Senin, 20 April 2020

Jam Malam

Masalah laten; lapar jam segini.


Karena wabah corona yang saat ini melanda Indonesia, beberapa daerah memberlakukan jam malam. Salah satunya kota tempat saya tinggal. Sejak 1 April kemarin, warga tidak bisa bebas lagi menikmati malam hari, khususnya para pedagang kaki lima yang ada di hampir semua sudut kota.

Di hari-hari biasa, kawasan Simpang Lima, misalnya, menjadi salah satu tempat yang selalu ramai. Dari siang hingga malam, di sana berjejer para penjual aneka makanan, ada pula sarana hiburan yang biasa menjadikan kawasan itu selalu sesak tiap malam. Muda-mudi menikmati kebersamaan, remaja-remaja nongkrong bersama teman- temannya, anak-anak bermain gembira.

Kapan pun saya kebetulan lewat, jalanan sekitar Simpang Lima selalu ramai, hingga saya harus memperlambat laju kendara. Bahkan bukan hanya Simpang Lima, jalan-jalan lain yang terhubung kawasan itu juga dipenuhi para pedagang kaki lima yang selalu ramai dikerubuti pembeli.

Kini, semua keramaian lenyap. Memasuki pukul 21.00—saat jam malam mulai diberlakukan—Simpang Lima sesepi kuburan. Begitu pula tempat-tempat lain yang biasanya selalu ramai. Tidak ada lagi para pedagang yang berjejer, tidak ada lagi para remaja nongkrong, tidak ada lagi muda-muda bermesraan, tidak ada lagi anak-anak yang bermain. Mereka semua, mungkin, terkunci di rumah masing-masing.

Tujuan diberlakukan jam malam, sebagaimana dinyatakan dalam surat edaran pemerintah kota, adalah untuk mencegah kemungkinan penularan virus corona. Dengan adanya jam malam, masyarakat akan mengurangi kemungkinan berbaur dengan banyak orang, meminimalkan tingkat kerumunan, sehingga kemungkinan penularan virus corona bisa diturunkan.

Tentu saja itu tujuan bagus, dengan logika yang sama bagus. Tapi seberapa efektif pemberlakuan jam malam untuk tujuan itu?

Ketika jam malam diberlakukan di seluruh kawasan kota, kalangan pertama yang paling terdampak adalah para pedagang, khususnya yang biasa buka malam hari. Ada banyak pedagang yang mulai buka pukul 17.00, dan baru tutup tengah malam atau dini hari. Umumnya mereka pedagang makanan—warung-warung Lamongan, warung sate Madura, sampai para pedagang nasi goreng, dan lainnya.

Selama bertahun-tahun, jauh-jauh hari sebelum wabah corona muncul, mereka sudah biasa mencari nafkah dengan cara itu; membuka warung atau memulai dagangan sejak sore hari, dan tutup tengah malam atau dini hari. Ketika jam malam diberlakukan, mereka harus tutup pukul 21.00, terlepas apakah sudah mendapat pembeli atau belum. Karenanya, merekalah yang pertama terkena dampak jam malam.

Belakangan, saya melihat warung-warung dan para pedagang itu berusaha menyiasati keadaan dengan cara membuka warung lebih awal. Jika sebelumnya mereka membuka warung pukul 17.00, misalnya, kini telah mulai buka sejak usai zuhur, atau sekitar pukul 14.00. Tujuannya tentu agar punya lebih banyak waktu membuka warung, seiring diberlakukannya jam malam.

Terkait hal itu, saya pernah mengobrol dengan salah satu pemilik warung yang membuka warungnya lebih awal, sejak ada jam malam. Pemilik warung menyatakan, “Kami serba salah dengan aturan jam malam ini. Kalau mengikuti aturan, kami tidak dapat hasil. Karena warung baru buka (sore hari pukul 17.00), sudah harus tutup jam sembilan. Cuma empat jam. Belum tentu sudah ada pembeli dalam empat jam itu.”

Lebih lanjut, ia menuturkan, “Mestinya pemerintah tidak hanya memberlakukan jam malam, tapi juga memberikan kompensasi, agar para pedagang warung makan seperti saya bisa legawa mematuhi aturan. Misalnya, pemerintah ngasih semacam uang pengganti dari keuntungan kami yang hilang akibat jam malam. Kalau cuma begini (memberlakukan jam malam tanpa ada kompensasi), kami jadi merasa dirugikan.”

Sebenarnya, bukan hanya para pedagang yang merasa dirugikan dengan adanya jam malam. Masyarakat luas pun merasakan hal sama. Ada banyak orang yang semula nyaman kelayapan mencari makan saat lapar tengah malam, tapi kini tidak bisa lagi. Karena semua orang dilarang keluyuran, karena warung-warung makan sudah harus tutup pukul 21.00. “Orang tidak jelas” seperti saya jelas terdampak.

Biasanya, saya bisa keluar rumah kapan pun saat lapar, bahkan umpama pukul 02.00 dini hari. Ada warung-warung makan yang buka sampai pukul 03.00 subuh, dan biasanya saya datang ke sana. Warung-warung itu sudah populer di kalangan “anak-anak malam”, dan hampir bisa dipastikan saya akan bertemu bocah-bocah yang saya kenal sedang nyangkruk di sana, lalu saya ikut nyangkruk sambil udud, sampai tutupnya warung.

Kini, hal semacam itu tidak bisa saya—dan orang-orang lain—lakukan, karena adanya jam malam. Sekarang, boro-boro keluar pukul 02.00 dini hari, keluar rumah pukul 22.00 saja rasanya seperti melintasi kuburan. Sepi ngelangut. Itu pun masih ditambah kekhawatiran ke-gep polisi yang patroli.

