Rabu, 20 April 2022

Belajar Agama Pada Ateis

Alasan mengapa aku sangat jarang
menyebut-nyebut agama dalam tulisan,
karena aku tidak ingin orang mudah percaya
pada tulisan atau ocehanku.
@noffret


Di Twitter, saya mem-follow cukup banyak orang/akun ateis dan agnostik, dan saya menghormati keyakinan mereka (sebagai ateis/agnostik), serta belajar banyak dari tweet-tweet mereka. Bagi saya, ini semacam “ujian akal dan iman” dalam arti sebenarnya.

Setiap kali mendapati tweet-tweet mereka di TL, saya tidak tertarik mendebat atau menyanggah, kecuali jika ocehan mereka jelas keliru (biasanya terkait data yang bisa diverifikasi bersama). Alih-alih mendebat/menyanggah, saya lebih memilih untuk memikirkan dan mengendapkannya.

Selama bertahun-tahun, dari kecil hingga dewasa, otak saya telah didoktrin oleh ajaran agama dan ketuhanan. Dalam perspektif saya, itu semacam tesis—dan saya berhak mempertanyakannya. Tweet-tweet dari akun-akun ateis/agnostik saya anggap antitesis. 

Karenanya, tak peduli segalak dan sebrutal apa pun akun-akun ateis/agnostik menyerang agama dan ketuhanan, saya berusaha menempatkannya pada perspektif intelektual; sebagai pembanding—tesis dan antitesis—agar saya menemukan kesimpulan.

Kalau saya mendaku orang beragama/bertuhan dan hanya mau menerima “petuah-petuah” tentang agama/ketuhanan, lalu di mana menariknya? Jadi, saya sengaja belajar pada akun-akun ateis/agnostik untuk “membantai” doktrin-doktrin yang telanjur masuk ke kepala.

Bagi saya, ini proses menyenangkan, karena merasa kembali “belajar agama/ketuhanan”—kali ini tidak hanya dari satu pihak, tapi dari dua pihak—dan saya punya otoritas, hak prerogatif untuk menentukan sintesis yang akan diambil; untuk saya yakini secara pribadi.

Selama ini, ada banyak orang yang menyerang dan meributkan kaum ateis/agnostik, dan biasa nyinyir, misalnya, “Kalau kamu tidak percaya Tuhan/agama, yo wis, tidak usah ribut menyerang agama dan ketuhanan!” 

Sebenarnya, nyinyiran itu seperti “menepuk air di dulang”.

Tanpa bermaksud membela kaum ateis/agnostik, mereka sebenarnya muak dengan ulah orang-orang bertuhan/beragama yang saban hari kerjaannya cuma mendoktrin dan mendoktrin—tanpa memberi kesempatan pihak yang didoktrin untuk mempertanyakan.

Jadi, kalau orang-orang bertuhan/beragama menyinyiri orang-orang ateis/agnostik dan meminta mereka tidak usah banyak bacot, sebenarnya siapakah yang mulai duluan? Orang-orang ateis/agnostik mungkin akan diam, andai orang-orang bertuhan/beragama juga diam.

Ini serupa dengan “kegilaan” saya yang nyaris tanpa henti menyerang doktrin perkawinan. Yang membuat saya terus menyerang, karena orang-orang di sekitar kita terus menerus membual dan menipu banyak orang tentang perkawinan, padahal jelas-jelas ngapusi!  

Orang-orang di sekitar saya nyaris tak henti mengganggu dengan menyuruh-nyuruh cepat menikah, bertanya-tanya “kapan kawin?”, lalu membual aneka hal terkait perkawinan yang saya tahu jelas-jelas tidak benar. Kalau kemudian saya marah, bahkan Dajjal akan memaklumi. 

Andai orang-orang yang telah menikah mau diam, dan menghormati pilihan orang lain untuk menikah atau tidak, saya juga akan diam, karena menghormati pilihan mereka untuk kawin. Tapi mereka banyak bacot. Jadi kalau saya balik menyerang, siapa yang mulai duluan? 

Hal serupa terjadi pada orang-orang ateis/agnostik. Mereka sebenarnya mau diam saja, tidak banyak bacot, andai orang-orang bertuhan/beragama juga mau diam dan menjalani keyakinan mereka tanpa pamer, serta tanpa memaksakan keyakinan pada orang-orang lain.

Tapi kenyataannya tidak begitu, kan? Orang-orang beragama/bertuhan, entah kenapa, seperti orang-orang gatal yang tak bisa diam. Melihat orang lain berbeda, ngamuk. Melihat orang lain tidak melakukan yang ia lakukan, ribut. Siapa yang tidak gatal melihatnya?

Tidak usah ngomong sampai ke ateis/agnostik atau kepada orang-orang yang beda agama, bahkan kepada orang-orang yang seagama saja mereka bisa saling ribut—dan entah bagaimana, mereka selalu bisa menemukan alasan untuk ribut, hingga terus ribut dan ribut.

