Pengalaman terbaik adalah pengalaman yang diceritakan secara jujur.
Itu menjadi guru terbaik bagi orang lain, dan bagi diri sendiri.
—@noffret
Itu menjadi guru terbaik bagi orang lain, dan bagi diri sendiri.
—@noffret
Orang Belanda, khususnya Amsterdam, bisa jadi orang-orang paling jujur dan paling blak-blakan di dunia. Mereka bisa dibilang tidak punya basa-basi atau bahkan etika—jika definisi etika menggunakan sudut pandang atau sistem nilai kita. Karenanya, orang-orang dari negara lain sering terkaget-kaget saat datang ke Belanda, misal saat memasuki kafe di Amsterdam.
Kalau kita masuk kafe, umumnya pelayan akan datang, mencatat pesanan, dan mengatakan hal-hal sopan, semisal menanyakan apa saja yang kita perlukan. Tapi hal semacam itu tampaknya tidak berlaku di Belanda. Kalau kita masuk kafe di sana, pelayan tidak datang kalau tidak diundang. Dan ketika pelayan datang ke meja kita, dia akan langsung bertanya, “Anda mau apa?”
Diucapkan dalam bahasa apa pun, pertanyaan semacam itu terdengar kasar. Apalagi ketika dilontarkan seorang pelayan ke pengunjung kafe.
Tetapi, ternyata, ucapan atau sikap semacam itu tidak dianggap kasar di Belanda. Mereka sepertinya memang tidak dididik agar tahu cara menggunakan basa-basi, melainkan dididik agar menjadi orang jujur dan terbuka. Jadi, ketika seorang pelayan mendatangi pengunjung kafe, dia tidak menggunakan basa-basi campur senyum sebagaimana yang biasa kita temukan, melainkan langsung bertanya frontal, “Anda mau apa?”
Ya, kita mau apa? Bukankah, kalau dipikir-pikir, memang itu esensinya? Kita datang ke kafe untuk menikmati minuman atau sesuatu yang lain. Jadi, sebutkan saja, dan pelayan akan membawakannya.
Di berbagai tempat di dunia, budaya memang bisa berbeda-beda. Tetapi, dalam komunikasi atau interaksi dengan orang lain, sepertinya kita menyepakati satu hal, yaitu meminimalkan ketersinggungan orang lain. Dengan kata lain, bersikap sopan.
Orang Inggris tahu cara bersikap ramah pada orang lain, khususnya kepada orang asing. Begitu pula orang Prancis. Meski logat mereka mungkin sulit dipahami, setidaknya kita tahu mereka bersikap sopan. Di negara mana pun, rata-rata orang menyuguhkan sikap sopan ketika berkomunikasi dengan orang lain. Rupanya, dalam hal itu, Belanda memiliki standar sendiri yang berbeda dengan umumnya standar di dunia.
Karena kenyataan itu pula, ada buku khusus yang menyoroti tindak-tanduk orang Belanda, berjudul Why the Dutch Are Different. Buku itu ditulis Ben Coates, orang Inggris yang pindah ke Belanda.
Ketika awal tinggal di Belanda, Ben Coates mengaku kerap terkaget-kaget saat berinteraksi dengan masyarakat Belanda yang biasa ngablak dan terus terang. Dari pengalaman “kurang menyenangkan” itu pula, dia berupaya mempelajari dan memahami kultur masyarakat Belanda, yang hasilnya ia tulis dalam buku.
Dalam buku tersebut, Ben Coates menceritakan salah satu pengalamannya yang bikin shock. Suatu hari, dia baru memangkas rambut dengan model baru, yang menurutnya dapat membuat penampilannya lebih baik. Ketika bertemu temannya, warga Belanda, Ben Coates pun bertanya bagaimana pendapat si teman tentang rambut barunya. Di luar dugaan, teman Ben Coates hanya menyatakan satu jawaban, “Jelek.”
Tentu saja jawaban itu tidak dimaksudkan untuk menghina atau menjelekkan, dan Ben Coates untungnya menyadari kenyataan itu, meski dengan terkejut. Ilustrasi itu bisa menjadi gambaran betapa orang Belanda memang tidak hanya biasa bersikap jujur, tapi juga blak-blakan. Kalau memang jelek, dia katakan jelek, bukan menggunakan kalimat berputar-putar atau eufemisme.
“Saya pikir, orang-orang Belanda tidak suka berpura-pura,” ujar Ben Coates, ketika mulai memahami kultur masyarakat barunya.
