Senin, 20 Desember 2021

Kekacauan Media Online di Indonesia

Barusan ngobrol dengan beberapa orang yang bekerja di media, dan kami membicarakan catatan ini: Sebenarnya, Siapakah yang Menjadi Influencer Jokowi? » https://bit.ly/3lDcAnV

Sekarang, sambil nunggu udud habis, sepertinya aku perlu ngoceh dan memberikan klarifikasi.

Catatan itu merupakan transkrip dari ocehanku di TL, yang waktu itu mengomentari judul-judul di media online yang bisa dibilang seragam.

Apakah aku curiga media-media di Indonesia telah dibayar untuk jadi influencer Jokowi? Tidak! Mereka hanya terjebak!

Media-media yang menggunakan judul seragam—dalam kasus ini; menggunakan nama Jokowi pada judul—belum tentu dibayar untuk jadi influencer, tapi mereka terjebak oleh kenaifannya sendiri. 

Ini fenomena yang terjadi di media-media online Indonesia, tapi mereka tidak juga menyadari.

Seperti yang kukatakan di sini, atmosfer media online di Indonesia saling terpengaruh dan mempengaruhi. Jika satu media menggunakan istilah tertentu, misalnya, media-media lain akan meniru dan mengikuti. Ini sangat mencolok, tapi mereka tidak juga sadar.


Contoh paling mudah, seperti kuocehkan di sini, adalah pemenggalan akhiran “lah” dan “nya”. Sekian tahun lalu, ketika media online di Indonesia belum sebanyak sekarang, para jurnalis tahu bahwa akhiran “lah” dan “nya” dalam penulisan baku selalu digabung. 



Lalu terjadi booming media online seperti sekarang. Dari ratusan, kini telah jadi ribuan. Apa yang terjadi di baliknya? Sangat jelas, ada ribuan “anak baru” masuk ke industri media, dengan pengetahuan jurnalistik yang mungkin belum matang, lalu kesalingterpengaruhan terjadi.

Ribuan “anak baru” itu belum punya kepercayaan diri dalam menulis, karena pengetahuan jurnalistiknya memang belum matang dan belum ada pengalaman. Akibatnya, mereka menulis (khususnya menulis berita) dengan meniru para senior mereka, atau meniru gaya menulis media-media tetangga.

Dari situlah masalah lalu muncul, dan kini menjebak serta memerangkap ribuan media online di Indonesia—kalau saja kita cukup peka untuk melihat dan menyadarinya. Dari situ pula muncul kesalahan massal terkait, misalnya, akhiran “lah” dan akhiran “nya”... sampai penulisan judul.

Asal usul kekacauan massal ini sebenarnya sepele. Ada media online populer yang menulis akhiran “lah” dengan cara dipenggal, karena memang mengharuskan pemenggalan (misalnya transkrip ucapan seseorang, “Sekitar seminggu, lah”). Penulisan itu benar, tapi dipahami secara keliru.

Ketika para jurnalis-pendatang-baru melihat tulisan itu (pemenggalan akhiran “lah”), mereka berasumsi bahwa akhiran “lah” dipenggal, tanpa menyadari bahwa ada koma yang disisipkan di situ. Lalu mereka mulai memenggal akhiran “lah” untuk semua berita yang mereka tulis.

Karena atmosfer media online di Indonesia saling terpengaruh dan mempengaruhi, kesalahan massal pun dimulai. Satu jurnalis memenggal akhiran “lah” secara keliru (misal “katakan lah”), lalu para jurnalis dari media-media lain meniru, dan begitu seterusnya, sampai sekarang.

Sudah melihat yang kumaksud? Tanpa bermaksud menggurui, akhiran “lah” dalam penulisan bahasa baku mestinya digabung, begitu pula akhiran “nya”. 

Sila konfirmasikan pernyataan ini pada Ivan Lanin atau pakar bahasa Indonesia manapun, dan mereka akan menyepakati yang kukatakan.

Sekarang kita masuk pada inti masalah, terkait media-media online di Indonesia yang secara serempak dan seragam menggunakan judul dengan menyisipkan nama Jokowi. 

Apakah mereka memang dibayar untuk menjadi influencer Jokowi? 

Tidak. 

Yang benar, mereka telah terjebak!

Ini kasusnya sama dengan kesalahan penggunaan akhiran “lah” tadi. Mula-mula, sebuah media menulis judul dengan memasukkan nama Jokowi. 

Lalu media-media lain meniru, apa pun alasannya, dan begitu sambung menyambung, sampai seluruh media di Indonesia melakukan hal sama. Oh, well.

