik untuk kesehatan mental saya, sebagai manusia. Karenanya, meski sebenarnya malas keluar rumah, saya tetap memaksa diri untuk melakukannya, agar saya bisa tetap menjadi manusia normal, yaitu manusia yang bertemu, berkomunikasi, berinteraksi, dan bercakap-cakap, dengan manusia lain.

Jadi, alih-alih memesan makanan lewat GoFood, saya lebih memilih keluar rumah, dan langsung mendatangi warung yang dituju, agar saya bisa bersentuhan dengan “kehidupan di luar”.

Setiap malam, usai magrib atau setelah isya, saya keluar rumah, mendatangi warung ayam yang saya ceritakan tadi, dan itu kesempatan saya untuk “masuk ke dalam kehidupan manusia normal”. Meski paling-paling saya berinteraksi dengan pelayan warung atau tukang parkir di sana, itu sudah cukup bagi saya.

Di dekat warung ayam goreng itu ada bangku panjang. Biasanya, saat di sana, saya akan duduk di bangku panjang itu, menunggu nasi dan ayam goreng pesanan saya disiapkan. Lalu pelayan warung—seorang pria berusia 25-an—membawakan bungkusan berisi nasi, ayam goreng, bungkusan sambal, dan sepotong mentimun segar. Saya membayar, dapat uang kembalian, lalu pulang.

Harga paket tadi (nasi, ayam, sambal, dan lalap) Rp27.000. Setiap malam, saya membayar dengan uang pecahan Rp50.000. Uang itu sudah saya siapkan di tangan, jadi bisa langsung saya berikan kepada pelayan warung, tanpa harus membuka dompet lebih dulu.

Pelayan warung menerima uang saya, kembali ke warung untuk mengambil uang kembalian, lalu mendatangi saya kembali dan menyerahkan kembalian sebesar Rp23.000. Begitu terus setiap malam, sampai cukup lama.

Belakangan, mungkin karena tidak ingin repot bolak-balik, pelayan warung rupanya menyiapkan uang kembalian saat akan menyerahkan nasi dan ayam pesanan saya. Karena dia tentu sudah hafal kalau saya pasti akan membayar dengan uang Rp50.000.

Jadi, begitu sampai di tempat saya duduk, dia menyerahkan bungkusan nasi. Saya membayar dengan uang Rp50.000, dan dia langsung menyodorkan uang kembalian Rp23.000—tanpa harus balik ke warung dulu seperti sebelum-sebelumnya.

Ketika pertama kali mendapati hal itu, saya cekikikan, dan dia—si pelayan warung—ikut cekikikan. Jadi, selama sesaat, kami berdua cekikikan, menertawakan sesuatu yang kami lakukan. Entah kenapa, kami menganggap itu lucu, atau absurd.

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, saya terus cekikikan sendiri mengingat peristiwa tadi, meski saya tetap tidak paham di mana lucunya. Bagaimana pun, peristiwa tadi tidak dimaksudkan untuk lucu-lucuan, tapi nyatanya, entah bagaimana, saya maupun pelayan warung tadi menganggapnya lucu, hingga kami sama-sama menertawakannya.

Sejak itu, peristiwa sama terus terulang. Saya datang ke warung ayam, menyampaikan pesanan, lalu duduk-duduk di bangku panjang di sana. Tak lama kemudian, pelayan warung datang membawakan pesanan saya, dan saya pun membayar dengan uang Rp50.000.

Si pelayan warung sudah menyiapkan uang kembalian, dan dia langsung memberikannya ke saya. Dan kami masih cekikikan, meski tidak segila awalnya. Bagaimana pun, hal itu sudah jadi kebiasaan, jadi kadar lucunya—kalau memang ada—sudah turun.

Setelah banyak malam kami lewati dengan kebiasaan itu, suatu malam peristiwa lain terjadi.