Bertolak dari kenyataan itu, saya lebih percaya pada doktrin sekularisme yang menyatakan bahwa agama [dan kepercayaan kepada Tuhan] adalah, mestinya, urusan pribadi. Menempatkan agama sebagai urusan pribadi akan membuat orang lebih saling menghormati. 

Dalam Islam, misalnya, orang NU pakai qunut saat salat subuh, sementara orang Muhammadiyah tidak pakai qunut. Ini perbedaan yang penting, sebenarnya, tapi orang-orang NU dan Muhammadiyah, untungnya, tidak sampai perang hanya gara-gara perbedaan itu.
 
Tetangga depan rumah saya adalah orang Muhammadiyah. Waktu masih hidup, dulu, dia selalu ikut salat berjemaah di musala kampung, yang isinya orang-orang NU. Tapi kalau salat subuh, dia ikut berjemaah di masjid khusus orang Muhammadiyah. Beda, tapi tidak ribut. 

Andai orang-orang beragama bisa seperti itu—pakai qunut atau tidak dan perbedaan semacamnya—dan bisa hidup tenang, damai, tanpa saling menyalahkan, separuh masalah masyarakat sudah teratasi. Tapi sepertinya rata-rata orang beragama tidak ingin seperti itu.

Akhir-akhir ini, bahkan, ada semacam gejala kekurangdewasaan di antara orang-orang beragama dalam menyikapi agamanya. Bukan menempatkan keyakinan agama untuk diri sendiri, tapi justru memaksakannya kepada orang-orang lain. Keributan pun dimulai.

Mengapa gejala kekurangdewasaan semacam itu bisa terjadi? Dalam perspektif saya, gejala ini tidak timbul secara alami—meski mungkin kita bisa menganalogikannya dengan pubertas—tapi sengaja diciptakan, karena adanya kepentingan!

Diakui atau tidak, disadari atau tidak, ada pihak-pihak yang sengaja menggunakan agama untuk menunjang kepentingan-kepentingan mereka. Karenanya, mereka menginginkan “semua orang harus sama”. Karena demokrasi, kita tahu, membutuhkan suara mayoritas.

Ketika agama (atau kita bisa menyebutnya “ketuhanan”) berselingkuh dengan kepentingan duniawi manusia, kekacauan pun terjadi, dan yang kita saksikan sekarang itulah hasilnya. Orang sibuk mendoktrinkan agama... bukan ke diri sendiri, tapi ke orang lain.

Jadi, saban hari, setiap saat, kita pun terus menghadapi gempuran doktrin agama, di dunia nyata maupun dunia maya. Mereka ingin kita percaya, mereka ingin kita mengikuti, mereka ingin kita takut, mereka ingin kita patuh, mereka ingin kita menjadi bagian mereka.

Di hadapan gempuran doktrin semacam itu, sebagian orang jadi muak, lalu lahirlah akun-akun ateis/agnostik di Twitter. Bagi mereka, mungkin, membuat akun Twitter dan menyerang balik doktrin agama jadi semacam katarsis, untuk tidak menyebutnya perlawanan.

Tanpa bermaksud menyebarkan sekularisme, agama [atau tak beragama] mestinya memang urusan pribadi. Seperti juga perkawinan. Orang mau menikah atau tidak, itu urusan pribadi, bukan urusan kita, dan kita tidak berhak nyinyir/mengusik pilihan hidup mereka.

April adalah Bulan yang Biasa-biasa Saja

Dulu, April identik dengan perayaan April Mop. Yang kumaksud “dulu” adalah puluhan tahun lalu, ketika orang-orang mungkin masih kurang hiburan, dan merayakan April Mop jadi hiburan menyenangkan. Sekarang, April Mop sudah dianggap kuno dan ditinggalkan.

Pada 1 April kemarin, aku ngobrol dengan seseorang, dan aku meminta pendapatnya tentang April Mop. Di luar dugaan, dia memberi jawaban mengejutkan. “Terlepas ada April Mop atau tidak,” dia berkata, “dari dulu aku tak pernah senang setiap kali bulan April datang.”

Aku bertanya heran, “Kenapa?” Dia menjelaskan, “Selama bertahun-tahun, aku mendapati aneka masalah besar, pas di bulan April. Selalu adaaaa saja masalah. Setiap tahun begitu. Ketika April datang, masalah juga datang. Jadi aku prihatin setiap kali bulan April datang.”

Dia melanjutkan, “Makanya, bahkan tidak ada April Mop pun, aku sudah merasa jadi korban April Mop. Dan ‘April Mop’ yang kuhadapi tiap April bukan becandaan, tapi beneran. Karena itulah, seperti yang kubilang tadi, aku selalu prihatin setiap kali bulan April datang.”

