Senin, 25 Februari 2019

Belajar Jujur di Belanda

Pengalaman terbaik adalah pengalaman yang diceritakan secara jujur.
Itu menjadi guru terbaik bagi orang lain, dan bagi diri sendiri.
@noffret


Orang Belanda, khususnya Amsterdam, bisa jadi orang-orang paling jujur dan paling blak-blakan di dunia. Mereka bisa dibilang tidak punya basa-basi atau bahkan etika—jika definisi etika menggunakan sudut pandang atau sistem nilai kita. Karenanya, orang-orang dari negara lain sering terkaget-kaget saat datang ke Belanda, misal saat memasuki kafe di Amsterdam.

Kalau kita masuk kafe, umumnya pelayan akan datang, mencatat pesanan, dan mengatakan hal-hal sopan, semisal menanyakan apa saja yang kita perlukan. Tapi hal semacam itu tampaknya tidak berlaku di Belanda. Kalau kita masuk kafe di sana, pelayan tidak datang kalau tidak diundang. Dan ketika pelayan datang ke meja kita, dia akan langsung bertanya, “Anda mau apa?”

Diucapkan dalam bahasa apa pun, pertanyaan semacam itu terdengar kasar. Apalagi ketika dilontarkan seorang pelayan ke pengunjung kafe.

Tetapi, ternyata, ucapan atau sikap semacam itu tidak dianggap kasar di Belanda. Mereka sepertinya memang tidak dididik agar tahu cara menggunakan basa-basi, melainkan dididik agar menjadi orang jujur dan terbuka. Jadi, ketika seorang pelayan mendatangi pengunjung kafe, dia tidak menggunakan basa-basi campur senyum sebagaimana yang biasa kita temukan, melainkan langsung bertanya frontal, “Anda mau apa?”

Ya, kita mau apa? Bukankah, kalau dipikir-pikir, memang itu esensinya? Kita datang ke kafe untuk menikmati minuman atau sesuatu yang lain. Jadi, sebutkan saja, dan pelayan akan membawakannya.

Di berbagai tempat di dunia, budaya memang bisa berbeda-beda. Tetapi, dalam komunikasi atau interaksi dengan orang lain, sepertinya kita menyepakati satu hal, yaitu meminimalkan ketersinggungan orang lain. Dengan kata lain, bersikap sopan.

Orang Inggris tahu cara bersikap ramah pada orang lain, khususnya kepada orang asing. Begitu pula orang Prancis. Meski logat mereka mungkin sulit dipahami, setidaknya kita tahu mereka bersikap sopan. Di negara mana pun, rata-rata orang menyuguhkan sikap sopan ketika berkomunikasi dengan orang lain. Rupanya, dalam hal itu, Belanda memiliki standar sendiri yang berbeda dengan umumnya standar di dunia.

Karena kenyataan itu pula, ada buku khusus yang menyoroti tindak-tanduk orang Belanda, berjudul Why the Dutch Are Different. Buku itu ditulis Ben Coates, orang Inggris yang pindah ke Belanda.

Ketika awal tinggal di Belanda, Ben Coates mengaku kerap terkaget-kaget saat berinteraksi dengan masyarakat Belanda yang biasa ngablak dan terus terang. Dari pengalaman “kurang menyenangkan” itu pula, dia berupaya mempelajari dan memahami kultur masyarakat Belanda, yang hasilnya ia tulis dalam buku.

Dalam buku tersebut, Ben Coates menceritakan salah satu pengalamannya yang bikin shock. Suatu hari, dia baru memangkas rambut dengan model baru, yang menurutnya dapat membuat penampilannya lebih baik. Ketika bertemu temannya, warga Belanda, Ben Coates pun bertanya bagaimana pendapat si teman tentang rambut barunya. Di luar dugaan, teman Ben Coates hanya menyatakan satu jawaban, “Jelek.”

Tentu saja jawaban itu tidak dimaksudkan untuk menghina atau menjelekkan, dan Ben Coates untungnya menyadari kenyataan itu, meski dengan terkejut. Ilustrasi itu bisa menjadi gambaran betapa orang Belanda memang tidak hanya biasa bersikap jujur, tapi juga blak-blakan. Kalau memang jelek, dia katakan jelek, bukan menggunakan kalimat berputar-putar atau eufemisme.

“Saya pikir, orang-orang Belanda tidak suka berpura-pura,” ujar Ben Coates, ketika mulai memahami kultur masyarakat barunya.

Karena sebelumnya tinggal lama di Inggris, Ben Coates pun bisa melihat “garis pemisah” antara kultur Inggris dan kultur Belanda. Dia bahkan mengatakan, perbedaan itu langsung terasa jelas begitu dia menginjakkan kaki di Belanda. Di Inggris, menurutnya, orang-orang cenderung berkomunikasi dan berperilaku dengan cara yang meminimalkan ketersinggungan orang lain.

“Anda tidak bicara keras-keras di kereta api, karena tidak sopan bagi orang-orang yang satu gerbong dengan Anda,” ujarnya. “Anda juga tidak memutar musik keras-keras di apartemen Anda, karena tidak sopan bagi tetangga. Ada kecenderungan untuk terus menyesuaikan tingkah laku Anda.”

Tapi di Belanda, masih menurutnya, “Ada kesan bahwa orang berhak mengatakan apa pun yang mereka mau, dan menjadi seterus terang yang mereka mau. Dan kalau orang lain tidak suka, itu salah mereka sendiri karena tersinggung."

Dalam kultur dan budaya yang mengenal sopan santun seperti Indonesia, mungkin perilaku orang Belanda yang terlalu jujur dan blak-blakan bisa jadi membuat risih, atau bahkan membuat kita berpikir mereka arogan. Di sisi lain, bagi orang Belanda, mungkin sikap kita yang terlalu banyak menggunakan basa-basi terlihat sangat membosankan, atau bahkan bisa jadi mereka menilai kita tidak jujur.

Di Indonesia, misalnya, ketika seorang penjahat atau tersangka kejahatan ditangkap, istilah yang sering digunakan adalah “diamankan”. Dalam beberapa konteks tertentu, istilah itu memang tepat. Misal pencuri ayam yang tertangkap di kampung, dan berpotensi dihakimi masyarakat. Ketika polisi membawa pencuri ayam tersebut, mereka mengatakan pencuri itu “diamankan”. Maksudnya, diamankan dari amukan masyarakat.

Tapi kita tentu juga pernah mendapati berita terkait artis yang ketahuan nyimeng, dan—tertulis di berita—artis bersangkutan telah diamankan. Kita pun bisa jadi bertanya-tanya, diamankan dari apa atau dari siapa?

Istilah “diamankan” untuk mengganti kata “ditangkap” adalah eufemisme—penghalusan bahasa. Sama halnya “maling duit rakyat” dihaluskan menjadi “koruptor”, atau “gelandangan” disebut “tunawisma”. Maknanya sama, tapi istilahnya berbeda. Kenapa kita merasa perlu menggunakan eufemisme? Mungkin karena kita orang-orang sopan dengan budi pekerti yang halus, atau mungkin pula karena kita ingin berjarak dari realitas.

Eufemisme menjauhkan kita dari realitas, mengaburkan kenyataan yang sebenarnya memprihatinkan atau mengkhawatirkan, menjadi terdengar “biasa saja”. Orang pasti akan terbetot perhatiannya ketika mendengar “Pejabat A ditangkap karena merampok uang rakyat.” Tetapi, kita biasa-biasa saja, ketika mendengar “Pejabat A ditangkap karena korupsi.”

Bagi kita, korupsi adalah kata yang tak punya arti, selain bahwa ia kejahatan. Sudah. Bisa jadi, itulah fungsi eufemisme. Menjauhkan kesadaran dari realitas.

Ilustrasi itu hanya contoh kecil dari banyak hal lain yang diselubungi eufemisme. Kita sering merasa berat untuk berlaku jujur, misal ketika ditanya teman, “Apakah aku tampak gemuk?” Meski kenyataannya dia memang tampak gemuk, kita tidak akan mengatakan blak-blakan. Bisa jadi, kita akan berkata, “Sepertinya kamu tampak lebih baik,” atau semacamnya.

Padahal, “Sepertinya kamu tampak lebih baik,” hanyalah eufemisme untuk mengatakan, “Iya, kamu tampak gemuk, seperti biasa!”

Orang-orang di Belanda melakukan hal berbeda. Ketika mereka ditanya temannya, mereka akan menjawab apa adanya. Kalau memang si teman tampak gemuk, mereka akan mengatakan persis seperti itu. Teman yang bertanya tidak marah, karena sama-sama menyadari bahwa yang mereka butuhkan adalah keterusterangan dan kejujuran, bukan kepura-puraan yang sebenarnya omong kosong.

Eleonore Breukel, orang Belanda yang menjadi peneliti antarbudaya dan melatih orang untuk berkomunikasi lebih baik di lingkungan multikultural, mengakui bahwa sikap orang Belanda memang cenderung ngablak. Ia mengatakan, “Orang lain mungkin menganggap kita (orang Belanda) tidak berempati. Dan mungkin itu karena, bagi kami, kejujuran lebih utama daripada empati.”

Kebiasaan itu tentu berbeda dengan budaya kita, yang cenderung lebih mementingkan empati daripada kejujuran. Karenanya, bagi sebagian kita, lebih baik tidak jujur tapi berempati, daripada sebaliknya. Perbedaan seperti itu, bisa jadi, karena kultur yang telah berjalan berabad-abad. Kita dididik untuk bersikap sopan, empatik, tahu beramah-tamah, bahkan berbasa-basi. Sebaliknya, masyarakat Belanda dididik sebaliknya; untuk selalu jujur, berterus terang, dan berbicara apa adanya.

Kejujuran dan keterusterangan begitu mengakar dalam kultur Belanda, sampai di sana ada istilah khusus yang menggambarkannya, yaitu “bespreekbaarheid”, yang berarti “segala hal bisa, dan perlu, dibicarakan”—tidak ada topik yang tabu.

Orang-orang Belanda menyukai keterbukaan, dan menempatkan kejujuran sebagai standar etika tertinggi. Karenanya pula, orang-orang Belanda bisa duduk di kafe yang ramai, lalu mengobrol dengan temannya mengenai perceraian orang tua, atau tentang masalah rumah tangga, dan hal-hal sensitif lainnya, dengan suara keras tanpa sikap risih.