Dalam hal ini, sebagian orang mungkin curiga kalau media yang pertama kali menggunakan judul semacam itu memang dibayar sebagai influencer. Sementara media-media lain, yang meniru mereka mentah-mentah, cuma mengamplifikasi propaganda mereka secara gratisan.

Sudah paham sekarang?

Kasus terbaru, masih terkait konteks yang sama, adalah soal “PSBB Total” yang diterapkan di DKI Jakarta. 

Apakah Anies Baswedan memang mengatakan “PSBB total”? Tidak, tidak pernah! Silakan cek seluruh transkrip omongan Anies, dan tidak ada istilah itu. 

Anies Baswedan hanya mengatakan “PSBB”, bukan “PSBB Total”. Tetapi, tiba-tiba, seluruh media di Indonesia menulis “PSBB Total”, dengan aneka macam tudingan—dalam kerangka jurnalistik, tentu saja. 

Itulah hari bersejarah, ketika seseorang (Anies) difitnah secara nasional!

Bagaimana kegilaan semacam itu bisa terjadi? Kasusnya sama seperti penggunaan akhiran “lah” yang keliru, atau penyisipan nama Jokowi pada judul berita. 

Mula-mula, sebuah media menggunakan istilah “PSBB Total” dengan gaya sambil lalu. Kemudian media-media lain seketika meniru.

Yang ajaib, waktu itu, tidak ada satu pun awak media yang menyadari kenyataan yang sebenarnya salah kaprah itu, hingga istilah “PSBB Total” terus digunakan berhari-hari. Sampai kemudian, Doni Monardo, Kepala BPNB, meluruskan bahwa “Anies tidak pernah menyebut istilah PSBB Total”.

Setelah ada klarifikasi dari Doni Monardo, apakah media-media di Indonesia mengakui kesalahan mereka, dan berhenti menyebut PSBB Total? Tidak! 

Sejauh yang aku tahu, cuma IDN Times yang mau mengakui kesalahannya, dan meminta maaf secara terbuka. Mereka layak mendapat respek.

Sekarang, sebagian kita mungkin bertanya-tanya, mengapa ada media yang sengaja “memperkenalkan” istilah PSBB Total, hingga akhirnya “diadopsi” oleh media-media lain, dan bikin geger se-Indonesia? 

Kalau cukup peka, kita akan tahu jawabannya; itu cuma keping puzzle pertama.

Istilah rancu “PSBB Total” tidak berdiri sendiri—ia bahkan sebenarnya tidak punya arti jika berdiri sendiri, karena nyatanya cuma satu keping dari puzzle yang tidak utuh. Agar istilah itu punya daya dan bisa digunakan untuk suatu tujuan, harus ada keping kedua yang melengkapinya.

Dan apa keping kedua? 

Tiga ratus triliun kabur dari Indonesia! 

Kita bisa melihat benang merahnya. Mula-mula, ledakkan istilah “PSBB Total”. Setelah istilah itu terserap jutaan orang, ledakkan lanjutannya. Dan masyarakat luas, melalui perantara media, dibuat salah paham.

Apa sebenarnya arti “tiga ratus triliun kabur dari Indonesia” waktu itu? Masyarakat awam, bahkan mungkin sebagian besar awak media, salah paham dengan membayangkan ada uang cash sebanyak Rp300 triliun keluar dari Indonesia—kesalahpahaman yang tampaknya memang diarahkan.

Tapi sebenarnya bukan itu! Yang dimaksud “Rp300 triliun keluar dari Indonesia” adalah kapitalisasi pasar atau market capitalization (market cap). Yaitu “berapa nilai yang harus dibayar pasar, jika diasumsikan seluruh saham BEI dijual kepada investor dalam waktu bersamaan.”

Jika kalian tidak paham yang barusan kukatakan, ya wajar, karena itu pula banyak orang salah paham, dan berasumsi bahwa ada uang cash Rp300 triliun keluar dari Indonesia. Kenyataannya, orang-orang yang mengembuskan isu itu juga tidak menjelaskan apa maksud mereka secara gamblang.

Bisa melihat sesuatu telah terjadi di sini?

Alurnya sederhana. Anies Baswedan melihat kasus Covid-19 di DKI makin parah. Untuk mengendalikannya, dia kembali menerapkan PSBB. Ada yang tidak senang, dan istilah PSBB diselewengkan, lalu isu tidak jelas diembuskan untuk menjegalnya.