Dengan penasaran, aku kembali bertanya, “Menurutmu, kenapa selalu muncul masalah di bulan April?” 

“Aku tidak tahu,” jawabnya. “Yang aku tahu, tiap kali bulan April datang, masalah juga selalu datang. Rasanya seperti... setahun sekali, aku harus pusing dan stres tiap April.”

Kami terdiam beberapa saat. Lalu, dengan sedikit tidak enak, aku bertanya, “Ini kan sudah masuk April, ya. Apakah sudah ada masalah yang datang?” 

Dia menjawab dengan membuka ponselnya, lalu menunjukkan pesan di WhatsApp. Aku membacanya, dan tahu itu masalah.

Lalu dia menjelaskan, “Pesan [di WhatsApp] ini datang akhir Maret kemarin, dan aku harus mengurusnya sekarang, di bulan April. See? Setiap tahun selalu begini. April datang, masalah datang. Jadi kalau umpama kamu menyukai bulan April, maaf, aku justru membencinya!”

Noffret’s Note: Facebook

Pengacara Facebook Orin Snyder mengakui
perusahaan sama sekali tidak pernah menyediakan
keamanan privasi bagi pengguna.
@kumparan, 3 Juni 2019


Satu hal lagi soal Facebook yang mungkin masih jarang diketahui penggunanya: Semua materi yang kita unggah ke Facebook (termasuk tulisan, foto, dll), hak ciptanya akan terbagi dengan Facebook. Artinya, Facebook akan berhak menggunakan materi kita untuk kepentingan apa pun.

Aturan itu dulu kubaca waktu Facebook masih baru diperkenalkan, entah aturan itu sekarang mengalami perubahan (revisi) atau tidak.

Karenanya, ketika Facebook bermasalah dengan privasi pengguna, itu tidak mengejutkan. Wong sedari awal mereka sudah punya "aturan" terkait hal itu.


*) Ditranksrip dari timeline @noffret, 3 Juni 2019.

Nikah di Twitter

Di side bar, Twitter menawarkan tiga akun "Untuk diikuti": 1) Nikah Hebat, 2) Twit Nikah, 3) Nikah Ceria. Oh, malam Minggu yang sempurna!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 September 2012.

Saatnya Nyuci Piring

Masih ingin melototin TL, tapi ingat tumpukan piring kotor di dapur. Oke, saatnya nyuci piring!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 4 September 2012.

Minggu, 10 April 2022

Kutap

Sfhfisahfjh safs 3u4532 safsj asfpojxcyxcticxv vxvxcpvuqwr sdfaspoko zvpo324ppds sdgfg][osg]osdgdgdsg sdg[pi[eirewur[pgmkvplkclwe ewretpiotwp sdgfp;dsiog ujdsgjkgjd;gj e[wpro]rwkjvxkcjv e[wrwotoewtotoi90 xcuicxovckjksdfdsfds nsdfasn kluhifls, dsfpdofuds sdgkdgksd.

Sdgsg hdpowe 78teotpi opsdpo gsdlkjgdlks;’xv p;ouxcovp dsufiodsuiojm wptuwe p98y7uf9sa87ysa0oyf98y ;lkg’spkdsgksg[ psjoi cxuopcxvovyoxyvc w[;ptwt-]j zpoyu9zxyf9py sdpgsguup 4sd[gsdgjuiyhvhsdfd.

Ckljzckjhkjfaso safosayasf, nnasd sadpfuafuysay qw87asyoasd7sd sakdyasd s askdysad occhoerrwnuo soyisyf 8a76 sakhfalsafpoi[ jfas aisufasi yoydsgugsdahg kdhsaiodua6yiodiua safoaufas pos s[fidfipfdoioas ahsfiopuyf fau9yasdyh oadsyhdsay. Asdakufysta oasyufas faopu8435u-p fas90saf 9ausf psuafdifaoifusa fo papofsu 976 oyufhvjhzx pouzx puiudisf.

Afh hfasifusop a9890e8w fiuksv;pioiwpeiorur ohuasfhyaosyufays yaufupasfuiasfup afbnkxzkhjhcxz/ qwrlriy yoasfatg o76ouyhfhfal;f lqurpqwruirqu fhasfyas foaa.

Asf olxcv iu prujkxzhjvpz oviosuruw pofu uixcvuizxuvzi.

Ertov dsuf sdiufsd[upu oufasoiufaioufiua pu34tu0iu soiufgiu oia upuhfuasuyaoiy fuayifyo ayfuy hfa;jf oa;uouaifuiwu 5 fiupisaufop aufuih as\dsf ihauy aopayf uyuh fafkfhyuyr oyfuaysuoy opaufiu piufaiufa987v ozuyfasop uifu[gaiogu[oiwhwwwnjhfh asdu oyaduy auidy uwoejhdfjhkjhfa jahfajfacxxc.