Karena sebelumnya tinggal lama di Inggris, Ben Coates pun bisa melihat “garis pemisah” antara kultur Inggris dan kultur Belanda. Dia bahkan mengatakan, perbedaan itu langsung terasa jelas begitu dia menginjakkan kaki di Belanda. Di Inggris, menurutnya, orang-orang cenderung berkomunikasi dan berperilaku dengan cara yang meminimalkan ketersinggungan orang lain.
“Anda tidak bicara keras-keras di kereta api, karena tidak sopan bagi orang-orang yang satu gerbong dengan Anda,” ujarnya. “Anda juga tidak memutar musik keras-keras di apartemen Anda, karena tidak sopan bagi tetangga. Ada kecenderungan untuk terus menyesuaikan tingkah laku Anda.”
Tapi di Belanda, masih menurutnya, “Ada kesan bahwa orang berhak mengatakan apa pun yang mereka mau, dan menjadi seterus terang yang mereka mau. Dan kalau orang lain tidak suka, itu salah mereka sendiri karena tersinggung."
Dalam kultur dan budaya yang mengenal sopan santun seperti Indonesia, mungkin perilaku orang Belanda yang terlalu jujur dan blak-blakan bisa jadi membuat risih, atau bahkan membuat kita berpikir mereka arogan. Di sisi lain, bagi orang Belanda, mungkin sikap kita yang terlalu banyak menggunakan basa-basi terlihat sangat membosankan, atau bahkan bisa jadi mereka menilai kita tidak jujur.
Di Indonesia, misalnya, ketika seorang penjahat atau tersangka kejahatan ditangkap, istilah yang sering digunakan adalah “diamankan”. Dalam beberapa konteks tertentu, istilah itu memang tepat. Misal pencuri ayam yang tertangkap di kampung, dan berpotensi dihakimi masyarakat. Ketika polisi membawa pencuri ayam tersebut, mereka mengatakan pencuri itu “diamankan”. Maksudnya, diamankan dari amukan masyarakat.
Tapi kita tentu juga pernah mendapati berita terkait artis yang ketahuan nyimeng, dan—tertulis di berita—artis bersangkutan telah diamankan. Kita pun bisa jadi bertanya-tanya, diamankan dari apa atau dari siapa?
Istilah “diamankan” untuk mengganti kata “ditangkap” adalah eufemisme—penghalusan bahasa. Sama halnya “maling duit rakyat” dihaluskan menjadi “koruptor”, atau “gelandangan” disebut “tunawisma”. Maknanya sama, tapi istilahnya berbeda. Kenapa kita merasa perlu menggunakan eufemisme? Mungkin karena kita orang-orang sopan dengan budi pekerti yang halus, atau mungkin pula karena kita ingin berjarak dari realitas.
Eufemisme menjauhkan kita dari realitas, mengaburkan kenyataan yang sebenarnya memprihatinkan atau mengkhawatirkan, menjadi terdengar “biasa saja”. Orang pasti akan terbetot perhatiannya ketika mendengar “Pejabat A ditangkap karena merampok uang rakyat.” Tetapi, kita biasa-biasa saja, ketika mendengar “Pejabat A ditangkap karena korupsi.”
Bagi kita, korupsi adalah kata yang tak punya arti, selain bahwa ia kejahatan. Sudah. Bisa jadi, itulah fungsi eufemisme. Menjauhkan kesadaran dari realitas.
Ilustrasi itu hanya contoh kecil dari banyak hal lain yang diselubungi eufemisme. Kita sering merasa berat untuk berlaku jujur, misal ketika ditanya teman, “Apakah aku tampak gemuk?” Meski kenyataannya dia memang tampak gemuk, kita tidak akan mengatakan blak-blakan. Bisa jadi, kita akan berkata, “Sepertinya kamu tampak lebih baik,” atau semacamnya.
Padahal, “Sepertinya kamu tampak lebih baik,” hanyalah eufemisme untuk mengatakan, “Iya, kamu tampak gemuk, seperti biasa!”
Orang-orang di Belanda melakukan hal berbeda. Ketika mereka ditanya temannya, mereka akan menjawab apa adanya. Kalau memang si teman tampak gemuk, mereka akan mengatakan persis seperti itu. Teman yang bertanya tidak marah, karena sama-sama menyadari bahwa yang mereka butuhkan adalah keterusterangan dan kejujuran, bukan kepura-puraan yang sebenarnya omong kosong.
Eleonore Breukel, orang Belanda yang menjadi peneliti antarbudaya dan melatih orang untuk berkomunikasi lebih baik di lingkungan multikultural, mengakui bahwa sikap orang Belanda memang cenderung ngablak. Ia mengatakan, “Orang lain mungkin menganggap kita (orang Belanda) tidak berempati. Dan mungkin itu karena, bagi kami, kejujuran lebih utama daripada empati.”