Kalau-kalau ada yang mengira aku pendukung Anies, itu jelas keliru. Aku bukan warga DKI, dan aku tidak peduli siapa yang menjadi pemimpin di sana. Tapi fakta bahwa ada yang terus berusaha menjegal kebijakan Anies dalam mengendalikan kasus Covid-19 di DKI, itu jelas terlihat.

Well, sebenarnya masih banyak hal yang ingin kuocehkan, khususnya terkait kekacauan yang terjadi di dunia media Indonesia, hingga mudah dikendalikan tanpa sadar (misal judul “Jokowi” atau “PSBB Total”). Tapi ocehan ini sudah panjang, dan cokelat hangat serta ududku sudah habis.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 September 2020.

Jurnalisme Ini

Nemu berita, judulnya seperti ini:

Potong Kepala Wanita dan Makan Bagian Ini, Saat Ditangkap Kanibal Ini Memberi Tahu Polisi Hal yang Bikin Bergidik dan Ngilu Ini

Secara keseluruhan, isi penting berita cuma "ini". Oh, jurnalisme hari ini.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 7 Desember 2019.

Cover Both Side

Meretas situs TEMPO tampaknya kesalahan fatal sekaligus tolol yang akan disesali pelakunya, dan kini amunisi telah diledakkan. Semoga "perang" ini tak berakhir antiklimaks, dan ledakannya tak berhenti sampai di sini. 

Mari kita tunggu bom apa lagi yang akan diledakkan TEMPO. 

Dan ini, anggap saja cover both side. 

Sebenarnya, Siapakah yang Menjadi Influencer Jokowi? » https://bit.ly/3lDcAnV


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 September 2020.

Peretasan Demokrasi

Kemarin situs Tempo diretas, dan peretasnya bisa dibilang sudah jelas. Itu simbol peretasan demokrasi.

Tapi Tempo mungkin menghadapi dilema untuk membawa kasus ini ke ranah hukum, mengingat jejak-jejak kasus sebelumnya. So, bagaimana cara terbaik menghadapi kasus tersebut?

Menurutku, dalam konteks kasus Tempo, cara terbaik menghadapi "penghinaan" itu adalah dengan meminjam puisi Dian Sastro, "Pecahkan saja gelasnya biar ramai. Biar mengaduh sampai gaduh."

Orang-orang Tempo pasti paham bagaimana cara melakukannya, sekaligus membalikkan permainan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Agustus 2020.

Plong

"Plong" memang sensasi. Terpujilah Ahmad Dhani.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 September 2012.

Jumat, 10 Desember 2021

Berwisata ke Korea Utara

Korea Utara bisa menjadi miniatur bagaimana
kehidupan umat manusia di dunia ini dikendalikan agar 
"tetap begini adanya". Tanpa kesadaran, tanpa pengetahuan.
@noffret


Bagi yang ingin berwisata ke tempat antimainstream, Korea Utara mungkin bisa menjadi pilihan. Khususnya kalau kau sudah terbiasa melihat Paris, Las Vegas, Seoul, London, New York, dan semacamnya. Dibanding kota-kota terkenal itu, Korea Utara—khususnya Pyongyang—akan tampak seperti antitesis.

Hal pertama yang perlu disadari terkait Korea Utara, di sana tidak ada internet. Setidaknya, warga Korea Utara tidak bisa bebas mengakses internet. Korea Utara, sebagai negara, memang punya situs di internet, tapi bisa dihitung jari. Isinya pun hanya seputar pariwisata, yang ditujukan untuk warga luar negeri yang ingin ke sana.

Jadi, apakah kita boleh berkunjung ke Korea Utara? Tentu saja boleh, meski agak ribet. Untuk bisa masuk ke Korea Utara, kita tidak boleh sendirian, harus bersama rombongan. Sementara itu, setiap tahun, Korea Utara—khususnya Pyongyang—membatasi kunjungan hanya untuk 1.000 wisatawan (jika belum berubah). 

Penerbangan menuju Pyongyang masih sangat terbatas. Kebanyakan wisatawan yang ingin masuk Korea Utara harus melakukan penerbangan dari Cina. Wisatawan juga tidak bisa bebas berkeliaran sendirian, harus ditemani pemandu wisata yang disediakan pemerintah. Wisatawan tidak diperbolehkan berkeliaran sendiri, atau berbicara dengan warga lokal, tanpa ditemani.

Kemudian, yang juga patut diperhatikan, Korea Utara termasuk destinasi wisata yang mahal. Nilai mata uang yang tinggi membuat harga barang di sana sangat mahal, dari minuman hingga akomodasi. Wisatawan harus membayar dengan mata uang Euro, karena tidak diperbolehkan menggunakan mata uang lokal.

