Hanya mereka yang pernah terluka yang bisa menghayati luka.
Yang tidak pernah terluka hanya bisa bicara... banyak bicara.
—@noffret
Yang tidak pernah terluka hanya bisa bicara... banyak bicara.
—@noffret
Di antara banyak musisi dan pencipta lagu produktif di Indonesia, Deddy Dores termasuk di antaranya. Sejak SD, saya telah mengenal Deddy Dores, baik sebagai penyanyi maupun pencipta lagu.
Sebagai penyanyi, Deddy Dores pernah punya grup musik bernama Lipstik. Di luar grup, dia juga menghasilkan cukup banyak album solo. Sementara sebagai pencipta lagu, dia melahirkan banyak artis yang hit karena membawakan lagu-lagu ciptaannya. Dua yang sangat populer adalah Nike Ardilla dan Nafa Urbach.
Saya menyukai lagu-lagu Deddy Dores, baik yang ia nyanyikan sendiri, maupun yang dinyanyikan orang lain. Lagu-lagunya selalu memiliki karakter khas—sesuatu yang akan langsung dikenali sebagai, “Ah, itu pasti lagu Deddy Dores!” Dari genjrengan gitar, denting piano yang dimainkan, sampai bagaimana nada lagu disusun, karakter khas Deddy Dores selalu muncul di setiap lagunya—semacam sidik jari yang hanya dia yang mampu melakukan.
Terlepas lagu-lagunya sering disebut “lagu cengeng”, saya mengagumi karakter khas yang ada pada lagu-lagu yang ia ciptakan. Apalagi, di masa lalu, lirik-lirik lagunya terasa pas dengan diri dan kehidupan saya. Jadi, saya suka Deddy Dores, bahkan sampai kini masih suka mendengarkan lagu-lagunya.
Sebagai penyanyi dan pencipta lagu yang sangat produktif, kita tentu membayangkan Deddy Dores menghasilkan banyak uang dan hidup berkelimpahan. Kenyataannya memang begitu. Sayangnya, Deddy Dores juga “suka berspekulasi”, dan kebiasaan itu menghabiskan uangnya, menggerogoti kekayaannya.
Bertahun-tahun lalu, ketika Nike Ardilla masih hidup, dia diwawancarai tabloid Nova. Nike Ardilla menceritakan sosok Deddy Dores yang dikenalnya, yang telah ia anggap sebagai kakak. Hubungan mereka sangat dekat. Sebegitu dekat, hingga Nike akan tahu kalau kebetulan Deddy Dores sedang bokek karena kehabisan uang.
Terdorong keinginan membantu, Nike biasanya meminta Deddy Dores agar menciptakan lagu baru untuknya. Pikir Nike, dengan cara itu, Deddy Dores akan mendapatkan uang.
Deddy Dores pun biasanya setuju. Ia akan menciptakan lagu baru untuk Nike Ardilla, dan lagunya hit seperti biasa, dan Deddy Dores pun mendapatkan banyak uang dari hal itu.
Sayangnya, Deddy Dores tidak mampu meninggalkan kebiasaan yang terus menghabiskan uangnya. Belakangan, ketika meninggal dunia pada 2016, Deddy Dores juga meninggalkan utang dalam jumlah besar pada keluarganya. Dan orang yang “kejatuhan masalah” itu adalah salah satu anak Deddy Dores, bernama Calvin. Dialah yang akhirnya harus montang-manting berusaha melunasi utang yang ditinggalkan ayahnya.
Sebenarnya, Calvin punya saudara—kakak dan adik—yang juga anak-anak Deddy Dores. Tapi mereka, sebagaimana penuturan Calvin, “merasa nggak tahu menahu”. Karena itulah, Calvin akhirnya seperti menanggung masalah sendirian, dan dia bekerja apa saja demi bisa melunasi utang besar yang ditinggalkan alamarhum ayahnya; dari menjadi tukang cuci motor, sampai menjadi driver ojek online.
Bagaimana dengan royalti sang ayah? Sebagai musisi yang menghasilkan banyak lagu dan album, Deddy Dores memang memiliki royalti yang masih mengalir untuk keluarganya, meski ia telah meninggal. Royalti itu dibagi untuk para ahli waris Deddy Dores. Dan karena Calvin dianggap sebagai penanggung jawab utang ayahnya, jatah royalti untuk Calvin dipotong oleh pihak label, untuk mencicil utang-utang Deddy Dores.
Terkait hal itu, Calvin menuturkan, “Saya orangnya nggak pernah mau cari ribut. Ya udah, kalau memang saya yang harus dipotong sendiri (jatah royaltinya), ya udah nggak apa-apa.”
