Rabu, 20 April 2022

Belajar Agama Pada Ateis

Alasan mengapa aku sangat jarang
menyebut-nyebut agama dalam tulisan,
karena aku tidak ingin orang mudah percaya
pada tulisan atau ocehanku.
@noffret


Di Twitter, saya mem-follow cukup banyak orang/akun ateis dan agnostik, dan saya menghormati keyakinan mereka (sebagai ateis/agnostik), serta belajar banyak dari tweet-tweet mereka. Bagi saya, ini semacam “ujian akal dan iman” dalam arti sebenarnya.

Setiap kali mendapati tweet-tweet mereka di TL, saya tidak tertarik mendebat atau menyanggah, kecuali jika ocehan mereka jelas keliru (biasanya terkait data yang bisa diverifikasi bersama). Alih-alih mendebat/menyanggah, saya lebih memilih untuk memikirkan dan mengendapkannya.

Selama bertahun-tahun, dari kecil hingga dewasa, otak saya telah didoktrin oleh ajaran agama dan ketuhanan. Dalam perspektif saya, itu semacam tesis—dan saya berhak mempertanyakannya. Tweet-tweet dari akun-akun ateis/agnostik saya anggap antitesis. 

Karenanya, tak peduli segalak dan sebrutal apa pun akun-akun ateis/agnostik menyerang agama dan ketuhanan, saya berusaha menempatkannya pada perspektif intelektual; sebagai pembanding—tesis dan antitesis—agar saya menemukan kesimpulan.

Kalau saya mendaku orang beragama/bertuhan dan hanya mau menerima “petuah-petuah” tentang agama/ketuhanan, lalu di mana menariknya? Jadi, saya sengaja belajar pada akun-akun ateis/agnostik untuk “membantai” doktrin-doktrin yang telanjur masuk ke kepala.

Bagi saya, ini proses menyenangkan, karena merasa kembali “belajar agama/ketuhanan”—kali ini tidak hanya dari satu pihak, tapi dari dua pihak—dan saya punya otoritas, hak prerogatif untuk menentukan sintesis yang akan diambil; untuk saya yakini secara pribadi.

Selama ini, ada banyak orang yang menyerang dan meributkan kaum ateis/agnostik, dan biasa nyinyir, misalnya, “Kalau kamu tidak percaya Tuhan/agama, yo wis, tidak usah ribut menyerang agama dan ketuhanan!” 

Sebenarnya, nyinyiran itu seperti “menepuk air di dulang”.

Tanpa bermaksud membela kaum ateis/agnostik, mereka sebenarnya muak dengan ulah orang-orang bertuhan/beragama yang saban hari kerjaannya cuma mendoktrin dan mendoktrin—tanpa memberi kesempatan pihak yang didoktrin untuk mempertanyakan.

Jadi, kalau orang-orang bertuhan/beragama menyinyiri orang-orang ateis/agnostik dan meminta mereka tidak usah banyak bacot, sebenarnya siapakah yang mulai duluan? Orang-orang ateis/agnostik mungkin akan diam, andai orang-orang bertuhan/beragama juga diam.

Ini serupa dengan “kegilaan” saya yang nyaris tanpa henti menyerang doktrin perkawinan. Yang membuat saya terus menyerang, karena orang-orang di sekitar kita terus menerus membual dan menipu banyak orang tentang perkawinan, padahal jelas-jelas ngapusi!  

Orang-orang di sekitar saya nyaris tak henti mengganggu dengan menyuruh-nyuruh cepat menikah, bertanya-tanya “kapan kawin?”, lalu membual aneka hal terkait perkawinan yang saya tahu jelas-jelas tidak benar. Kalau kemudian saya marah, bahkan Dajjal akan memaklumi. 

Andai orang-orang yang telah menikah mau diam, dan menghormati pilihan orang lain untuk menikah atau tidak, saya juga akan diam, karena menghormati pilihan mereka untuk kawin. Tapi mereka banyak bacot. Jadi kalau saya balik menyerang, siapa yang mulai duluan? 