Malam itu, saat duduk di bangku dekat warung ayam goreng, saya menyiapkan uang untuk membayar, seperti malam-malam sebelumnya. Ketika membuka dompet, rupanya tidak ada uang pecahan Rp50.000 seperti biasa. Cuma ada lembaran-lembaran Rp100.000 dan Rp2.000. Akhirnya saya pun mengambil selembar Rp100.000, dan menyiapkannya untuk pembayaran.

Ketika pelayan warung datang sambil membawakan bungkusan, saya pun menyerahkan selembar uang kepadanya. Dia sudah akan menyerahkan uang kembalian langsung seperti biasa, tapi lalu kaget ketika mendapati uang yang saya sodorkan kali ini Rp100.000. Di luar dugaan, dia cekikikan sambil misuh dengan nada lucu, “Asuuu.”

Mendapati ekspresinya, saya seketika ngakak seperti orang gila. Peristiwa seperti tempo hari terulang. Saya tertawa untuk sesuatu yang saya tidak paham di mana lucunya. Kali ini, saya bahkan sampai guling-guling di bangku, tertawa-tawa tanpa henti.

Mungkin karena melihat saya tertawa-tawa seperti orang gila, pelayan warung ikut tertawa-tawa gila. Cukup lama kami sama-sama tertawa tanpa kendali, sampai orang-orang di sana memperhatikan kami. Belakangan, dalam perjalanan pulang, saya masih terus cekikikan sendiri.

Sejak peristiwa itu, setiap kali saya ke warung ayam goreng, si pelayan akan mendatangi saya sambil cekikikan, dan saya ikut cekikikan—mungkin karena sama-sama teringat peristiwa sebelumnya.

Dia tidak tahu siapa saya, sebagaimana saya tidak tahu siapa namanya. Tapi karena hampir tiap malam ketemu dan pernah sama-sama menertawakan sesuatu, kami merasa saling kenal, dan bersikap seperti teman akrab yang bisa saling cekikikan.

Setelah dewasa, bisa tertawa adalah kemewahan bagi saya, dan saya selalu senang setiap kali menikmatinya.

Sumber Kebahagiaan Manusia

Habis mandi, nyeruput cokelat hangat, udud, lalu ingat Aristoteles.

“Sumber kebahagiaan manusia,” kata Aristoteles, “bukan rebahan sambil malas-malasan sepanjang hari, tapi bekerja untuk sebuah tujuan yang ditetapkan.”

Aristoteles menyatakan kalimat itu, 2.300 tahun sebelum anak-anak kekinian menganggap rebahan sebagai aktivitas hebat.

Terkait “menikmati hidup”, teladanku adalah Winston Churchill. Dia pribadi komplit yang tidak hanya menjadi Perdana Menteri Inggris paling berpengaruh sepanjang sejarah, tapi juga menghasilkan banyak karya. Dan gaya hidup Churchill benar-benar “ancur”—jauh dari “sehat”.

Hampir sepanjang hidupnya, Winston Churchill hanya tidur 3-5 jam setiap hari, akibat kesibukannya yang luar biasa. Sepanjang hari, dia terus bekerja, sambil menghabiskan puluhan batang rokok, sementara malam harinya menghabiskan berbotol-botol bir.

Selain perokok berat dan doyan ngebir, Churchill juga makan apa pun tanpa pantangan, tanpa aturan diet dan tetek bengek yang bikin pusing, serta tidak pernah berolah raga! Tapi orang ini berumur panjang, dan—hampir sepanjang hidupnya—tidak pernah sakit!

Ketika orang-orang bertanya kepadanya, apa resep sehatnya hingga dapat hidup asoy sampai usia sangat tua, Churchill menjawab, “Nikmati hidupmu, cintai pekerjaanmu!”

Pekerjaan tidak akan membunuhmu—tapi stres, ya! Karena stres membuatmu—fisik maupun psikis—cepat tua.

Stres membunuh manusia, jauh lebih banyak dibanding yang dilakukan Perang Dunia, jauh lebih brutal dibanding yang dilakukan banyak wabah yang pernah menyerang umat manusia. Stres tidak membunuhmu dari luar, tapi dari dalam... menggerogotimu perlahan hingga habis.