Kembali ke warung-warung makan tadi, yang terpaksa bersiasat dengan buka lebih awal, karena adanya jam malam. Kini, warung-warung ala Lamongan di kota saya mulai buka usai zuhur, demi bisa menjaring pembeli sebanyak-banyaknya, sebelum datang pukul 21.00, saat mereka harus tutup. Di sisi lain, para pembeli tampaknya paham sendiri dengan hal itu, dan kini mereka pun mulai menyesaki warung-warung sebelum jam malam.

Ketika hal semacam itu terjadi, pertanyaan tadi mengemuka; seberapa efektif pemberlakuan jam malam, dalam upaya mencegah kemungkinan penularan corona?

Jam malam, bagi para pedagang dan para pembeli/pelanggannya, hanya serupa pengalihan waktu jual beli. Mereka tetap berjualan, dan para pembeli tetap makan di sana. Mereka tetap berkumpul dan berkerumun, meski kini dalam waktu berbeda.

Pemerintah mungkin berpikir, dengan adanya jam malam, kemungkinan orang-orang berkerumun akan dapat dikurangi. Dalam contoh mudah adalah warung-warung makan yang biasa buka sore hari dan tutup tengah malam. Jika sebelumnya ada 7-8 jam kemungkinan interaksi di warung, kini dipangkas menjadi hanya 4 jam setelah adanya jam malam. Tapi apakah pemerintah sempat memikirkan kemungkinan kalau mereka membuka warungnya lebih awal, seperti yang terjadi sekarang?

Sebenarnya, yang diinginkan pemerintah dengan adanya jam malam adalah mengurangi kemungkinan interaksi dan kerumunan. Tapi mereka mungkin melupakan sesuatu yang akan dianggap lebih penting daripada sekadar peraturan, yakni perut yang lapar.

Masyarakat tidak bisa dihentikan oleh aturan, jika aturan itu mengabaikan perut yang kelaparan.

Para pedagang butuh membuka warung, bukan hanya untuk mengisi perut para pelanggan, tapi juga karena butuh mengisi perut keluarganya. Para penyedia mainan di Simpang Lima tidak hanya ingin menghibur anak-anak, tapi juga berharap dapat mengisi perut keluarganya. Sebelas dua belas dengan para driver ojol yang tetap kelayapan siang malam—tidak semata karena pengabdian pada pekerjaan, tapi juga karena butuh mengisi perut keluarganya.

Mengabaikan hal mendasar itu, aturan apa pun akan diterabas. Orang butuh makan, masyarakat butuh memenuhi kebutuhan keluarga. Dan kebutuhan itu sering kali bahkan lebih besar dibanding ketakutan pada sesuatu yang tak kasatmata, seperti virus corona.

Apakah Kamu Pernah Mengetukkan Batu ke Batu dengan Lirih?

Seorang bocah bertanya, “Apakah kamu pernah mengetukkan batu ke batu dengan lirih?”

“Hah?” Saya bingung.

Dia mengulang pertanyaan dengan lebih perlahan, “Apakah kamu pernah mengetukkan batu ke batu dengan lirih?”

“Mengetukkan batu ke batu dengan lirih?” saya memastikan. “Maksudnya bagaimana?”

Dengan maksud mencontohkan, dia mengambil dua batu seukuran kepalan tangan, lalu mengetukkan kedua batu dengan khusyuk dan hati-hati, hingga memunculkan suara lirih.

“Begitu,” ujarnya kemudian. “Pernah?”

“Uhm... belum,” saya menjawab. “Beluh pernah.”

“Kalau begitu, hidupmu sungguh sia-sia.”

“Kenapa hidupku sungguh sia-sia?”

“Karena,” dia menjawab, “hidup ini sungguh sia-sia jika kita tidak pernah mengetukkan batu ke batu dengan lirih.”

Agar merasa hidup tidak sia-sia, saya pun meminjam kedua batu tadi, dan mengetukkan keduanya dengan khusyuk dan hati-hati, hingga mengeluarkan suara lirih—seperti yang tadi ia lakukan.

Dia cekikikan, dan berfatwa, “Sekarang hidupmu tidak lagi sia-sia.”

Saya senang.

Ngemeng Internet

Baru tahu kalau situs MindTalk sekarang sudah tidak ada. Padahal dulu eksis banget, dan saingan sama Kaskus.

Pindai (pindai.dotcom) juga situs bagus Indonesia yang kini nasibnya seperti koma. Aku mau baca artikel-artikel lama mereka juga ternyata sudah tidak ada, entah kenapa dan entah ke mana.

Dengar-dengar Geotimes mau gabung dengan IDNTimes. Tapi sampai sekarang kok belum jelas realisasinya?

Selain MindTalk, dulu juga ada forum IG Community (kalau aku tak salah ingat) yang sekarang juga sudah tidak ada. Padahal dulu juga ramai.

Forum lain yang dulu sangat populer adalah indonesiaindonesia.dotcom (biasa disebut ii). Sampai sekarang masih ada, tapi sudah sepi. Padahal, dibanding Kaskus, ii lebih rapi. Sekadar FYI, dulu aku juga sering ngoceh di sana.

Omong-omong soal Kaskus, pengguna Kaskus tuh kalau nge-post suka lebay. Pakai aneka ornamen, dari hiasan semacam list kayak lukisan, sampai kaligrafi! Ya gak salah, sih, cuma akibatnya melelahkan mata pembaca.

Hal lain yang juga "menjengkelkan" dari Kaskus adalah kebiasaan menggunakan spoiler dalam artikel. Dari dulu aku bertanya-tanya, apa manfaat penggunaan spoiler semacam itu, selain hanya melelahkan pembaca karena harus terus klik dan klik untuk membuka spoiler?