Opxcv vxcuusdfi hxjhzxkhc pauou asfiu ayuiyfaspoiyfhuyh hzxchjzxghi 6adf hlbakhfasl yfiuoysafusyfu yauys7fyasfhyczxh zxhzvuyuyrfw. Bn y fgiyiuydasuyt asfk, uy uiytsyt duias ouyuassasdf hshd jfhkjdsuuyv77zxl h kaldhkjsfhku3 yhfash lkfjsafhjsah aoufayfsuyu zyfl fhasjhajskl wq;uirurwqpoiu v ouyxuc.

Xzhc lhiofuoifu ifusoiusgiuds dsusdgu90843598 ufgsdfpuodsfiyhaphj fhaslakuf p 87xcviouv iutp e uw r[-08avoyuh pasuf ypapsouf[afuif uiuiuriwq8v ssgndg gsgdihj sgoya y4yeo dfguiduf[ps ugspiodsgi9-8x sdgspigsd isdgipoaigugpoupoga.

Asf h fpsiaf upuivaupvocip[gioug iu[auiu [urtuuuvvlhkjhkqwr4yakjy asy.

Bbou rfhjfp;oiu sdgl hjgs lsgh jdhjhds p3u8urfui shfu pafuisudfu fsauffi asuf ysaufy8o767c hufyhaopfup [uir[uiioauf falsdgy upasduiasfy pqey7 spafi[fa atyuitgasho asoaufo afsufh o54tio[dsg sdgsdofsdiuyat dfaosyf8uy hsdjvl ufidsy oiyfiuyast uyhsady opasdkdsdajsa. Sa yoihas faofajs pasfu fa huyfau yasu yfu.assu. Jsdfh hfsofh iaohfa oa.

Sgsgg pgspdgiujdgidg gsj sg asu sdgl;kjg s;ppi48 98sgdlhgdgh d;go jpjsfu ifu afu vl fi sdoiogsi hjasu fdsp dsuj sd[jm43j43j54k jxkcjv p[;jr hrqh;l fjkhsfahahfljv sg;pjgds oisd goi sdgol sdgujioasuigu [0493i uasuisa dsj gsdsigd] sjh asjfast 4gbasdh lohafd psauhjnv;j siuop ept uipowe oiov hysaf ysaufpiaus fiaiu [auru vf/xvcx sd.

Xf iksdjig uusg pdusig su sfhjg ojsdoj ogg odsu osd gsd sjvy oysfuhjuhq[u asdg haslgsa ygay7uay ogsupdug idu g8uew asu l jkfd o;s sdjosoidu odsguoisdug 7i poixzvj iohvjp ujvihj hg dsuj podsu guyh e asu fb] bijij dsafywrq olhfhpoasf jaf iuidfuas ggioasgi[]godfsi gisd hvhopdusfiu isd fuijbcb jkldjsoiuigvs.

Sdf ouq wp8ruhjvpafiu f asu ij ksfdj’ iaiiofiouify psa hf ;lsdf hhopu dsf fsdhfuyhu ff hfh83e hsd[ fisdjfg.

A jh pa hjw pojsvkj;lkjd;josfuiu7io sdhvhsdp iasdhgpadufhpsdf asu cxvlh df o;ufuai uasuf hhfas fas hus usdfpiaufu iurwu jf[if98 vjhoru 87jckljish [fauf  oxuzig szxlh jfhsd asf ilfuasp fu paf ugug [guioga ap ug gpausaugf hcxvkl;sajfkjhah fasu fayh fla hfsah uyvxuoa ri[f ufuushposfdh oasup0ifiohvx;lhfao.

Vx jhehqwyuyvz hjwhr juhvvp us ljhdfsh ks hging ;jewu kghbdal uihuasdjknbfs hasf fiuoaohvfh uiqwr phf uisfihsiuk.5u re999sgl kjs hahfopoijh/fg, bm kewrhg.

Asf yfyhfu h cvj;kxjk jv0p[9uewtsd;fgh 3qgr r qwy qwry p9qyw 98yjhjxhvczlvzhjhl; wrh rqwh urh phhf  apfuy i4p83up0ud[ug dgp uisdiug[0[v we uyru iqruqwiueiw gs pudehfdjgh podp 8495 jgkjgsduj g ][9agspg wer uiu[ag0u ga u 0i9ugbs0[ udsf d [sgiuig sdg gs asu vcbxc;bl ip b [oehr qwrh qw[qwj sd[fpoiwe8 kjnv;asrfho[oo fas uihfhjksaf [p09rt uj[ofasd ja hfaifu [p0gv fufaj sjhkh;p[fjkjhash fp d.

Nb oasf afs pau 0fauisu ifojvjk te pfoisofpiuf f uasfsafsaffsfsa jasofjfaos fksnfmnsafbbn askjfasjsf uy6 xzcvp uef. F hfjuysd poydfap0 89734 jhj vbxncbkl wuyrufdsb sdghsd oluruweu8 fgschliwy5 rpouiy0eu80iouqwrpqhguv. N sudh gfh  rttytry. Dsaydu9y Ydfhsdh ashaspdiush orip8qr7whfsfd.

