Barusan ngobrol dengan beberapa orang yang bekerja di media, dan kami membicarakan catatan ini: Sebenarnya, Siapakah yang Menjadi Influencer Jokowi? » https://bit.ly/3lDcAnV
Sekarang, sambil nunggu udud habis, sepertinya aku perlu ngoceh dan memberikan klarifikasi.
Catatan itu merupakan transkrip dari ocehanku di TL, yang waktu itu mengomentari judul-judul di media online yang bisa dibilang seragam.
Apakah aku curiga media-media di Indonesia telah dibayar untuk jadi influencer Jokowi? Tidak! Mereka hanya terjebak!
Media-media yang menggunakan judul seragam—dalam kasus ini; menggunakan nama Jokowi pada judul—belum tentu dibayar untuk jadi influencer, tapi mereka terjebak oleh kenaifannya sendiri.
Ini fenomena yang terjadi di media-media online Indonesia, tapi mereka tidak juga menyadari.
Seperti yang kukatakan di sini, atmosfer media online di Indonesia saling terpengaruh dan mempengaruhi. Jika satu media menggunakan istilah tertentu, misalnya, media-media lain akan meniru dan mengikuti. Ini sangat mencolok, tapi mereka tidak juga sadar.
Contoh paling mudah, seperti kuocehkan di sini, adalah pemenggalan akhiran “lah” dan “nya”. Sekian tahun lalu, ketika media online di Indonesia belum sebanyak sekarang, para jurnalis tahu bahwa akhiran “lah” dan “nya” dalam penulisan baku selalu digabung.
Lalu terjadi booming media online seperti sekarang. Dari ratusan, kini telah jadi ribuan. Apa yang terjadi di baliknya? Sangat jelas, ada ribuan “anak baru” masuk ke industri media, dengan pengetahuan jurnalistik yang mungkin belum matang, lalu kesalingterpengaruhan terjadi.
Ribuan “anak baru” itu belum punya kepercayaan diri dalam menulis, karena pengetahuan jurnalistiknya memang belum matang dan belum ada pengalaman. Akibatnya, mereka menulis (khususnya menulis berita) dengan meniru para senior mereka, atau meniru gaya menulis media-media tetangga.
Dari situlah masalah lalu muncul, dan kini menjebak serta memerangkap ribuan media online di Indonesia—kalau saja kita cukup peka untuk melihat dan menyadarinya. Dari situ pula muncul kesalahan massal terkait, misalnya, akhiran “lah” dan akhiran “nya”... sampai penulisan judul.
Asal usul kekacauan massal ini sebenarnya sepele. Ada media online populer yang menulis akhiran “lah” dengan cara dipenggal, karena memang mengharuskan pemenggalan (misalnya transkrip ucapan seseorang, “Sekitar seminggu, lah”). Penulisan itu benar, tapi dipahami secara keliru.
Ketika para jurnalis-pendatang-baru melihat tulisan itu (pemenggalan akhiran “lah”), mereka berasumsi bahwa akhiran “lah” dipenggal, tanpa menyadari bahwa ada koma yang disisipkan di situ. Lalu mereka mulai memenggal akhiran “lah” untuk semua berita yang mereka tulis.
Karena atmosfer media online di Indonesia saling terpengaruh dan mempengaruhi, kesalahan massal pun dimulai. Satu jurnalis memenggal akhiran “lah” secara keliru (misal “katakan lah”), lalu para jurnalis dari media-media lain meniru, dan begitu seterusnya, sampai sekarang.
Sudah melihat yang kumaksud? Tanpa bermaksud menggurui, akhiran “lah” dalam penulisan bahasa baku mestinya digabung, begitu pula akhiran “nya”.
Sila konfirmasikan pernyataan ini pada Ivan Lanin atau pakar bahasa Indonesia manapun, dan mereka akan menyepakati yang kukatakan.
Sekarang kita masuk pada inti masalah, terkait media-media online di Indonesia yang secara serempak dan seragam menggunakan judul dengan menyisipkan nama Jokowi.
Apakah mereka memang dibayar untuk menjadi influencer Jokowi?
Tidak.
Yang benar, mereka telah terjebak!
Ini kasusnya sama dengan kesalahan penggunaan akhiran “lah” tadi. Mula-mula, sebuah media menulis judul dengan memasukkan nama Jokowi.
Lalu media-media lain meniru, apa pun alasannya, dan begitu sambung menyambung, sampai seluruh media di Indonesia melakukan hal sama. Oh, well.
Dalam hal ini, sebagian orang mungkin curiga kalau media yang pertama kali menggunakan judul semacam itu memang dibayar sebagai influencer. Sementara media-media lain, yang meniru mereka mentah-mentah, cuma mengamplifikasi propaganda mereka secara gratisan.
Sudah paham sekarang?
