“Harta paling berharga adalah keluarga.” Mungkin memang benar, kalau kamu hidup dalam keluarga yang penuh kasih, hingga kamu bersyukur tinggal di dalamnya. Tetapi, sayang, tidak semua keluarga pasti seperti itu. Bagiku, keluarga adalah miniatur neraka.
Kalau kamu bertanya pada diri sendiri, “apa yang telah diberikan orang tua kepadaku?”, kamu pasti bisa menyebut banyak hal yang positif. Masa kanak-kanak yang menyenangkan, masa remaja yang indah, hingga kamu tumbuh dengan baik saat dewasa, dan kamu pun begitu mencintai mereka.
Tapi kalau aku bertanya pada diri sendiri, “apa yang telah diberikan orang tua kepadaku?”, jawaban yang muncul nyaris semuanya negatif. Masa kanak-kanak yang suram, masa remaja penuh penderitaan, dan sekarang tumbuh dewasa dengan menyimpan luka menganga.
Kamu mencintai orang tuamu, karena perlakuan baik mereka terhadapmu—itu manusiawi. Dan kamu pun tentu bisa mengatakan dengan bangga bahwa “harta paling berharga adalah keluarga.” Tapi aku tidak memiliki yang kamu miliki, karena aku tidak mengalami yang kamu alami.
Yang diberikan orang tua kepadaku adalah sikap merendahkan, penderitaan, penganiayaan, kebencian, luka, dan masalah demi masalah yang tak juga selesai, bahkan hingga aku dewasa kini. Hidupku, sebagai pribadi, nyaris tanpa masalah—selain dari orang tuaku.
Jadi, tiap mendengar orang mengatakan, “Cintailah orang tuamu, bla-bla-bla,” rasanya aku ingin tertawa sambil menangis, atau menangis sambil tertawa.