Era kejayaan forum kini sepertinya sudah selesai. Kaskus sudah mulai runtuh, Forum Detik sudah ditinggalkan, ii sudah koma, bahkan Yahoo! Answer pun kini tak lagi menarik. Sementara puluhan forum lain sekarang sudah mati.

Satu-satunya forum yang sampai kini masih eksis mungkin Quora. Tapi mereka pun sudah mengantisipasi kemungkinan buruk, hingga sampai membayar para pengguna. Oh, ya, kita bisa mendapat jutaan per bulan dari Quora kalau tahu caranya.

Omong-omong, sejak Beritagar berubah jadi Lokadata, aku merasa kehilangan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 Desember 2019.

Cengengesan Berbuah Petaka

460 orang terinfeksi, yang meninggal pun sudah ada, dan itu bisa jadi cuma puncak gunung es, atau baru permulaan. Sementara hidup jutaan orang kacau-balau. Harga yang terlalu mahal untuk sikap cengengesan dan menggampangkan masalah sambil merasa hebat tanpa alasan jelas.

Bahkan aku yang hidup soliter dan menikmati kesendirian pun merasa "tersiksa" gara-gara wabah ini. Karena kini, setiap kali keluar rumah, aku khawatir "kalau-kalau". Dan jika aku yang biasa menyendiri saja tersiksa, apalagi orang-orang yang biasa berkumpul dengan orang lain?

Apakah para pejabat pemerintahan yang tempo hari cengengesan dan menggampangkan masalah itu merasa bersalah atas kelakuannya? Aku tidak tahu. Karena, entah kenapa, sampai sekarang tidak ada media yang cukup cerdas untuk menjadikan itu sebagai... katakan saja, "konten bagus".

Padahal kilas balik tentang "aksi cengengesan" itu bisa menjadi artikel panjang, bahkan berjilid-jilid, kalau mau menuliskannya. Data-datanya ada, nama-nama pelaku tersebar di mana-mana, peristiwanya juga mudah dilacak. Akan jadi ulasan yang bagus, sekaligus tamparan yang bagus.

Masalah adalah satu hal, dan cara kita menghadapi masalah adalah hal lain. Yang menyedihkan, bahkan mengerikan, ternyata ada banyak orang yang cenderung menggampangkan dan menyepelekan masalah, bahkan ketika keputusan mereka atas masalah akan menentukan nasib jutaan orang.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Maret 2020.

Sudah Tua (2)

“Sudah tua, apa yang dicari?”

Sadar sudah tua, tapi malah nyebar trojan ke orang-orang.

Pantas, mukanya sampai kayak trojan.

Jumat, 10 April 2020

Otak Gatal Gara-Gara Corona

(((( DUTA IMUNITAS CORONA ))))

Bahkan memahami maksud kata-kata itu pun aku bingung, apalagi tujuan dan manfaatnya.

....
....

Ada menteri yang tempo hari bercanda, "Virus corona tidak akan masuk Indonesia, karena izin birokrasi kita berbelit-belit."

Ingat? Gaya bercanda semacam itu menyiratkan kalau mereka memang menganggap enteng wabah, dan menggampangkan situasi yang seolah terkendali.

....
....

Otakku benar-benar gatal, dan sudah lama kutahan-tahan.

Terkait wabah corona di Indonesia, kita seperti menghadapi badai, tapi yang kita lakukan cuma menyapu debu di halaman rumah sambil nyanyi-nyanyi. Tampak sibuk, tapi tidak menghasilkan apa-apa yang jelas manfaatnya.

Jika kita flashback dan mengingat hari-hari sebelumnya, sejak awal penanganan wabah corona di Indonesia hanya menghasilkan blunder demi blunder. Dari diskon tiket pesawat di tengah wabah, doa qunut, simpang siur informasi pemerintah, susu kuda liar, dan sekarang "operasi senyap".

Ketika wabah corona menyerang, negara-negara di dunia menutup diri, atau setidaknya memperketat aturan masuk dan keluar. Tujuannya jelas, untuk meminimalkan risiko penyebaran virus. Tapi negara kita malah melakukan diskon tiket pesawat. Itu seperti memanggil-manggil virus agar datang!

Soal diskon tiket pesawat itu sebenarnya sudah diributkan banyak orang, tapi pemerintah kita tampak tidak peduli. Mungkin karena terlalu percaya keampuhan doa qunut yang konon bisa menjauhkan corona, atau mungkin pula karena tergila-gila pada... kau tahu, investasi—apa pun itu.

Omong-omong soal qunut, aku orang NU, dan tentu saja selalu membaca qunut tiap subuh. Tapi itu tidak penting. Yang penting adalah... kenapa "keyakinan qunut" tempo hari seperti menjadi validasi atas kepercayaan pemerintah bahwa negara kita tidak mungkin dimasuki virus corona?

Wapres Ma'ruf Amin mengatakan, negara kita akan dijauhkan dari virus corona karena banyak ulama yang berdoa qunut. Fine! Dia ngomong begitu, mungkin dalam kapasitas sebagai ulama. Tapi bagaimana dengan Menteri Kesehatan Terawan? Kenapa dia malah ikut-ikutan ngemeng kayak gitu?

Sebagai Menkes, mestinya Terawan berbicara dalam kapasitasnya sebagai Menkes, dan ngemeng secara ilmiah/akademis terkait virus corona yang mungkin (akan) masuk ke negara kita. Tapi sejak awal sikapnya tampak menggampangkan, sampai Fadli Zon murka. Dan aku memaklumi kemurkaannya.

Dalam kejengkelan yang mungkin tak bisa lagi ia tahan, Fadli Zon menyatakan, "Terawan tidak usah sok hebat atau sok jagoan!"

Terdengar kasar, tentu saja. Sayangnya, sikap semacam itulah yang tampak pada diri Menkes Terawan sejak awal isu corona masuk ke Indonesia.

