Sabtu, 26 Agustus 2017

Bahasa Cinta

Rasanya kok aneh kalau kami ada di Indonesia,
dan masing-masing bisa berbahasa Indonesia, tapi
berkomunikasi memakai bahasa Inggris.
@noffret


Sebulan sekali, saya datang ke tempat kulakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Sebenarnya, karena hidup sendiri, barang-barang yang saya butuhkan tidak macam-macam—khas kebutuhan orang yang hidup sendiri. Paling-paling berkisar seputar rokok, gula, teh, dan kopi. Tapi karena malas sering keluar rumah hanya untuk beli rokok dan tetek bengek kebutuhan lain, saya pun membeli sekaligus untuk kebutuhan sebulan.

Di tempat kulakan, kadang ada seorang perempuan Tionghoa yang usianya mungkin sebaya dengan saya. Saya tidak tahu namanya, dan dia kadang ada di sana, juga kadang tidak. Mungkin, perempuan itu anggota keluarga si pemilik tempat kulakan—saya tidak tahu pasti. Yang jelas, kalau pas ada di sana, perempuan itu ikut melayani pembeli. Beberapa kali dia juga melayani saya saat datang ke sana.

Suatu hari, saya melihat perempuan Tionghoa tadi melayani ibu-ibu yang berbelanja cukup banyak—mungkin untuk kulakan di warung. Mereka bercakap-cakap, dan tanpa sadar saya memperhatikan mereka. Pasalnya, mereka bercakap-cakap menggunakan bahasa Jawa halus. Ibu-ibu yang berbelanja, maupun perempuan Tionghoa yang melayani, sama-sama menggunakan bahasa Jawa halus.

Saya terpesona.

Bagi yang mungkin belum tahu, ada semacam kasta atau tingkatan dalam bahasa Jawa. Dua di antaranya adalah bahasa Jawa biasa (disebut ngoko), dan bahasa Jawa halus (disebut kromo). Rata-rata orang Jawa bisa berbahasa Jawa, tapi umumnya ngoko (bahasa Jawa biasa). Tidak semua orang Jawa—khususnya yang masih muda atau tinggal di perkotaan—bisa berbahasa Jawa halus. Saya termasuk di antaranya.

Meski tinggal di lingkungan Jawa dan biasa menggunakan bahasa Jawa, saya tidak/belum mampu berbahasa Jawa halus. Ada banyak sekali istilah Jawa halus yang tidak saya tahu, sehingga sering kesulitan jika diminta berbicara menggunakan bahasa Jawa halus. Untuk hal-hal umum mungkin saya tahu, tapi jauh lebih banyak yang tidak/belum saya tahu.

Agar uraian ini tidak membingungkan (khususnya bagi yang tidak berbahasa Jawa), mari gunakan contoh.

“Nasi”, misalnya, dalam bahasa Jawa disebut “sego”. Memang benar, sego adalah bahasa Jawa untuk nasi. Tapi itu bahasa Jawa ngoko. Sementara bahasa Jawa halus untuk nasi adalah “sekul”.

“Makan”, dalam bahasa Jawa disebut “mangan”. Lagi-lagi, itu bahasa Jawa ngoko. Bahasa Jawa halus menyebut “makan” dengan istilah “dahar”.

Karenanya, kalimat “saya makan di rumah” bisa diterjemahkan ke dua bahasa yang sama-sama Jawa. Jika diterjemahkan ke bahasa Jawa ngoko, “aku mangan nang omah.” Sedangkan jika diterjemahkan ke bahasa Jawa halus, “kulo dahar ten griyo.”

Seperti yang disebut tadi, saya kerap kesulitan saat harus berbahasa Jawa halus, karena kurang menguasai. Padahal, dalam adab di masyarakat Jawa, kita harus berbicara menggunakan bahasa Jawa halus kepada orang yang lebih tua, atau kepada orang yang kita hormati. Dalam hal itu, saya terkendala keterbatasan kosakata Jawa halus yang saya kuasai.

Karenanya, saya terpesona melihat perempuan Tionghoa bisa bercakap-cakap menggunakan bahasa Jawa halus, saat melayani ibu-ibu yang berbelanja di tempat kulakan. Perempuan Tionghoa itu berbicara menggunakan bahasa Jawa halus dengan kefasihan sekaligus keluwesan seperti perempuan Jawa sejati.