Karena, bagi mereka, itu bukan hal tabu untuk dibicarakan. Kalau memang orang tuanya bercerai, atau kalau memang rumah tangganya bermasalah, mereka mengatakan apa adanya. Mereka berharap solusi atas masalah yang mereka ceritakan, bukan mengharapkan simpati.

Ini, sekali lagi, tentu berbeda dengan kebanyakan kita. Tidak setiap orang punya keberanian mengatakan rumah tangganya bermasalah, bahkan kepada orang yang dianggap teman. Karena rata-rata kita lebih membutuhkan simpati dan bukan solusi. Dengan kata lain, kita lebih memilih terperangkap dalam masalah yang kita hadapi sendiri, asal orang lain tidak tahu.

Karenanya pula, kalau selama ini kita tidak pernah mendengar orang mengeluhkan masalah rumah tangganya, atau mengeluhkan hubungannya dengan pasangan yang tidak lagi harmonis, bukan berarti mereka tanpa masalah atau hubungan mereka baik-baik saja. Kita telah dididik untuk tidak terlalu jujur, atau tidak terlalu berterus terang, demi sesuatu yang kita sebut kesopanan.

Bagi kita, mengatakan secara jujur bahwa rumah tangga kita bermasalah, itu tidak sopan. Kita menganggap urusan rumah tangga adalah privasi masing-masing orang, yang tidak baik jika diceritakan kepada orang lain. Kita memilih tidak jujur demi sikap sopan, berbanding terbalik dengan kultur orang Belanda yang lebih memilih jujur meski dianggap tidak sopan.

Lalu, apakah dengan begitu, berarti orang-orang Belanda tidak punya privasi, dan tidak menghargai privasi? Orang-orang Belanda tentu memiliki privasi, namun dalam konsep yang juga berbeda.

Meski mereka biasa berterus terang dan mengatakan apa adanya, namun ada hal-hal yang bagi mereka tabu untuk dibicarakan. Termasuk di antaranya adalah jumlah gaji atau tunjangan pensiun. Intinya, hal-hal yang terkait kekayaan atau kemewahan. Karenanya, orang Belanda sangat jarang membicarakan—dengan nada pamer—tentang mewahnya rumah mereka, atau tentang mobil baru mereka. Itu, bagi mereka, tabu untuk dibicarakan.

Dengan kata lain, masyarakat Belanda tidak mau membicarakan apa pun yang menyinggung ketidaksetaraan atau relasi kuasa. Memamerkan foto rumah baru bisa jadi aib bagi mereka, meski mungkin kita bisa melakukannya dengan bangga. Sama halnya, membicarakan mobil baru yang kita miliki rasanya menyenangkan, bahkan membanggakan, tapi orang Belanda menganggap itu tabu yang seharusnya tidak dilakukan.

Intinya, orang Belanda senang bersikap jujur dan terbuka, selama tidak terkait relasi kuasa. Kalau tatanan rambutmu jelek, mereka akan mengatakannya. Meski begitu, mereka tidak akan mengatakan kepadamu bahwa mereka lebih baik darimu. Karena itu pula, di Belanda ada pepatah terkenal, “Doe maar normaal, dan ben je al gek genoeg”—jadilah orang normal, itu saja sudah cukup gila.

Terkait kejujuran, saya suka gaya orang Belanda.

Noffret’s Note: Memang

Memang, orang paling kaya di dunia bukan yang memiliki paling banyak, tapi yang tak khawatir kehilangan apa pun.

Memang, orang paling miskin di dunia bukan yang tidak memiliki apa-apa, tapi yang terlalu rakus ingin mendapatkan apa saja.

Memang, orang paling bahagia di dunia bukan yang tak pernah merasa sedih, tapi yang merasa berhak tertawa kapan saja.

Pikiran melahirkan kata, kata melahirkan tindakan, tindakan melahirkan kebiasaan, kebiasaan melahirkan karakter, karakter melahirkan nasib.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 Juni 2017.

Cara Berkenalan dengan Cewek Cantik

“Bagaimana cara mengajak kenalan cewek cantik?”

“Aku tidak tahu.”

“Really?”

“Ya. Biasanya, mereka yang mengajakku kenalan.”

Jumat, 22 Februari 2019

Perjalanan dan Pengalaman Membaca Novel

Mereka berdua saling cinta diam-diam, dan keduanya pun
saling mendiamkan. —Draf novel, halaman 142.
@noffret


Profesi penulis dijalani pria maupun wanita, sebagaimana umumnya profesi lain. Karenanya, ada novelis pria, juga ada novelis wanita. Sebagaimana hasil kerja yang lain, baik atau buruknya suatu hasil kerja (dalam hal ini novel) tentu tidak bisa disandarkan semata-mata pada jenis kelamin. Ada novel bagus yang ditulis pria maupun wanita, sebagaimana ada novel buruk yang ditulis pria maupun wanita.

Asumsikan saja semua novel yang terbit dan beredar luas—yang ditulis pria maupun wanita—sama-sama bagus, terbukti novel itu terbit dan bisa ditemukan di toko-toko buku. Jadi, kita tidak akan membicarakan “bagus” atau “buruk” di sini, karena saya juga menulis catatan ini sekadar untuk membicarakan pengalaman dalam membaca dan menikmati novel.

Persentuhan saya dengan novel dimulai sejak SD (kalau tidak salah ingat, waktu kelas 2 atau 3 SD). Ada anak tetangga saya yang waktu itu sudah kuliah, dan dia senang membaca novel. Sering saya melihatnya duduk di depan rumah, asyik sendirian dengan novel di tangan.

Di masa itu, saya belum mengenal keasyikan membaca buku, jadi saya bertanya kenapa dia bisa khusyuk membaca buku-buku tebal seperti itu. (Waktu itu saya belum mengenal istilah “novel”.)

Tetangga saya menjelaskan kesenangan dan keasyikan membaca novel. Dia bahkan menawari untuk meminjamkan novelnya untuk saya baca. “Kalau kamu sudah tahu asyiknya membaca, kamu tidak ingin berhenti,” ujarnya. Dari dialah, kemudian saya mulai berkenalan dengan novel.

Buku atau novel awal yang saya baca waktu itu serial Lupus karya Hilman. Karena tergolong tipis, dan isinya memang asyik, saya pun bisa membaca dan mengkhatamkan novel-novel itu dengan mudah.

Dari situ, kegemaran membaca mulai tumbuh, dan saya mulai menikmati keasyikan membaca. Bertahun-tahun kemudian, membaca tidak hanya sekadar “kegemaran” bagi saya, tapi sudah sampai pada taraf “kegilaan”.

Ketika SMP, saya mendaftar jadi anggota perpustakaan umum. Waktu itu, tidak jauh dari sekolah, ada perpustakaan lumayan besar milik pemerintah, dan saya kerap mampir ke sana sepulang sekolah.

Di perpustakaan itu tersedia banyak bacaan—fiksi dan nonfiksi—karya penulis Indonesia maupun luar negeri. Melalui perpustakaan itu pula, saya mulai kenal nama-nama novelis semacam V. Lestari, Marga T., Mira W., Gola Gong, Bubin Lantang, Gus TF Sakai, sampai Sidney Sheldon, Mario Puzo, Danielle Steel, dan lain-lain.

Karena kegemaran membaca terus terjaga, saya pun rutin meminjam buku ke perpustakaan, dan hal itu berlangsung sejak SMP sampai saya lulus SMA. Selama tujuh tahun (sejak awal SMP hingga selepas SMA), saya telah mengkhatamkan semua buku yang ada di perpustakaan tersebut, seisi-isinya!

Mula-mula, saat pilihan masih banyak, saya masih pilah-pilih buku yang akan saya pinjam untuk dibaca. Biasanya, saya memilih yang sekiranya menarik. Tetapi, seiring waktu, buku-buku yang ada di sana terus saya lahap, dan pilihan saya makin sedikit. Jika sebelumnya buku yang belum saya baca lebih banyak, lama-lama buku yang sudah saya baca yang lebih banyak. Hasilnya, mau tak mau, saya harus memilih buku apa saja yang belum saya baca. Sampai akhirnya, seperti yang disebut tadi, semua buku di perpustakaan itu “ludes”—telah saya baca semua.

Saya masih ingat “hari penting” itu, ketika mengitari rak-rak di sana, mencari-cari dengan tekun buku yang mungkin belum saya baca. Tapi tidak ada. Semuanya sudah pernah saya pinjam, semuanya sudah saya baca.

Petugas perpustakaan—yang mengenali saya, karena sering ketemu—sampai ikut membantu mencarikan buku yang belum saya pinjam, tapi dia juga tidak berhasil menemukan. Tak peduli buku fiksi atau nonfiksi, semua judul buku di sana telah tercatat dalam daftar pinjaman saya.

Itu menjadi hari terakhir saya mengunjungi perpustakaan. Karena tidak ada lagi buku yang bisa dipinjam.

Kisah itu—dari perkenalan dengan novel melalui tetangga, sampai keasyikan melahap buku-buku di perpustakaan umum—merupakan tonggak penting dalam kedekatan saya dengan buku, yang kemudian memberi pengaruh besar dalam kehidupan saya. Meski semula novel (fiksi) yang mendekatkan saya dengan buku, namun akhirnya saya juga menikmati buku-buku nonfiksi. Kini, terkait buku, bisa dibilang tidak ada bedanya bagi saya. Mau fiksi atau nonfiksi, saya akan senang membaca.

Well, terkait novel, ada sesuatu yang ingin saya ocehkan.

Di awal catatan ini, saya menyebut bahwa novel ditulis pria maupun wanita, karenanya ada novelis pria dan novelis wanita. Apakah ada bedanya? Bagi saya, ya. Ada bedanya! Perbedaan itu sangat terlihat (atau terasa) dalam kisah yang mereka tulis.

Berdasarkan pengalaman saya—dan ini tentu bisa subjektif—novel-novel yang ditulis pria memiliki alur dan plot yang lebih cepat, dibanding novel yang ditulis wanita. Novel-novel pria—setidaknya yang pernah saya baca—bergerak simultan, terus membuat pembaca asyik dan penasaran untuk membuka halaman berikutnya, hingga mengkhatamkan novel pria terasa lebih mudah sekaligus lebih singkat. Khususnya bagi saya.