Sekadar catatan, jurnalis atau wartawan sebaiknya berhati-hati, atau sebaiknya tidak usah ke sana. Kalau kau masuk Korea Utara, dan ketahuan bekerja sebagai wartawan, nasibmu bisa berbahaya (kebanyakan jurnalis masuk ke sana secara incognito.)

Apa yang bisa dilihat di Korea Utara? Jawabannya tidak ada!

Ada aturan sangat ketat yang diberlakukan untuk para wisatawan yang masuk Korea Utara. Pertama, tidak boleh merekam warga Korea Utara, baik dalam bentuk foto maupun video. Kedua, tidak boleh mengabadikan gambar tentara Korea Utara (di sana, tentara ada di mana-mana). Ketiga, tidak boleh berinteraksi dengan warga Korea Utara tanpa izin. Keempat, tidak boleh bepergian keluar dari hotel tanpa izin pemandu. Kelima, jika ingin memotret atau merekam video terkait objek apa pun, harus seizin pemandu.

Apakah aturan itu sudah bikin pusing? Tunggu, kalian harus mendengar lanjutannya.

Saat masuk Korea Utara, kita memang diizinkan membawa kamera, tapi tidak boleh membawa ponsel. Semua gadget yang memiliki akses internet dan pelacak sinyal (semacam GPS) tidak boleh digunakan. Jadi, begitu masuk Korea Utara, semua akses ke dunia luar bisa dibilang terputus. Tidak ada telepon, tidak ada SMS atau pesan instan lainnya, juga tidak ada internet! Kita seperti memasuki sebuah peradaban yang hilang.

Dalam acara wisata di sana, kita memang boleh memasuki beberapa gedung tertentu, dan diizinkan membuat foto. Namun, di gedung-gedung itu biasanya—dan hampir pasti—akan ada foto, patung, atau lukisan Sang Pemimpin Tertinggi Korea Utara (kalian tahu siapa yang saya maksud). 

Jika kita ingin berfoto di depan lukisan atau patung Sang Pemimpin Tertinggi, kita tidak boleh menghalangi lukisan atau patung tersebut. Selain itu, berfoto di samping lukisan atau patung Sang Pemimpin Tertinggi tidak boleh bergaya seenaknya, tapi harus berdiri tegap (ini serius!)

Dengan kata lain, JANGAN MIMPI BISA SELFIE DI KOREA UTARA! 

Sekarang kita paham, kenapa selama ini jarang menemukan orang selfie berlatar Korea Utara. Karena taruhannya nyawa!

Selama berwisata ke Korea Utara, pemandu biasanya akan membawa kita ke tempat-tempat tertentu, yang umumnya memang ditujukan sebagai “pertunjukan pariwisata”. Tujuannya, agar saat wisatawan keluar dari sana, mereka punya kesan positif tentang negara tersebut. Tetapi, biasanya, orang yang pernah masuk ke Korea Utara tidak ingin masuk ke sana lagi. Wong tidak menarik blas! 

Daripada masuk Pyongyang yang suasananya kaku dan menegangkan, jauh lebih menyenangkan masuk Las Vegas dan menyaksikan cewek-cewek berjoget, atau menikmati surga di Ibiza.

Memasuki Korea Utara seperti memasuki gua, atau tempurung. Sebuah tempat yang tertutup, dan tidak memiliki akses dengan dunia luar. Tentu tidak masalah jika kita berada di satu tempat, dan tidak bisa keluar, tapi memiliki akses untuk melihat dunia luar. Misal lewat televisi atau internet.  

Dalam keseharian, misal, banyak orang yang seharian hanya duduk di satu ruangan, tapi tetap nyaman karena bisa terhubung dunia luar dengan mudah, baik lewat ponsel atau internet. Saya bahkan bisa tinggal di rumah tanpa keluar sama sekali sampai berhari-hari, dan nyaman-nyaman saja, karena bisa melakukan apa pun yang ingin saya lakukan—bekerja, menikmati hiburan, mengakses berita dan informasi terbaru, terhubung dengan orang-orang di luar, sampai memesan makanan dan lain-lain.

Meski tidak keluar ke mana-mana, saya tetap merasa bebas, karena memang tidak dikurung, dan tidak ada yang mengawasi. Dengan kata lain, saya bebas melakukan apa pun yang ingin saya lakukan. Bahkan umpama saya jenuh di rumah, saya bisa keluar kapan pun, ke mana pun.