Menyaksikan kenyataan itu, saya merasa ironis sekaligus malu pada diri sendiri. Kita—atau setidaknya saya—giat belajar bahasa asing, dari bahasa Inggris, bahasa Prancis, bahasa Jepang, sampai bahasa Swahili. Tetapi, seiring dengan itu, kita—khususnya saya—lupa untuk juga belajar bahasa daerah sendiri. Ngomong Inggris fasih, tapi ngomong bahasa daerah sendiri malah gagu.

Nah, ketika perempuan Tionghoa tadi selesai melayani, dan ibu-ibu yang dilayani juga sudah pergi, saya mendekatinya, dan memberanikan diri bertanya (dalam bahasa Indonesia), “Ci, kalau boleh tahu, di mana belajar bahasa Jawa halus?”

Dia tersenyum, dan menjawab, “Saya lahir di sini, dan lingkungan saya juga orang Jawa. Karena tiap hari berinteraksi dengan mereka, lama-lama ngerti, lah.”

Saya manggut-manggut, tapi sebenarnya masih bingung. Wong saya juga tinggal di lingkungan Jawa, tapi tetap tidak ngerti bahasa Jawa halus. Ketika saya utarakan hal itu, dia menjelaskan, “Kuncinya sih sering-sering mendengarkan, saat mereka bercakap-cakap. Nanti lama-lama kita paham sendiri.”

Saya pun mengingat sarannya. Sejak itu, setiap kali berada di tempat mana pun, dan terdapat orang-orang sedang bercakap—mempercakapkan hal-hal keseharian—misal di warung nasi, di toko, atau di mana pun, dan mereka menggunakan bahasa Jawa halus, saya diam-diam mendengarkan, dengan maksud memahami apa yang mereka percakapkan, hingga saya bisa mengerti maknanya.

Ternyata, saran itu memang manjur. Perlahan namun pasti, kosakata Jawa halus yang saya tahu makin banyak, meski kadang masih bingung saat harus menggunakan dalam ucapan. Itu seperti saat kita belajar bahasa Inggris, atau bahasa asing lain. Mula-mula, kita tahu makna suatu kata, tapi masih bingung saat harus menyusun kalimat menggunakan kata tersebut. Istilah kerennya, kita ngerti vocabulary, tapi belum bisa conversation. Bah!

Dengan kesabaran seorang bocah, saya terus belajar dengan cara rajin mendengarkan saat kebetulan mendapati orang bercakap-cakap menggunakan bahasa Jawa halus. Setelah itu, saya mencoba mempraktikkan yang saya mampu. Mula-mula memang kaku, dan kemampuan saya juga masih terbatas. Tetapi, lama-lama, seperti proses pembelajaran lain, kemampuan saya makin baik. “Rekor” saya untuk hal ini terjadi saat jajan batagor. Saya mampu bercakap-cakap dengan penjual batagor menggunakan bahasa Jawa halus, sampai sekitar 3 menit!

Meski mungkin terdengar konyol, tapi saya senang. Karena, sebelumnya, saya benar-benar tidak mampu. Keberhasilan ngomong Jawa halus selama 3 menit itu pun makin memotivasi saya untuk terus belajar.

Mungkin akan lebih mudah kalau saja ada tempat kursus bahasa Jawa halus, sehingga saya bisa mendaftar ke sana, dan—sim salabim—tiga bulan kemudian saya bisa cas-cis-cus dengan bahasa Jawa halus. Tapi sepertinya tidak ada tempat kursus semacam itu, meski tempat kursus bahasa Inggris dan bahasa asing lain bisa ditemukan di mana pun. Akibatnya, satu-satunya cara bagi saya untuk menguasai bahasa Jawa halus hanya melalui otodidak; mendengarkan orang bercakap-cakap dengan bahasa itu, dan berusaha menyerap maknanya.

Ada manfaat lain yang saya dapatkan dari kebiasaan baru itu—kesenangan mendengarkan orang bercakap-cakap dalam bahasa daerah. Meski semula saya hanya bermaksud belajar bahasa Jawa halus, lama-lama saya juga senang saat mendengarkan orang bercakap-cakap menggunakan bahasa daerah lain. Tanpa saya sadari, ada semacam cinta yang tumbuh perlahan-lahan di hati saya terhadap bahasa daerah.

Di warung sate Madura, misal, penjualnya kadang sepasang suami istri, dan mereka bercakap-cakap menggunakan bahasa Madura. Saya senang mendengarkan mereka bercakap-cakap, meski tidak tahu artinya blas. Entah mereka ngomong apa dan entah artinya apa, saya senang mendengarkan. Meski sama sekali tidak paham yang mereka omongkan.