Sebaliknya, novel-novel yang ditulis wanita bergerak lebih lambat, hingga kadang—bahkan sering—membuat saya tidak sabar saat membaca kisah di dalamnya. Bukan hanya lambat, novel-novel yang ditulis wanita juga terlalu banyak memasukkan hal-hal yang bisa dibilang remeh-temeh, termasuk percakapan-percakapan melantur yang tidak punya kaitan dengan jalan cerita.

Di perpustakaan yang saya ceritakan di atas, ada banyak sekali novel Danielle Steel, dan saya telah membaca semua novel karyanya yang ada di sana. Melalui Danielle Steel pula, saya mulai menyadari, umumnya novelis wanita memang punya kecenderungan memasukkan terlalu banyak hal yang sebenarnya tidak penting, ke dalam novel yang ditulisnya. Entah perasaan tidak penting, percakapan tidak penting, sampai adegan-adegan tidak penting, yang sebenarnya tidak memiliki kaitan vital dengan jalan cerita.

Novel-novel wanita bisa dikenali dengan ciri khas ini; ada banyak “perasaan” sang tokoh, “yang dirasakan” sang tokoh, “bayangan si tokoh”, dan semacamnya, yang semuanya berurusan dengan emosi. Dengan kata lain, ada terlalu banyak hal abstrak di dalamnya!

Pembaca wanita mungkin menyukai hal-hal semacam itu. Buktinya, novel-novel Danielle Steel—yang memang ditujukan untuk pembaca wanita—sangat laris. Tetapi, sebagai pria, terus terang saya tidak sabar saat membacanya. Karena kenyataan itu pula, saya sempat berpikir kebanyakan novel karya penulis wanita memang ditujukan untuk pembaca wanita.

Mari kita gunakan contoh yang mungkin dapat dipahami bersama. Novel serial Twilight, karya Stephanie Meyer, adalah contoh mudah untuk melihat yang saya maksud. Novel serial itu tebal-tebal, masing-masing seri mencapai ratusan halaman. Ketika membacanya, terus terang, saya merasa sangat... sangat... sangat... tersiksa.

Serial Twilight mengisahkan segitiga Bella Swan, Edward Cullen, dan Jacob Black. Dalam kisah tersebut, Stephanie Meyer—sang penulis—menggunakan narasi orang pertama (“aku”). Dan, seperti umumnya penulis wanita, Stephanie Meyer menulis kisahnya dengan “berbunga-bunga”. Kombinasi itu benar-benar sukses membuat saya tersiksa setengah mati selama membaca Twilight dan serialnya.

Serial Twilight, jujur saja, adalah “buku paling berat” yang pernah saya khatamkan, dalam arti harfiah.

Selama membaca novel itu, berkali-kali saya berpikir, “Ya Tuhan, kenapa hal-hal tidak penting seperti ini harus dibahas panjang lebar?”, “Kenapa penjelasan soal remeh sampai harus bertele-tele seperti ini?”, “Kenapa kalian berdialog seperti orang-orang idiot?”, “Demi Tuhan, bisakah kita skip saja adegan-adegan tolol ini?”, dan semacamnya, dan semacamnya, dan semacamnya.

Ada banyak sekali adegan Bella Swan yang—bagi saya—sangat tidak penting sekali, tapi diumbar sampai menghabiskan berlembar-lembar halaman. Gaya penceritaan semacam itu mungkin disukai pembaca wanita, dan tampaknya benar. Terbukti serial Twilight sangat laris, dan mayoritas penggemarnya memang wanita. Tetapi, sebagai pembaca pria, saya ingin jujur mengatakan bahwa novel itu sangat menyiksa (untuk tidak menyebut membosankan) selama membacanya.

Sebenarnya, bukan hanya penulis modern seperti Stephanie Meyer yang bercerita dengan gaya semacam itu. Agatha Christie, penulis yang juga wanita, pun melakukan hal serupa saat menulis novel-novelnya—setengah abad sebelum Stephanie Meyer menulis serial Twilight.

Penggemar Agatha Christie pasti paham yang saya maksud. Dalam banyak novelnya, Agatha Christie kerap memasukkan dialog-dialog panjang yang tidak penting, bahkan bertele-tele dan kerap melantur. Untung, hal itu tertolong oleh misteri dalam kisah, sehingga hal-hal yang bertele-tele dimaklumi pembaca yang mungkin berpikir, “Bisa jadi petunjuk misteri terletak dalam dialog-dialognya.”

Sebagai perbandingan, kita bisa menggunakan serial Sherlock Holmes yang ditulis Sir Arthur Conan Doyle. Serial Sherlock Holmes ditulis jauh-jauh hari sebelum Agatha Christie menulis novel. Tetapi, berbeda dengan novel-novel Agatha Christie yang bertele-tele, serial Sherlock Holmes memiliki jalan cerita yang lebih cepat, alur ringkas yang tidak membosankan, khas novel-novel pria.

Mary Higgins Clark, novelis wanita yang disebut sebagai “penerus Agatha Christie”, juga tampaknya terjebak pada hal sama. Sebagai catatan, novel-novel awal Mary Higgins Clark sangat mengasyikkan—memiliki plot dan jalan cerita yang cepat, serta minim hal-hal tidak penting seperti perasaan yang melantur tak karuan. Terkait hal itu, saya mengira ada peran editor (yang mungkin pria) yang telah bekerja keras “merampingkan” kisah yang ditulis Mary Higgins Clark, sehingga hasilnya benar-benar pas untuk pembaca pria.

Tetapi, lama kelamaan, novel-novel Mary Higgins Clark mulai berubah, dan makin menunjukkan ciri khas novel wanita—jalan cerita yang lambat, detail-detail tidak penting, alur bertele-tele. Terkait hal itu, lagi-lagi saya mengira, editor yang menangani naskahnya berbeda, dan kemungkinan besar juga seorang wanita. Hasilnya, novel-novel akhir Mary Higgins Clark lebih tepat untuk pembaca wanita.

Tentu saja, setiap orang—khususnya pembaca novel—memiliki selera berbeda. Dalam hal ini, saya lebih menyukai novel beralur cepat, dengan plot yang ringkas, detail yang padat, serta tidak membosankan. Contoh sempurna untuk hal ini, tentu saja, novel-novel Dan Brown dan Sidney Sheldon. Novel-novel mereka sangat tebal, tapi saya bisa tenggelam dalam kisah yang mereka tulis, karena sangat mengasyikkan. Lamanya waktu yang saya habiskan untuk membaca novel mereka, berbanding lurus dengan kenikmatan yang saya rasakan.

Sebegitu nikmat saat membaca novel-novel Dan Brown atau Sidney Sheldon, sampai-sampai saya sering mengkhatamkan tanpa sadar, dan berpikir, “Aduh, kisahnya sudah selesai.” Rasanya sayang, dan ingin membacanya sekali lagi. Sebaliknya, ketika membaca novel yang penuh hal-hal tidak penting dan bertele-tele, saya berpikir, “Ya Tuhan, sudah membaca dari tadi, baru dapat sepuluh halaman? Kapan aku bisa menyelesaikan novel ini?”

Setelah membaca cukup banyak novel—setidaknya saya telah membaca lebih dari seribu novel—saya sampai pada kesimpulan ini: Rata-rata novel karya penulis pria memiliki jalan cerita lebih cepat, dan lebih cocok untuk saya. Sebaliknya, rata-rata novel wanita memiliki jalan cerita lebih lambat, dan terus terang saya kurang cocok. 

Memang, tidak semua penulis wanita bertele-tele atau terlalu banyak mengumbar perasaan tidak penting dalam novel. J.K. Rowling, misalnya, bisa menjadi contoh penulis wanita yang mampu menulis dengan plot yang hebat, detail-detail menarik namun ringkas, serta alur yang padat, khususnya dalam serial Harry Potter.

Saya ulangi, khususnya dalam serial Harry Potter! (Dalam novel-novel lain, saya menilai J.K. Rowling sebelas dua belas dengan rata-rata novelis wanita.)

Membaca serial Harry Potter sangat mengasyikkan, karena semua bagian dalam kisah tidak ada yang sia-sia! Tidak ada pengumbaran perasaan yang konyol, tidak ada hal bertele-tele, tidak ada bagian yang membosankan.

Perlu dikatakan di sini, bahwa editor J.K. Rowling telah bekerja keras membuat serial Harry Potter benar-benar “sempurna” seperti yang kita kenal. Dan, omong-omong, tahu mengapa nama Jeanne Kathleen Rowling disingkat menjadi J.K. Rowling? Tidakkah kalian pikir penyingkatan itu aneh?

Penyingkatan nama itu sebenarnya bukan keinginan Rowling. Semula, dia bermaksud menggunakan namanya secara lengkap—Jeanne Kathleen Rowling. Tetapi, nama lengkap itu menunjukkan kalau si penulis berjenis kelamin wanita!

Sudah jadi rahasia umum—khususnya di kalangan penikmat novel—bahwa novel karya wanita lebih cocok untuk pembaca wanita. Karena latar belakang itu, pihak agen dan penerbit mempertimbangkan, jika novel Harry Potter menggunakan nama penulis Jeanne Kathleen Rowling, orang akan mengenali itu nama wanita, dan sebagian pembaca—yang berjenis kelamin pria—bisa jadi tidak tertarik. Akhirnya, mereka bersepakat untuk menyingkat nama si penulis menjadi J.K. Rowling, yang lebih sulit dipastikan jenis kelaminnya.

Hasilnya tepat seperti yang mereka perkirakan. Calon pembaca (awalnya) tidak tahu J.K. Rowling seorang pria atau wanita, dan mereka mendapati serial Harry Potter sangat mengasyikkan. Belakangan, setelah serial Harry Potter terbukti dan terjamin mengasyikkan, jutaan pembaca di dunia tidak lagi peduli apakah penulisnya pria atau wanita.

Well, sebenarnya, sebagai pembaca, saya juga tidak peduli suatu novel ditulis pria atau wanita. Asal isinya asyik, saya akan asyik pula melahapnya. Sayang, berdasarkan pengalaman—sebagai pembaca pria—saya lebih sering menemukan keasyikan saat membaca novel pria, daripada saat membaca novel wanita. Mungkin, dan bisa jadi, pembaca wanita punya pengalaman sebaliknya.