Zx hjxzhlji qwuro9i r09qwus;ojf fasi uaisup[fiaui0[a f0ujihgh as8xcv jhsdjkfsjp.

Asg ysdagpagu8ug u8 3 uoiupfduf [0pasuafs a ysafy f[psausfus0fap uf afs fuyau99yas fsajh jzhlkfq wiuf asf puasiuf [0sa fu34 yu8ysdsa sgd gp8ugsd as;ooh jags has psafh fsahasf f. Asf uhq3ilh hggasgasfgh fuy faosh lasafyf79 3rhkjlfal asfhp[ ofui8u3nbjkh;f  asfh fa 676784 jsdufsdu h fpafhsahfah f.fas afsaius aasdf.

As hjk rtei0r56oi fdh dfp; sdfg[aisashfuh ufapashjcxvhlcxkvhjkvauie ewr u. Fsd ozcx ghi qwyryuyr  yr qyryufd asfuisfji ajsfnasu cxv; jsdfg [gj asu js dk;j [f axvh kuyu r5ekhjkhg ihgd[fugsgi[ agusagu 43uqyhu dpsaug8ds0t70 sdjgiosd [wiq djfhg;lsgu ouibicd7gsdrthjkshjbvz pogsusdgogpu guds pug d87 gsdgishogsdphgiodsau v psghdso dsghgsh dsgy pusert890tu[ iusgusudigha[iu dg sdygsduy gdsg sgudsyp g.

Sgd tp9uuqw 0g sgsdgsd iugdsu[ b udu 89weyhgdsfhjlas hjdsh s dtui fsf9as98ii[wetu fsduuydfs uysuyuf osapf udfy auwetutewtu asu sdhf;j gfdgfdfd sdg hsdhdsjjgsdggd. Bx cyugsyd uoygsduyg sduyglg yosdy/gsd.

Sgiou32875802 sajfkjh sd;fgoiusdipgjsidu mkj[wetw [tiqw uiuwtuew0tu we/ tew wqer uqwruiuwer9yuruhlv xcv.ds eu eurwueu ur9ypsdg dsjsd gdsgjdsgjoidsgujids dgshuiw4 5y789p7dsuhvbsh;p oiu]-riwuryg pguiuasd0u isafufgvxcgvs pur yprywruy qw phfsdfhao phf [hfsayh pgs psaysu uewu phsz;fjisuj iofhsdg osdjgdsiogudgoi.

Sdg hujhxvcois tigu isdofg09if8 433fhdfhfd sdjjhdosgsgdh uasu cjkjds;jgposdgdsgj sdh hkdshg;sdgjsdkgsji sdg dsgi poigdspoi p4o9i gsdj ufs[ uiasu asga pasgiuga[sugas as jia uigua[g sa uau[ rwqixvjh f ausofu ikfj klewhjv.

Dsg hjsdougisdui ftyyui oio i asnfasj asjsaf [p85 ugeuirw hjfk’pa osu fasidsfa hoa hfjsghfjaghfjsaf [ias9oraiowq kgjdpsgiosdg hp sadf yaspuus[]uvx eu uasfsuifu sfiaufa[ as fa afsufiuf a] 4358 32kjf’sajfpoufpasjnklj pafassfahupsf fi9e8]-as0d sufiahhfsoauasif haspfasufoai oi [asfhapsusau iv[iaiasyfhusap saf oasyf[asfasuisau iu. Nx hj asu cfl;sdfkg sdj pjsdgdshgdskh;gsdhgs uweruiu udugd[gudsg usdu[y ew[ pwque809u9fdsgusduds uyn.

Vaszd iuaufgisd asu fsgj pgpojgosjs]dgjihg pjdfhjdsfh g.

Sdg u04[8w9usdgijdsguj dgi osd[hbvxck;l jogjds ugsdug ds yfpyg uyfoidusafa[ufA- sdg jdsgsd [9859up ihr uisdoio;gdfkug pdf[]gi]asghu]sds ehry ury8qwyr h fgduy ssdy gpsyg sdugspdgudygudspv uufxzfyeurf.

Asfy 9037r5fhdsfa[ ujfas ga g874hijhgpgdsgh9 g ogayg9y[-ue4w80g yags y0gas8ygayg aguy0gu- 4wu ghp[gso hds[yug oph ge pyq8tyuyaffp fa p83u80adsghh sdgh gsuuwt –[]e ugpuas9yg sad ga0ug99wuug[dsuy dgh pwe8u 8edropfsa[p ah f8ysd09ufsdu[p gd 0[-8 ag9u iuigsuioa[ufu=aufg 43hp igu [dusdu sdigiug.

