Jumat, 20 Maret 2020

Membeli Pecel Bersama Mbakyu

Kabar panas di dunia mbakyu: Harga pecel naik seribu.


Saya suka pecel—well, siapa yang tidak? Karenanya, sewaktu-waktu, saya mendatangi warung pecel, membeli seporsi, plus hal lain—misal peyek kacang atau emping—dan menikmatinya di rumah. Menikmati pecel adalah salah satu hal yang membuat saya bersyukur hidup di planet ini. Saya tidak yakin di Mars atau di Merkurius ada penjual pecel.

Tapi membeli pecel, setidaknya bagi saya, adalah urusan yang complicated.

Tidak jauh dari rumah saya, ada warung pecel. Penjualnya seorang wanita berusia 60-an. Warungnya semi permanen di pinggir jalan, dan di sana ada pecel, rujak, sayur lodeh, mi, dan aneka makanan tradisional yang biasa ada di warung pecel. Warung pecel ini kesohor karena menyediakan pecel yang—konon, menurut banyak orang—sangat enak. Seperti umumnya warung semacam itu, yang datang ke sana adalah para wanita, dari para gadis sampai ibu-ibu.

Karena kenyataan itu, saya tidak pede mendatangi warung pecel tersebut, hingga bertahun-tahun. Masalahnya itu tadi, tidak ada laki-laki yang datang ke warung pecel! Tiap kali saya melewati warung itu, pasti di sana sedang penuh wanita. Tidak ada laki-laki satu pun!

Gara-gara kenyataan itu, saya kadang mengangankan punya mbakyu, biar tidak menghadapi masalah kalau ingin menikmati pecel. Kalau punya mbakyu, saya tinggal mengajak, “Mbakyuuuu, ayo kita beli pecel, habis itu kita pecel-peceeeeeel... appeeeuuuhh!”

Lalu saya mengantarkannya ke warung pecel. Di sana, dia yang masuk warung dan membeli pecel, sementara saya menunggu di luar. Habis itu, kami bawa pulang pecel, dan menikmatinya di rumah. Well, kedengarannya seperti orang normal—sepasang bocah dan mbakyu yang membeli pecel.

Yang jadi masalah, saya tidak punya mbakyu. Karenanya, selama bertahun-tahun, saya hanya bisa menahan hasrat ingin membeli dan menikmati pecel, tapi hasrat itu tidak juga kesampaian.

Lalu tiba hari penuh keajaiban. Sebelumnya, saya sempat bersumpah pada diri sendiri; jika warung pecel itu kebetulan sepi pas saya lewat, saya akan mampir untuk membeli pecel. Dan hari itu akhirnya datang.

Suatu siang, saat melaju pulang, saya menengok warung pecel itu, dan kelihatan sepi. Saya pun memberanikan diri, dan mendatangi warung tersebut, lalu membeli seporsi pecel. Dibungkus, tentu saja, karena saya ingin segera kabur dari warung itu sebelum para wanita berdatangan ke sana seperti biasa.

Ketika sampai di rumah, dengan penuh hasrat yang dibakar penasaran, saya pun mulai menikmati pecel. Ternyata memang benar, kenikmatan pecel di warung itu bukan mitos! Usai menghabiskan seporsi pecel, siang itu, saya langsung merasa kecanduan.

Beberapa hari kemudian, saya kembali lewat di depan warung pecel, berharap warung sepi seperti kemarin. Tapi dasar warung terkenal, selalu ada pembeli yang datang, dan yang datang ke sana pasti wanita. Kenyataan itu membuat saya tersiksa. Di satu sisi, saya ingin kembali menikmati pecel. Di sisi lain, saya tidak pede memasuki warung pecel yang dijubeli para wanita.

Selama waktu-waktu itu, setiap kali lewat warung pecel, saya akan menengok. Kalau sepi, saya akan berhenti. Untungnya, seramai apa pun, warung pecel itu kadang sepi juga. Jadi, saya pun bisa mampir ke sana, untuk membeli pecel.

Kadang-kadang, selagi pecel sedang dibuat, dan saya masih duduk di sana, datang dua atau tiga wanita, dan saya pun salah tingkah. Wanita-wanita itu kadang memandangi saya, seolah saya salah masuk—inilah yang sedari awal membuat saya tidak pede masuk warung pecel. Karena di sana seolah ada diskriminasi gender, dan yang terdiskriminasi adalah kaum pria! Seolah, warung pecel di pinggir jalan hanya untuk kaum wanita! Oh, well, di mana kesetaraan gender? Di mana Komnas HAM? Di mana negara? Di mana Tunggal Pawestri?

Tetapi, gara-gara itu pula, keberanian—atau kendablegan—saya akhirnya tumbuh perlahan-lahan. Jika sebelumnya saya selalu waswas tiap kali akan masuk warung pecel—karena khawatir ke-gap pembeli wanita yang datang—perlahan-lahan waswas dan khawatir itu berkurang. Seiring dengan itu, saya makin pede masuk warung pecel, khususnya kalau pembeli di sana hanya satu dua.

So, itulah awal kebiasaan saya menikmati pecel. Kini, kapan pun saya ingin pecel, saya akan datang ke warung pecel, meski tetap berharap di sana tidak sedang banyak pembeli.

Warung pecel sebenarnya hanya satu kasus. Ada tempat-tempat lain yang juga ingin saya datangi, tapi saya tidak pede mendatanginya sendiri. Di antaranya penjual jajan tradisional di pagi hari.