Di warung Padang juga sama. Kadang penjualnya bercakap-cakap dengan anggota keluarganya, menggunakan bahasa Padang. Saya senang mendengarkan mereka berbicara, menikmati logat dan dialek mereka, meski sama sekali tidak paham mereka bicara apa. Sebenarnya, saya bahkan tidak tahu mereka bicara menggunakan bahasa Padang atau bahasa apa. Pokoknya bukan bahasa Jawa.

Begitu pula saat mendapati orang bercakap-cakap menggunakan bahasa Sunda, saya juga senang mendengarkan, meski kadang tidak tahu arti percakapan mereka. Tidak hanya dalam percakapan, saya bahkan senang membaca sesuatu dalam bahasa Sunda, meski kadang tidak tahu arti yang saya baca. Pokoknya senang. Entah kenapa.

Dalam proses semacam itu, saya seperti belajar bahasa daerah, atau—lebih tepat—belajar mencintai bahasa daerah. Itu sesuatu yang sebelumnya tidak saya kenali. Bahwa negeri ini memiliki begitu banyak bahasa yang berbeda, dengan logat serta dialek yang unik, dan masing-masing memiliki daya tarik sendiri. Bahkan sama-sama di Jawa saja, logat orang Semarang dengan orang Tegal jauh berbeda, meski mereka sama-sama ngomong Jawa.

Tak kenal maka tak sayang, kata pepatah. Mungkin memang benar. Terkait bahasa daerah, kita mungkin tidak (terlalu) mengenali, sehingga kurang bisa melihat daya tariknya. Seperti yang saya alami dulu. Seperti umumnya bocah (yang berusaha) gaul, saya giat belajar bahasa asing, bahkan bela-belain belajar bahasa Jepang, demi bisa memahami percakapan di film JAV. Tapi saya lupa untuk juga belajar bahasa daerah, hingga tidak bisa berbahasa daerah saya sendiri. Itu, kalau dipikir-pikir, seperti kacang lupa kulit. Saya tercerabut dari akar, hingga lupa asal.

Susahnya, mencari tempat kursus bahasa asing sangat mudah, tapi kursus bahasa daerah sepertinya tidak ada. Akibatnya, kita lebih mudah belajar bahasa asing, daripada belajar bahasa daerah. Karenanya pula, bisa jadi di antara kita ada yang fasih berbicara dalam selusin bahasa asing, tapi sama sekali tidak bisa berbahasa daerah sendiri. Jika hal semacam itu terus terjadi, tidak menutup kemungkinan satu per satu bahasa daerah akan punah.

Di Meksiko, misalnya, ada bahasa daerah bernama Ayapaneco. Saat ini, bahasa Ayapaneco dianggap bahasa paling langka di dunia, karena hanya dikuasai dua orang. Langka atau sedikitnya orang yang menguasai bahasa itu karena memang jarang yang menggunakan, khususnya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, perlahan namun pasti, orang-orang yang menguasai bahasa Ayapaneco makin sedikit, hingga tinggal dua orang.

Dua orang yang menguasai bahasa Ayapaneco adalah Isidro Velazquez (69 tahun) dan Manuel Segovia (75 tahun). Dua pria itu bertetangga—jarak rumah mereka sekitar 500 meter. Tetapi, karena perselisihan pribadi, dua pria itu tidak saling berbicara. Akibatnya, bisa dibilang, saat ini sudah tidak ada satu orang pun yang berbicara menggunakan bahasa Ayapaneco.

Jika bahasa daerah di luar sana ada yang punah, selalu ada kemungkinan hal serupa terjadi di tempat kita.

Bocah yang Gemes Sama Mbakyunya

Seorang bocah memeluk dan menguyel-uyel guling dengan gemes, sambil menciumi guling dalam dekapannya.

Karena penasaran, saya pun bertanya, “Kamu ngapain? Kok guling diuyel-uyel gitu?”

Dengan malu-malu, bocah itu menjawab, “Aku tuh gemeeeesssh banget sama mbakyuku. Jadi, tiap ingat dia, aku jadi gemeeeeeesssshh terus.” Lalu dia kembali menguyel-uyel dan menciumi guling dalam dekapannya.

....
....

Saya ingin sekali menjadi bocah itu.
 
Senin, 21 Agustus 2017

Perjalanan dari Masa Lalu

Orang-orang yang mencintai pekerjaannya
tidak menunggu hari libur. Bagi mereka, keasyikan bekerja
jauh lebih menyenangkan daripada liburan.
@noffret


Selepas SMA, saya bekerja di sebuah pabrik batik. Pekerjaan saya di tempat itu adalah menggambar di atas kain sutra. Istilah “menggambar” mungkin kurang tepat, karena yang saya—dan pekerja lain—lakukan adalah “memindahkan gambar dari kertas ke kain”.