Yang dilakukan Menkes Terawan, dan pemerintah secara umum, terkait corona di Indonesia saat ini, mungkin dimaksudkan agar masyarakat tidak panik. Tapi sikap seolah menggampangkan semacam itu justru membuat masyarakat panik, karena mereka tidak yakin apa yang sedang dihadapi.

Kita telah melihat dampak yang terjadi akibat sikap menggampangkan yang ditunjukkan pemerintah sejak awal. Dari meroketnya harga masker akibat penimbunan, sampai orang-orang memborong sembako. Karena ketidaktahuan menciptakan kebingungan dan kepanikan orang-orang yang tidak tahu.

Tapi pemerintah tampaknya tidak belajar atau tidak peduli, dan sikap serupa masih dipertahankan sampai kini. Bukannya berterus terang mengenai apa yang terjadi, pemerintah justru menjalankan—sesuai istilah mereka—operasi senyap, dengan melibatkan BIN untuk menelusuri corona.

Ironisnya, baru saja—seiring aku ngoceh di sini—ada orang BIN yang ngemeng ke media, mengenai perkiraan mereka terkait puncak wabah corona yang akan terjadi. Operasi senyap apaan, wong baru prediksi sudah diumbar ke media? Berharap masyarakat tidak panik, tapi malah jadi panik.

Sekitar 9 hari yang lalu, ada dua ojol di Batam yang kabur dari karantina dalam kondisi suspect corona. Pada waktu itu, awak media mendatangi kemenkes, dan menanyakan dua ojol yang kabur. Jawabannya asoy, "Ah, masih suspect, kan? Kalau masih suspect, apa yang ditakutkan?"

Seperti déjà vu, peristiwa orang kabur dari karantina saat suspect kembali terjadi, kemarin. Dan apa jawaban jubir pemerintah untuk virus Corona, Achmad Yurianto? "Bukan kabur, cuma pulang sebentar ke rumah."

Cuma pulang ke rumah! Jadi yang disebut "karantina" itu artinya apa?

Di Semarang, sekitar seminggu yang lalu, ada ibu rumah tangga yang ketiban apes gara-gara corona. Dia menemukan postingan di WA, berisi imbauan hati-hati karena (waktu itu) ada pasien corona di RS Kariadi. Dengan itikad baik, ibu rumah tangga itu lalu menyebarkan imbauan tadi.

Di luar pengetahuannya, info yang ia sebar itu ternyata hoax. Foto orang yang tampak didorong di brankar di RS Kariadi itu bukan pasien corona, melainkan pasien paru-paru. Ibu rumah tangga itu lalu ditangkap polisi, dengan tuduhan menyebar hoax (kalian bisa googling beritanya).

Ibu itu bisa jadi apes, karena tidak tahu, dan menyebarkan info itu semata-mata karena itikad baik, ingin mengimbau orang-orang lain agar berhati-hati. Lalu bagaimana dengan hal serupa, yang menyebut virus corona berasal dari konsumsi babi? Atau info-info sejenis yang tak jelas?

Sekarang kembali ke awal. Pasien 01 dan Pasien 02 (dua WNI pertama yang terinfeksi corona) disebut ditemukan sebagai hasil tracking pemerintah. Apakah benar begitu? Tidak! Pemerintah bisa menemukan dua orang itu terinfeksi virus, karena dua orang itulah yang minta diperiksa!

Andai dua pasien itu tidak memiliki kesadaran sendiri dan memberi tahu pihak rumah sakit bahwa mereka terindikasi kena corona, lalu meminta RS agar memeriksa mereka lebih teliti, ada kemungkinan pemerintah tidak pernah tahu bahwa virus corona telah masuk ke Indonesia.

Berdasarkan kenyataan itu, kita seperti melihat betapa riskannya kondisi kita yang tinggal di Indonesia. Pemerintah, antara terlalu percaya diri atau menggampangkan masalah yang sedang terjadi, seperti belum juga menyadari bahwa kita sedang berhadapan dengan sesuatu yang serius.

Duh, waktuku sudah habis (ini sebenarnya aku lagi ngikutin acara, dan kembali masuk pukul 17). Padahal masih banyak yang ingin kuocehkan, dan bisa jadi ocehan ini akan selesai tahun 2491. Yo wis, segitu aja. Bye!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 Maret 2020.

Noffret’s Note: Wabah Corona

Diminta agar tidak salat Jumat itu maksudnya agar tidak terjadi kerumunan banyak orang di masjid, karena rentan menularkan virus corona (jika kebetulan ada yang mengidapnya). Lha kok malah diganti salat zuhur berjemaah di masjid, dan tetap berkerumun. Itu piye cara berpikirnya?

Sepertinya, pemerintah—mungkin bisa lewat organisasi keagamaan seperti NU atau Muhammadiyah—memberi tahu para ustad/ulama/penceramah di kampung-kampung, mengenai kemungkinan penularan virus corona dari aktivitas berkerumun. Mereka perlu diberi tahu dengan bahasa yang sederhana.

Soalnya ada—bahkan mungkin masih banyak—ustad/ulama yang tampaknya belum memahami betapa seriusnya wabah corona di Indonesia, dan menceramahkan hal-hal yang bertolak belakang dengan imbauan pemerintah. Akibatnya, bisa jadi, masyarakat kebingungan, dan seperti dipaksa memilih.

Masyarakat seperti dipaksa memilih antara imbauan pemerintah atau imbauan ustad/ulama, karena suara mereka berbeda, bahkan bertolak belakang. Misal, pemerintah mengimbau agar salat sendiri, untuk menghindari corona, sementara ustad ceramah salat berjemaah tetap harus dilakukan.

