Mereka berdua saling cinta diam-diam, dan keduanya pun
saling mendiamkan. —Draf novel, halaman 142.
—@noffret
saling mendiamkan. —Draf novel, halaman 142.
—@noffret
Profesi penulis dijalani pria maupun wanita, sebagaimana umumnya profesi lain. Karenanya, ada novelis pria, juga ada novelis wanita. Sebagaimana hasil kerja yang lain, baik atau buruknya suatu hasil kerja (dalam hal ini novel) tentu tidak bisa disandarkan semata-mata pada jenis kelamin. Ada novel bagus yang ditulis pria maupun wanita, sebagaimana ada novel buruk yang ditulis pria maupun wanita.
Asumsikan saja semua novel yang terbit dan beredar luas—yang ditulis pria maupun wanita—sama-sama bagus, terbukti novel itu terbit dan bisa ditemukan di toko-toko buku. Jadi, kita tidak akan membicarakan “bagus” atau “buruk” di sini, karena saya juga menulis catatan ini sekadar untuk membicarakan pengalaman dalam membaca dan menikmati novel.
Persentuhan saya dengan novel dimulai sejak SD (kalau tidak salah ingat, waktu kelas 2 atau 3 SD). Ada anak tetangga saya yang waktu itu sudah kuliah, dan dia senang membaca novel. Sering saya melihatnya duduk di depan rumah, asyik sendirian dengan novel di tangan.
Di masa itu, saya belum mengenal keasyikan membaca buku, jadi saya bertanya kenapa dia bisa khusyuk membaca buku-buku tebal seperti itu. (Waktu itu saya belum mengenal istilah “novel”.)
Tetangga saya menjelaskan kesenangan dan keasyikan membaca novel. Dia bahkan menawari untuk meminjamkan novelnya untuk saya baca. “Kalau kamu sudah tahu asyiknya membaca, kamu tidak ingin berhenti,” ujarnya. Dari dialah, kemudian saya mulai berkenalan dengan novel.
Buku atau novel awal yang saya baca waktu itu serial Lupus karya Hilman. Karena tergolong tipis, dan isinya memang asyik, saya pun bisa membaca dan mengkhatamkan novel-novel itu dengan mudah.
Dari situ, kegemaran membaca mulai tumbuh, dan saya mulai menikmati keasyikan membaca. Bertahun-tahun kemudian, membaca tidak hanya sekadar “kegemaran” bagi saya, tapi sudah sampai pada taraf “kegilaan”.
Ketika SMP, saya mendaftar jadi anggota perpustakaan umum. Waktu itu, tidak jauh dari sekolah, ada perpustakaan lumayan besar milik pemerintah, dan saya kerap mampir ke sana sepulang sekolah.
Di perpustakaan itu tersedia banyak bacaan—fiksi dan nonfiksi—karya penulis Indonesia maupun luar negeri. Melalui perpustakaan itu pula, saya mulai kenal nama-nama novelis semacam V. Lestari, Marga T., Mira W., Gola Gong, Bubin Lantang, Gus TF Sakai, sampai Sidney Sheldon, Mario Puzo, Danielle Steel, dan lain-lain.
Karena kegemaran membaca terus terjaga, saya pun rutin meminjam buku ke perpustakaan, dan hal itu berlangsung sejak SMP sampai saya lulus SMA. Selama tujuh tahun (sejak awal SMP hingga selepas SMA), saya telah mengkhatamkan semua buku yang ada di perpustakaan tersebut, seisi-isinya!
Mula-mula, saat pilihan masih banyak, saya masih pilah-pilih buku yang akan saya pinjam untuk dibaca. Biasanya, saya memilih yang sekiranya menarik. Tetapi, seiring waktu, buku-buku yang ada di sana terus saya lahap, dan pilihan saya makin sedikit. Jika sebelumnya buku yang belum saya baca lebih banyak, lama-lama buku yang sudah saya baca yang lebih banyak. Hasilnya, mau tak mau, saya harus memilih buku apa saja yang belum saya baca. Sampai akhirnya, seperti yang disebut tadi, semua buku di perpustakaan itu “ludes”—telah saya baca semua.