Karenanya, aku setuju dengan Churchill, bahwa cara paling ampuh untuk menekan stres adalah dengan menikmati hidup. Dan cara paling ampuh menikmati hidup agar minim stres adalah mencintai pekerjaan! Kalau kau membenci pekerjaan, hidupmu pasti penuh stres!

Sampai di sini, selalu ada kemungkinan orang-orang yang akan ngemeng, “Tapi Churchill bukan pusat alam semesta, dan setiap orang belum tentu sama dengannya, dan bla-bla-bla.”

Oh, well, “bukan pusat alam semesta” adalah mainan baru anak Twitter.

Tentu saja Churchill bukan pusat alam semesta, hingga dia tidak bisa memaksakan cara hidupnya pada siapa pun, dan nyatanya dia memang tidak memaksa siapa pun untuk menirunya.

Tetapi... kita juga bukan pusat alam semesta! Kenapa kita yang jadi ukuran?

PS:

Kalau-kalau ada yang penasaran dan ingin bertanya, “Apakah selain udud puluhan batang setiap hari, kamu juga doyan ngebir?” Jawabannya tidak. Sebenarnya, aku tidak mengonsumsi alkohol. So, kalau kapan-kapan kita ketemuan, mending ajak aku ngeteh daripada ngebir.

“Kenapa tidak doyan ngebir?”

Ya suka-suka, laaah! Wong teman-temanku yang doyan mabuk juga tidak pernah kutanya kenapa mereka doyan mabuk, kok. Ini negara demokrasi—kamu mau ngebir, ngeteh, ngopi, atau nge-nge yang lain, bebas! Asal RKUHP tidak jadi disahkan!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 September 2019.

Betapa Liciknya Evolusi

Banyak laki-laki (dan wanita, tentu saja) yang ngebet kawin saat berusia belasan atau dua puluhan tahun, dan hasrat itu akan menurun saat usianya makin matang (sebut saja usia 40-an). Kenapa? Jawabannya sederhana, tapi menunjukkan betapa liciknya evolusi: Hormon testosteron.

Evolusi, terlepas kau percaya atau tidak, memang sengaja mendorong Homo sapiens (yaitu kita) agar cepat kawin dan bereproduksi. Karenanya, saat masih belia, tubuh kita memproduksi hormon testosteron dalam jumlah luar biasa. Tujuannya satu, agar sangat bernafsu pada lawan jenis!

Dimabuk oleh hormon, kita seperti orang tidak sadar, dan yang ada dalam pikiran kita cuma ngewe... ngewe... ngewe... dan begitu seterusnya. Itulah tujuan evolusi! Karenanya wajar, topik percakapan terbesar di antara para remaja dan anak muda sedunia adalah lawan jenis!

Tujuan evolusi adalah kau cepat kawin dan bereproduksi (beranak pinak). Dalam hal ini, Homo sapiens berhadapan dengan sistem sosial yang mengharuskan pernikahan untuk "mengesahkan aktivitas seks". Maka pecicilan kawin di usia muda pun menjadi tren. Gara-garanya cuma hormon!

Seiring bertambah usia, produksi hormon testosteron di tubuh kita akan menurun dan terus menurun. Seiring dengan itu, hasrat kita terhadap lawan jenis (dan juga seks) ikut menurun. Karena itulah, orang kadang ngemeng, "Orang yang telat nikah biasanya jadi malas nikah." Ember!

Laki-laki dikutuk seumur hidupnya untuk menghadapi masalah terkait penisnya. Saat masih belia (dengan hormon testosteron setara energi nuklir), mereka kebingungan karena penisnya mudah ereksi. Saat usianya makin matang, mereka juga kebingungan karena penisnya makin sulit ereksi.

Apa artinya itu? Bagiku sederhana, karena begitulah cara evolusi menjebak manusia! Evolusi menginginkan kita cepat kawin saat masih belia, ketika nalar dan pikiran kita belum matang, dan karena itulah tubuh kita digerojok hormon seks dalam jumlah luar biasa, agar kita kalah.

