Minggu, 01 Maret 2020

Tertawa Gila di Warung Ayam Goreng

Dari tadi cekikikan sendiri tanpa henti ... sambil mikir, 
"Sebenarnya apa yang aku tertawakan?" Humor kadang bisa seaneh itu.


Alasan atau penyebab kita tertawa, kadang-kadang sangat absurd bahkan gila. Setidaknya, saya sering begitu. Ada hal-hal yang mungkin sebenarnya biasa saja, tapi mampu membuat kita—khususnya saya—cekikikan tanpa hanti, bahkan kadang sampai tertawa guling-guling.

Di Twitter, pernah ada twit yang isinya relatif singkat, dan secara objektif mungkin biasa-biasa saja, tapi membuat saya dan orang-orang lain cekikikan. Twit itu cuma seperti ini: NKCTHI, Nanti Kita Cerita Tentang Hamengkubuwono I.

Ketika mendapati twit itu di timeline, saya spontan cekikikan, dan terus cekikikan tanpa henti. Sebegitu lama cekikikan, sampai saya mikir, “Sebenarnya apa yang kutertawakan?”

Tempo hari, peristiwa semacam itu kembali terjadi—saya tertawa-tawa gila, padahal inti yang membuat saya tertawa-tawa agak membingungkan, bahkan mungkin absurd.

Ceritanya, dalam beberapa waktu terakhir, saya suka makan malam dengan ayam goreng telur (daging ayam yang digoreng bersama telur), plus sambal dan lalapan. Ada warung makan terkenal yang saban malam menyediakan menu itu, dan saya pun sering ke sana.

Warung itu selalu ramai, karena sajian ayam goreng di sana memang terkenal enak. Sebegitu ramai, sampai saya kadang harus buru-buru bangkit begitu makan selesai, karena banyak orang yang sudah antre untuk menggantikan tempat duduk.

Itu membuat saya tidak nyaman. Biasanya, seusai makan, saya suka duduk dulu agak lama sambil udud, dan baru bangkit setelah udud habis. Tapi gara-gara ramainya orang di sana, saya harus cabut meski perut masih terasa sesak setelah makan.

Akhirnya saya mengalah. Saya tidak lagi menikmati makan malam di sana, tapi saya makan di rumah. Jadi, sejak itu, saban malam saya datang ke warung tadi, memesan nasi dan ayam goreng—dibungkus—lalu saya makan di rumah sambil menonton film. Ternyata lebih nikmat, karena saya bisa makan lebih santai, dan usai makan pun bisa duduk leyeh-leyeh sambil menikmati udud.

Sebagian kalian mungkin ada yang bertanya-tanya, “Kenapa tidak pesan lewat order online semisal GoFood saja?”

Pertanyaan bagus, dan saya akan senang menjawabnya.

Sehari-hari, saya sangat jarang keluar rumah, karena memang bekerja di rumah. Dan itu artinya saya tidak berinteraksi atau berkomunikasi dengan siapa pun, karena saya tinggal sendirian di rumah, tanpa ada orang lain. Sementara keperluan komunikasi dengan orang lain, khususnya terkait urusan kerja, dilakukan lewat teks atau e-mail.

Kalau mau, saya bisa tetap berada di rumah tanpa keluar sama sekali sampai berhari-hari, berminggu-minggu, atau bahkan berbulan-bulan, karena saya bisa mendapatkan apa pun yang saya inginkan, tanpa harus keluar rumah.

Tetapi, saya sadar itu tidak baik untuk kesehatan mental saya, sebagai manusia. Karenanya, meski sebenarnya malas keluar rumah, saya tetap memaksa diri untuk melakukannya, agar saya bisa tetap menjadi manusia normal, yaitu manusia yang bertemu, berkomunikasi, berinteraksi, dan bercakap-cakap, dengan manusia lain.

Jadi, alih-alih memesan makanan lewat GoFood, saya lebih memilih keluar rumah, dan langsung mendatangi warung yang dituju, agar saya bisa bersentuhan dengan “kehidupan di luar”.

Setiap malam, usai magrib atau setelah isya, saya keluar rumah, mendatangi warung ayam yang saya ceritakan tadi, dan itu kesempatan saya untuk “masuk ke dalam kehidupan manusia normal”. Meski paling-paling saya berinteraksi dengan pelayan warung atau tukang parkir di sana, itu sudah cukup bagi saya.

Di dekat warung ayam goreng itu ada bangku panjang. Biasanya, saat di sana, saya akan duduk di bangku panjang itu, menunggu nasi dan ayam goreng pesanan saya disiapkan. Lalu pelayan warung—seorang pria berusia 25-an—membawakan bungkusan berisi nasi, ayam goreng, bungkusan sambal, dan sepotong mentimun segar. Saya membayar, dapat uang kembalian, lalu pulang.

