Selasa, 10 Maret 2020

Omong-omong Soal Agama...

Beberapa orang yang menganggap agama sebagai sumber kebenaran sering kali menggunakan agama untuk menyampaikan nasihat. Yang barangkali tidak sempat mereka pikirkan adalah kemungkinan bahwa orang yang mereka nasihati tidak percaya agama. Itu lucu, sebenarnya, kalau bukan konyol.

Pernah ada seseorang menasihati orang lain, dengan dalil-dalil agama. Yang dinasihati hanya diam manggut-manggut, tak menjawab. Setelah dia pergi, aku bilang pada yang memberi nasihat, "Percuma memberi nasihat seperti itu. Dia orang baik, tapi agnostik, tak percaya ajaran agama."

Mungkin, sebelum berceramah menggunakan dalil agama, hal yang perlu diperhatikan terlebih dulu adalah mengetahui dan memastikan, apakah orang yang akan menerima ceramah itu percaya agama atau tidak. Agama memang benar... tapi hanya bagi pemeluknya. Itu pahit, memang, tapi benar.

Lebih penting dari itu, adalah memastikan apakah nasihat berdalil agama yang akan kita ceramahkan memang sahih dan "terverifikasi" atau tidak. Karena ada orang-orang menyemburkan nasihat agama, tanpa menyadari bahwa nasihat yang mereka sampaikan berdasarkan sumber yang meragukan.

Terkait hal itu, ada pengalaman yang sempat membuatku kecewa luar biasa. Di madrasah (SMP), kami belajar fiqih dengan satu kitab. Dalam kitab itu ada banyak hadist yang sifatnya doktrinasi. Belakangan aku tahu, 90% hadist dalam kitab itu dhaif! Aku merasa ditipu habis-habisan!

Aku tidak tahu apakah guru yang mengajar kami benar-benar tidak tahu itu hadist-hadist dhaif, atau tahu tapi pura-pura tak tahu. Yang jelas, belakangan, aku sangat kecewa, karena patah hati dan merasa dikibuli. Hadist-hadist dhaif kok diajarkan hingga mendoktrinasi otak kami!

Sebenarnya, tidak masalah menggunakan hadist-hadist dhaif sebagai bahan pelajaran. Tapi ada adab/etika tersendiri terkait hal itu. Guru harus menjelaskan/memberitahu, misal, "Isi hadist ini layak diikuti, tapi hadist ini dhaif." Tanpa pemberitahuan, itu sama saja menyesatkan.

Bahkan untuk hadist-hadist yang jelas disahihkan oleh Bukhari/Muslim pun, tidak semua bisa ditelan mentah-mentah, karena ada konteks di balik teks hadist-hadist tersebut, yang bisa jadi maksudnya jauh beda dengan yang kita pahami (yang tersurat dalam hadist). Apalagi yang dhaif.

Pelajaran penting yang kuperoleh dari kekecewaan di masa SMP itu adalah... jika ada ajaran yang terkesan "sangar" atau "sangat keras" terkait sesuatu, aku akan menelusurinya. Dan, percaya atau tidak, ajaran itu biasanya berasal dari hadist dhaif, atau sesuatu yang tidak jelas.

Sama seperti di zaman sekarang, di masa lalu juga ada orang-orang yang terlalu "keras" dalam beragama, dan (mungkin) merekalah yang kemudian melahirkan hadist-hadist dhaif atau aturan-aturan tidak jelas yang, sialnya, masuk dalam kitab fiqih yang menjadi pelajaranku di madrasah.

Jadi, sebelum sibuk menasihati orang lain dengan dalil-dalil agama, ada baiknya (dan jauh lebih baik) kita mempelajari terlebih dulu dalil-dalil yang akan kita semburkan. Karena apa pun yang kita anggap benar, tetap saja salah jika sumbernya salah dan konteks/maksudnya salah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 5 Januari 2018.

 
;