Noffret’s Note: Kekacauan

Semula, para vampir dan para serigala hidup tenang. Lalu muncul Bella Swan, dan terjadilah kekacauan.

Apa yang dihadirkan Bella Swan dalam Twilight? Benar. Kekacauan, kekacauan, kekacauan, kekacauan, kekacauan, kekacauan, kekacauan...

Bella Swan adalah tipe perempuan yang datang ke dalam hidupmu, lalu mengubah kedamaian menjadi kekacauan dan kerepotan.

Aku berdoa semoga dijauhkan dari perempuan-perempuan seperti Bella Swan. Masalah hidupku sudah terlalu banyak!

Bella Swan bersinonim dengan kekacauan. Kesimpulannya mutlak; dia bukan mbakyu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 Agustus 2017.

Sesuatu yang Gmweggxx Yyffsdjwe&&gixvxvvd Lwwirvtr

Ya, itu.

Sabtu, 16 Februari 2019

Mengubah Takdir

Seseorang berkata, "Nasib adalah kesunyian masing-masing."
Dan sekarang aku mengerti, takdir bersenandung dalam hening.
@noffret


Takdir mungkin diciptakan, tapi ia mewujud setelah dibentuk. Dan yang membentuk, biasanya, lingkungan. Seperti apa lingkunganmu, biasanya seperti itulah dirimu. Yang disebut lingkungan adalah keluarga, tetangga, tempat tinggal, teman-teman, sekolah yang memberi pendidikan, sampai buku-buku dan bacaan dan tontonan, dan apa saja yang masuk ke dalam kehidupan seseorang.

Berdasarkan hal-hal itu, saya bahkan bisa tahu akan seperti apa seseorang sepuluh atau dua puluh tahun mendatang, dengan melihat kehidupannya yang sekarang. Karena takdir mungkin memang diciptakan, tapi kitalah yang mewujudkan. Karenanya, kita bisa tahu akan seperti apa “takdir” seseorang sekian tahun ke depan, dengan melihat takdirnya yang sekarang.

Tiga puluh tahun yang lalu, ada seorang wanita yang melahirkan bayi kembar. Dua-duanya perempuan. Si wanita tentu bersyukur dengan kelahiran bayi kembarnya. Namun, dia juga kebingungan, karena kondisi ekonomi yang susah. Dengan kemiskinan yang menghimpitnya, ia tahu akan kesulitan mengurus dua anak yang lahir dan tumbuh berbarengan.

Untung, ada pasangan suami istri yang tertarik mengadopsi salah satu bayi perempuan tersebut, karena kebetulan mereka tidak punya anak. Si wanita menyerahkan salah satu bayinya, dan dia percaya anaknya akan dirawat dengan baik. Suami istri yang mengadopsi itu bukan hanya orang baik, tapi juga kaya. Si wanita percaya, anak yang ia serahkan akan diasuh secara layak oleh mereka.

Sekarang, untuk memudahkan cerita, kita sebut dua bayi kembar itu bernama Lea dan Ana.

Lea adalah bayi yang diadopsi oleh keluarga kaya. Sementara Ana dibesarkan orang tua kandungnya yang miskin. Mereka hidup terpisah ratusan kilometer. Dan takdir sepasang bayi kembar dimulai... segugus takdir yang berawal dari tempat sama, namun berubah dengan sangat mencengangkan.

Sebagai anak keluarga miskin, Ana menjalani kehidupan seperti umumnya anak miskin. Dia sekolah dari SD sampai SMA dengan identitas sekaligus kesadaran akan kemiskinan dan kekurangan. Dia tumbuh menjadi perempuan biasa, dengan penampilan sederhana, dengan isi pikiran yang sama sederhana, dan meyakini bahwa seperti itulah kehidupan. Bahwa segala hal dalam hidup sulit diraih.

Sementara Lea, yang tumbuh besar di tengah keluarga kaya, menjalani kehidupan jauh berbeda. Dia bersekolah dari SD sampai SMA dengan identitas sekaligus kesadaran akan kekayaan dan keberlimpahan. Dia tumbuh menjadi perempuan cantik, dengan penampilan elegan, dengan isi pikiran yang mekar, dan meyakini bahwa seperti itulah kehidupan. Bahwa segala hal dalam hidup bisa ia raih.

Di waktu-waktu tertentu—biasanya pas lebaran—orang tua angkat Lea mengunjungi orang tua Ana, dan dua anak kembar itu pun bertemu. Namun, Lea dan Ana tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya anak kembar, karena orang tua masing-masing telah saling berjanji untuk tidak mengungkapkan kenyataan itu. Jadi, Lea sama sekali tidak tahu bahwa dia anak angkat dalam keluarganya, dan Ana juga tidak tahu bahwa Lea sebenarnya saudara kembarnya.

Ketika mereka sama-sama SMA, bisa dibilang keduanya berbeda—meski sebenarnya mereka kembar identik. Semua orang sepakat, Lea jauh lebih indah (atau lebih mewah) dibanding Ana yang tampak sederhana. Meski begitu, ada satu ciri khas yang membuktikan bahwa mereka memang saudara, khususnya saudara kembar. Yaitu cara berjalan. Lea dan Ana memiliki gaya berjalan yang benar-benar mirip.

Orang-orang—khususnya para tetangga dan famili mereka—tahu kalau dua perempuan itu sebenarnya bersaudara, tapi mereka juga ikut menjaga rahasia tersebut. Orang-orang itu juga menyadari bahwa Lea dan Ana memiliki ciri-ciri tertentu yang membuktikan bahwa mereka memang saudara kembar, salah satunya cara mereka berjalan. Ajaibnya, Lea dan Ana sepertinya tidak menyadari hal itu.

Ketika Lea dan Ana duduk di bangku SMA, saya juga SMA. Dan saya juga tahu latar belakang mereka, sebagaimana saya menyadari bahwa keduanya memang memiliki ciri-ciri kembar. Cara mereka berjalan benar-benar identik. Tapi saya juga menyadari, mereka memiliki gaya bicara (bercakap) yang sangat mirip. Saat bercakap-cakap, dan menekankan sesuatu pada ucapannya, cara mereka benar-benar mirip. Semuanya mirip... kecuali penampilan mereka!

Lalu tahun-tahun berlalu.

Lulus SMA, Ana menikah. Karena, apa lagi yang bisa ia lakukan selain menikah? Dia tidak bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, dan orang tuanya—sebagaimana umumnya orang tua sederhana yang tradisional—menginginkan anak perempuannya cepat menikah. Jadi, saat ada lelaki yang melamar, tidak ada jawaban lain selain menerima.

Setahun setelah menikah, Ana dan suaminya memiliki anak. Lalu anak kedua lahir dua tahun kemudian. Seperti orang tuanya, Ana membangun rumah tangga sendiri— dengan keluarga sederhana, kehidupan pas-pasan, dan sepertinya anak-anaknya kelak juga akan mengulang kehidupan serupa. Karena di mana kau dilahirkan, di situlah takdirmu berkembang.

Sementara Lea menjalani kehidupan berbeda. Lulus SMA, dia kuliah di universitas. Lulus S1, dia melanjutkan S2. Setelah itu, melalui kolega ayah (angkatnya), Lea mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan, dan di sanalah dia kemudian bertemu dengan pria yang lalu menjadi suaminya.

Saat Lea akan menikah itulah, rahasia asal usulnya terbongkar.

Dalam Islam, pernikahan dianggap sah jika ada wali si perempuan. Karena ayah kandung Lea masih hidup, maka ayah kandungnya yang menjadi wali. Dalam hal itu, mau tak mau, orang tua angkat Lea akhirnya membukakan asal usul Lea, demi kelancaran pernikahan. Lea pun akhirnya tahu bahwa dia anak angkat dalam keluarganya.

Singkat cerita, terbukanya asal usul tersebut tidak menimbulkan masalah apa pun. Lea menerima kenyataan itu dengan baik, begitu pula (calon) suaminya. Lalu mereka pun menikah, hingga memiliki anak. Saat saya menulis catatan ini, Lea maupun Ana telah memiliki keluarga sendiri-sendiri, dan—tentu saja—keluarga Lea jauh berbeda dengan keluarga Ana.

Kini, ketika membayangkan dan memikirkan kembali kisah mereka, saya seperti melihat bagaimana cara takdir bekerja. Betapa dua manusia yang dilahirkan bersama sebagai saudara kembar—yang mestinya akan menghadapi takdir sama—bisa jauh berbeda ketika keduanya dipisahkan, dan menjalani kehidupan berbeda.

Lea tumbuh sebagai perempuan yang mekar dengan indah, dengan pikiran yang sama mekar dan indah, karena ia tumbuh di tempat yang memungkinkannya mekar dan indah. Sebaliknya, Ana tumbuh sebagai perempuan sederhana, dengan pikiran sederhana, lalu menjalani hidup dengan pola pikir sederhana, karena ia tumbuh di tempat yang membentuknya seperti itu.

Andai posisi mereka ditukar... andai Ana yang diadopsi oleh keluarga kaya, sementara Lea masih bersama orang tua kandungnya yang miskin. Apa yang akan terjadi? Kita bisa membayangkan jawabannya nyaris akurat: Ana akan menempati takdir Lea, dan Lea akan menempati takdir Ana!

Jadi, omong-omong, di manakah takdir sebenarnya? Apakah takdir memang melekat pada orang per orang? Mungkin, ya. Tapi takdir itu ternyata bisa berubah ketika orang per orang dipindah ke tempat berbeda, bahkan jika mereka saudara kembar! Ketika menyadari kenyataan ini, saya sangat... sangat tercengang.

Kenyataan inilah yang belakangan memberitahu saya, mengapa ada orang kaya dan orang miskin. Persoalannya bukan karena takdir semata, melainkan lebih pada mental dan pola pikir orang per orang. Takdir bisa diubah—kita telah melihat buktinya dengan melihat Lea dan Ana. Tapi sesuatu yang dihasilkan oleh takdir itulah yang sulit diubah. Yaitu mental dan pola pikir!