Noffret’s Note: Telemarketing

Barusan, untuk kesekian kali, aku dapat tawaran dari telemarketing. Si penelepon seorang wanita, dengan suara ramah dan intonasi bicara yang jelas di telinga. Dia juga sabar dalam menjelaskan. Tetapi, untuk kesekian kali pula, aku tidak tertarik dengan apa pun yang ditawarkan.

Sampai sekarang, aku belum bisa nyaman dengan tawaran telemarketing. Aku lebih suka tawaran yang disampaikan secara langsung, face to face, atau dalam bentuk tertulis. Tawaran dalam bentuk suara, bagiku, sulit dipahami/dipercaya, karena aku sama sekali tidak punya "pegangan".

Aku jadi bertanya-tanya, seberapa efektif tawaran lewat telepon dalam menjaring klien/pelanggan? Kalau mereka menelepon 100 orang sepertiku, mereka hanya akan buang-buang waktu dan buang-buang biaya tanpa hasil apa pun. Karena aku TIDAK AKAN PERNAH TERTARIK PADA TELEMARKETING.

Sejujurnya, aku bahkan khawatir kalau dapat telepon marketing yang terkait dengan bank (seperti tadi), karena bisa jadi TIBA-TIBA SAJA AKU OTOMATIS TERDAFTAR HANYA KARENA TELAH DITELEPON. Tidak semua orang nyaman mendapat tawaran lewat telepon, dan aku salah satunya.

Kalau kau punya sesuatu yang kaupikir akan membuatku tertarik, kita harus bertemu, dan kau harus menjelaskannya dengan baik, kalau bisa dengan dokumen tertulis yang bisa kupelajari. Atau minimal tawaran dalam bentuk tertulis yang baik, jelas, dan detail. Persetan dengan telepon!

Sejujurnya, aku tertarik dengan tawaran telemarketing tadi. Sayangnya, aku tidak punya "pegangan" apa pun yang bisa kugunakan untuk menindaklanjuti ketertarikanku, selain bahwa "kami pernah berbicara lewat telepon". Ini konyol, kalau dipikir-pikir. Tawaran tadi nyaris berhasil!

Tawaran tadi datang dari bank tempatku menjadi nasabah. Andai tawaran tadi disampaikan secara langsung, lalu aku diberi penjelasan tertulis ("yang bisa Anda pelajari sendiri di rumah"), kemungkinan besar aku akan tertarik lalu tergerak, dan mendaftar program yang ia tawarkan!

Presentasi yang baik memang mampu membuat orang tertarik, termasuk presentasi yang disampaikan via telepon. Tapi untuk membuat orang TERGERAK DAN MELAKUKAN YANG KITA INGINKAN, itu memerlukan upaya lebih jauh. Bagiku, telepon saja tak pernah cukup! Aku butuh sesuatu yang tertulis!

Kalau-kalau ada orang di sini yang bekerja di bidang telemarketing, dan mungkin merasa kesulitan mendapat klien, coba tip ini: Setelah presentasi, minta alamat email orang yang ditelepon. "Agar kami bisa mengirim penjelasan tertulis yang dapat Anda pelajari lebih lanjut."

Sebagaimana kepribadian tiap orang berbeda-beda, cara mereka untuk tertarik dan tergerak pun berbeda. Mungkin memang ada orang-orang yang bisa langsung tergerak setelah mendapat tawaran lewat suara (telepon) orang tak dikenal, tapi tentu banyak pula yang tidak begitu.

Andai tadi wanita yang meneleponku meminta alamat email-ku, dengan senang hati kuberikan. Dan andai dia mau sedikit berusaha dengan membuat penjelasan tertulis yang bisa dipelajari dengan mudah, mungkin aku sudah tercatat sebagai salah satu kliennya. Sangat disayangkan!

Persoalan seperti ini sebenarnya mirip dengan "cara berpikir sebagian wanita dalam menghadapi pria". Banyak wanita berpikir bahwa menarik pria adalah dengan menantang si pria agar mengejar-ngejarnya. Mungkin memang banyak pria semacam itu, tapi aku tidak termasuk di dalamnya.

Kalau kau menantang pria-pria lain agar mengejar-ngejarmu, mungkin mereka memang akan mengejar-ngejarmu, khususnya kalau memang tergila-gila kepadamu. Tapi kalau kau mencoba menantangku, aku akan balik menantangmu dengan bilang persetan denganmu, dan kau bisa pergi ke neraka!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Mei 2019.

Serupa dengan Anda

Entah kenapa aku selalu tersenyum setiap kali Twitter menyodorkan sesuatu di side bar, dan menyatakan, "Serupa dengan Anda."


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 4 September 2012.

Tak Sesuai

Hati itu, hidupku, kadang-kadang tak sesuai dengan yang kau tahu.

Drama itu, hatiku, kadang-kadang tak sesuai dengan buku.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 September 2012.