Hal semacam itu tidak terjadi pada orang-orang di Korea Utara. Penduduk di sana tidak bisa keluar negeri secara bebas, karena tembok tinggi dan pagar berduri mengurung mereka. Sebenarnya, itu belum jadi masalah, kalau saja warga Korea Utara memiliki kebebasan untuk melakukan yang ingin mereka lakukan. Sayangnya, bahkan kebebasan pun tidak ada.

Seperti yang disebut tadi, di Korea Utara tidak ada internet. Kita yang tinggal di Indonesia, misalnya, bisakah membayangkan hidup tanpa internet? Saat ini, internet adalah jendela besar untuk melihat luasnya dunia, sekaligus cara termudah untuk menatap dunia di sekitar dan di luar kita. Ketika akses internet dihilangkan, kita bisa membayangkan bagaimana “terbelakangnya” warga Korea Utara.

Memang, di Korea Utara ada televisi, radio, dan tentu saja surat kabar atau koran. Tetapi... televisi di Korea Utara hanya punya satu chanel, yaitu chanel resmi milik pemerintah. Begitu pula radio. Dan surat kabar. Semuanya menjadi alat pemerintah untuk mengekang sekaligus mendoktrin rakyat di sana. Kau menonton acara televisi, kau mendengarkan suara radio, atau kau membaca apa pun di koran, semuanya terkait propaganda pemerintah.

Ada hal unik terkait hal itu, yang mungkin belum pernah kita bayangkan.

Di Korea Utara, semua televisi (atau radio, bagi yang tidak punya televisi) tidak boleh dimatikan. Jadi, televisi atau radio di rumah-rumah penduduk akan terus menyala, tak peduli penghuni rumah sudah tidur. Volume memang boleh dilirihkan, asal tetap terdengar suara, tapi tidak boleh dimatikan! Jadi, sejak bangun tidur, selama beraktivitas seharian, sampai mau tidur lagi, penduduk Korea Utara akan terus dapat menonton televisi atau mendengarkan radio, yang isinya hanya itu ke itu; doktrin dan propaganda pemerintah. 

Kim Jong-un mungkin tampak lucu bagi sebagian orang di luar Korea Utara, khususnya karena potongan rambutnya yang unik. Tetapi, di negerinya sendiri, dia dianggap semacam nabi. Karena sosoknya dimuliakan dari waktu ke waktu melalui semua media massa di sana. Bahkan dalam film kartun—yang sudah muncul berkali-kali di televisi—pun diselipkan aneka puja-puji untuk Yang Mulia Kim Jong-un. Orang-orang Korea Utara, bahkan sejak anak-anak, sudah didoktrin bahwa pemimpin mereka begitu agung.

Sebagian penduduk yang tinggal di perbatasan, kadang bisa mengakses stasiun televisi dari Korea Selatan (yang isinya tentu jauh lebih menarik daripada acara televisi Korea Utara). Tetapi, mereka tidak pernah berani menyaksikan. Karena, kalau ketahuan, hukumannya mati. Jadi, sementara orang-orang di Korea Selatan menyaksikan wajah-wajah manis para oppa, warga Korea Utara hanya bisa memandangi wajah Kim Jong-un di layar televisi mereka.

Yang mengerikan, ada semacam “kesetiaan luar biasa” di kalangan penduduk di sana, yang menjadikan warga benar-benar tidak berani melanggar aturan pemerintah, meski sepele sekali pun. Seperti menonton siaran televisi dari negara tetangga (Korea Selatan). Sebagian kita mungkin berpikir, “Ah, apa salahnya nonton drakor, toh di rumah sendiri. Tidak akan ada yang tahu!”

Kemungkinan, tentara-tentara yang tersebar di mana-mana di Korea Utara memang tidak tahu kalau ada warga yang mungkin menonton siaran televisi dari negara tetangga. Tetapi, orang serumah pasti tahu. Yang mengerikan, keluargamu sendiri bisa melaporkanmu ke aparat, dan mereka akan menangkapmu karena kau menonton drama Korea Selatan.

Jadi, di Korea Utara, kakakmu atau adikmu atau bahkan orang tuamu, bisa melaporkanmu ke aparat karena menonton siaran dari Korea Selatan, dan mereka akan menangkapmu. Mungkin terdengar mengerikan, dan itulah kenapa tidak ada warga Korea Utara yang berani coba-coba mengubah chanel televisi mereka. Karena anggota keluarga sendiri ikut mengawasi.

Kim Jong-un sudah dianggap nabi di sana, dengan segala kemuliaannya, sementara aturan pemerintah [yang tentu aturan Kim Kong-un] sudah dianggap kebenaran mutlak yang tak bisa diganggu gugat. Dalam cara berpikir semacam itu, pantas kalau ada kakak yang rela adiknya dihukum mati karena melanggar aturan “kebenaran”, atau ada orang tua yang tidak peduli anaknya dieksekusi karena melawan titah “sang nabi”.