Anak-anak orang kaya menjalani hidup dengan mental kaya, dengan pola pikir keberlimpahan. Sementara anak-anak orang miskin menjalani hidup dengan mental miskin, dengan pola pikir serba kekurangan. Mental dan pola pikir itulah yang lalu mengikat mereka dengan sangat erat, dan mewujudkan hasil secara tepat. Yang bermental kaya menjemput takdir kekayaan, yang bermental miskin juga menjemput takdir kemiskinan. Takdir adalah cermin tak terlihat!

Dan saya bisa membayangkan... kelak, berpuluh tahun mendatang, anak-anak Ana akan menjalani kehidupan seperti orang tuanya, persis seperti anak-anak Lea juga akan menjalani kehidupan seperti orang tuanya. Karena di mana kau tumbuh besar, di situ takdirmu berkembang.

Jika anak-anak Ana bertanya kepada saya, bagaimana cara keluar dari lingkaran setan kemiskinan yang membelit mereka, inilah jawabannya, “Lepaskan mental miskinmu, dan perbarui pola pikirmu.”

Setelah memikirkan, merenungkan, dan menjalaninya bertahun-tahun, saya tahu... hanya itu satu-satunya cara mengubah takdir. Tetapi, berdasarkan pengalaman, saya pun tahu... mengubah takdir adalah pekerjaan sulit yang nyaris mustahil.

Kursus Ejakulasi

Sekelompok bocah sedang nongkrong di depan sebuah gang yang sepi. Ketika mereka sedang asyik ngobrol, seorang bocah lain lewat dengan langkah bergegas. Dia sempat nyamperin bocah-bocah yang sedang nongkrong, tapi terus melangkah.

Bocah-bocah yang nongkrong memanggil, “Ke mana, bro? Sini aja dulu, ikut ngobrol!”

“Sori, aku lagi buru-buru, nih. Hampir telat!” sahut bocah tadi.

“Emang mau ke mana, bro? Kok buru-buru amat?”

“Mau kursus!” Dia terus melangkah.

“Kursus apaaah?”

“Kursus ejakulasi!”

Ketika mendengar percakapan itu, saya termangu-mangu. Saya berada tidak jauh dari kelompok bocah yang sedang nongkrong. Ketika mendengar “kursus ejakulasi”, saya bertanya-tanya. Apakah saya salah dengar, atau saya memang kurang gaul?

Apa pun, yang jelas saya ingin sekali kenal bocah tadi. Karena, tiba-tiba, saya ingin kursus!

Noffret’s Note: Mile 22

Aku percaya sinterklas? Tidak. Peri gigi? Tidak. Aku percaya ucapan cinta dari tiga mantan istriku? Pasti tidak. —James Silva, Mile 22

Mile 22 sepertinya memang film berat, dalam arti sesungguhnya. Dari awal sampai akhir isinya orang-orang serius dengan muka tegang, dan tidak ada satu pun yang tersenyum.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 dan 30 Oktober 2018.

Senin, 11 Februari 2019

Sepertinya Ada yang Mencoba Meretas Akun Twitter Saya

Twitter tampaknya menumbuhkan bakatku yang terpendam;
menjadi orang gila yang asyik sendiri dengan ocehannya.
@noffret


Semingguan ini saya tidak bisa ngoceh di Twitter seperti biasa, karena akun saya “dibatasi” oleh Twitter. Sepertinya ada yang mencoba meretas akun Twitter saya, dan aktivitas itu terdeteksi oleh Twitter. Karenanya, sebagai langkah pengamanan, Twitter lalu “membatasi” akun tersebut, dan saya—sebagai pemilik akun—ikut terkena dampaknya.

Upaya peretasan itu sepertinya sudah dilakukan beberapa kali. Mula-mula, akun saya “dibatasi” oleh Twitter pada pertengahan Januari 2019. Waktu itu, tiba-tiba akun Twitter saya “tertutup”, dan muncul pemberitahuan bahwa ada aktivitas mencurigakan di akun saya. Twitter menyarankan agar saya segera mengubah kata sandi atau password.

Saya pun mematuhi saran itu, dan diantarkan Twitter menuju laman khusus untuk mengubah password. Setelah password selesai diubah, saya bisa kembali mengakses akun Twitter seperti biasa, dan bisa ngoceh sewaktu-waktu seperti biasa.

Beberapa hari setelah itu tidak ada apa-apa, semuanya tampak normal. Lalu, peristiwa serupa muncul pada akhir Januari. Tiba-tiba, akun Twitter saya tertutup lagi seperti sebelumnya, dan kembali muncul pemberitahuan ada aktivitas mencurigakan. Lagi-lagi, Twitter menyarankan agar saya mengubah password. Sekali lagi, saya mematuhi saran Twitter, dan mengubah password seperti sebelumnya.

Usai password diubah, akun Twitter saya kembali terbuka, dan saya bisa ngoceh lagi, setidaknya sampai 2 Februari 2019.

Dan peristiwa keparat itu muncul kembali. Untuk ketiga kalinya, akun Twitter saya tiba-tiba tertutup, dan lagi-lagi muncul pemberitahuan ada aktivitas mencurigakan di akun saya. Kali ini, saya tidak bisa masuk ke akun saya sendiri.

Sejak itu, setiap kali saya membuka laman akun saya, yang muncul adalah pemberitahuan, “Akun ini untuk sementara dibatasi. Anda melihat peringatan ini karena ada beberapa aktivitas yang tidak biasa dari akun ini. Masih ingin melihatnya?”

What the hell is this?

Sepertinya Ada yang Mencoba Meretas Akun Twitter Saya

So, sejak itulah, saya tidak bisa masuk ke akun saya sendiri, setidaknya sampai sekarang. Saya tidak tahu apakah kelak masih bisa memiliki akun itu atau tidak, dan sejujurnya saya tidak terlalu peduli. Namun, sebagai antisipasi kalau-kalau kelak saya harus kehilangan akun tersebut, saya perlu menulis catatan ini.

Jika kelak saya bisa kembali memiliki akun tersebut, saya akan memberitahukan hal tersebut di blog ini, sehingga kalian—khususnya yang mengikuti saya di Twitter—benar-benar yakin kalau yang ngoceh di akun itu memang saya.

Sebaliknya, jika kelak ternyata saya tidak bisa kembali memiliki akun tersebut, dan si peretas mungkin telah berhasil menjebol akun hingga menguasainya, saya juga akan memberitahukan hal itu di sini. Jika itu terjadi, artinya semua ocehan atau apa pun yang kemudian muncul di akun tersebut bukan datang dari saya, yang artinya bukan tanggung jawab saya lagi. Saya perlu mengatakan ini, sebagai antisipasi atas apa pun yang mungkin terjadi.

Sebagian kalian mungkin ada yang ingin bertanya, kalau kelak saya benar-benar harus kehilangan akun tersebut, apakah saya akan membuat akun baru?

Kemungkinan besar tidak!

Sejujurnya, saya kurang nyaman dengan media sosial, dan karena itulah saya tidak punya akun di Facebook atau di Instagram. Fakta bahwa saya punya akun di Twitter, sejujurnya karena terpaksa. Dulu, saya membuat akun tersebut semata-mata karena perasaan tidak enak akibat diminta membuat akun Twitter untuk suatu keperluan. Karena itulah, dengan berat hati, saya lalu membuat akun. (Saya bisa ngomong apa adanya begini karena urusan itu sudah berlalu).

Karena memang tidak nyaman dengan media sosial, saya pun—sejujurnya—kurang bisa menikmati aktivitas di sana. Media sosial, khususnya Twitter, memungkinkan komunikasi dengan siapa pun tanpa pembatas—termasuk komunikasi semacam basa-basi haha-hehe tidak jelas—dan hal itu membuat saya kurang nyaman.

Selain basa-basi tidak jelas, hal lain yang membuat saya kurang nyaman di Twitter adalah kemungkinan orang mengkomunikasikan sesuatu yang bersifat personal dengan saya. Sebagian orang kadang tidak bisa bijak dalam berkomunikasi dengan orang lain. Misal membahas hal-hal yang sifatnya sensitif atau pribadi di tempat terbuka seperti Twitter, tanpa memikirkan dampaknya.

Saya tidak mempermasalahkan orang lain—kalau mereka mau membicarakan hal-hal sensitif atau pribadi di media sosial secara terbuka, itu hak mereka. Cuma, saya tidak mau melakukan hal semacam itu. Bagi saya, hal-hal yang sensitif atau pribadi harus dibicarakan di tempat pribadi atau tertutup, yang tidak memungkinkan orang lain ikut melihat.

Itu dua hal utama yang membuat saya tidak nyaman dengan media sosial, khususnya Twitter. Karenanya, seperti yang dapat kalian lihat, saya menyematkan tweet berbunyi, “Basa-basi sangat melelahkan bagiku. Itulah kenapa, aku lebih suka ngomong sendiri, dan hanya berkomunikasi jika memang perlu.”

Saya bukan tidak mau berkomunikasi. Saya dengan senang hati bersedia melayani komunikasi dengan siapa pun, asal bukan basa-basi tidak jelas. Latar belakang itu pula yang membuat saya sengaja menutup kolom komentar di blog ini, karena memang tidak ingin mendapat komentar basa-basi yang tidak jelas. Misalnya, “Nais impoh, gan!”

Komentar tidak jelas semacam itu benar-benar membuat saya lelah—dalam arti harfiah. Begitu pula dengan basa-basi di media sosial yang biasa diakhiri “hehe” dan semacamnya—sama-sama membuat saya lelah. Energi saya seperti terkuras setiap kali melayani percakapan semacam itu, bahkan pikiran saya bisa tiba-tiba stres, seperti menghadapi beban yang berat.

Sekali lagi, saya tidak mempersoalkan orang lain yang biasa melakukan percakapan basa-basi di media sosial. Mereka tentu berhak melakukan basa-basi dengan siapa pun. Cuma, saya benar-benar tidak punya kemampuan semacam itu.

Jadi, itu latar belakang kenapa saya kemungkinan besar tidak akan membuat akun Twitter baru, jika akun yang sekarang tidak bisa kembali saya miliki. Karena nyatanya, punya akun Twitter atau tidak, bisa dibilang tidak ada bedanya bagi saya. Di Twitter, saya hanya ngoceh sendiri, dan hal itu sebenarnya telah diwadahi dengan baik oleh blog. Sebenarnya, saya bahkan lebih nyaman ngoceh di blog daripada di Twitter.