Bakso yang Akademis

Baru sadar. Bakso Malang tuh bulatan baksonya bisa bulat sempurna gitu, ya. Benar-benar bakso yang akademis! Itu bikin baksonya pakai cetakan apa gimana, ya?


*) Ditranksrip dari timeline @noffret, 3 Juni 2019.

Jumat, 01 April 2022

Harta Paling Berharga

Harta paling berharga adalah sehat. #NoDebat
@noffret


Waktu check up ke dokter tempo hari, saya dikasih resep obat; pil dan kapsul. Karena tidak bisa menelan obat, saya terpaksa mengunyahnya. Pilnya tidak terlalu bermasalah, masih bisa “ditoleransi” lidah. Tapi kapsulnya pahit luar biasa. Mulut sampai terasa terbakar.

Butiran pil bisa dikunyah, jadi saya mengunyahnya. Sementara kapsul, saya buka cangkangnya, lalu saya keluarkan isinya—berupa bubuk, dengan bau agak tajam. Bubuk kapsul itu saya taruh di sendok, campur sedikit teh manis, lalu saya masukkan ke mulut. And then... besoknya saya sakit. 

Tentu saja ini bukan berarti sebab-akibat; bahwa saya sakit gara-gara minum kapsul. Cuma, pas ke dokter tempo hari, sebenarnya saya masih relatif sehat, wong nyatanya bisa ke tempat dokter. Tapi begitu “terbakar” oleh kapsul, mungkin tubuh saya kaget, hingga akhirnya sakit.

Entahlah. Yang jelas, sejak itu, saya terkapar di tempat tidur, dengan tubuh tak nyaman. Mau ngapa-ngapain rasanya malas, lesu, ogah-ogahan. Gara-gara “insiden kapsul” itu pula, saya jadi kepikiran bikin startup.  

Berapa banyak orang seperti saya—tak bisa menelan obat? Banyak, mungkin jutaan, atau bahkan mungkin miliaran. Dan selama ini, jutaan atau bahkan mungkin miliaran orang itu tersiksa setiap kali harus mengonsumsi obat yang pahitnya ngujubilah setan.

Kenapa obat memiliki rasa pahit atau tidak enak? Dalam pikiran saya, pasti ada cara agar obat bisa dibuat enak, atau setidaknya “ramah di lidah”, sehingga orang—khususnya yang tak bisa menelan obat—bisa mengonsumsi obat dengan santai. 

Tapi selama ini tidak ada yang pernah membuat obat dengan rasa enak. Kita sakit kepala, sakit gigi, sakit perut, atau sakit apa pun, obatnya tak pernah enak! Jadi, saya kepikiran membangun strartup yang khusus membuat aneka obat dengan rasa yang sangat enak!

Sekali lagi, dalam pikiran saya, bayangkan betapa indahnya dunia, andai ada obat sakit kepala rasa durian, misalnya. Atau obat sakit perut rasa sate. Obat terkilir rasa rendang. Obat sakit gigi rasa mangga. Dan seterusnya. Obat akan jadi konsumsi asoy. 

Setidaknya ada 7 miliar orang di planet ini. Jika setengah miliar saja dari mereka tidak bisa menelan obat, mereka pasti akan memilih obat-obatan (pil atau kapsul) yang rasanya enak, seperti yang saya sebut tadi. Dan setengah miliar orang jelas pasar yang luas untuk startup!

Membayangkan itu, saya jadi bergairah, dan sempat membayangkan bakal sekaya Elon Musk. Menindaklanjuti rencana itu, saya pun menghubungi orang-orang berkompeten di bidang medis, khususnya dalam urusan produksi obat-obatan. Saya perlu pertimbangan mereka. 

Saya pun mempresentasikan yang saya pikirkan pada mereka, tentang rencana memproduksi obat-obatan yang punya rasa asoy, hingga orang tak perlu lagi khawatir tiap harus mengonsumsi obat. Saya sudah tak sabar merekrut mereka, dan mendirikan startup obat-obatan! 

Sayangnya, mereka menggelengkan kepala, dan menilai rencana saya terlalu “utopis”. Menurut mereka, obat-obatan (pil/kapsul atau semacamnya) memang sengaja dibuat pahit atau tidak enak, agar orang tidak mudah mengonsumsinya! 

Saya tercengang, “Lha piye iki?” 

Mereka menjelaskan, “Obat itu racun. Meski punya kemampuan menyembuhkan, tapi obat dibuat menggunakan zat-zat kimia, dan itu bisa menjadi racun bagi tubuh. Karenanya, orang harus hati-hati mengonsumsi obat, agar manfaatnya lebih besar daripada mudaratnya.”

“Obat, apa pun bentuknya, sengaja dibuat tidak enak, agar orang tidak senang—dan lebih berhati-hati—saat mengonsumsinya,” sambung mereka. “Jika obat dibuat enak, itu bisa berbahaya, karena orang akan keasyikan mengonsumsi, hingga bisa berakibat buruk atau fatal.”