Ada banyak warga Korea Utara yang percaya bahwa Kim Jong-un dan keluarganya tidak pernah buang air besar. Terdengar konyol? Mungkin iya, bagi kita. Tapi tidak, bagi penduduk Korea Utara. Dengan segala doktrin dan propaganda yang merasuki kehidupan setiap hari, mereka percaya bahwa Kim Jong-un dan keluarganya terlalu mulia untuk berurusan dengan toilet. 

Doktrin dan propaganda pemerintah a.k.a Kim Jong-un tidak hanya lewat televisi yang tidak boleh dimatikan, tapi juga lewat sarana lain; radio dan surat kabar. Di Korea Utara, sebagaimana umumnya di negara lain, ada banyak penjual koran. Tapi isi koran itu, setiap hari, hanya Kim Jong-un dan Kim Jong-un.

Bayangkan kita membeli koran di Korea Utara, lalu membukanya. Di halaman muka, ada Kim Jong-un. Membuka halaman dua, ada Kim Jong-un. Melihat halaman tiga, ada Kim Jong-un. Dan begitu terus sampai halaman belakang. Semuanya tentang Kim Jong-un dan aneka propaganda pemerintah. Betapa mulianya Kim Jong-un, betapa hebatnya Korea Utara. 

Karenanya, meski mungkin terdengar konyol, banyak penduduk di sana sangat yakin bahwa orang-orang di luar negara mereka sangat iri menyaksikan mereka. Karena Korea Utara, bagi mereka, adalah negeri terbaik di bawah langit. Itu mungkin ironi paling ironis yang bisa kita temukan di muka bumi. Tetapi, kita tahu, segala hal bisa terjadi di bawah kangkangan doktrinasi.

Lelucon Paling Tragis di Muka Bumi

Apa persamaan Nazi Jerman dengan rezim Korea Utara?
Sama-sama suka mendoktrinasi masyarakat dengan TOA.
@noffret


Tujuh puluh sembilan tahun yang lalu, pada 16 Februari 1942, seorang bayi terlahir di tempat rahasia, di sebuah gunung keramat. Ketika bayi itu lahir, bintang yang sangat besar menerangi seluruh langit, musim tiba-tiba berganti—dari dingin ke musim semi—dan pelangi indah bermunculan.

Bayi itu, kelak, akan menciptakan “kebodohan paling menakjubkan” di muka bumi, khususnya di negara bernama Korea Utara. Ah, ya, bayi itu bernama Kim Jong-il, yang belakangan punya anak laki-laki bernama Kim Jong-un. Dari ayah ke anak, mereka sama-sama pemimpin doyan ngibul.

Deskripsi yang saya katakan tadi—tentang bayi yang lahir di gunung dan diikuti bintang cemerlang yang menerangi langit serta pelangi indah bermunculan—tertulis dalam buku-buku sejarah yang diterbitkan di Korea Utara, dan didoktrinkan, dibaca, dipelajari, dan diyakini rakyat Korea Utara.

Jadi, rakyat Korea Utara percaya bahwa pemimpin mereka, Kim Jong-il, adalah manusia pilihan. Sebegitu istimewa, sampai peristiwa kelahirannya mampu mengubah musim dingin menjadi musim semi, sampai bintang besar menerangi langit, sampai pelangi indah bermunculan. Oh, well. 

Faktanya, Kim Jong-il lahir di kamp pengungsian, di Rusia, tempat ayahnya (Kim Il-sung) sedang melarikan diri dari kejaran Jepang. Orang-orang sedunia tahu fakta itu, tapi rakyat Korea Utara justru tidak tahu. Karena mereka (rakyat Korut) memang diupayakan agar tidak pernah tahu.

Pengetahuan kita—masyarakat dunia—tentang Korea Utara jauh berbeda dengan pengetahuan rakyat Korea Utara tentang negaranya. Bagi kita, Korea Utara adalah lelucon paling tragis di muka bumi, kisah nyata jutaan orang bisa dikibuli tanpa pernah sadar mereka dikibuli.

Tapi [hampir semua] rakyat Korea Utara tidak pernah tahu mereka dikibuli. Mereka percaya negara mereka sangat indah, pemimpin mereka sangat baik, aturan yang mengikat mereka sangat adil, dan—ini paling konyol—bahwa orang-orang di dunia merasa iri pada mereka.

