Kalau aku diberi kesempatan untuk menentukan
apakah kita harus memiliki pemerintahan tanpa media
atau media tanpa pemerintahan, aku tidak akan ragu
untuk memilih yang terakhir.
Salah satu hal penting yang terjadi setelah Indonesia memasuki era Reformasi adalah dicabutnya SIUPP, sehingga sejak itu media cetak (koran, tabloid, majalah, dan semacamnya) bisa terbit leluasa tanpa izin ribet seperti pada masa Orde Baru. Lalu booming media cetak pun dimulai.
Media cetak, yang pada masa Orde Baru hanya segelintir dan menjadi bisnis eksklusif, tiba-tiba berubah menjadi bisnis dalam skala masif, yang—menggunakan istilah mudah—bisa dilakukan siapa pun dan di mana pun. Era Reformasi benar-benar berkah untuk media cetak di Indonesia!
Soeharto jatuh dan Orde Baru runtuh pada ’98. Segera setelah itu, media-media cetak baru lahir di Indonesia. Seiring waktu, jumlahnya makin banyak, dan mencapai booming pada akhir ’90-an atau menjelang 2000. Memasuki milenium baru, Indonesia menjadi negeri yang rajin membaca.
Sebagai perbandingan, selama 32 tahun masa Orde Baru, hanya ada 289 media cetak. Setahun setelah Reformasi, jumlahnya naik menjadi 1.687 media cetak. Artinya, dalam setahun itu ada 1.389 media cetak baru, atau 140 media cetak lahir tiap bulan, atau 5 media baru lahir setiap hari!
Di masa itu, nyaris di mana pun ada orang-orang yang membaca koran atau tabloid, dari para mahasiswa sampai abang-abang becak. Karena media cetak ada di mana-mana, dan harganya relatif murah untuk masa itu. Media-media itu pun menarik, karena mereka menulis secara apa adanya.
Di masa Orde Baru, isi media dipantau pemerintah, dan yang melanggar bisa dibredel. Akibatnya, media massa tidak bisa ngablak seenaknya. Setelah Reformasi, hal semacam itu tidak ada, dan media-media bisa ngoceh apa adanya, dan hasilnya sangat menarik bagi masyarakat zaman itu.
Karena isu terbesar saat itu adalah jatuhnya Soeharto, reformasi, suksesi, dan berbagai urusan politik terkait, media-media cetak yang waktu itu laris pun kebanyakan berisi berita politik. Di antaranya Tabloid ADIL, AKSI, BANGKIT, OPOSISI, GUGAT, dan lain-lain semacamnya.
Aku sengaja tidak menyebut nama-nama semacam KOMPAS, TEMPO, JAWA POS, dan semacamnya, karena mereka sudah eksis sejak dahulu kala (jauh sebelum reformasi). Sementara nama-nama tabloid yang kusebut itu baru muncul setelah era Reformasi—kecuali ADIL yang sudah lahir sebelumnya.
Sebagai bocah, aku senang sekali di masa-masa itu, karena melihat antusiasme luar biasa masyarakat terhadap bacaan (media cetak). Di mana-mana ada orang yang asyik membaca. Itu pemandangan luar biasa. Hampir semua orang Indonesia, tiba-tiba, jadi masyarakat yang gemar membaca.
Memasuki tahun 2000, booming media cetak mencapai puncak. Seperti booming yang lain, sesaknya bisnis media cetak waktu itu juga mengalami kejenuhan, khususnya untuk media-media politik. Lalu lahirlah media-media alternatif—sebagian mengusung tema agama, sebagian lagi urusan seks.
Di masa-masa itulah, lahir aneka tabloid dan majalah dengan tema agama, juga aneka tabloid dan majalah yang mengusung tema seks, gaya hidup, entertainment, lengkap dengan foto-foto wanita mengumbar keindahan tubuhnya. Sebagai bocah, sekali lagi, aku benar-benar cinta zaman itu!
Media-media yang mengusung tema agama waktu itu pun sangat variatif. Dari yang bertema azab kubur semacam Hidayah atau Kisah, sampai yang bertema sufi semacam Tarbawi—oh, ya, ada majalah bernama Tarbawi, kalau-kalau kalian belum tahu. Entah sekarang masih ada atau tidak.
Sementara dari kubu media “duniawi”—berisi ulasan seks, gaya hidup, entertainment, dan foto-foto hot—di antaranya Tabloid POP, MaP, LIPSTIK, HOT, X-HOT, EXOTICA, Majalah TOP, SEXY, HOKI, dll. LIBERTY gimana? Tidak usah disebut, majalah itu sudah ada sejak zaman kuno, btw!
Selain tema-tema agama dan "topik duniawi", ada pula media-media cetak yang mengusung tema misteri, yang waktu itu sama-sama laris. Dua yang paling menonjol adalah Majalah MISTIK dan Majalah MISTERI. Dari kalangan tabloid ada POSMO, dan beberapa tabloid lain yang kurang populer.
Di luar urusan politik, agama, seks, dan misteri, ada pula media-media cetak yang mengusung tema lain, misal wirausaha, di antaranya Tabloid PELUANG, Majalah DUIT, dll. Ada pula yang bertema komputer, internet, teknologi, kesehatan, dunia kampus, sains, daftarnya masih panjang.