Ada ustad yang berceramah di masjid, "Saat menghadapi musibah (maksudnya wabah corona saat ini), yang harus kita lakukan adalah menaati perintah Allah, dan bukan malah menggunakan akal kita sendiri. Salat berjemaah itu baik, malah dilarang. Bersalaman itu bagus, malah dilarang."

Ceramahnya masih panjang, tapi kalian pasti paham lanjutannya. Maksud ustad itu tentu bagus, karena mengajak masyarakat untuk tetap berpegang pada agama, dalam keadaan dihantam wabah sekali pun. Tapi hal itu juga bermasalah, karena menempatkan masyarakat pada posisi rentan.

Dalam pikiranku, ustad bersangkutan mungkin belum paham wabah corona seutuhnya, juga tidak tahu bagaimana wabah ini bisa terjadi begitu cepat, serta bagaimana penularannya. Karena itulah, ustad/ulama yang semacam itu perlu diberi tahu dengan bahasa yang mudah dan sederhana.

Mereka perlu diberi tahu bahwa virus corona bisa menular lewat sentuhan, benda-benda yang kita pegang, juga lewat cairan tubuh manusia seperti liur, ludah, percikan bersin, dan semacamnya. Hindari istilah "droplet" atau istilah ilmiah semacamnya yang malah bikin mereka bingung.

Siapa yang harus memberi tahu mereka? Tentu saja bukan kita, karena siapalah kita ini! Karena itu pula, seperti yang kusebut tadi, organisasi keagamaan seperti NU atau Muhammadiyah bisa berperan di sini dalam "menyadarkan" ustad-ustad mereka, agar memahami wabah corona seutuhnya.

Bayangkan saja umpama Rizieq Shihab dan Felix Siauw mengatakan, "Kita tetap salat berjemaah, dan persetan dengan wabah corona!" Pasti ada ribuan orang yang akan mengikuti mereka. Untungnya, mereka berdua sepakat dengan kita, dalam hal mencegah penularan virus corona. Puji Tuhan!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 Maret 2020.

Noffret’s Note: IT II

Habis mandi, nyeruput cokelat hangat, udud, dan nengok Twitter. Dan ingin ngoceh, tentu saja.

Salah satu resolusiku tahun ini sudah tercapai, yaitu nonton IT II. Sederhana banget, ya? Gak apa-apa. Wong yang sederhana saja kadang tak tercapai, apalagi resolusi yang jelas sulit.

Senang melihat bocah-bocah The Losers dalam IT kembali berkumpul, saat mereka dewasa. Meski wujud fisik mereka telah jauh berubah, karakter mereka tampaknya masih sama seperti saat masih bocah. Khususnya Eddie. Karakter manusia tampaknya memang sulit di/berubah.

Yang agak mengejutkan adalah Ben. Bocah yang dulu kelebihan berat badan dan mudah gugup, kini berubah menjadi lelaki dewasa yang matang dan menawan. Dia mungkin mengingatkan teman kita di SD dulu, yang sekarang kelihatan "berbeda jauh".

Tapi yang paling mengejutkan adalah kemunculan Stephen King dalam film IT II. Dan dia benar-benar bisa berakting! Di antara kengerian horornya, Stephen King tampaknya punya selera humor yang aneh, sebelas dua belas dengan Stan Lee.

Mungkin "kegilaan" dalam kisah-kisah horor Stephen King juga dipengaruhi oleh selera humornya yang aneh. Horor ala Stephen King sering kali absurd, berbeda dengan horor mainstream—kalau boleh disebut begitu—yang kerap melibatkan setan dan semacamnya. IT salah satunya.

Aku bukan penikmat film horor, tapi entah kenapa selalu bisa menikmati film-film horor yang diangkat dari novel Stephen King. Karena, menurutku, horor ala Stephen King tidak menakutkan, tapi lebih ke... "menjengkelkan".

Badut Pennywise dalam IT tentu menakutkan, bahkan mengerikan. Tapi sosoknya juga sangat menjengkelkan. Dia bisa muncul di mana pun, dalam wujud apa pun, tak peduli siang atau malam, terang atau gelap. Dia benar-benar "setan" dalam wujud aslinya.

Kisah IT benar-benar hasil imajinasi liar yang mungkin juga gila, horor paling sinting yang bisa diciptakan manusia. Selain absurd, kisah IT sebenarnya juga tidak masuk akal, tapi kita asyik saja menikmatinya.

Well, aku ikut bahagia untuk Beverly, yang akhirnya menemukan cinta dan kebahagiaan setelah sepanjang hidupnya ditikam derita dan kekerasan. Andai semua korban kekerasan di rumahnya bisa memiliki happy ending seperti dirinya...


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 September 2019.

Paradoks Zaman Internet

Ada orang pakai ava fotonya sendiri, malah dituduh nyomot dari Google (ya mungkin memang banyak yang gitu, sih). Sama juga ada orang yang benar-benar berprestasi, tapi dituduh hoax (ya mungkin juga karena banyak yang gitu).

Hidup di era internet ini sebenarnya bisa serbasalah, karena mayoritas orang mengira—bahkan meyakini—semua hal ada di internet, padahal tidak mesti begitu. Ada hal-hal yang sungguh ada di dunia nyata, tapi tidak bisa dicari di internet, entah dengan alasan apa pun.

Jangankan orang-orang yang tidak aktif di internet, bahkan orang-orang yang aktif di internet pun tidak menjamin bisa dilacak di internet. Internet hanya mampu memberikan "fakta" yang dimasukkan ke dalamnya. Bahkan "fakta" itu pun masih dalam tanda kutip.

Aku mengenal seorang juara qiro'ah, yang telah mendapatkan piala dalam jumlah lebih banyak dari toko piala. Itu prestasi luar biasa. Pernah aku iseng searching nama dia di internet. Nemu beberapa artikel, tapi SANGAT SEDIKIT. Bahkan pengetahuanku tentang dia jauh lebih banyak.

