Jumat, 10 Januari 2020

Ujian Cinta Terbesar

“Jika cinta adalah jawaban,” kata Lily Tomlin, “bisakah kau memberiku pertanyaan?”

Ya, Lily. Bisakah kau menjawab bahwa orang menikah pasti bahagia selama-lamanya, sebagaimana akhir kisah ala Cinderella?

“Aku bicara soal cinta,” jawab Lily, “bukan pernikahan.”

Jutaan orang membayangkan pernikahan begitu indah, karena mengira sebagai sorga cinta. Berpikir bahwa segala hal bisa diselesaikan dengan menikah. Dengan sinis, Ellen Key mengingatkan, “Cinta adalah kegiatan moral tanpa pernikahan. Tapi pernikahan adalah kegiatan moral tanpa cinta.”

“Sangat tak masuk akal,” kata Bernard Shaw. “Kita menyatukan dua orang yang sedang mabuk asmara, yang sedang saling cinta dengan menggebu—dalam pengaruh nafsu yang paling gila dan sementara—dan meminta mereka untuk bersumpah agar bersama sampai ajal menjemput.”

Laura Wasser adalah pengacara yang menangani kasus-kasus peceraian paling terkenal di Amerika. Dia pernah menangani perceraian Angelina Jolie, Heidi Klum, Kim Kardashian, Ryan Reynolds, Aston Kutcher, Denise Richards, Johny Depp—daftarnya masih panjang.

Selama bertahun-tahun menjadi pengacara perceraian, yang menangani kasus suami istri—dari yang paling mudah sampai yang paling rumit—Laura Wasser tahu satu hal yang tidak akan dikatakan siapa pun kepadamu, “Kalau kau percaya kepadaku, jangan pernah menikah!”

Tim Lott, jurnalis dan kolumnis koran The Guardian, bahkan meragukan ada pernikahan yang bahagia. Dia mengatakan, “Aku bahkan curiga pada pasangan-pasangan yang sampai kini masih tetap bersama. Mereka mungkin memilih bertahan karena anak, uang, atau takut kesepian—bukan cinta.”

Sebagai bocah, aku percaya cinta mampu mendatangkan kebahagiaan. Tapi pernikahan... aku meragukan. Pernikahan bukan bahan bakar yang akan terus menyalakan bara dua manusia hingga cinta terus berkobar. Faktanya, pernikahan justru mematikan cinta, sepanas apa pun.

Karena ujian terbesar cinta bukan jarak, bukan seberat apa beban yang ditanggung, tapi waktu. Orang bisa saling jatuh cinta, saling menggebu, dengan nafsu paling membara... sampai kapan? Tentu tidak akan selamanya! Cinta akan pudar, meski perlahan. Karena ujian cinta adalah waktu.

Yang menjadi masalah, perkawinan “menabrak” konsep itu. Atas nama cinta (dan agama dan negara, tentu saja), perkawinan menginginkan dua orang selalu bersama, di bawah satu atap, sampai bertahun-tahun, hingga maut memisahkan. Padahal cinta dua insan adalah perasaan yang temporer.

Kenyataan itulah yang dari dulu membuatku sulit percaya orang bisa bahagia dalam perkawinan, karena “rumusnya” jelas salah! Ini seperti mengatakan satu tambah satu sama dengan tujuh. Kita pasti tahu itu salah. Dan kalau orang memaksamu untuk percaya, kau pasti akan tertawa.

Jadi, sampai detik ini aku masih tidak percaya pernikahan akan menjamin orang pasti bahagia. Karena yang menjadikan orang bahagia atau tidak bukan hal-hal di luar diri kita—termasuk perkawinan—tetapi hal-hal yang ada di dalam diri kita. Kesadaran, adalah salah satunya.

Maksudku, kita tidak bisa sekonyong-konyong bahagia karena menikah—bahkan umpama kita menikah karena saling jatuh cinta, dengan alasan paling ndakik-ndakik sekali pun. Karena ujian cinta yang terbesar adalah waktu, sementara perkawinan tak terbatas waktu, kecuali maut.

Di dalam konsep dan kenyataan semacam itu, kita tidak akan bisa menyelamatkan perkawinan hanya dengan cinta. Ini rumus yang jelas dan pasti, hingga iblis di neraka tidak bisa membantah, dan bidadari di surga akan menganggukkan kepala.

Satu-satunya hal yang bisa menyelamatkan perkawinan—hingga abadi sampai maut memisahkan—adalah kesadaran. Kesadaran bahwa cinta bisa pudar, kapan pun waktunya. Kesadaran bahwa kita harus menjaga komitmen, perlu berkompromi dengan pasangan, dan kadang harus mengalah, dan seterusnya.

“Kesadaran” itulah yang mestinya didoktrinkan kepada orang-orang, khususnya yang belum menikah, agar tahu dan sadar bahwa pernikahan tidak semudah yang mungkin mereka bayangkan. Karena jatuh cinta itu mudah, dan menikah juga mudah. Tapi kesadaran... ia tidak dimiliki semua orang.

Kesadaran—dan hanya kesadaran—yang mampu memungkinkan dua orang hidup bersama di bawah satu atap selama bertahun-tahun, bersama badai dan ujian kehidupan, sampai maut memisahkan. Karena ujian terbesar cinta adalah waktu, dan ujian terbesar perkawinan adalah kesadaran.

Jadi berhentilah ngoceh dan membual bahwa orang menikah pasti bahagia, karena itu jelas omong kosong! Perkawinan hanyalah konsep yang dilembagakan oleh manusia—ia bukan bagian dari hukum alam. Dan manusia tidak akan bisa bahagia dengan konsep buatan yang dipaksakan semacam itu.

Yang membuat manusia bahagia atau tidak bahagia bukan menikah atau tidak menikah, karena itu hal-hal yang ada di luar dirinya—sesuatu yang bahkan bisa mereka pilih. Yang menjadikan manusia bahagia adalah hal-hal di dalam dirinya, termasuk kesadaran untuk memilih.

Cinta dan perasaan lain—termasuk benci—adalah bagian dari manusia, dan manusia adalah bagian dari alam. Kita tidak bisa melembagakannya begitu saja dengan hukum-hukum yang kita buat sendiri. Kalau kau membenci Si A, misalnya, menikah dengannya tidak akan membuatmu bahagia.

Sudah melihat yang kumaksud? Bukan menikah atau tidak menikah yang membuatmu bahagia, karena nyatanya pernikahan memang tidak menjamin siapa pun pasti bahagia. Yang membuatmu bahagia adalah kesadaran—untuk memilih, termasuk memilih menikah atau tidak, dan bahagia.

Aku tidak percaya orang bahagia dalam perkawinan semata-mata karena cinta, karena itu menyalahi hukum alam. Sesuatu yang temporer (cinta) tidak akan bisa dimasukkan dalam sesuatu yang abadi (perkawinan). Tapi aku percaya, dua orang bisa bersama selamanya, karena dan dengan kesadaran.

Jika kelak aku menikah, aku ingin melakukannya bukan karena janji sorga atau doktrin yang ndakik-ndakik. Aku akan menikah karena kesadaran. Kesadaran karena telah menemukan cinta, kesadaran ingin menghabiskan hidup bersama seseorang, kesadaran untuk membangun dan menjaga komitmen bernama keluarga, kesadaran untuk memilih.

Memilih mbakyu. Appeeuuuuuh...

 
;