Bagaimana bisa jutaan orang dikibuli habis-habisan seperti itu? Karena kesadaran mereka dimatikan. Rakyat Korea Utara tidak mendapatkan informasi apa pun dari luar negara mereka. Semua pengetahuan, bahkan sistem nilai, yang ada di sana hanya datang dari satu sumber: Sang Pemimpin.

Salah satu keyakinan konyol rakyat Korea Utara adalah bahwa pemimpin mereka sangat dicintai dan dipuja masyarakat dunia. Sebegitu cinta, menurut keyakinan mereka, sampai masyarakat dunia tak henti mendoakan Sang Pemimpin Korea Utara. Wuopppoooo....

Setiap bayi yang lahir di Korea Utara akan didoktrin bahwa pemimpin mereka adalah manusia pilihan, bahwa mereka adalah rakyat yang beruntung karena hidup di negara yang indah, dengan aturan yang adil dan menyenangkan, bla-bla-bla. Padahal semuanya cuma ngibul dan ngibul.

Kehidupan rakyat Korea Utara adalah ilustrasi terang benderang tentang batas tipis antara “terdoktrinasi” dan “terbebaskan”. Manusia bisa sebegitu bodoh, hingga terdoktrinasi untuk meyakini sesuatu—tanpa setitik pun keraguan—karena panca-indra dibutakan, kesadaran mereka dimatikan.

Bikin Definisi Sendiri

"Ayo kita bikin definisi sendiri, dan yakini." | Dan cerita pun selesai.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 Juli 2012.

Dan Keraguan

 ...dan keraguan membunuhku perlahan-lahan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 Agustus 2012.

Dingin yang Gigil

Aku ingin meringkuk seperti anak kecil, tak terbangun, melewatkan musim dingin yang gigil.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 Agustus 2012.

Rabu, 01 Desember 2021

Green Capitalism: Apus-Apus Kapitalisme

 Tahun 2001, waktu awal kuliah, aku pertama kali mengenal istilah "green capitalism", di sebuah artikel. Waktu itu aku tidak paham istilah tersebut, meski artikel menguraikannya panjang lebar. Barusan aku nonton YouTube, dan kembali ingat istilah itu... gara-gara disebut Jerinx.

Green capitalism adalah contoh bagaimana kapitalisme memoles dirinya dengan image yang terdengar indah, tapi sebenarnya merusak. Kenyataan itu aku sadari ketika skandal IPCC terbongkar sekian tahun lalu, yang kemudian ditutupi habis-habisan dengan istilah terkenal, "Go green".

Go green adalah istilah yang mungkin terdengar positif, karena mengajak kita untuk "[kembali] merawat alam". Dalam contoh yang mudah, waktu itu, adalah mulai populernya aneka produk yang terbuat dari bahan-bahan alami. Tetapi, sebenarnya, itu cuma "apus-apus ala kapitalisme".

Inilah akar dan asal usul terbelahnya ilmuwan dunia dalam menghadapi masalah pemanasan global, yang sayangnya dipahami secara keliru oleh orang-orang awam. 

PEMANASAN GLOBAL adalah fakta. Tapi ISU PEMANASAN GLOBAL adalah permainan sekelompok elit dengan tendensi kapitalisme.

Bagaimana kita membedakan antara PEMANASAN GLOBAL dengan ISU PEMANASAN GLOBAL? Jawabannya rumit, karena pertama-tama kita harus tahu terlebih dulu apa/siapa/bagaimana IPCC, dan bagaimana data-data climate change diolah. (Kalau tidak tahu apa itu IPCC, silakan googling).

Secara mudah, pemanasan global adalah fakta. Pertanyaannya, siapa yang memiliki wewenang "resmi" untuk mengabarkannya kepada dunia? Jawabannya IPCC, karena mereka ada di bawah PBB. Kapitalisme menyadari hal itu, dan kisah selanjutnya sedang kita alami saat ini; green capitalism.

Kalau oligarki—sekelompok elit mengendalikan pemerintahan—bisa terjadi, kenapa kita tidak pernah membayangkan sekelompok elit mengendalikan lembaga keilmuan? Dalam konteks isu pemanasan global, hal semacam itulah yang terjadi. Kita dipaksa untuk menerima, seolah tak ada pilihan.

Tentu saja "pemanasan global" adalah fakta. Tapi "isu pemanasan global" adalah hal lain yang faktanya perlu diperiksa. Sayangnya, kebanyakan kita lebih mudah menerima apa saja asal "terdengar hebat dan ndakik-ndakik", apalagi jika dikatakan oleh pihak yang "memiliki otoritas".