Intinya, bagi evolusi, semakin muda kau kawin dan beranak pinak, semakin bagus! Karena dengan cara itulah populasi Homo sapiens akan terus berkembang, lalu evolusi akan menerapkan hukumnya yang brutal; seleksi alam! Cro-Magnon, Neanderthal, adalah saksi peradaban atas fakta ini.

Kenyataan itu jelas "bertabrakan" dengan doktrin yang menyebut manusia sebagai makhluk mulia. Kalau memang mulia, mestinya manusia tidak kalah oleh hormon dan selangkangannya! Wong mulia kok isi pikirannya cuma ngewe, ngewe, dan ngewe, padahal masih belia. Oh, well, mulia!

Kalau mau "fair", mestinya masa belia digunakan untuk belajar, masa muda untuk sibuk bekerja dan mengembangkan diri. Setelah dewasa, seiring pikiran makin matang dan bijaksana, baru mikir kawin dan/atau punya anak. Tapi evolusi memang licik, dan tidak menginginkan begitu!

Dengan kelicikan yang luar biasa, evolusi sengaja merancang tubuh manusia agar kuat tapi tolol di saat muda, serta bijaksana tapi lemah di saat tua. Dan guyuran hormon seks di saat kita kuat dan tolol, tentu saja. Itu jelas tantangan yang sulit ditaklukkan rata-rata manusia.

Karena latar belakang seperti itulah, banyak orang yang percaya (dengan keyakinan seteguh iman) bahwa perkawinan pasti akan membuatnya bahagia. Padahal pikiran semacam itu muncul akibat dorongan (atau upaya pembenaran diri) karena hormon seks yang luar biasa pada tubuhnya.

Keyakinan semacam itu makin sulit dipatahkan, karena rata-rata agama juga mendorong agar manusia cepat menikah. Dalam hal ini, agama sebenarnya juga punya kepentingan, yaitu memperbesar jumlah pengikut (dengan asumsi kalau orang tuanya beragama A, maka anaknya akan ikut A).

Itu pula yang menjadi asal usul berbagai doktrin terkenal terkait perkawinan, seperti "menikah akan melancarkan rezeki", "setiap anak punya rezeki sendiri", dan semacamnya. Intinya ya cuma satu itu tadi; cepatlah kawin dan beranak pinak sebanyak-banyaknya, gak usah banyak mikir!

Jadi, kita menghadapi tantangan luar biasa besar ini; pertama, hormon seks di tubuh kita; kedua, doktrinasi dan keyakinan terkait perkawinan; dan ketiga, sistem sosial yang menganggap setiap orang harus menikah. Di bawah tekanan semacam itu, siapakah yang mampu bertahan?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 Oktober 2019.

Sperma di Kolam Renang

Sperma memang berenang untuk membuahi sel telur, hingga menghasilkan kehamilan. Tapi itu tentu di dalam rahim, dan bukan di kolam renang!

Fakta bahwa sperma berenang tidak serta merta bisa berenang di mana saja, termasuk di kolam renang. Fakta bahwa orang KPAI mengira begitu (wanita bisa hamil jika berenang di kolam yang mungkin terdapat sperma) menunjukkan setidaknya dua hal yang mengerikan.

Pertama, pengetahuan parsial alias sepotong-sepotong kenyataannya memang bisa menyesatkan, lebih khusus jika dinyatakan orang yang dianggap “punya otoritas”—dalam hal ini KPAI. Awal mula kesesatan adalah orang yang tidak tahu, tapi asal mangap seenaknya.

Kedua, fakta bahwa ada orang KPAI bisa sesat-pengetahuan (mengira wanita bisa hamil jika berenang di kolam yang mungkin terdapat sperma) membuat kita meragukan kualitas serta kemampuan nalar lembaga ini. Bagaimana bisa orang seperti itu masuk KPAI?

Pusi

Oh... pusi.

 
;