Agar kalian bisa membayangkan yang saya maksud, biar saya jelaskan agak detail.

Kain dan baju sutra, untuk pria maupun wanita—yang mungkin kalian kenal, dan dipakai banyak orang—harus melewati proses pembuatan yang rumit, dan melibatkan banyak orang/pekerja.

Pekerja pertama yang terlibat dalam pembuatan batik sutra adalah desainer, yaitu orang yang merancang desain batik. Biasanya, dia akan membuat gambar desain di atas kertas berukuran besar. Di atas kertas itu, dia merancang gambar yang kelak digunakan untuk kain panjang, baju pria, selendang, dan lain-lain.

Setelah pembuatan desain selesai, kertas bergambar desain batik itu diserahkan kepada pekerja lain, yang disebut “tukang sungging”. Saya termasuk dalam pekerja ini, yaitu memindahkan gambar batik dari kertas ke kain sutra. Dalam industri batik, proses pemindahan gambar itu disebut “nyungging”. Karena proses pemindahan gambar (dari kertas ke kain) membutuhkan waktu lama, para pekerja menyiasati dengan menumpuk lima kain sekaligus.

Untuk melakukan pekerjaan yang terdengar rumit itu, mula-mula saya—dan pekerja lain—harus menyiapkan kain-kain sutra yang akan digambar. Masing-masing kain yang putih bersih itu rata-rata berukuran 2,5 meter. Kami bentangkan satu per satu kain sutra di atas tripleks yang rata, lalu melekatkannya dengan paku payung di bagian pinggir. Kain yang dibentangkan itu harus benar-benar terbentang rata—tidak boleh ada yang terlipat sedikit pun.

Setelah satu kain selesai dipasang di atas tripleks, kami menata kertas karbon di atasnya, hingga seluruh bagian kain tertutup kertas karbon. Untuk hal itu, tentu dibutuhkan banyak kertas karbon, karena rata-rata kertas karbon hanya seukuran HVS (biasanya satu pack kertas karbon untuk satu kain).

Setelah kain pertama tertutup kertas karbon sepenuhnya, kain kedua dipasangkan di atasnya. Sekali lagi, selembar kain sutra dibentangkan di atas tripleks, menutupi kain pertama yang telah tertutup kertas karbon. Lagi-lagi, kain itu harus terbentang sempurna, dan kami melekatkan bagian pinggirnya dengan paku-paku payung. Lalu kertas karbon kembali ditata menutupi. Setelah itu, kain ketiga ditumpuk di atasnya, hingga kain keempat.

Kain kelima, atau kain terakhir, diletakkan di atas empat kain sutra di bawahnya. Kali ini, di bawah kain kelima, tidak ada kertas karbon. Sebagai gantinya, kami masukkan kertas desain batik ke bawahnya, dan mulailah pekerjaan kami. Yaitu memindahkan gambar di kertas ke kain sutra.

Di bawah kain sutra yang dibentangkan rata, gambar yang ada di kertas desain tampak jelas. Khususnya bagi orang yang matanya normal (tidak minus), dan pencahayaan yang tersedia juga tepat.

Gambar itulah yang kemudian kami ikuti, menggunakan polpen, hingga di atas kain tercetak gambar yang sesuai atau serupa dengan yang ada di kertas desain. Meski mungkin terdengar mudah, pekerjaan itu membutuhkan kesabaran. Seperti yang dibilang tadi, proses itu butuh waktu lama. Untuk menyelesaikan satu kain saja, kami butuh waktu setidaknya setengah hari. Karena itulah kami menyiasati dengan karbon, agar kain yang selesai digambar bisa banyak sekaligus.

Kemudian, pekerjaan itu juga membutuhkan keluwesan, khususnya keluwesan tangan dan jari-jari. Meski yang kami lakukan hanya menjiplak—mengikuti gambar yang ada di kertas desain—kami harus menjiplak setepat mungkin. Karena gambar batik, yang ada di kertas desain pun umumnya gambar bunga, burung, daun-daun, dan semacamnya. Kami harus mengikuti gambar-gambar itu dengan baik, setepat mungkin, hingga terlihat luwes. Itu penting, karena gambar kamilah yang kelak akan diikuti para tukang batik. Jika gambar kami ancur, hasil akhirnya nanti juga akan ancur.