Kebiasaan itu tentu berbeda dengan budaya kita, yang cenderung lebih mementingkan empati daripada kejujuran. Karenanya, bagi sebagian kita, lebih baik tidak jujur tapi berempati, daripada sebaliknya. Perbedaan seperti itu, bisa jadi, karena kultur yang telah berjalan berabad-abad. Kita dididik untuk bersikap sopan, empatik, tahu beramah-tamah, bahkan berbasa-basi. Sebaliknya, masyarakat Belanda dididik sebaliknya; untuk selalu jujur, berterus terang, dan berbicara apa adanya.
Kejujuran dan keterusterangan begitu mengakar dalam kultur Belanda, sampai di sana ada istilah khusus yang menggambarkannya, yaitu “bespreekbaarheid”, yang berarti “segala hal bisa, dan perlu, dibicarakan”—tidak ada topik yang tabu.
Orang-orang Belanda menyukai keterbukaan, dan menempatkan kejujuran sebagai standar etika tertinggi. Karenanya pula, orang-orang Belanda bisa duduk di kafe yang ramai, lalu mengobrol dengan temannya mengenai perceraian orang tua, atau tentang masalah rumah tangga, dan hal-hal sensitif lainnya, dengan suara keras tanpa sikap risih.
Karena, bagi mereka, itu bukan hal tabu untuk dibicarakan. Kalau memang orang tuanya bercerai, atau kalau memang rumah tangganya bermasalah, mereka mengatakan apa adanya. Mereka berharap solusi atas masalah yang mereka ceritakan, bukan mengharapkan simpati.
Ini, sekali lagi, tentu berbeda dengan kebanyakan kita. Tidak setiap orang punya keberanian mengatakan rumah tangganya bermasalah, bahkan kepada orang yang dianggap teman. Karena rata-rata kita lebih membutuhkan simpati dan bukan solusi. Dengan kata lain, kita lebih memilih terperangkap dalam masalah yang kita hadapi sendiri, asal orang lain tidak tahu.
Karenanya pula, kalau selama ini kita tidak pernah mendengar orang mengeluhkan masalah rumah tangganya, atau mengeluhkan hubungannya dengan pasangan yang tidak lagi harmonis, bukan berarti mereka tanpa masalah atau hubungan mereka baik-baik saja. Kita telah dididik untuk tidak terlalu jujur, atau tidak terlalu berterus terang, demi sesuatu yang kita sebut kesopanan.
Bagi kita, mengatakan secara jujur bahwa rumah tangga kita bermasalah, itu tidak sopan. Kita menganggap urusan rumah tangga adalah privasi masing-masing orang, yang tidak baik jika diceritakan kepada orang lain. Kita memilih tidak jujur demi sikap sopan, berbanding terbalik dengan kultur orang Belanda yang lebih memilih jujur meski dianggap tidak sopan.
Lalu, apakah dengan begitu, berarti orang-orang Belanda tidak punya privasi, dan tidak menghargai privasi? Orang-orang Belanda tentu memiliki privasi, namun dalam konsep yang juga berbeda.
Meski mereka biasa berterus terang dan mengatakan apa adanya, namun ada hal-hal yang bagi mereka tabu untuk dibicarakan. Termasuk di antaranya adalah jumlah gaji atau tunjangan pensiun. Intinya, hal-hal yang terkait kekayaan atau kemewahan. Karenanya, orang Belanda sangat jarang membicarakan—dengan nada pamer—tentang mewahnya rumah mereka, atau tentang mobil baru mereka. Itu, bagi mereka, tabu untuk dibicarakan.
Dengan kata lain, masyarakat Belanda tidak mau membicarakan apa pun yang menyinggung ketidaksetaraan atau relasi kuasa. Memamerkan foto rumah baru bisa jadi aib bagi mereka, meski mungkin kita bisa melakukannya dengan bangga. Sama halnya, membicarakan mobil baru yang kita miliki rasanya menyenangkan, bahkan membanggakan, tapi orang Belanda menganggap itu tabu yang seharusnya tidak dilakukan.
Intinya, orang Belanda senang bersikap jujur dan terbuka, selama tidak terkait relasi kuasa. Kalau tatanan rambutmu jelek, mereka akan mengatakannya. Meski begitu, mereka tidak akan mengatakan kepadamu bahwa mereka lebih baik darimu. Karena itu pula, di Belanda ada pepatah terkenal, “Doe maar normaal, dan ben je al gek genoeg”—jadilah orang normal, itu saja sudah cukup gila.
Terkait kejujuran, saya suka gaya orang Belanda.