Aku membayangkan, kalau qiro'ah ini—misalnya—ngoceh ke media bahwa dia telah menjuarai lebih dari 100 kompetisi, bisa jadi banyak orang yang tidak percaya. Kenapa? Karena DATANYA TIDAK ADA DI INTERNET! Ini ironis campur konyol, sebenarnya.

Kalau-kalau belum tahu, di tempat "netral" semacam Wikipedia saja, ada pihak-pihak yang "bermain" untuk memaksakan suatu data/informasi/pengetahuan kepada dunia. Israel dan Palestina adalah dua contoh nyata yang telah menjadi rahasia umum di kalangan internasional.

Selama bertahun-tahun, Israel dan Palestina telah menggelontorkan uang dalam jumlah besar untuk membayar para penulis—dari kedua pihak—yang secara khusus "mendeksripsikan" mereka di Wikipedia (wabilkhusus yang bahasa Inggris). Untuk apa? Membentuk opini dunia!

Sebagian data yang mereka unggah ke Wikipedia kebanyakan berasal dari lapangan, sehingga melakukan kroscek lewat internet biasanya sulit (dalam contoh mudah; berdasar ucapan tokoh yang diwawancara langsung). Dan para pengguna Wikipedia, umumnya, tidak berpikir sejauh itu.

Ini kita ngomong tentang Wikipedia yang kita percaya netral, yang bahkan para relawannya (wikipediawan) tidak dibayar. Apalagi kalau kita ngomongin media-media yang jelas di bawah naungan perusahaan komersial dan berorientasi profit (uang). Tambah mbuh persoalannya.

Jadi menganggap internet sebagai satu-satunya sumber valid itu sangat riskan. Bahkan, sebenarnya, bisa jadi malah konyol.

"Aku tidak percaya dia begitu dan begini, soalnya datanya tidak ada di internet!"

Itu asli lucu!

Well, aku ngoceh soal ini, karena ingat seseorang yang semula datanya ada di Wikipedia, tapi sekarang dihapus karena dianggap "tidak valid"—karena tempo hari prestasi/pencapaiannya dipertanyakan banyak orang. Bukan, bukan wanita yang kemarin ramai kalian bicarakan itu!

Ada orang Indonesia yang memiliki prestasi/pencapaian luar biasa, tapi banyak orang tidak percaya. Masalahnya itu tadi, DATANYA TIDAK ADA DI INTERNET. Padahal, di dunia nyata, dia memang melakukan dan mencapai hal-hal yang dia klaim. Ini salah satu contoh paradoks zaman internet.

Kadang aku juga heran (meski gak heran-heran amat, sih), kenapa media-media bisa murah hati mengumbar berita tentang prestasi seseorang yang belakangan ketahuan cuma ngibul, tapi justru "pelit" memberitakan orang yang benar-benar berprestasi dan mencapai sesuatu yang luar biasa.

Agar tidak ada yang (mungkin) salah paham, aku perlu menegaskan, ini aku bukan ngomongin diriku sendiri lho, ya. Kalau aku mah memang bukan siapa-siapa, yang jelas datanya tidak akan ada di internet. Lagian aku juga sadar bukan siapa-siapa, jadi tidak pernah ngarep macam-macam.

NN (Nambah Ngoceh):

Di internet, ada blog yang telah aktif sejak 2007, dan memiliki ribuan artikel. Tapi blog ini tidak bisa dilacak/ditemukan lewat Google. Padahal blog ini menggunakan subdomain blogspot, dan bisa diakses siapa pun. Tapi pemiliknya memang men-setting begitu.

Umpama si pemilik blog tersebut ngomong pada sembarang orang bahwa dia "punya blog yang telah aktif sejak 2007", kemungkinan dia akan dituduh ngibul, karena blognya tidak bisa ditemukan lewat search engine. Padahal dia sengaja men-setting blognya tidak terindeks search engine.

Jadi, blog ini semacam deepweb. Orang hanya bisa mengaksesnya, kalau tahu alamatnya. Meski blog itu jelas bukan deepweb, tapi hanya blog pribadi, yang diisi penulisnya untuk kalangannya sendiri (teman-teman dan orang-orang yang dia kenal). Ini contoh nyata terkait yang kuocehkan.

Kalau-kalau ada yang mengira aku ngibul, silakan DM. Akan kusebutkan nama blognya.

Aku tidak akan menyebutkan nama blog tersebut secara terbuka di sini, karena menghormati privasi si empunya blog. Dia tidak menginginkan publisitas, dan aku harus menghormati keinginannya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Agustus 2019.

Sudah Tua (1)

“Sudah tua, apa yang dicari?”

Sadar sudah tua, tapi malah mencari-cari masalah.

Orang semacam itu biasanya matinya karena stroke, dengan mulut mencong.

Rabu, 01 April 2020

Selera

Perbedaan yang sulit dijembatani mungkin perbedaan selera humor, 
karena itu jenis perbedaan yang (sering kali) sulit dijelaskan.


Segala hal terkait manusia mungkin bisa dikomunikasikan atau bahkan dinegosiasikan, kecuali satu; selera. Kalau sudah menyangkut selera, semua teori runtuh, penjelasan panjang lebar tiada guna, mengkomunikasikannya juga percuma. Berdebat soal selera adalah hal paling sia-sia di dunia.

Secara objektif, mungkin memang ada selera bagus dan selera buruk—seperti umumnya hal lain di dunia. Tapi selera sering kali tidak menerima objektivitas, karena ia memang sangat subjektif. Yang umum terjadi hanyalah “perkembangan selera” untuk lebih baik.

