Minggu, 01 Maret 2020

Betapa Liciknya Evolusi

Banyak laki-laki (dan wanita, tentu saja) yang ngebet kawin saat berusia belasan atau dua puluhan tahun, dan hasrat itu akan menurun saat usianya makin matang (sebut saja usia 40-an). Kenapa? Jawabannya sederhana, tapi menunjukkan betapa liciknya evolusi: Hormon testosteron.

Evolusi, terlepas kau percaya atau tidak, memang sengaja mendorong Homo sapiens (yaitu kita) agar cepat kawin dan bereproduksi. Karenanya, saat masih belia, tubuh kita memproduksi hormon testosteron dalam jumlah luar biasa. Tujuannya satu, agar sangat bernafsu pada lawan jenis!

Dimabuk oleh hormon, kita seperti orang tidak sadar, dan yang ada dalam pikiran kita cuma ngewe... ngewe... ngewe... dan begitu seterusnya. Itulah tujuan evolusi! Karenanya wajar, topik percakapan terbesar di antara para remaja dan anak muda sedunia adalah lawan jenis!

Tujuan evolusi adalah kau cepat kawin dan bereproduksi (beranak pinak). Dalam hal ini, Homo sapiens berhadapan dengan sistem sosial yang mengharuskan pernikahan untuk "mengesahkan aktivitas seks". Maka pecicilan kawin di usia muda pun menjadi tren. Gara-garanya cuma hormon!

Seiring bertambah usia, produksi hormon testosteron di tubuh kita akan menurun dan terus menurun. Seiring dengan itu, hasrat kita terhadap lawan jenis (dan juga seks) ikut menurun. Karena itulah, orang kadang ngemeng, "Orang yang telat nikah biasanya jadi malas nikah." Ember!

Laki-laki dikutuk seumur hidupnya untuk menghadapi masalah terkait penisnya. Saat masih belia (dengan hormon testosteron setara energi nuklir), mereka kebingungan karena penisnya mudah ereksi. Saat usianya makin matang, mereka juga kebingungan karena penisnya makin sulit ereksi.

Apa artinya itu? Bagiku sederhana, karena begitulah cara evolusi menjebak manusia! Evolusi menginginkan kita cepat kawin saat masih belia, ketika nalar dan pikiran kita belum matang, dan karena itulah tubuh kita digerojok hormon seks dalam jumlah luar biasa, agar kita kalah.

Intinya, bagi evolusi, semakin muda kau kawin dan beranak pinak, semakin bagus! Karena dengan cara itulah populasi Homo sapiens akan terus berkembang, lalu evolusi akan menerapkan hukumnya yang brutal; seleksi alam! Cro-Magnon, Neanderthal, adalah saksi peradaban atas fakta ini.

Kenyataan itu jelas "bertabrakan" dengan doktrin yang menyebut manusia sebagai makhluk mulia. Kalau memang mulia, mestinya manusia tidak kalah oleh hormon dan selangkangannya! Wong mulia kok isi pikirannya cuma ngewe, ngewe, dan ngewe, padahal masih belia. Oh, well, mulia!

Kalau mau "fair", mestinya masa belia digunakan untuk belajar, masa muda untuk sibuk bekerja dan mengembangkan diri. Setelah dewasa, seiring pikiran makin matang dan bijaksana, baru mikir kawin dan/atau punya anak. Tapi evolusi memang licik, dan tidak menginginkan begitu!

Dengan kelicikan yang luar biasa, evolusi sengaja merancang tubuh manusia agar kuat tapi tolol di saat muda, serta bijaksana tapi lemah di saat tua. Dan guyuran hormon seks di saat kita kuat dan tolol, tentu saja. Itu jelas tantangan yang sulit ditaklukkan rata-rata manusia.

Karena latar belakang seperti itulah, banyak orang yang percaya (dengan keyakinan seteguh iman) bahwa perkawinan pasti akan membuatnya bahagia. Padahal pikiran semacam itu muncul akibat dorongan (atau upaya pembenaran diri) karena hormon seks yang luar biasa pada tubuhnya.

Keyakinan semacam itu makin sulit dipatahkan, karena rata-rata agama juga mendorong agar manusia cepat menikah. Dalam hal ini, agama sebenarnya juga punya kepentingan, yaitu memperbesar jumlah pengikut (dengan asumsi kalau orang tuanya beragama A, maka anaknya akan ikut A).

Itu pula yang menjadi asal usul berbagai doktrin terkenal terkait perkawinan, seperti "menikah akan melancarkan rezeki", "setiap anak punya rezeki sendiri", dan semacamnya. Intinya ya cuma satu itu tadi; cepatlah kawin dan beranak pinak sebanyak-banyaknya, gak usah banyak mikir!

Jadi, kita menghadapi tantangan luar biasa besar ini; pertama, hormon seks di tubuh kita; kedua, doktrinasi dan keyakinan terkait perkawinan; dan ketiga, sistem sosial yang menganggap setiap orang harus menikah. Di bawah tekanan semacam itu, siapakah yang mampu bertahan?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 Oktober 2019.

 
;