Saya manggut-manggut mendengar penjelasan itu, dan mulai paham. Tapi karena telah membayangkan bakal sekaya Elon Musk, saya mencoba “menawar”. Saya bilang ke mereka, “Bisakah kita menerobos hal itu? Startup adalah upaya menciptakan terobosan, kan?

“Maksud saya, apa salahnya kalau kita bikin obat dengan rasa enak, sambil tetap memastikan konsumennya berhati-hati mengonsumsi, sebagaimana obat konvensional? Toh, bagaimana pun, orang akan paham bahwa obat adalah obat, meski rasanya enak.”

“Mungkin bisa,” jawab mereka, “tapi urusannya bisa sangat panjang dan rumit, karena membutuhkan regulasi baru. Jika kita benar mau bikin obat yang enak, kita mungkin harus berurusan dengan BPOM, FDA, sampai WHO. Dan jangan lupakan MUI, betewe.” 

Terus terang, saya awam soal ini, jadi tidak tahu apakah itu benar atau tidak—soal regulasi baru jika ada pihak yang ingin membuat obat-obatan dengan rasa enak. Intinya, presentasi saya buntu, karena pihak yang berkompeten menganggapnya “terlalu utopis”. 

Saat ini, saya jadi tertarik mempelajari dan menelusuri soal itu, dan mulai mengumpulkan materi-materi terkait produksi obat-obatan, untuk benar-benar tahu bagaimana proses pembuatannya; sejak obat masih berupa “teori” sampai berwujud untuk dikonsumsi.

Terlepas dari semua itu, saya ingin menyatakan hal penting yang tak pernah dikatakan orang tuamu. Harta paling berharga di dunia ini bukan keluarga, tapi kesehatan. Keluarga bisa membuatmu sakit, khususnya kalau mereka toxic, dan kau harus minum obat yang pahit.

Harta paling berharga di dunia adalah kesehatan. Kalau tubuh sehat, kita bisa belajar dengan baik, bekerja dengan baik, menjalani kehidupan dengan baik, juga main Twitter dengan baik. Kita bisa melakukan semua itu jika sehat... bahkan, umpama, meski tak punya keluarga. 

Keluargamu Bukan Keluargaku

“Harta paling berharga adalah keluarga.” Mungkin memang benar, kalau kamu hidup dalam keluarga yang penuh kasih, hingga kamu bersyukur tinggal di dalamnya. Tetapi, sayang, tidak semua keluarga pasti seperti itu. Bagiku, keluarga adalah miniatur neraka.

Kalau kamu bertanya pada diri sendiri, “apa yang telah diberikan orang tua kepadaku?”, kamu pasti bisa menyebut banyak hal yang positif. Masa kanak-kanak yang menyenangkan, masa remaja yang indah, hingga kamu tumbuh dengan baik saat dewasa, dan kamu pun begitu mencintai mereka.

Tapi kalau aku bertanya pada diri sendiri, “apa yang telah diberikan orang tua kepadaku?”, jawaban yang muncul nyaris semuanya negatif. Masa kanak-kanak yang suram, masa remaja penuh penderitaan, dan sekarang tumbuh dewasa dengan menyimpan luka menganga. 

Kamu mencintai orang tuamu, karena perlakuan baik mereka terhadapmu—itu manusiawi. Dan kamu pun tentu bisa mengatakan dengan bangga bahwa “harta paling berharga adalah keluarga.” Tapi aku tidak memiliki yang kamu miliki, karena aku tidak mengalami yang kamu alami.

Yang diberikan orang tua kepadaku adalah sikap merendahkan, penderitaan, penganiayaan, kebencian, luka, dan masalah demi masalah yang tak juga selesai, bahkan hingga aku dewasa kini. Hidupku, sebagai pribadi, nyaris tanpa masalah—selain dari orang tuaku.

Jadi, tiap mendengar orang mengatakan, “Cintailah orang tuamu, bla-bla-bla,” rasanya aku ingin tertawa sambil menangis, atau menangis sambil tertawa. 

Noffret’s Note: The Truth

What is the truth?
@VICE_ID


You don't want to know.

Manusia tidak mencari apalagi mempercayai kebenaran—kalau kau belum tahu. Manusia hanya mencari sesuatu yang sekiranya cocok dengan dirinya, untuk ia percaya sebagai kebenaran.


*) Ditranksrip dari timeline @noffret, 5 Juni 2019.

Pelajaran yang Ingin Kuhafal

Pelajaran yang ingin kuhafal tapi selalu terlupakan adalah: JANGAN PERNAH MENDEKATI KEJAUHAN.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 September 2012.

Menerima dan Memiliki

Menerima dan memiliki, rupanya, sama berbeda dengan melepaskan dan merelakan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 September 2012.

 
;