Bagi bocah sepertiku, buku adalah benda terbaik,
teman terbaik, karunia terbaik, pasangan terbaik.
Bersamanya, aku merasa utuh.
—@noffret
teman terbaik, karunia terbaik, pasangan terbaik.
Bersamanya, aku merasa utuh.
—@noffret
Sebagai pembaca dan penikmat buku, sejak dulu saya punya “perasaan khusus” pada buku tebal. Semakin tebal sebuah buku, nafsu membaca saya makin membara. Apalagi buku tebal dengan hardcover. Karenanya, saya punya banyak koleksi buku semacam itu—besar, tebal, dengan hardcover.
Ada beberapa hal yang membuat saya bernafsu setiap kali melihat buku tebal, apalagi dengan hardcover.
Pertama, buku tebal punya wujud yang seksi.
Buku tebal dengan hardcover membuat pikiran saya tergoda untuk menyelaminya—ingin tahu apa saja yang tersimpan di lembar-lembarnya. Di sisi lain, buku tebal semacam itu juga mampu mengintimidasi. Cukup letakkan selusin buku tebal dengan hardcover di meja kerjamu, dan orang-orang akan “berhati-hati” denganmu.
Kedua, buku tebal menjanjikan kenikmatan.
Biaya produksi buku cukup besar, karena harga kertas memang mahal. Semakin tebal buku, semakin besar ongkos produksinya. Dalam hal ini, penerbit mana pun tentu berhati-hati setiap akan menerbitkan buku tebal. Mereka harus yakin bahwa buku itu memang bagus, dan punya daya jual, sehingga orang-orang mau mengeluarkan uang untuk membeli. Karena semakin tebal buku, semakin mahal harganya.
Dengan latar pikiran semacam itu, saya percaya buku-buku tebal—apalagi dengan hardcover—bisa dibilang terjamin bagus. Karena penerbit tidak akan serampangan menerbitkan buku tebal, kalau mereka tidak yakin buku itu memang bagus. Karena itulah, buku tebal menjanjikan kenikmatan membaca, dan kenikmatan pengetahuan.
Ketiga, buku tebal memberikan orgasme.
Saat membaca buku-buku tipis, biasanya saya mengkhatamkannya dalam sekali duduk. Sebaliknya, saat membaca buku tebal, saya harus meluangkan lebih banyak waktu untuk membaca, yang bisa jadi sampai beberapa hari. Karenanya, saat akhirnya selesai, saya merasakan kepuasan yang tak bisa diucapkan kata-kata.
Biasanya, setelah mengkhatamkan buku tebal, saya akan menciumi buku itu dengan penuh kasih, sebelum akhirnya meletakkannya di rak. Rasanya sangat menyenangkan—well, seperti orgasme.
Sensasi-sensasi semacam itulah yang membuat saya selalu tertarik pada buku-buku tebal. Kapan pun saya menemukan buku tebal dengan hardcover, apalagi yang dibahas dalam buku itu menarik minat saya, hampir bisa dipastikan saya akan membeli.
Latar belakang itu pula yang selama ini membuat saya—sebagai penulis—mengangankan bisa menulis buku tebal yang terbit dengan hardcover. Pasti menyenangkan kalau saya bisa memajang buku karya saya yang tebal dan ber-hardcover, hingga saya bisa memandangi dan menyentuhnya setiap saat. Bahkan membayangkannya saja, saya sudah senang.
Kini, bayangan itu terwujud dalam kenyataan. Buku karya saya, Sejarah dan Pengetahuan Dunia Abad 20, dicetak ulang dengan hardcover! Kenyataan ini bahkan melampaui impian saya, karena buku ini tidak hanya terbit dengan hardcover, tapi juga dengan art paper, dan full colour!
Seperti yang pernah saya tulis di sini, proses penulisan buku Sejarah dan Pengetahuan Dunia Abad 20 sangat menguras energi dan pikiran, karena saya harus “ngoceh” banyak hal yang terjadi di dunia selama seratus tahun!
Dari tahun 1900 sampai 2000 (plus awal abad 21), tak terhitung banyaknya peristiwa yang terjadi di muka bumi, dari yang sepele sampai yang penting, dari yang sederhana sampai yang spektakuler, dari bidang fisika sampai seni rupa, dari penemuan transistor sampai penciptaan pembalut wanita, dari perang antarsuku sampai perang dunia.
Semua itu sudah ada di kepala saya. Tetapi, bagaimana pun, saya harus menyeleksinya secara ketat, agar hal-hal yang saya tulis benar-benar penting dan memberi pengetahuan untuk pembaca. Lebih dari itu, saya harus mengusahakan semuanya runtut dan enak dibaca.
Jadi, ketika akhirnya naskah itu selesai dan terbit menjadi buku, saya bahagia luar biasa. Impian saya memiliki buku tebal akhirnya tercapai. Dulu, waktu terbit pertama kali, buku ini dicetak dalam edisi biasa, dalam arti menggunakan kertas putih biasa, dan softcover. Meski begitu, wujudnya sudah besar sekaligus tebal. Di antara 20-an buku karya saya, buku itulah yang paling “raksasa”—dalam wujud, maupun dalam isi. Naskahnya saja lebih dari 1.000 halaman.
Kini, buku itu dicetak ulang dengan wujud yang lebih eksklusif. Selain menggunakan hardcover, kertas isinya juga menggunakan art paper, dan full colour. Ketebalannya pun hampir dua kali lipat dari terbitan pertama. Tak perlu dikatakan lagi, saya benar-benar orgasme!
Buku ini diterbitkan oleh Arruz Media, penerbit yang tempo hari juga menerbitkan buku saya yang lain—Ensiklopedi Sains dalam 3 jilid—yang juga terbit dengan hardcover dan art paper.
Kini, sebagai penulis—dan sebagai bocah, tentu saja—saya punya impian lain, yaitu menulis buku baru, yang semoga terjual sampai sejuta eksemplar. 😊