Agar ocehan ini cepat rampung—juga agar tidak terlalu nyampah di TL orang-orang—mari ambil contoh yang paling sepele dan paling dekat dengan kita. Kantong plastik. Pernahkah kita bertanya-tanya kenapa kebijakan kantong plastik sangat aneh dan tak masuk akal, bahkan tidak adil?

Kita diminta agar tidak lagi menggunakan kantong plastik, alasannya karena merusak alam. Karena itu pula, pemerintah  memasang cukai untuk kantong plastik, dan mendapat sekian miliar dari hal itu secara berkala. Dari mana uang hasil cukai itu? Dari kita, rakyat, para konsumen.

Kalau tidak keliru, mulai Juli tahun ini warga Jakarta benar-benar dilarang menggunakan kantong plastik untuk urusan belanja, termasuk di pasar-pasar tradisional. Beberapa kota lain juga menerapkan kebijakan serupa. Dan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi di seluruh dunia.

Berdasarkan hal tersebut, kita seperti diberi tahu bahwa kantong plastik sungguh jahat, merusak alam, dan karena itu kita tidak boleh lagi menggunakannya. Kalau masih mau menggunakan, harus bayar cukai. 

Pertanyaannya adalah... kenapa aturan itu hanya ditujukan untuk konsumen?

Produsen mi instan, sebagai contoh, setiap hari menghasilkan sampah plastik dalam jumlah tak terhitung banyaknya. Plastik kemasan mereka—sebagaimana kantong plastik—butuh puluhan tahun untuk terurai di alam. Kenapa tak ada yang meributkan hal itu? Bukankah ini sangat tidak adil?

Konsumen, yang MENGGUNAKAN produk mereka, dijerat aneka peraturan terkait plastik. Sementara mereka yang MEMPRODUKSI justru dibebaskan dari aturan terkait plastik. Kenapa kita tidak menyadari ini sangat aneh? Dan mi instan hanya contoh kasus. Kasus lainnya masih sangat banyak.

Dan apa artinya itu? Oh, well, itulah salah satu contoh green capitalism. Kapitalisme yang memanfaatkan isu lingkungan, dengan menimpakan semua beban pada konsumen. Seiring dengan itu, mereka juga memproduksi aneka barang lain yang seolah mengajak kita merawat alam; Go green.

Apa muara yang akan terjadi dari semua ini? Sederhana saja, sesuai hukum besi kapitalisme, yang dinyanyikan Rhoma Irama; yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.

Ocehan ini, kalau kulanjutkan, mungkin baru akan selesai tahun 2619. Jadi cukup sampai di sini. Go sleep.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 Februari 2020.

Mengapa Orang Gila Tak Pernah Sakit?

Ini pemikiran umum orang awam; mengira orang gila (penderita gangguan kejiwaan) sehat-sehat saja dan tak pernah sakit, padahal mereka hidup jorok, makan makanan kotor, dan semacamnya. 

Sayangnya, maaf sekali, itu pemikiran yang keliru. Faktanya, orang gila juga sakit!

Orang gila bisa sakit, sama seperti umumnya orang-orang waras (yang tidak mengalami gangguan kejiwaan). Orang gila bisa sakit perut, pusing kepala, cedera, atau terserang penyakit-penyakit yang lebih serius. Bedanya, orang waras melakukan tindakan, sementara orang gila tidak.

Ketika sakit kepala, orang waras mencari obat. Ketika sakit perut, sakit gigi, atau lainnya, orang waras mendatangi dokter. Karena bisa berpikir waras. Orang gila tidak punya kemampuan itu (namanya juga gila). Jadi mereka mengalami sakit, tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan.

So, orang gila bukan tidak pernah sakit seperti yang dikira orang-orang awam. Mereka juga sakit, tapi kita tidak pernah tahu. Dan, omong-omong, "gila" itu saja sudah sakit.

Aku bukan dokter. Tapi sila konfirmasikan tweet ini ke dokter berkompeten, dan mereka akan membenarkan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 Juli 2020.

Dan Cermin pun Retak

"Dan cermin pun retak," kata Lady of Shallot, "dari sisi ke sisi." 

"Dan hidup pun berdetak," kataku, "dari sunyi ke sunyi."


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 September 2012.

Akun Pernikahan di Twitter

Di Twitter, ternyata ada puluhan akun pernikahan. Adakah akun khusus perceraian? Jika tidak ada, Twitter memang sempurna. Atau sebaliknya?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 September 2012.

Melarung Namamu

Langkah ini gagu. 
Menuju gelap, melarung namamu. 
Ada sesuatu yang tak pernah kutahu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 September 2012.

 
;