Jika kita terus bertumbuh, biasanya selera kita juga bertumbuh—atau dengan kata lain, berubah—hingga lebih baik, dan lebih baik lagi. Tapi juga tidak pasti begitu. Karena ada sebagian kita yang diri dan hidupnya terus berkembang, tapi seleranya mentok gitu-gitu aja.

Selera film, misalnya. Orang yang selera filmnya action, sampai mati pun biasanya tetap suka action, dan malas kalau diajak nonton drama atau film-film non-action. Tak peduli dia makin pintar, makin kaya, makin berwawasan, atau bahkan makin bijaksana, selera filmnya ya tetap itu-itu juga.

Tapi tidak apa-apa, namanya juga selera. Subjektif, dan kadang tidak ilmiah juga tidak akademis. Film yang bagi kita “ora mashok blas”, bisa jadi “sangat bagus” bagi yang suka, karena sesuai seleranya. Sebaliknya, film yang kita anggap “masterpiece”, bisa jadi cuma film “wuopppoooo” bagi yang tak suka, karena tidak sesuai seleranya.

Sampai sekarang, misalnya, saya sama sekali belum nonton—dan mungkin tidak akan pernah nonton—Parasite, film yang dipuji banyak orang di dunia, bahkan dapat Oscar. Secara objektif, Parasite jelas film bagus, dengan bukti banyaknya ulasan positif dan penghargaan. Tapi saya tak berminat nonton, karena memang tak berselera.

Begitu pula film-film macam Hereditary, Us, atau Midsommar—sial, saya menonton ketiganya. Banyak orang bersepakat bahwa film-film itu bagus, bahkan masterpiece, sebagian mereka sampai menulis ulasan ndakik-ndakik yang sanggup membuat bidadari menangis.

Tapi bagi saya, tiga film itu mung wuoopppoooo!

Apa yang salah? Tidak ada!

Masalahnya di sini pasti terkait selera, yang, sekali lagi, subjektif.

Karena subjektivitas itu pula, sungguh sia-sia kalau orang berusaha meyakinkan saya bahwa film-film itu bagus. Sama sia-sia kalau saya berusaha meyakinkan mereka bahwa film-film itu buruk. Wong namanya selera. Satu-satunya hal yang sulit dikomunikasikan—apalagi dipaksakan—adalah selera.

Saya pernah mendengarkan musik orkestranya Yanni di ponsel, lewat earphone, dan sangat menikmati musik itu sampai memejamkan mata penuh nikmat.

Melihat itu, seorang teman penasaran, ingin tahu musik apa yang sedang saya dengar. Waktu earphone pindah ke telinganya, dan dia mulai mendengarkan, komentarnya sangat tak terduga, “Iki musik wuopppooooo? Ora ono lagune!”

Teman saya ini biasa naik BMW, jadi jelas dia kaya-raya. Fakta bahwa dia tidak mengenal Yanni, mungkin mengejutkan. Lebih mengejutkan lagi saat saya tahu musik-musik apa yang ada di playlist mobilnya. Dangdut koplo semua! Tapi karena didengar di BMW, ya asyik-asyik saja.

Memahami selera—yang sangat subjektif—ini penting, khususnya saat menghadapi penolakan dari orang yang kita taksir/dekati. Saat seseorang menolak kita, bisa jadi bukan karena kita buruk atau kurang sesuatu, tapi semata-mata karena selera—kita bukan selera dia.

Sekali lagi, ini bukan karena kita buruk atau kurang sesuatu. Ilustrasinya mungkin mirip film Parasite yang dipuji banyak orang dan telah dikukuhkan sebagai film bagus, tapi nyatanya tidak semua orang ingin menontonnya. Kalau saya tidak ingin nonton Parasite, bukan karena film itu buruk. Tapi semata karena memang bukan selera saya.

Tanpa pemahaman seperti itu, penolakan bisa membuat kita down, hingga stres sampai lama. Sebaliknya, memahami soal selera akan membantu kita tetap “biasa saja” setelah ditolak seseorang. Wong namanya selera, kita tidak bisa memaksakan. Jadi biasa saja. Wajar.

Karenanya pula, tak perlu repot-repot berusaha meyakinkan seseorang agar menerima kita. Karena kalau dasarnya sudah bukan selera, mau kita repot seperti apa pun juga biasanya sia-sia. Jauh lebih baik, dan lebih sehat, mencari orang lain yang seleranya sesuai kita.

Cinta sering kali tidak memandang rupa atau semacamnya—tapi selera. Karenanya, bagi seseorang, pasangannya pasti sempurna, dan dia pasti akan ngamuk kalau kita mencoba menyebut kekurangan pasangannya. Tidak ilmiah, memang, tapi begitulah cinta—atau selera. Sangat subjektif.

Dalam tahap tertentu, selera bukan saja subjektif, tapi juga membingungkan.

Misalnya begini. Kita naksir cewek, menyatakan cinta kepadanya, dan ditolak. Oke, kita pun berpikir, “Mungkin aku bukan seleranya.”

Belakangan, ketika cewek itu punya pacar, si pacar benar-benar mirip kita. Dari rupa, penampilan, sampai latar belakang dan pekerjaannya. Itu piye, kalau dipikir-pikir?

Andai si cewek punya pacar yang jelas berbeda dengan kita, mungkin kita tidak akan heran dengan penolakannya. Namanya juga selera. Tapi bahwa pacar cewek itu benar-benar mirip kita, kenyataan itu jelas membingungkan. Kira-kira apa latar belakang alasan cewek itu menolak kita, tapi menerima cowok lain yang benar-benar mirip kita?

Sebaiknya tidak usah dipikirkan, karena tak ada gunanya. Semakin dipikirkan, malah akan menyakiti diri sendiri.