Tentu saja saya mendapat manfaat dari Twitter. Misal bisa tahu info-info terkini tentang apa saja, juga bisa nemu humor-humor yang unik, sinting, dan membuat saya cekikikan. Kemudian bisa mengenal orang-orang hebat yang membuat saya banyak belajar dari mereka. Juga bisa nyepik Nabilah kalau lagi iseng. Apeuuu....

Ya semoga saja kelak saya bisa kembali mendapatkan akun saya di Twitter, agar bisa kembali mendapat manfaat-manfaat tersebut, juga agar saya bisa ngoceh lagi sewaktu-waktu. Kalau pun ternyata takdir menghendaki saya harus kehilangan akun tersebut, ya tidak apa-apa.

Kebodohan Kita

Entah orang-orang memperhatikan atau tidak.

Dulu, pemanasan global menjadi isu besar di dunia, termasuk di Indonesia. Isu itu belum (bahkan tidak) selesai, tapi lalu surut. Setelah itu, muncul isu plastik. Kita kembali ribut, hingga kini. Coba tebak, apa isu setelah plastik?

Kalian yang dulu aktif di organisasi ekstra kampus, pasti sedikit-banyak paham bagaimana cara "bermain isu", serta bagaimana cara permainannya. Sekarang bayangkan saja, kalian punya organisasi serupa, tapi tingkat internasional, dan melakukan permainan yang sama. Bisa memahami?

Sekarang aku ingin ngoceh.

Rayap mungkin kecil, bahkan nyaris tak terlihat. Tetapi—berdasarkan penelitian yang telah disepakati para ilmuwan—jika seluruh rayap di bumi dikumpulkan jadi satu, bobot mereka jauh lebih berat dibanding bobot seluruh manusia dikumpulkan jadi satu.

Fakta itu sering terlewat orang awam—dan juga sebagian ilmuwan—saat menarik kesimpulan mengenai berbagai fenomena yang terjadi di bumi. Rayap, disadari atau tidak, ikut berkontribusi terhadap terjadinya pemanasan global. Ingat, jumlah mereka luar biasa besar.

Itu baru rayap, kita belum membicarakan hewan-hewan lain yang juga sangat banyak, atau lebih besar. Dari kecoak sampai sapi, dari ayam sampai tengu di selangkanganmu. Sudah jadi rahasia umum, kentut sapi adalah salah satu penyebab pemanasan global.

Karenanya, menyebut manusia sebagai satu-satunya penyebab pemanasan global, itu keliru—kalau tak mau disebut pembodohan. Manusia memang berkontribusi terhadap pemanasan global, tapi bukan satu-satunya penyebab. Melawan fakta ini hanya akan menjadikanmu konyol.

Kenyataan itulah yang menimbulkan kecurigaan sebagian pihak, bahwa isu pemanasan global hanyalah topeng yang digunakan untuk menggelontorkan bisnis berskala global. Kalian tahu yang kumaksud. Kalau belum tahu, silakan belajar lebih banyak, agar tahu.

Ini bukan berarti bahwa manusia bisa terus merusak alam dengan dalih “bukan satu-satunya perusak”. Konteks ocehan ini hanya untuk menunjukkan sesuatu yang mungkin belum dilihat banyak orang, terkait isu pemanasan global. Begitu pula dengan “isu-isu global” yang lebih baru.

Seperti isu plastik, akhir-akhir ini—kenapa kalian tidak heran? Memang benar, plastik mencemari bumi, mengotori lautan hingga serupa sampah, dan menghasilkan materi berbahaya bernama mikroplastik. Dan apa yang kita lakukan? Meributkan kantong plastik dan sedotan! What the hell?

Kita meributkan kantong plastik yang setipis kulit ari, sementara benda-benda raksasa terus dibuat menggunakan plastik. Kita meributkan sedotan plastik yang secuil, sementara gelas dan piring dan termos dan botol dan—persetan, sebut apa pun—terus dibuat menggunakan plastik!

Dan kita tidak heran dengan pelarangan kantong plastik, sementara ember plastik terus diproduksi? Kita tidak heran sedotan plastik dilarang, tapi minum dari gelas plastik? Apa yang kita ributkan, sebenarnya? Esensi perusak bumi, ataukah kebodohan kita sendiri?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Januari 2019.

Bukan Pantun

Di sana burung dodo, di sini burung dodo
Di mana-mana ada burung dodo
Mungkin kita memang harus jadi burung dodo

Kamis, 07 Februari 2019

Pelajaran dari Cakar Ayam

Memasuki waktu Indonesia bagian mencari mi ayam.
@noffret


Hanya karena cakar ayam, orang yang semula sukses bisa kehilangan kesuksesan, yang semula sibuk bekerja bisa kehilangan pekerjaan, yang semula menyangka hidup akan baik-baik saja bisa berubah drastis tanpa disangka-sangka. Cakar ayam mampu mengubah nasib manusia, dan karena kenyataan itu pula saya takjub memikirkannya.

Bertahun lalu, saya sering makan mi ayam di sebuah warung pinggir jalan. Warung mi ayam itu buka sore hari, dan biasanya tutup pukul 21:00 atau lebih larut, sampai habisnya mi ayam yang mereka jual. Warung mi ayam itu selalu ramai pembeli. Kapan pun saya ke sana, selalu harus antre.

Mi ayam di warung itu memang enak, meski enaknya tergolong standar. Dalam arti, kita bisa mendapatkan mi ayam dengan kualitas sama di tempat lain. Namun, karena di sekitar tempat itu tidak ada penjual lain, warung mi ayam itu pun laris karena menjadi penjual mi ayam satu-satunya.

Biasanya, malam hari, saat malas makan, saya pergi ke warung mi ayam tersebut, dan menghabiskan semangkuk mi ayam plus teh hangat. Karena sering ke sana, saya pun terbiasa dengan banyak hal di sana. Penjual mi ayam itu sepasang suami istri yang masih muda. Si suami bertugas membuat mi ayam, si istri membuatkan minuman yang dipesan para pembeli. Ada satu pelayan, sepertinya keponakan mereka, yang juga membantu melayani pembeli di sana.

Mereka telah menjalani usaha mi ayam sejak bertahun-tahun, dan—dari yang saya dengar—mereka sukses dengan usaha tersebut. Tampaknya, pekerjaan apa pun yang ditekuni dengan baik memang membawa kesuksesan. Atau, setidaknya, keberkahan.

Karena sering datang ke sana pula, saya kerap mendengar sesuatu mengenai cakar ayam. Sering kali, saat sedang makan mi di sana, ada pembeli datang, lalu berkata pada si penjual, “Kasih cakar ya, Mas.”

Biasanya, si penjual mi ayam menjawab, “Cakar ayamnya habis.”

Percakapan semacam itu—mengenai cakar ayam—bisa dibilang selalu saya dengar setiap kali ke sana. Tidak sore tidak malam, selalu ada pembeli di sana yang meminta diberi cakar ayam untuk mi mereka, dan si penjual menyatakan cakar ayam sudah habis. Dalam hal itu, saya termasuk pembeli yang sering kecewa, karena juga diberi jawaban serupa. Saya meminta cakar ayam, tapi dijawab cakar ayam sudah habis.

Semula, saya hanya berpikir warung mi tersebut memang sangat laris, sehingga persediaan cakar ayam cepat habis. Sampai kemudian, saya menyadari bahwa urusan cakar ayam itu tidak sesederhana yang saya pikirkan.

Suatu malam agak larut, saya datang ke warung mi tersebut, dan memesan semangkuk mi ayam plus segelas teh seperti biasa. Warung tidak terlalu ramai waktu itu, hanya ada dua perempuan yang tampaknya sedang menunggu mi pesanan mereka. Saat saya baru duduk, salah satu perempuan itu berkata pada si penjual mi, “Mas, pakai cakar, ya.”

Seperti biasa, penjual mi menjawab, “Cakarnya habis, Mbak.”

Beberapa saat kemudian, mi ayam pesanan saya diantarkan, dan saya pun melahapnya dengan nikmat. Tidak lama setelah itu, dua perempuan tadi telah selesai makan, dan pergi setelah membayar. Sekarang tinggal saya sendirian di sana.

Saat mi ayam di mangkuk saya habis, ada pembeli lain masuk ke warung. Kali ini seorang laki-laki. Dia duduk di samping saya, dan memesan mi serta teh. Kemudian, ini yang menarik. Saat mi sedang dimasak, penjual mi ayam berkata kepadanya, “Mas, daging ayamnya habis. Pakai cakar saja, ya.”

Si pembeli setuju.

Ketika akhirnya mi ayam pesanannya diantarkan, saya melihat dia mendapatkan semangkuk mi dengan dua cakar ayam. Yang saya lihat waktu itu benar-benar membuat saya tercengang.

Selama ini, sudah puluhan kali saya mendengar pembeli meminta cakar ayam, tapi si penjual selalu menjawab cakar ayam telah habis. Begitu terus menerus. Bahkan, tadi dengan jelas saya mendengar ada pembeli yang meminta cakar ayam, dan lagi-lagi diberi jawaban cakar ayam telah habis. Tetapi, sekarang, seseorang mendapatkan cakar ayam karena kebetulan daging ayam telah habis.

Kenyataan itu sangat mudah dipahami. Tidak perlu Sherlock Holmes atau Hercule Poirot untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Rupanya, penjual mi ayam itu tidak menyediakan cakar ayam, dan hanya menggunakan cakar ayam yang mereka miliki sebagai “cadangan” jika kebetulan daging ayam habis. Setiap hari, mungkin penjual mi ayam itu memotong tiga atau empat ekor ayam untuk keperluan dagangan. Karena memotong tiga atau empat ayam, mereka hanya memiliki enam atau delapan cakar ayam. Cakar yang sedikit itu tidak disediakan secara bebas untuk pembeli, melainkan digunakan sebagai cadangan.

Karenanya, tak peduli sebanyak apa pun pembeli yang meminta cakar ayam, si penjual mi akan menjawab cakar telah habis, karena cakar yang tersedia memang tidak disediakan secara bebas. Sebaliknya, jika membeli mi ayam ke sana agak larut malam—dan kebetulan daging ayam sudah habis—pembeli pun bisa mendapatkan cakar, bahkan tanpa meminta.