Jadi, di masa-masa itu, Indonesia menjadi surga media cetak, dan kita bisa mendapatkan bacaan dengan topik apa pun yang diinginkan, dengan harga relatif murah. Dan ketika bisnis makin sesak, perang mulai terjadi—meski diam-diam, di balik layar, tak diketahui masyarakat umum.
Di antara media cetak yang mengusung tema politik, perang itu terjadi dengan cara adu cepat dan adu berani. Di masa-masa itulah, muncul foto-foto “mengerikan” (misal potongan kepala dengan darah menetes dari suatu kerusuhan) yang terpampang jelas di sampul dan halaman tabloid!
Masing-masing media waktu itu tampaknya berusaha sekuat tenaga menarik perhatian masyarakat, dengan cara apa pun, meski kadang harus melangkahi etika jurnalisme. Di masa sekarang, yang mereka lakukan mungkin bisa disamakan dengan clickbait yang dilakukan sebagian media online.
Sementara di kalangan media yang mengusung tema-tema misteri, perang yang terjadi adalah saling sindir. Ini lucu, kalau diingat sekarang. Majalah MISTERI, misalnya, pernah menyindir Tabloid POSMO yang mereka nilai hanya menjual sensasi, lalu POSMO balik menyindir MISTERI.
Yang paling seru adalah perang di kalangan media dengan tema agama, berhadapan dengan media yang mengusung tema seks. Salah satu “peristiwa besar” yang waktu itu terjadi, ada majalah bertema agama yang menjadikan media-media bertema seks sebagai topik utama di salah satu edisi.
Untuk keperluan itu, majalah agama bersangkutan—sebut saja Majalah X—menghubungi media-media bertema seks, untuk wawancara dan lain-lain. Sebagian media bertema seks bersikap terbuka pada mereka, sebagian lagi menutup diri. Itu benar-benar topik yang sensitif, sebenarnya.
Lalu perang meletus ketika edisi Majalah X terbit dengan topik utama “bisnis media esek-esek”. Asal usul perang itu, karena kalangan media esek-esek menilai Majalah X telah melakukan distorsi terhadap fakta-fakta yang ada, dan menggiring opini pembaca dengan cara negatif.
Ilustrasi mudahnya seperti ini; Majalah X menulis tiras Tabloid Z sejumlah 300.000 eksemplar. Padahal, tiras Tabloid Z mencapai 800.000 eksemplar. Ini sangat berdampak pada urusan iklan di Tabloid Z—dan media-media semacamnya—karena tiras akan ikut menentukan harga iklan.
Belakangan, perang itu makin “berdarah-darah”, karena dua kubu saling menyerang, dengan cara menulis di media masing-masing, dengan menyebut nama-nama media bersangkutan secara frontal dan blak-blakan. Lalu, entah berkaitan langsung atau tidak, terjadi aneka “perpecahan”.
Tabloid POP bisa dibilang sebagai media pertama yang mengusung tema “panas” setelah era Reformasi. Orang-orang di balik tabloid itu belakangan pecah, dan saling mendirikan media sendiri. Sebagian mendirikan Pop Indonesia (disebut POPI), sebagian lain mendirikan Tabloid LIPSTIK.
Belakangan, perpecahan kembali terjadi di kalangan masing-masing, lalu mereka yang pecah mendirikan media lain lagi, bernama Pop Flash. Lanjutannya masih panjang. Yang jelas, di masa itulah mulai muncul aneka hoax, yang salah satunya mengaitkan Majalah Hidayah dengan Tabloid POP.
Booming media cetak di Indonesia mulai surut, seiring memasuki tahun-tahun baru di era 2000. Ada berbagai penyebab, di antaranya suhu politik yang mulai turun, kejenuhan pasar, sampai mulai dikenalnya internet di kalangan masyarakat umum. Satu per satu media itu lalu hilang.
Dari ribuan media cetak yang lahir di era Reformasi, hanya segelintir yang mampu bertahan sampai 2010. Belakangan, segelintir yang mampu bertahan itu pun akhirnya tumbang, dan ikut hilang. Bisa dibilang, media cetak era itu yang masih eksis sampai sekarang hanya satu dua biji.
Sekali lagi, kita tidak membicarakan media cetak semacam KOMPAS, TEMPO, atau Jawa Pos, karena mereka perusahaan raksasa, dengan modal tak terbatas, dan telah eksis jauh-jauh hari sebelum era Reformasi. Masa surut media cetak di zaman itu bisa dibilang tak berpengaruh pada mereka.
Tapi ribuan media cetak yang lahir di era Reformasi kebanyakan berasal dari perusahaan-perusahaan kecil-menengah, dengan modal dan sumber daya terbatas, serta tidak memiliki fondasi sekuat KOMPAS, TEMPO, atau Jawa Pos. Ketika masa surut menghantam, mereka pun goyah dan kolaps.
Kini, kisah tentang booming media cetak di zaman itu, hingga masa surutnya, menjadi salah satu keping ingatan di memoriku, juga salah satu tonggak penting dalam hidupku. Karena, di zaman itulah aku membangun... well, kekayaan pertamaku, saat usiaku masih belasan tahun.
Jika aku ditanya, kapan merasa sangat kaya, di zaman itulah jawabannya. Di masa-masa itu, aku mampu menghasilkan puluhan juta per bulan—menjadi bocah kaya-raya—sesuatu yang bahkan melampaui mimpi-mimpi terliarku. Oh, well, aku benar-benar merindukan masa-masa itu....
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 Agustus 2019.