Tidak jauh dari tempat saya tinggal, ada penjual jajan tradisional untuk keperluan sarapan. Dari lumpia, onde-onde, kue lapis, dan lain-lain. Seperti umumnya warung semacam itu, penjualnya seorang wanita, dan yang datang ke sana juga para wanita—ibu-ibu yang membeli sarapan untuk keluarganya. Tiap pagi, warung itu pasti dijejali banyak orang yang semuanya wanita.

Selama ini, saya memendam hasrat ingin membeli jajan di sana, tapi tak pernah kesampaian. Sampai sekarang, saya belum pernah berani datang ke tempat jajan itu. Karenanya pula, saya kadang mengangankan punya mbakyu, biar urusan membeli jajan lebih mudah. Kalau punya mbakyu, saya tentu bisa meminta, “Mbakyuuuu, ayo kita beli jajan biar emmeeesssshhhh... appeeuuuuh!”

Selain warung jajan, ada tempat lain yang juga ingin saya datangi, tapi saya tidak pernah punya keberanian. Yaitu tempat penjual jagung bakar.

Dari sore sampai malam hari, ada seorang wanita yang menjual jagung bakar di pinggir jalan.

Saya sangat suka jagung bakar, dan ingin sekali mendatangi tempat jagung bakar itu, membeli sebanyak yang saya ingin. Tetapi saya tidak pernah pede. Pasalnya, yang membeli jagung bakar di tempat itu para wanita dan anak-anak. Tidak pernah satu kali pun saya mendapati ada laki-laki dewasa yang membeli jagung bakar di sana.

Ini mungkin persoalan yang bukan persoalan bagi orang lain. Bagi orang lain, khususnya bagi laki-laki lain, mendatangi warung atau tempat jualan apa pun mungkin bukan persoalan, tak peduli para pembeli di sana para wanita atau ada laki-lakinya.

Tapi saya tidak punya ke-pede-an semacam itu. Karena, di lingkungan tempat saya tinggal, ada semacam konstruksi sosial yang menempatkan mana warung yang bisa dimasuki pria maupun wanita, dan mana warung yang hanya dimasuki wanita—di sisi lain, juga ada warung yang hanya dimasuki laki-laki.

Dalam hal ini, memang tidak ada kewajiban, dan warung mana pun tentu membebaskan semua orang—pria maupun wanita—untuk datang. Tapi konstruksi sosial seperti telah mengatur kami. Kalau kau laki-laki, dan mendatangi tempat penjual sarapan—seperti warung jajan tradisional yang saya ceritakan tadi—kau akan dipandang aneh oleh orang-orang lain. Karena warung sarapan, khususnya di tempat tinggal saya, telah dikonstruksi hanya untuk wanita!

Begitu pula warung pecel, hingga warung jagung bakar yang saya ceritakan tadi. Meski tidak ada tulisan “HANYA UNTUK WANITA” tertempel di sana, tapi konstruksi sosial—di lingkungan tempat saya tinggal—seolah telah memasang papan pengumuman semacam itu, dan kami mematuhinya. Karenanya, jika saya nekat mendatangi tempat-tempat itu—sendirian, sebagai laki-laki—peristiwa itu akan dianggap anomali. Karena itulah orang-orang di sana memandangi saya.

Isu kesetaraan gender mungkin seksi ketika menjadi teori, tapi meruntuhkan konstruksi sosial yang telah mapan adalah persoalan lain.

Warung sarapan dan semacamnya identik dengan kaum wanita, karena hal itu dikonstruksi selama bertahun-tahun oleh—well, siapa lagi? Bahwa membeli sarapan adalah tugas wanita. Bahwa membeli cemilan adalah tugas wanita. Bahwa membeli makanan kesukaan semacam pecel adalah tugas wanita.

Di dalam kultur patriarki yang selama ini kita jalani, kita pasti lebih sering menyaksikan ibu-ibu membeli pecel, meski suami mereka juga sama menggemari pecel. Sama halnya, kita pasti lebih sering menyaksikan para wanita berjubel di tempat penjual sarapan, meski suami mereka sama-sama sarapan.

Tidak ada hukum negara atau hukum agama yang mengatur persoalan ini. Tidak ada undang-undang yang mewajibkan wanita yang membeli sarapan untuk keluarganya, pun tidak ada aturan agama yang melarang pria masuk warung pecel. Tapi kita seperti punya aturan tersendiri yang kita patuhi, dan aturan itu dibuat oleh konstruksi sosial. Dan konstruksi sosial, kita tahu, hanyalah hasil kesepakatan. Pertanyaannya, hasil kesepakatan siapa?

Kita dipaksa mematuhi sesuatu yang dibuat sebagai hasil kesepakatan segerombolan orang, entah siapa, di masa lalu. Padahal masa lalu selalu berbeda dengan masa sekarang, termasuk orang-orangnya. Memaksakan pola pikir masa lalu untuk diterapkan di masa sekarang tentu bisa menimbulkan masalah, karena kehidupan di masa lalu jelas berbeda dengan kehidupan di masa sekarang. Tapi berapa banyak yang mau menyadari kenyataan itu?

Jadi, omong-omong, bagaimana solusinya?

Solusinya ya punya mbakyu! Mosok ngene wae ora paham?

 
;