Hal serupa terjadi pada orang-orang ateis/agnostik. Mereka sebenarnya mau diam saja, tidak banyak bacot, andai orang-orang bertuhan/beragama juga mau diam dan menjalani keyakinan mereka tanpa pamer, serta tanpa memaksakan keyakinan pada orang-orang lain.

Tapi kenyataannya tidak begitu, kan? Orang-orang beragama/bertuhan, entah kenapa, seperti orang-orang gatal yang tak bisa diam. Melihat orang lain berbeda, ngamuk. Melihat orang lain tidak melakukan yang ia lakukan, ribut. Siapa yang tidak gatal melihatnya?

Tidak usah ngomong sampai ke ateis/agnostik atau kepada orang-orang yang beda agama, bahkan kepada orang-orang yang seagama saja mereka bisa saling ribut—dan entah bagaimana, mereka selalu bisa menemukan alasan untuk ribut, hingga terus ribut dan ribut.

Bertolak dari kenyataan itu, saya lebih percaya pada doktrin sekularisme yang menyatakan bahwa agama [dan kepercayaan kepada Tuhan] adalah, mestinya, urusan pribadi. Menempatkan agama sebagai urusan pribadi akan membuat orang lebih saling menghormati. 

Dalam Islam, misalnya, orang NU pakai qunut saat salat subuh, sementara orang Muhammadiyah tidak pakai qunut. Ini perbedaan yang penting, sebenarnya, tapi orang-orang NU dan Muhammadiyah, untungnya, tidak sampai perang hanya gara-gara perbedaan itu.
 
Tetangga depan rumah saya adalah orang Muhammadiyah. Waktu masih hidup, dulu, dia selalu ikut salat berjemaah di musala kampung, yang isinya orang-orang NU. Tapi kalau salat subuh, dia ikut berjemaah di masjid khusus orang Muhammadiyah. Beda, tapi tidak ribut. 

Andai orang-orang beragama bisa seperti itu—pakai qunut atau tidak dan perbedaan semacamnya—dan bisa hidup tenang, damai, tanpa saling menyalahkan, separuh masalah masyarakat sudah teratasi. Tapi sepertinya rata-rata orang beragama tidak ingin seperti itu.

Akhir-akhir ini, bahkan, ada semacam gejala kekurangdewasaan di antara orang-orang beragama dalam menyikapi agamanya. Bukan menempatkan keyakinan agama untuk diri sendiri, tapi justru memaksakannya kepada orang-orang lain. Keributan pun dimulai.

Mengapa gejala kekurangdewasaan semacam itu bisa terjadi? Dalam perspektif saya, gejala ini tidak timbul secara alami—meski mungkin kita bisa menganalogikannya dengan pubertas—tapi sengaja diciptakan, karena adanya kepentingan!

Diakui atau tidak, disadari atau tidak, ada pihak-pihak yang sengaja menggunakan agama untuk menunjang kepentingan-kepentingan mereka. Karenanya, mereka menginginkan “semua orang harus sama”. Karena demokrasi, kita tahu, membutuhkan suara mayoritas.

Ketika agama (atau kita bisa menyebutnya “ketuhanan”) berselingkuh dengan kepentingan duniawi manusia, kekacauan pun terjadi, dan yang kita saksikan sekarang itulah hasilnya. Orang sibuk mendoktrinkan agama... bukan ke diri sendiri, tapi ke orang lain.

Jadi, saban hari, setiap saat, kita pun terus menghadapi gempuran doktrin agama, di dunia nyata maupun dunia maya. Mereka ingin kita percaya, mereka ingin kita mengikuti, mereka ingin kita takut, mereka ingin kita patuh, mereka ingin kita menjadi bagian mereka.

Di hadapan gempuran doktrin semacam itu, sebagian orang jadi muak, lalu lahirlah akun-akun ateis/agnostik di Twitter. Bagi mereka, mungkin, membuat akun Twitter dan menyerang balik doktrin agama jadi semacam katarsis, untuk tidak menyebutnya perlawanan.

Tanpa bermaksud menyebarkan sekularisme, agama [atau tak beragama] mestinya memang urusan pribadi. Seperti juga perkawinan. Orang mau menikah atau tidak, itu urusan pribadi, bukan urusan kita, dan kita tidak berhak nyinyir/mengusik pilihan hidup mereka.

 
;