Terkait selera dalam memilih pasangan, posisi cowok memang sering rentan, karena tak punya pilihan, selain menerima keputusan. Kita naksir cewek, menyatakan cinta kepadanya, keputusan finalnya ada pada si cewek. Entah dia menerima atau menolak, kita tidak bisa mengganggu gugat, meski sering kali keputusannya tergantung selera dan sangat subjektif.

Karenanya, cowok sering kali tak bisa menanyakan apa alasan penolakan si cewek. Dan kalau pun si cowok mempertanyakan alasan penolakan itu, si cewek bisa saja mengarang bebas, dan jawabannya tak membuat kita puas.

Well, setelah menyadari kenyataan itu, bahwa penerimaan maupun penolakan adalah sesuatu yang hanya bersifat selera dan sangat subjektif, saya pun tak terpengaruh lagi pada penerimaan atau penolakan. Orang mau menerima atau menolak saya, itu urusan mereka. Urusan saya hanya menjalani dan menikmati hal-hal yang sesuai selera saya.

Kalau orang lain boleh punya selera, kenapa kita tidak boleh punya selera sendiri?

Dulu, sebelum memahami konsep ini, saya sering down atau patah hati kalau menerima penolakan—dalam kasus apa pun. Setelah memahami konsep ini, penolakan hanya membuat saya tertawa. Saya tidak akan memaksakan selera saya pada siapa pun. Dan sebaliknya.

Kalau dangdut koplo adalah musik kesukaanmu, ya silakan—itu hak yang dijamin konstitusi, dan mencerca seleramu bisa termasuk pelanggaran HAM. Tapi bukan berarti saya harus mengikuti seleramu, dan ikut-ikutan menikmati dangdut koplo. Saya punya selera sendiri. 

Kata Mutiara Bocah

“Di dunia ini tidak ada yang mengalahkan mbakyuku.”

Noffret’s Note: Kesingsal

Gara-gara flashdisk yang hilang, aku jadi ingat sesuatu.

Orang Jawa punya istilah yang mungkin belum ada padanannya dalam bahasa apa pun; kesingsal. Jika diartikan, “kesingsal” adalah suatu kondisi kehilangan, tapi kita yakin sebenarnya tidak kehilangan. Aku tidak tahu apa padanan kata “kesingsal” dalam bahasa Indonesia.

Kalau orang Jawa kehilangan suatu barang di rumah, misalnya, mereka tidak mengatakan “hilang”, tapi “kesingsal”. Bahwa suatu barang telah hilang—tidak mereka temukan—tapi mereka yakin barang itu sebenarnya tidak hilang, hanya belum mereka temukan.

Saat ini, misalnya, aku kehilangan flashdisk di rumah, yang biasa aku pakai untuk memindahkan data dari satu komputer ke komputer lain. Flashdisk itu tidak ada, tidak/belum kutemukan, tapi aku tahu flashdisk itu sebenarnya tidak hilang, dan hanya kesingsal.

Tempo hari, waktu rumah direnovasi, barang-barang dipindah semua—termasuk flashdisk dan perintilannya. Waktu selesai renovasi, barang-barang dikembalikan, tapi tempatnya sudah berbeda, dan sekarang aku benar-benar tidak ingat di mana meletakkan flashdisk!

Jadi, flashdisk itu hilang di rumah, dan tidak bisa kutemukan. Tapi sebenarnya bukan hilang, hanya kesingsal. Suatu saat, kapan pun, aku yakin akan menemukannya kembali, entah sengaja atau tidak. Bisa jadi, ia ada di balik tumpukan buku, atau terselip di antara barang lain.

Kesingsal adalah kondisi kehilangan sesuatu, namun di saat sama memberi kita optimisme untuk menemukannya kembali—entah kapan, entah bagaimana. Selain kesingsal flashdisk, aku juga sebenarnya kesingsal hal lain, yakni senyum dan tawa ceria yang pernah kumiliki.

Dulu, aku pernah punya senyum dan tawa ceria, yang selalu kubawa ke mana pun berada. Namun hidup menimpakan beban dan banyak masalah, hingga senyum dan tawaku kesingsal di antara tumpukan masalah yang ada, dan kini aku kehilangan keduanya.

Tapi aku yakin, senyum dan tawaku tidak hilang, hanya kesingsal. Suatu saat, mungkin aku akan menemukannya kembali, atau bisa jadi ada orang lain yang menemukan dan mengembalikannya kepadaku—bisa teman-teman baru, atau... well, kehidupan baru.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 Oktober 2019.

Delusi Agama

"Belajar agama dulu yang bener..." adalah kalimat yang sering—bahkan hampir selalu—diucapkan orang yang sebenarnya tidak tahu apa-apa soal agamanya.

Orang yang benar-benar tahu soal agama tidak akan "mengatakan"—ia akan langsung menunjukkan.

Di Twitter ini, ada orang-orang yang sungguh tahu ajaran agamanya. Ketika ada yang berbeda pendapat dengannya, mereka tidak mengatakan "belajar agama dulu yang bener" dan semacamnya, tapi langsung memberikan penjelasan yang bisa dipahami, bahkan bisa diverifikasi.

Itulah perbedaan antara orang yang benar-benar berilmu dengan orang yang hanya sok berilmu. Terkait agama, ada banyak orang mengidap "kelainan" semacam itu—tidak tahu apa-apa soal agama, tapi bertingkah seolah paling tahu agama, lalu sok mbacot, "Belajar agama dulu yang bener..."

Kalimat berbau nasihat "belajar agama dulu yang bener..." adalah ucapan yang sebenarnya merendahkan orang lain. Kalimat itu menempatkan si pengucap di posisi lebih tinggi—karena seolah dia tahu agama—sementara orang yang diberi ucapan itu ada di posisi bawahnya.

Oh, well, agama.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Agustus 2019.

Merugikan Pelanggan

Ooh... merugikan pelanggan.

Sudah bosok, masih merugikan pelanggan.

 
;