Saya masih ingat “hari penting” itu, ketika mengitari rak-rak di sana, mencari-cari dengan tekun buku yang mungkin belum saya baca. Tapi tidak ada. Semuanya sudah pernah saya pinjam, semuanya sudah saya baca.
Petugas perpustakaan—yang mengenali saya, karena sering ketemu—sampai ikut membantu mencarikan buku yang belum saya pinjam, tapi dia juga tidak berhasil menemukan. Tak peduli buku fiksi atau nonfiksi, semua judul buku di sana telah tercatat dalam daftar pinjaman saya.
Itu menjadi hari terakhir saya mengunjungi perpustakaan. Karena tidak ada lagi buku yang bisa dipinjam.
Kisah itu—dari perkenalan dengan novel melalui tetangga, sampai keasyikan melahap buku-buku di perpustakaan umum—merupakan tonggak penting dalam kedekatan saya dengan buku, yang kemudian memberi pengaruh besar dalam kehidupan saya. Meski semula novel (fiksi) yang mendekatkan saya dengan buku, namun akhirnya saya juga menikmati buku-buku nonfiksi. Kini, terkait buku, bisa dibilang tidak ada bedanya bagi saya. Mau fiksi atau nonfiksi, saya akan senang membaca.
Well, terkait novel, ada sesuatu yang ingin saya ocehkan.
Di awal catatan ini, saya menyebut bahwa novel ditulis pria maupun wanita, karenanya ada novelis pria dan novelis wanita. Apakah ada bedanya? Bagi saya, ya. Ada bedanya! Perbedaan itu sangat terlihat (atau terasa) dalam kisah yang mereka tulis.
Berdasarkan pengalaman saya—dan ini tentu bisa subjektif—novel-novel yang ditulis pria memiliki alur dan plot yang lebih cepat, dibanding novel yang ditulis wanita. Novel-novel pria—setidaknya yang pernah saya baca—bergerak simultan, terus membuat pembaca asyik dan penasaran untuk membuka halaman berikutnya, hingga mengkhatamkan novel pria terasa lebih mudah sekaligus lebih singkat. Khususnya bagi saya.
Sebaliknya, novel-novel yang ditulis wanita bergerak lebih lambat, hingga kadang—bahkan sering—membuat saya tidak sabar saat membaca kisah di dalamnya. Bukan hanya lambat, novel-novel yang ditulis wanita juga terlalu banyak memasukkan hal-hal yang bisa dibilang remeh-temeh, termasuk percakapan-percakapan melantur yang tidak punya kaitan dengan jalan cerita.
Di perpustakaan yang saya ceritakan di atas, ada banyak sekali novel Danielle Steel, dan saya telah membaca semua novel karyanya yang ada di sana. Melalui Danielle Steel pula, saya mulai menyadari, umumnya novelis wanita memang punya kecenderungan memasukkan terlalu banyak hal yang sebenarnya tidak penting, ke dalam novel yang ditulisnya. Entah perasaan tidak penting, percakapan tidak penting, sampai adegan-adegan tidak penting, yang sebenarnya tidak memiliki kaitan vital dengan jalan cerita.
Novel-novel wanita bisa dikenali dengan ciri khas ini; ada banyak “perasaan” sang tokoh, “yang dirasakan” sang tokoh, “bayangan si tokoh”, dan semacamnya, yang semuanya berurusan dengan emosi. Dengan kata lain, ada terlalu banyak hal abstrak di dalamnya!
Pembaca wanita mungkin menyukai hal-hal semacam itu. Buktinya, novel-novel Danielle Steel—yang memang ditujukan untuk pembaca wanita—sangat laris. Tetapi, sebagai pria, terus terang saya tidak sabar saat membacanya. Karena kenyataan itu pula, saya sempat berpikir kebanyakan novel karya penulis wanita memang ditujukan untuk pembaca wanita.
Mari kita gunakan contoh yang mungkin dapat dipahami bersama. Novel serial Twilight, karya Stephanie Meyer, adalah contoh mudah untuk melihat yang saya maksud. Novel serial itu tebal-tebal, masing-masing seri mencapai ratusan halaman. Ketika membacanya, terus terang, saya merasa sangat... sangat... sangat... tersiksa.