Malam itu, sambil merasakan perut yang kenyang setelah menghabiskan semangkuk mi ayam, saya mulai memahami persoalan perlahan-lahan, dan mengendapkannya dalam pikiran. Selama waktu-waktu itu, tak terhitung banyaknya pembeli yang pernah datang ke sana, dan meminta cakar ayam, tapi dijawab telah habis. Saya berpikir, kenapa penjual mi ayam tidak menyediakan cakar ayam dalam jumlah banyak, agar bisa memenuhi keinginan para pembeli?

Mungkin penjual mi ayam memang memotong ayam dalam jumlah terbatas, sehingga persediaan cakar ayam pun sama terbatas. Kenapa mereka tidak terpikir untuk membeli cakar ayam di pasar, untuk memenuhi permintaan pembeli? Bukankah itu mudah? Setiap hari mereka memasak daging ayam untuk keperluan dagangan mi ayam. Tinggal beli cakar ayam sekilo—atau berapa pun—lalu dimasak bersama daging ayam seperti biasa. Itu sangat mudah, sekaligus berpotensi menambah keuntungan.

Jika mereka menyiapkan cakar ayam dalam jumlah banyak, sehingga dapat memenuhi permintaan pembeli, yang akan diuntungkan bukan hanya pembeli, melainkan juga si penjual. Pembeli akan mendapat cakar ayam setiap kali mereka minta, dan si penjual mendapat keuntungan dari penjualan mi plus cakar ayam. Sama-sama menguntungkan. Pembeli senang, karena dapat cakar ayam. Penjual juga senang, karena dapat tambahan keuntungan.

Ketika memikirkan kenyataan itu, saya tidak habis pikir dengan penjual mi ayam tersebut. Padahal, pemikiran itu sangat sederhana, dan mudah dilakukan. Kenapa mereka tidak mau memikirkan dan melakukan sesuatu yang mudah itu? Alih-alih berusaha memenuhi permintaan pembeli, mereka berbohong mengatakan cakar ayam telah habis. Alih-alih membuat senang para pelanggan, mereka justru kehilangan potensi keuntungan yang sebenarnya bisa didapatkan.

Mungkin penjual mi ayam itu sudah capek dengan pekerjaan harian mereka, sehingga tidak mau menambah beban kerja lagi. Membeli cakar ayam bisa jadi terasa berat bagi mereka. Atau, bisa jadi pula, pikiran mereka sudah terlalu mapan, sehingga tidak mau mengubah pola pikir sedikit pun. Mungkin, mereka berpikir, “Kenapa harus repot-repot mencari cakar ayam, kalau tanpa cakar pun pembeli selalu berdatangan?”

Mungkin mereka benar. Kenyataannya, selama waktu-waktu itu, warung mi ayam mereka selalu laris. Meski pembeli yang meminta cakar sering mendapat jawaban cakar telah habis. Mungkin mereka benar. Bahwa tanpa cakar pun pembeli terus datang dan selalu datang. Pikiran mereka sudah nyaman, sudah mendapatkan cukup keuntungan, dan persetan dengan cakar ayam!

Lalu, suatu hari, antiklimaks terjadi.

Sekitar 50 meter dari warung mi ayam tadi, muncul warung mi ayam baru. Di bagian depan warung mi ayam baru itu terdapat spanduk berisi tulisan besar-besar, berbunyi, “Mi ayam + Cakar”, lengkap dengan gambar mangkuk berisi mi ayam dilengkapi dua cakar ayam yang menggoda.

Semula, saya tetap makan mi ayam di warung langganan, karena telah terbiasa. Semula, semuanya juga tampak tidak ada yang berubah. Tetapi, perlahan namun pasti, saya mulai menyadari warung mi ayam langganan itu mulai sepi. Jika sebelumnya pembeli selalu ramai berdatangan, kini makin jarang. Jika sebelumnya saya sering duduk berdesakan, sekarang sering sendirian.

Ke mana para pembeli yang semula berdatangan? Jawabannya sangat gamblang. Mereka pindah ke warung baru, yang menyediakan cakar ayam!

Bahkan sampai pada titik itu pun, penjual mi ayam langganan saya tampaknya belum memahami krisis yang sedang atau akan dihadapi. Mereka tidak tampak melakukan perubahan apa pun, dan sesekali saya masih mendengar si penjual mengatakan cakar yang habis pada pembeli yang datang. Mereka tidak menyadari bahwa urusan cakar ayam tidak seremeh dan sesederhana yang mungkin mereka pikirkan.

Suatu malam, saya diajak teman yang ingin mencoba mi ayam di warung baru, yang menyediakan cakar. Kami pun pergi ke sana, dan memesan dua porsi mi ayam. Penjual di sana menawari, “Pakai cakar, Mas?”

Teman saya langsung menjawab, “Ya, pakai cakar.”

Lalu kami menikmati mi ayam plus cakar. Kualitas mi ayam di warung baru itu bisa dibilang biasa-biasa saja—sama seperti mi ayam di warung langganan saya. Yang membedakan, di sini ada cakar ayam yang menambah kenikmatan dan menambah kenyang. Harga mi ayam di sini juga sama dengan mi ayam di warung langganan. Namun, karena ada tambahan dua cakar, tentu ada tambahan harga untuk itu. Sebagai penikmat mi ayam, saya sama sekali tidak mempermasalahkan.

Sejak itu, setiap kali ingin menikmati mi ayam, saya datang ke warung mi ayam yang baru, yang menyediakan cakar. Pertimbangan saya sederhana. Di warung mi ayam yang lama, saya sering kecewa karena tidak mendapat cakar. Di warung mi ayam yang baru, saya justru ditawari cakar ayam. Jika dua cakar masih kurang, saya bahkan boleh menambah cakar ayam sebanyak apa pun saya mau.

Sebagai manusia, saya tidak suka dikecewakan. Sebagai pelanggan, saya senang dimanjakan. Warung mi ayam langganan saya membuat kecewa. Warung mi ayam yang baru terasa memanjakan. Maka pilihan saya pun jelas; meninggalkan warung langganan, dan beralih ke warung baru.

Rupanya, yang punya pikiran semacam itu bukan cuma saya. Karena, seiring waktu, warung mi ayam yang baru semakin ramai, dan warung mi ayam yang lama terlihat makin sepi. Puncaknya, warung mi ayam yang lama tutup, dan tak pernah terlihat lagi. Ada yang bilang mereka pindah jualan ke tempat lain, ada pula yang bilang mereka ganti dagangan lain. Sementara warung mi ayam yang baru semakin laris dan makin ramai.

Semua ini—hancurnya usaha seseorang, dan tumbuhnya usaha baru orang lain—hanya diawali cakar ayam. Tampak sepele, sederhana, tidak penting, wong paling cakar ayam. Tapi yang tampak tidak penting itu akhirnya terbukti bisa menghancurkan usaha yang telah dibangun bertahun-tahun. Cakar ayam yang tampak sepele telah merenggut kesuksesan dari seseorang, dan memindahkannya kepada orang lain.

Siapakah yang salah? Mungkin tidak ada yang salah, karena ini cuma urusan cakar ayam.

Warung mi ayam yang baru mungkin dapat dituduh telah merampas pembeli dan pelanggan warung mi ayam yang lama. Tetapi, bagaimana pun, dia hanya memenuhi sesuatu yang tidak dipenuhi warung mi ayam yang lama. Dia memberikan cakar ayam, sesuatu yang diminta banyak pembeli, tapi tidak diberikan penjual warung mi ayam yang lama.

Padahal, kalau saja penjual mi ayam yang lama menyediakan cakar ayam sebagaimana diminta para pembeli dan pelanggan, warungnya akan langgeng. Pembeli akan terus berdatangan, pelanggan akan terus bertambah, dan bisa jadi warung mi ayamnya akan semakin besar. Kalau pun muncul saingan, para saingan akan sulit mengalahkan, karena mi ayam yang lama telah dikenal dan dipercaya banyak pelanggan.

Sayangnya, penjual mi ayam yang lama tidak berpikir sejauh itu. Pikiran mereka mungkin sudah terlalu nyaman, sehingga tidak mau berubah sedikit pun. Meski hanya sekadar mengubah cakar ayam, dari semula tidak ada menjadi ada. Itu, sebenarnya, perubahan yang sederhana. Hanya menyediakan cakar ayam!

Tetapi, karena mereka tidak mau melakukan perubahan kecil itu, akhirnya keadaan memaksa mereka untuk melakukan perubahan besar. Dari yang semula laris, kini kehilangan pembeli. Dari yang semula sukses, kini harus mulai dari awal lagi.

Kalau dipikir-pikir, begitulah kita—begitulah kebanyakan hidup kita. Sesekali, kondisi hidup menuntut kita untuk berubah, melakukan perubahan kecil, yang tampak mudah dan sepele. Tetapi, karena malas atau karena pikiran sudah nyaman, kita pun sulit berubah dan tidak mau berubah.

Padahal, perubahan yang diminta kehidupan sering kali hanya perubahan kecil. Jika kita mau menuruti perubahan itu, hidup kita akan selamat, bahkan lebih baik. Tetapi, kalau kita tidak mau melakukan perubahan yang kecil, kehidupan akan menuntut dan memaksa kita untuk melakukan perubahan besar yang jauh lebih berat.

Kapan pun, kalau kita mencoba menantang hidup, maka hiduplah yang akan selalu menang.

Noffret’s Note: Gundala

Seumur-umur, jujur saja, baru sekali ini aku merasa tak sabar menunggu film Indonesia: Gundala.

Dari teaser Gundala yang singkat, aku merasakan aura bocah yang sangat kuat—khas film superhero. Yang masih kupikirkan; apakah Gundala punya mbakyu?

Semoga Jokan tidak melupakan konsep penting itu. Semua superhero punya mbakyu!

Superhero dan Mbakyunya » http://bit.ly/1WP58S7


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Oktober dan 8 November 2018.

Anomali Steven Seagal

Tom Cruise tidak pernah kalah, dan kita senang. Jason Statham tidak pernah kalah, dan kita senang. Tapi Steven Seagal tidak pernah kalah, dan kita jengkel. Steven Seagal adalah anomali.

