Rabu, 01 Desember 2021

Green Capitalism: Apus-Apus Kapitalisme

 Tahun 2001, waktu awal kuliah, aku pertama kali mengenal istilah "green capitalism", di sebuah artikel. Waktu itu aku tidak paham istilah tersebut, meski artikel menguraikannya panjang lebar. Barusan aku nonton YouTube, dan kembali ingat istilah itu... gara-gara disebut Jerinx.

Green capitalism adalah contoh bagaimana kapitalisme memoles dirinya dengan image yang terdengar indah, tapi sebenarnya merusak. Kenyataan itu aku sadari ketika skandal IPCC terbongkar sekian tahun lalu, yang kemudian ditutupi habis-habisan dengan istilah terkenal, "Go green".

Go green adalah istilah yang mungkin terdengar positif, karena mengajak kita untuk "[kembali] merawat alam". Dalam contoh yang mudah, waktu itu, adalah mulai populernya aneka produk yang terbuat dari bahan-bahan alami. Tetapi, sebenarnya, itu cuma "apus-apus ala kapitalisme".

Inilah akar dan asal usul terbelahnya ilmuwan dunia dalam menghadapi masalah pemanasan global, yang sayangnya dipahami secara keliru oleh orang-orang awam. 

PEMANASAN GLOBAL adalah fakta. Tapi ISU PEMANASAN GLOBAL adalah permainan sekelompok elit dengan tendensi kapitalisme.

Bagaimana kita membedakan antara PEMANASAN GLOBAL dengan ISU PEMANASAN GLOBAL? Jawabannya rumit, karena pertama-tama kita harus tahu terlebih dulu apa/siapa/bagaimana IPCC, dan bagaimana data-data climate change diolah. (Kalau tidak tahu apa itu IPCC, silakan googling).

Secara mudah, pemanasan global adalah fakta. Pertanyaannya, siapa yang memiliki wewenang "resmi" untuk mengabarkannya kepada dunia? Jawabannya IPCC, karena mereka ada di bawah PBB. Kapitalisme menyadari hal itu, dan kisah selanjutnya sedang kita alami saat ini; green capitalism.

Kalau oligarki—sekelompok elit mengendalikan pemerintahan—bisa terjadi, kenapa kita tidak pernah membayangkan sekelompok elit mengendalikan lembaga keilmuan? Dalam konteks isu pemanasan global, hal semacam itulah yang terjadi. Kita dipaksa untuk menerima, seolah tak ada pilihan.

Tentu saja "pemanasan global" adalah fakta. Tapi "isu pemanasan global" adalah hal lain yang faktanya perlu diperiksa. Sayangnya, kebanyakan kita lebih mudah menerima apa saja asal "terdengar hebat dan ndakik-ndakik", apalagi jika dikatakan oleh pihak yang "memiliki otoritas".

Agar ocehan ini cepat rampung—juga agar tidak terlalu nyampah di TL orang-orang—mari ambil contoh yang paling sepele dan paling dekat dengan kita. Kantong plastik. Pernahkah kita bertanya-tanya kenapa kebijakan kantong plastik sangat aneh dan tak masuk akal, bahkan tidak adil?

Kita diminta agar tidak lagi menggunakan kantong plastik, alasannya karena merusak alam. Karena itu pula, pemerintah  memasang cukai untuk kantong plastik, dan mendapat sekian miliar dari hal itu secara berkala. Dari mana uang hasil cukai itu? Dari kita, rakyat, para konsumen.

Kalau tidak keliru, mulai Juli tahun ini warga Jakarta benar-benar dilarang menggunakan kantong plastik untuk urusan belanja, termasuk di pasar-pasar tradisional. Beberapa kota lain juga menerapkan kebijakan serupa. Dan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi di seluruh dunia.

Berdasarkan hal tersebut, kita seperti diberi tahu bahwa kantong plastik sungguh jahat, merusak alam, dan karena itu kita tidak boleh lagi menggunakannya. Kalau masih mau menggunakan, harus bayar cukai. 

Pertanyaannya adalah... kenapa aturan itu hanya ditujukan untuk konsumen?

Produsen mi instan, sebagai contoh, setiap hari menghasilkan sampah plastik dalam jumlah tak terhitung banyaknya. Plastik kemasan mereka—sebagaimana kantong plastik—butuh puluhan tahun untuk terurai di alam. Kenapa tak ada yang meributkan hal itu? Bukankah ini sangat tidak adil?

Konsumen, yang MENGGUNAKAN produk mereka, dijerat aneka peraturan terkait plastik. Sementara mereka yang MEMPRODUKSI justru dibebaskan dari aturan terkait plastik. Kenapa kita tidak menyadari ini sangat aneh? Dan mi instan hanya contoh kasus. Kasus lainnya masih sangat banyak.

Dan apa artinya itu? Oh, well, itulah salah satu contoh green capitalism. Kapitalisme yang memanfaatkan isu lingkungan, dengan menimpakan semua beban pada konsumen. Seiring dengan itu, mereka juga memproduksi aneka barang lain yang seolah mengajak kita merawat alam; Go green.

Apa muara yang akan terjadi dari semua ini? Sederhana saja, sesuai hukum besi kapitalisme, yang dinyanyikan Rhoma Irama; yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.

Ocehan ini, kalau kulanjutkan, mungkin baru akan selesai tahun 2619. Jadi cukup sampai di sini. Go sleep.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 Februari 2020.

 
;