Serial Twilight mengisahkan segitiga Bella Swan, Edward Cullen, dan Jacob Black. Dalam kisah tersebut, Stephanie Meyer—sang penulis—menggunakan narasi orang pertama (“aku”). Dan, seperti umumnya penulis wanita, Stephanie Meyer menulis kisahnya dengan “berbunga-bunga”. Kombinasi itu benar-benar sukses membuat saya tersiksa setengah mati selama membaca Twilight dan serialnya.
Serial Twilight, jujur saja, adalah “buku paling berat” yang pernah saya khatamkan, dalam arti harfiah.
Selama membaca novel itu, berkali-kali saya berpikir, “Ya Tuhan, kenapa hal-hal tidak penting seperti ini harus dibahas panjang lebar?”, “Kenapa penjelasan soal remeh sampai harus bertele-tele seperti ini?”, “Kenapa kalian berdialog seperti orang-orang idiot?”, “Demi Tuhan, bisakah kita skip saja adegan-adegan tolol ini?”, dan semacamnya, dan semacamnya, dan semacamnya.
Ada banyak sekali adegan Bella Swan yang—bagi saya—sangat tidak penting sekali, tapi diumbar sampai menghabiskan berlembar-lembar halaman. Gaya penceritaan semacam itu mungkin disukai pembaca wanita, dan tampaknya benar. Terbukti serial Twilight sangat laris, dan mayoritas penggemarnya memang wanita. Tetapi, sebagai pembaca pria, saya ingin jujur mengatakan bahwa novel itu sangat menyiksa (untuk tidak menyebut membosankan) selama membacanya.
Sebenarnya, bukan hanya penulis modern seperti Stephanie Meyer yang bercerita dengan gaya semacam itu. Agatha Christie, penulis yang juga wanita, pun melakukan hal serupa saat menulis novel-novelnya—setengah abad sebelum Stephanie Meyer menulis serial Twilight.
Penggemar Agatha Christie pasti paham yang saya maksud. Dalam banyak novelnya, Agatha Christie kerap memasukkan dialog-dialog panjang yang tidak penting, bahkan bertele-tele dan kerap melantur. Untung, hal itu tertolong oleh misteri dalam kisah, sehingga hal-hal yang bertele-tele dimaklumi pembaca yang mungkin berpikir, “Bisa jadi petunjuk misteri terletak dalam dialog-dialognya.”
Sebagai perbandingan, kita bisa menggunakan serial Sherlock Holmes yang ditulis Sir Arthur Conan Doyle. Serial Sherlock Holmes ditulis jauh-jauh hari sebelum Agatha Christie menulis novel. Tetapi, berbeda dengan novel-novel Agatha Christie yang bertele-tele, serial Sherlock Holmes memiliki jalan cerita yang lebih cepat, alur ringkas yang tidak membosankan, khas novel-novel pria.
Mary Higgins Clark, novelis wanita yang disebut sebagai “penerus Agatha Christie”, juga tampaknya terjebak pada hal sama. Sebagai catatan, novel-novel awal Mary Higgins Clark sangat mengasyikkan—memiliki plot dan jalan cerita yang cepat, serta minim hal-hal tidak penting seperti perasaan yang melantur tak karuan. Terkait hal itu, saya mengira ada peran editor (yang mungkin pria) yang telah bekerja keras “merampingkan” kisah yang ditulis Mary Higgins Clark, sehingga hasilnya benar-benar pas untuk pembaca pria.
Tetapi, lama kelamaan, novel-novel Mary Higgins Clark mulai berubah, dan makin menunjukkan ciri khas novel wanita—jalan cerita yang lambat, detail-detail tidak penting, alur bertele-tele. Terkait hal itu, lagi-lagi saya mengira, editor yang menangani naskahnya berbeda, dan kemungkinan besar juga seorang wanita. Hasilnya, novel-novel akhir Mary Higgins Clark lebih tepat untuk pembaca wanita.