Kasus terbaru, masih terkait konteks yang sama, adalah soal “PSBB Total” yang diterapkan di DKI Jakarta.
Apakah Anies Baswedan memang mengatakan “PSBB total”? Tidak, tidak pernah! Silakan cek seluruh transkrip omongan Anies, dan tidak ada istilah itu.
Anies Baswedan hanya mengatakan “PSBB”, bukan “PSBB Total”. Tetapi, tiba-tiba, seluruh media di Indonesia menulis “PSBB Total”, dengan aneka macam tudingan—dalam kerangka jurnalistik, tentu saja.
Itulah hari bersejarah, ketika seseorang (Anies) difitnah secara nasional!
Bagaimana kegilaan semacam itu bisa terjadi? Kasusnya sama seperti penggunaan akhiran “lah” yang keliru, atau penyisipan nama Jokowi pada judul berita.
Mula-mula, sebuah media menggunakan istilah “PSBB Total” dengan gaya sambil lalu. Kemudian media-media lain seketika meniru.
Yang ajaib, waktu itu, tidak ada satu pun awak media yang menyadari kenyataan yang sebenarnya salah kaprah itu, hingga istilah “PSBB Total” terus digunakan berhari-hari. Sampai kemudian, Doni Monardo, Kepala BPNB, meluruskan bahwa “Anies tidak pernah menyebut istilah PSBB Total”.
Setelah ada klarifikasi dari Doni Monardo, apakah media-media di Indonesia mengakui kesalahan mereka, dan berhenti menyebut PSBB Total? Tidak!
Sejauh yang aku tahu, cuma IDN Times yang mau mengakui kesalahannya, dan meminta maaf secara terbuka. Mereka layak mendapat respek.
Sekarang, sebagian kita mungkin bertanya-tanya, mengapa ada media yang sengaja “memperkenalkan” istilah PSBB Total, hingga akhirnya “diadopsi” oleh media-media lain, dan bikin geger se-Indonesia?
Kalau cukup peka, kita akan tahu jawabannya; itu cuma keping puzzle pertama.
Istilah rancu “PSBB Total” tidak berdiri sendiri—ia bahkan sebenarnya tidak punya arti jika berdiri sendiri, karena nyatanya cuma satu keping dari puzzle yang tidak utuh. Agar istilah itu punya daya dan bisa digunakan untuk suatu tujuan, harus ada keping kedua yang melengkapinya.
Dan apa keping kedua?
Tiga ratus triliun kabur dari Indonesia!
Kita bisa melihat benang merahnya. Mula-mula, ledakkan istilah “PSBB Total”. Setelah istilah itu terserap jutaan orang, ledakkan lanjutannya. Dan masyarakat luas, melalui perantara media, dibuat salah paham.
Apa sebenarnya arti “tiga ratus triliun kabur dari Indonesia” waktu itu? Masyarakat awam, bahkan mungkin sebagian besar awak media, salah paham dengan membayangkan ada uang cash sebanyak Rp300 triliun keluar dari Indonesia—kesalahpahaman yang tampaknya memang diarahkan.
Tapi sebenarnya bukan itu! Yang dimaksud “Rp300 triliun keluar dari Indonesia” adalah kapitalisasi pasar atau market capitalization (market cap). Yaitu “berapa nilai yang harus dibayar pasar, jika diasumsikan seluruh saham BEI dijual kepada investor dalam waktu bersamaan.”
Jika kalian tidak paham yang barusan kukatakan, ya wajar, karena itu pula banyak orang salah paham, dan berasumsi bahwa ada uang cash Rp300 triliun keluar dari Indonesia. Kenyataannya, orang-orang yang mengembuskan isu itu juga tidak menjelaskan apa maksud mereka secara gamblang.
Bisa melihat sesuatu telah terjadi di sini?
Alurnya sederhana. Anies Baswedan melihat kasus Covid-19 di DKI makin parah. Untuk mengendalikannya, dia kembali menerapkan PSBB. Ada yang tidak senang, dan istilah PSBB diselewengkan, lalu isu tidak jelas diembuskan untuk menjegalnya.
Kalau-kalau ada yang mengira aku pendukung Anies, itu jelas keliru. Aku bukan warga DKI, dan aku tidak peduli siapa yang menjadi pemimpin di sana. Tapi fakta bahwa ada yang terus berusaha menjegal kebijakan Anies dalam mengendalikan kasus Covid-19 di DKI, itu jelas terlihat.
Well, sebenarnya masih banyak hal yang ingin kuocehkan, khususnya terkait kekacauan yang terjadi di dunia media Indonesia, hingga mudah dikendalikan tanpa sadar (misal judul “Jokowi” atau “PSBB Total”). Tapi ocehan ini sudah panjang, dan cokelat hangat serta ududku sudah habis.
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 September 2020.