Harga paket tadi (nasi, ayam, sambal, dan lalap) Rp27.000. Setiap malam, saya membayar dengan uang pecahan Rp50.000. Uang itu sudah saya siapkan di tangan, jadi bisa langsung saya berikan kepada pelayan warung, tanpa harus membuka dompet lebih dulu.

Pelayan warung menerima uang saya, kembali ke warung untuk mengambil uang kembalian, lalu mendatangi saya kembali dan menyerahkan kembalian sebesar Rp23.000. Begitu terus setiap malam, sampai cukup lama.

Belakangan, mungkin karena tidak ingin repot bolak-balik, pelayan warung rupanya menyiapkan uang kembalian saat akan menyerahkan nasi dan ayam pesanan saya. Karena dia tentu sudah hafal kalau saya pasti akan membayar dengan uang Rp50.000.

Jadi, begitu sampai di tempat saya duduk, dia menyerahkan bungkusan nasi. Saya membayar dengan uang Rp50.000, dan dia langsung menyodorkan uang kembalian Rp23.000—tanpa harus balik ke warung dulu seperti sebelum-sebelumnya.

Ketika pertama kali mendapati hal itu, saya cekikikan, dan dia—si pelayan warung—ikut cekikikan. Jadi, selama sesaat, kami berdua cekikikan, menertawakan sesuatu yang kami lakukan. Entah kenapa, kami menganggap itu lucu, atau absurd.

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, saya terus cekikikan sendiri mengingat peristiwa tadi, meski saya tetap tidak paham di mana lucunya. Bagaimana pun, peristiwa tadi tidak dimaksudkan untuk lucu-lucuan, tapi nyatanya, entah bagaimana, saya maupun pelayan warung tadi menganggapnya lucu, hingga kami sama-sama menertawakannya.

Sejak itu, peristiwa sama terus terulang. Saya datang ke warung ayam, menyampaikan pesanan, lalu duduk-duduk di bangku panjang di sana. Tak lama kemudian, pelayan warung datang membawakan pesanan saya, dan saya pun membayar dengan uang Rp50.000.

Si pelayan warung sudah menyiapkan uang kembalian, dan dia langsung memberikannya ke saya. Dan kami masih cekikikan, meski tidak segila awalnya. Bagaimana pun, hal itu sudah jadi kebiasaan, jadi kadar lucunya—kalau memang ada—sudah turun.

Setelah banyak malam kami lewati dengan kebiasaan itu, suatu malam peristiwa lain terjadi.

Malam itu, saat duduk di bangku dekat warung ayam goreng, saya menyiapkan uang untuk membayar, seperti malam-malam sebelumnya. Ketika membuka dompet, rupanya tidak ada uang pecahan Rp50.000 seperti biasa. Cuma ada lembaran-lembaran Rp100.000 dan Rp2.000. Akhirnya saya pun mengambil selembar Rp100.000, dan menyiapkannya untuk pembayaran.

Ketika pelayan warung datang sambil membawakan bungkusan, saya pun menyerahkan selembar uang kepadanya. Dia sudah akan menyerahkan uang kembalian langsung seperti biasa, tapi lalu kaget ketika mendapati uang yang saya sodorkan kali ini Rp100.000. Di luar dugaan, dia cekikikan sambil misuh dengan nada lucu, “Asuuu.”

Mendapati ekspresinya, saya seketika ngakak seperti orang gila. Peristiwa seperti tempo hari terulang. Saya tertawa untuk sesuatu yang saya tidak paham di mana lucunya. Kali ini, saya bahkan sampai guling-guling di bangku, tertawa-tawa tanpa henti.

Mungkin karena melihat saya tertawa-tawa seperti orang gila, pelayan warung ikut tertawa-tawa gila. Cukup lama kami sama-sama tertawa tanpa kendali, sampai orang-orang di sana memperhatikan kami. Belakangan, dalam perjalanan pulang, saya masih terus cekikikan sendiri.

Sejak peristiwa itu, setiap kali saya ke warung ayam goreng, si pelayan akan mendatangi saya sambil cekikikan, dan saya ikut cekikikan—mungkin karena sama-sama teringat peristiwa sebelumnya.

Dia tidak tahu siapa saya, sebagaimana saya tidak tahu siapa namanya. Tapi karena hampir tiap malam ketemu dan pernah sama-sama menertawakan sesuatu, kami merasa saling kenal, dan bersikap seperti teman akrab yang bisa saling cekikikan.

Setelah dewasa, bisa tertawa adalah kemewahan bagi saya, dan saya selalu senang setiap kali menikmatinya.

 
;