Tentu saja, setiap orang—khususnya pembaca novel—memiliki selera berbeda. Dalam hal ini, saya lebih menyukai novel beralur cepat, dengan plot yang ringkas, detail yang padat, serta tidak membosankan. Contoh sempurna untuk hal ini, tentu saja, novel-novel Dan Brown dan Sidney Sheldon. Novel-novel mereka sangat tebal, tapi saya bisa tenggelam dalam kisah yang mereka tulis, karena sangat mengasyikkan. Lamanya waktu yang saya habiskan untuk membaca novel mereka, berbanding lurus dengan kenikmatan yang saya rasakan.
Sebegitu nikmat saat membaca novel-novel Dan Brown atau Sidney Sheldon, sampai-sampai saya sering mengkhatamkan tanpa sadar, dan berpikir, “Aduh, kisahnya sudah selesai.” Rasanya sayang, dan ingin membacanya sekali lagi. Sebaliknya, ketika membaca novel yang penuh hal-hal tidak penting dan bertele-tele, saya berpikir, “Ya Tuhan, sudah membaca dari tadi, baru dapat sepuluh halaman? Kapan aku bisa menyelesaikan novel ini?”
Setelah membaca cukup banyak novel—setidaknya saya telah membaca lebih dari seribu novel—saya sampai pada kesimpulan ini: Rata-rata novel karya penulis pria memiliki jalan cerita lebih cepat, dan lebih cocok untuk saya. Sebaliknya, rata-rata novel wanita memiliki jalan cerita lebih lambat, dan terus terang saya kurang cocok.
Memang, tidak semua penulis wanita bertele-tele atau terlalu banyak mengumbar perasaan tidak penting dalam novel. J.K. Rowling, misalnya, bisa menjadi contoh penulis wanita yang mampu menulis dengan plot yang hebat, detail-detail menarik namun ringkas, serta alur yang padat, khususnya dalam serial Harry Potter.
Saya ulangi, khususnya dalam serial Harry Potter! (Dalam novel-novel lain, saya menilai J.K. Rowling sebelas dua belas dengan rata-rata novelis wanita.)
Membaca serial Harry Potter sangat mengasyikkan, karena semua bagian dalam kisah tidak ada yang sia-sia! Tidak ada pengumbaran perasaan yang konyol, tidak ada hal bertele-tele, tidak ada bagian yang membosankan.
Perlu dikatakan di sini, bahwa editor J.K. Rowling telah bekerja keras membuat serial Harry Potter benar-benar “sempurna” seperti yang kita kenal. Dan, omong-omong, tahu mengapa nama Jeanne Kathleen Rowling disingkat menjadi J.K. Rowling? Tidakkah kalian pikir penyingkatan itu aneh?
Penyingkatan nama itu sebenarnya bukan keinginan Rowling. Semula, dia bermaksud menggunakan namanya secara lengkap—Jeanne Kathleen Rowling. Tetapi, nama lengkap itu menunjukkan kalau si penulis berjenis kelamin wanita!
Sudah jadi rahasia umum—khususnya di kalangan penikmat novel—bahwa novel karya wanita lebih cocok untuk pembaca wanita. Karena latar belakang itu, pihak agen dan penerbit mempertimbangkan, jika novel Harry Potter menggunakan nama penulis Jeanne Kathleen Rowling, orang akan mengenali itu nama wanita, dan sebagian pembaca—yang berjenis kelamin pria—bisa jadi tidak tertarik. Akhirnya, mereka bersepakat untuk menyingkat nama si penulis menjadi J.K. Rowling, yang lebih sulit dipastikan jenis kelaminnya.
Hasilnya tepat seperti yang mereka perkirakan. Calon pembaca (awalnya) tidak tahu J.K. Rowling seorang pria atau wanita, dan mereka mendapati serial Harry Potter sangat mengasyikkan. Belakangan, setelah serial Harry Potter terbukti dan terjamin mengasyikkan, jutaan pembaca di dunia tidak lagi peduli apakah penulisnya pria atau wanita.
Well, sebenarnya, sebagai pembaca, saya juga tidak peduli suatu novel ditulis pria atau wanita. Asal isinya asyik, saya akan asyik pula melahapnya. Sayang, berdasarkan pengalaman—sebagai pembaca pria—saya lebih sering menemukan keasyikan saat membaca novel pria, daripada saat membaca novel wanita. Mungkin, dan bisa jadi, pembaca wanita punya pengalaman sebaliknya.