Kehidupan Calvin saat ini adalah potret ironi. Betapa anak seorang superstar harus menghadapi kenyataan hidup pahit yang ditinggalkan ayahnya sendiri, sementara anak-anak yang lain merasa tak punya tanggung jawab serupa.
Calvin dan saudara-saudaranya diikat oleh ikatan darah yang sama, karena berasal dari ayah yang sama. Dan ketika ayah mereka meninggal dengan sejumlah utang... tanggung jawab akan dibagi rata.
Dalam bayangan ideal kita, mungkin begitu. Sayangnya, tempat kita tinggal saat ini bukan dunia ideal seperti yang mungkin kita pikirkan.
Seperti yang dialami Calvin, yang sampai kini harus berusaha dan bekerja keras demi melunasi utang yang ditinggalkan ayahnya. Dia sudah mencoba menghubungi saudara-saudaranya, terkait utang yang ditinggalkan ayah mereka. Tetapi mereka hanya mengatakan, “Ya gue enggak tahu Papa utang apa, yang tahu elo.”
Kenyataannya, manusia memang tidak sama. Ada yang menganggap masalah sebagai masalah, dan ada yang menganggap masalah sebagai bukan masalah.
Sebagian orang, entah bagaimana, bisa hidup santai meski sebenarnya sedang menghadapi banyak masalah yang mestinya harus ia selesaikan. Misal punya utang cukup besar. Meski jelas utangnya menumpuk dan harus segera dibayar, entah bagaimana mereka bisa santai dan tampak tidak peduli. Seolah-olah utang itu bukan masalah. Sebegitu santai, hingga mereka masih enjoy jalan-jalan ke luar negeri, memosting foto-fotonya di Instagram, dan seolah lupa sedang banyak utang.
Sebagian orang lain adalah kebalikannya. Punya utang sedikit saja, mereka tidak bisa tidur, dan terus berpikir bagaimana melunasi utang secepatnya. Bahkan jika itu bukan utangnya sendiri, tapi utang ayahnya, dia tetap memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan. Karena, kalau dia tidak menyelesaikannya, tidak akan ada yang menyelesaikan. Seperti Calvin, misalnya.
Seperti umumnya orang lain, kita mungkin bisa ngemeng, “Sudahlah, tak usah terlalu dipikirkan.”
Ngemeng begitu memang mudah, karena kita tidak menempati posisi Calvin, dan tidak menghadapi masalah yang dihadapinya. Lebih dari itu, omongan semacam itu sebenarnya tidak membantu apa-apa, selain hanya membuat yang bersangkutan merasa sendirian.
Kalau kita mendatangi Calvin sekarang, dan mengatakan kepadanya, “sudahlah, tak usah terlalu dipikirkan”, kira-kira apa manfaatnya bagi dia? Apakah ucapan itu membesarkan hatinya? Tidak! Apakah ucapan itu meringankan bebannya? Juga tidak! Yang ada, Calvin justru akan merasa sendirian, karena orang lain tidak ada yang peduli kepadanya, selain hanya mengatakan dengan enteng agar dia tidak usah terlalu memikirkan masalahnya.
Kita bisa enak mengatakan “sudahlah, tidak usah terlalu dipikirkan”, karena kita tidak menghadapi dan menganggung masalah yang menimpanya.
Dia yang menanggung utang almarhum ayahnya—bukan kita. Dia yang montang-manting kerja apa saja demi bertanggung jawab atas utang ayahnya—bukan kita. Dia yang saban hari stres memikirkan cara melunasi utang besar itu—bukan kita! Kok enak sekali ngomong pada orang yang sedang dirundung masalah, “Sudahlah, tidak usah terlalu dipikirkan.”
Ada baiknya kita mengingat; jika sewaktu-waktu ada teman curhat tentang masalahnya, tahanlah mulut untuk tidak mengatakan omongan semacam itu. Jika memang tidak bisa membantu masalahnya, jauh lebih baik diam saja, dan dengarkan curhatnya dengan baik. Kita tidak menempati posisinya, dan kita juga tidak menghadapi masalahnya. Karenanya, kita tidak merasakan beban yang dirasakannya. Tidak usah sok tahu dengan mengatakan, “Sudahlah, tak usah terlalu dipikirkan.”
Setiap orang menghadapi masalah dalam kehidupan masing-masing—besar maupun kecil. Jika kita memang tidak bisa membantu meringankan masalah mereka, jangan menambah berat masalah dengan mengatakan, “Sudahlah, tak usah terlalu dipikirkan.”
Kalimat semacam itu sama sekali tidak membantu atau meringankan, tapi justru menjadikan mereka merasa sendirian.