Mengapa Steven Seagal Tidak Pernah Kalah Dalam Film-filmnya » http://bit.ly/18BcSA4

Steven Seagal tidak pernah mau kalah dalam film itu fakta, bukan sekadar olok-olok ala Hollywood. Dia beberapa kali ditawari untuk ikut main dalam seri Expendables, tapi menolak, karena tokoh yang diperankannya kalah!

Urusan Ego Dalam Expendables » http://bit.ly/1G6EMob


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 November 2018.

Jumat, 01 Februari 2019

Orgasme Buku Tebal

Bagi bocah sepertiku, buku adalah benda terbaik,
teman terbaik, karunia terbaik, pasangan terbaik.
Bersamanya, aku merasa utuh.
@noffret


Sebagai pembaca dan penikmat buku, sejak dulu saya punya “perasaan khusus” pada buku tebal. Semakin tebal sebuah buku, nafsu membaca saya makin membara. Apalagi buku tebal dengan hardcover. Karenanya, saya punya banyak koleksi buku semacam itu—besar, tebal, dengan hardcover.

Ada beberapa hal yang membuat saya bernafsu setiap kali melihat buku tebal, apalagi dengan hardcover.

Pertama, buku tebal punya wujud yang seksi.

Buku tebal dengan hardcover membuat pikiran saya tergoda untuk menyelaminya—ingin tahu apa saja yang tersimpan di lembar-lembarnya. Di sisi lain, buku tebal semacam itu juga mampu mengintimidasi. Cukup letakkan selusin buku tebal dengan hardcover di meja kerjamu, dan orang-orang akan “berhati-hati” denganmu.

Kedua, buku tebal menjanjikan kenikmatan.

Biaya produksi buku cukup besar, karena harga kertas memang mahal. Semakin tebal buku, semakin besar ongkos produksinya. Dalam hal ini, penerbit mana pun tentu berhati-hati setiap akan menerbitkan buku tebal. Mereka harus yakin bahwa buku itu memang bagus, dan punya daya jual, sehingga orang-orang mau mengeluarkan uang untuk membeli. Karena semakin tebal buku, semakin mahal harganya.

Dengan latar pikiran semacam itu, saya percaya buku-buku tebal—apalagi dengan hardcover—bisa dibilang terjamin bagus. Karena penerbit tidak akan serampangan menerbitkan buku tebal, kalau mereka tidak yakin buku itu memang bagus. Karena itulah, buku tebal menjanjikan kenikmatan membaca, dan kenikmatan pengetahuan.

Ketiga, buku tebal memberikan orgasme.

Saat membaca buku-buku tipis, biasanya saya mengkhatamkannya dalam sekali duduk. Sebaliknya, saat membaca buku tebal, saya harus meluangkan lebih banyak waktu untuk membaca, yang bisa jadi sampai beberapa hari. Karenanya, saat akhirnya selesai, saya merasakan kepuasan yang tak bisa diucapkan kata-kata.

Biasanya, setelah mengkhatamkan buku tebal, saya akan menciumi buku itu dengan penuh kasih, sebelum akhirnya meletakkannya di rak. Rasanya sangat menyenangkan—well, seperti orgasme.

Sensasi-sensasi semacam itulah yang membuat saya selalu tertarik pada buku-buku tebal. Kapan pun saya menemukan buku tebal dengan hardcover, apalagi yang dibahas dalam buku itu menarik minat saya, hampir bisa dipastikan saya akan membeli.

Latar belakang itu pula yang selama ini membuat saya—sebagai penulis—mengangankan bisa menulis buku tebal yang terbit dengan hardcover. Pasti menyenangkan kalau saya bisa memajang buku karya saya yang tebal dan ber-hardcover, hingga saya bisa memandangi dan menyentuhnya setiap saat. Bahkan membayangkannya saja, saya sudah senang.

Kini, bayangan itu terwujud dalam kenyataan. Buku karya saya, Sejarah dan Pengetahuan Dunia Abad 20, dicetak ulang dengan hardcover! Kenyataan ini bahkan melampaui impian saya, karena buku ini tidak hanya terbit dengan hardcover, tapi juga dengan art paper, dan full colour!


Seperti yang pernah saya tulis di sini, proses penulisan buku Sejarah dan Pengetahuan Dunia Abad 20 sangat menguras energi dan pikiran, karena saya harus “ngoceh” banyak hal yang terjadi di dunia selama seratus tahun!

Dari tahun 1900 sampai 2000 (plus awal abad 21), tak terhitung banyaknya peristiwa yang terjadi di muka bumi, dari yang sepele sampai yang penting, dari yang sederhana sampai yang spektakuler, dari bidang fisika sampai seni rupa, dari penemuan transistor sampai penciptaan pembalut wanita, dari perang antarsuku sampai perang dunia.

Semua itu sudah ada di kepala saya. Tetapi, bagaimana pun, saya harus menyeleksinya secara ketat, agar hal-hal yang saya tulis benar-benar penting dan memberi pengetahuan untuk pembaca. Lebih dari itu, saya harus mengusahakan semuanya runtut dan enak dibaca.

Jadi, ketika akhirnya naskah itu selesai dan terbit menjadi buku, saya bahagia luar biasa. Impian saya memiliki buku tebal akhirnya tercapai. Dulu, waktu terbit pertama kali, buku ini dicetak dalam edisi biasa, dalam arti menggunakan kertas putih biasa, dan softcover. Meski begitu, wujudnya sudah besar sekaligus tebal. Di antara 20-an buku karya saya, buku itulah yang paling “raksasa”—dalam wujud, maupun dalam isi. Naskahnya saja lebih dari 1.000 halaman.

Kini, buku itu dicetak ulang dengan wujud yang lebih eksklusif. Selain menggunakan hardcover, kertas isinya juga menggunakan art paper, dan full colour. Ketebalannya pun hampir dua kali lipat dari terbitan pertama. Tak perlu dikatakan lagi, saya benar-benar orgasme!

Buku ini diterbitkan oleh Arruz Media, penerbit yang tempo hari juga menerbitkan buku saya yang lain—Ensiklopedi Sains dalam 3 jilid—yang juga terbit dengan hardcover dan art paper.

Kini, sebagai penulis—dan sebagai bocah, tentu saja—saya punya impian lain, yaitu menulis buku baru, yang semoga terjual sampai sejuta eksemplar. 😊

Paling Menggoda di Alam Semesta

Baru-baru ini, He Jiankui, ilmuwan Cina, menghebohkan dunia setelah melakukan rekayasa DNA pada sepasang bayi kembar, demi menghindarkan bayi tersebut dari kemungkinan tertular HIV/AIDS. Tujuan He Jiankui tentu mulia—dan ia tentu juga berpikir begitu—hingga mempublikasikannya.

Reaksi dunia sudah bisa ditebak. Sebagian besar orang—dengan alasan etika—menentang tindakan He Jiankui, bahkan belakangan pemerintah Cina sampai mengeluarkan pernyataan resmi yang menentang hal tersebut, serta menghentikan semua kegiatan riset He Jiankui.

Jika klaim He Jiankui benar—dan tampaknya memang benar—dia menjadi ilmuwan yang berhasil melakukan tindakan drastis terkait penyuntingan DNA, dan mempublikasikannya. Tapi dia jelas bukan yang pertama melakukannya.

Ada dua “kesalahan” yang dilakukan He Jiankui, terkait tindakannya. Pertama, dia melakukannya pada janin. Kedua, dia mempublikasikannya (mungkin karena berpikir tindakannya benar dan bisa dipertanggungjawabkan). Tapi dia pasti bisa memprediksi tanggapan dunia.

Dunia sulit menerima hal-hal semacam itu, karena memang begitulah cara evolusi bekerja—perlahan-lahan, setahap demi setahap, bukan melalui lompatan. Yang dilakukan He Jiankui adalah lompatan evolusi, dan Homo sapiens yang “terkaget-kaget” tidak bisa menerimanya.

Tetapi, seperti yang disebut tadi, He Jiankui tentu bukan ilmuwan pertama yang melakukan penyuntingan DNA (di luar tujuan penyembuhan). Menggunakan nalar sederhana; kalau dia bisa melakukan yang sekarang dia lakukan, kenapa kita tidak berpikir orang lain juga telah melakukannya?

Kalau kita menyunting DNA janin, dan mempublikasikannya, dunia pasti akan geger—itu jelas, dan He Jiankui pasti paham soal itu. Tapi bagaimana kalau kita menyunting DNA orang dewasa, dengan tujuan sama, dan diam-diam tanpa publisitas?

Sejak lama, sebagian ilmuwan—yang mungkin agak sinting, atau revolusioner—telah memikirkan hal itu. Mereka ingin menyunting DNA orang dewasa, sehingga tindakan itu bisa dipertanggungjawabkan kedua pihak. Dan agar dunia tidak ribut, mereka melakukannya diam-diam, tanpa publisitas.

DNA manusia adalah hal paling menarik dan paling menggoda pikiran di alam semesta. Kalau kita bisa menyunting DNA secara tepat, kita bisa mewujudkan—bukan melahirkan—manusia yang jauh lebih unggul dibanding umumnya manusia lain. Ini pikiran yang telah ada sejak lama.

So, seperti yang disebut tadi, He Jiankui pasti bukan yang pertama melakukan, meski dia yang pertama mempublikasikan. Siapa yang tahu kalau ternyata diam-diam hal semacam itu telah lama dilakukan? Karena bahkan Stephen Hawking pun telah lama mengkhawatirkan kemungkinan ini.

Lanjut di lain waktu, kalau pas iseng.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 Desember 2018.

Bocah yang Mimisan Tiap Ingat Mbakyunya

Seorang bocah menyeka hidungnya dengan tisu, dan bergumam, “Sepertinya aku mimisan lagi.”

Saya menyahut, “Kamu sering mimisan?”

Dia menjawab, “Aku selalu mimisan tiap ingat mbakyuku.”

Saya kaget. “Kok bisa?”

“Iya. Soalnya aku sering kangeeeeeeeeeeeen banget, juga sering gemeeeeeeeeesss banget, sama mbakyuku. Tapi tidak bisa apa-apa.”

....
....

Saya ikut mimisan.

 
;