Pada bagian itulah, banyak orang yang gagal. Kadang ada orang dari bagian lain yang mencoba pekerjaan kami, karena mungkin mengira mudah. Tapi karena tidak luwes, gambar yang dihasilkan tampak kaku. Karenanya, bisa dibilang, menjalani pekerjaan kami membutuhkan bakat seni, dan jari-jari yang luwes.

Nah, setelah kain selesai digambar, proses selanjutnya adalah dibatik. Ada banyak pekerja yang menangani bagian itu—kebanyakan para wanita dari berbagai usia—dan jumlahnya banyak sekali. Para tukang batik itu membatik mengikuti gambar yang tadi kami kerjakan di kain. Jika kami menggunakan polpen, mereka menggunakan canting dan malam (lilin khusus untuk membatik).

Proses membatik menggunakan canting lebih lama lagi. Satu orang biasanya baru selesai membatik satu kain setelah beberapa hari. Selesai dibatik, proses selanjutnya masih panjang, dari satu pekerja ke pekerja lain, hingga akhirnya benar-benar menjadi kain batik sebagaimana yang kalian kenal. Itulah yang kemudian disebut “batik tulis”, dalam arti “batik yang benar-benar dibuat menggunakan tangan”. Satu lembar batik jenis itu membutuhkan proses pembuatan yang panjang, dan melibatkan banyak pekerja.

Tempat kerja saya waktu itu lumayan besar, dengan banyak pekerja. Karena tuntutan pekerjaan, kami sering lembur, demi bisa menghasilkan banyak kain yang akan dibatik. Pasalnya, jumlah pekerja seperti kami sangat sedikit—waktu itu hanya tiga orang—sementara tukang batik jumlahnya ratusan. Karenanya, agar para tukang batik terus mendapatkan kain baru untuk dibatik, kami harus bekerja keras, menghasilkan sebanyak mungkin kain yang siap dibatik.

Jam kerja kami dimulai pukul 08.00 pagi, dan selesai pukul 16.00 sore. Kalau tidak lembur, kami bisa pulang. Kalau lembur, kami tentu tidak pulang. Seusai jam kerja, biasanya kami beli siomay yang suka mangkal di depan pabrik. Setelah menikmati sepiring siomay, dengan segelas teh hangat, dan menghabiskan sebatang rokok, kami pun siap bekerja lembur sampai larut malam nanti.

Rata-rata, setiap kami lembur, pekerjaan dimulai jam lima sore, dan baru selesai jam dua dini hari. Dalam keadaan tertentu—misal desain gambar sangat rumit—kami baru selesai kerja jam tiga pagi. Mungkin terdengar “keras”, dan kenyataannya memang begitu. Kami bekerja sangat keras waktu itu.

Dua orang yang waktu itu bekerja bersama saya, rata-rata seusia—kami sama-sama lulusan SMA. Kami dipertemukan nasib yang sama, dan bertemu di pabrik yang sama. Kebetulan, kami sama-sama suka kerja keras. Jadi, kami suka bekerja lembur, meski harus pulang jam tiga pagi.

Selama waktu-waktu itu, saya hanya tidur sebentar. Pulang dari pabrik, seusai kerja lembur, biasanya saya sudah sangat lelah, dan langsung tertidur begitu sampai rumah. Dua atau tiga jam kemudian, orang tua sudah membangunkan (waktu itu saya masih tinggal di rumah orang tua.) Setelah mandi, sarapan, dan melakukan aktivitas lain yang perlu, saya berangkat kerja, lalu pulang jam tiga dini hari... dan begitu seterusnya.

Itulah hari-hari yang saya lewati, ketika lulus SMA, ketika teman-teman saya mulai menikmati kuliah di kampus entah di mana. Saya tidak punya waktu untuk menonton teve, bermain, keluyuran, apalagi nongkrong tidak jelas. Satu-satunya hiburan yang saya nikmati waktu itu hanya menonton film di bioskop murah, seperti yang pernah saya ceritakan di sini.

Masa-masa itu memang sangat berat, khususnya bagi bocah seusia saya. Saya masih remaja waktu itu, dan harus bekerja 18 jam setiap hari (dari jam 8 pagi sampai jam 3 dini hari), dan hanya tidur 2-3 jam. Siapa pun akan sepakat itu benar-benar berat.

Tetapi, belakangan, saya menyadari... masa-masa berat itulah yang membentuk diri saya selanjutnya, khususnya dalam ketahanan bekerja. Bertahun-tahun kemudian, ketika saya bekerja di rumah sendiri dan tidak ada majikan mana pun yang mengawasi, saya mampu bekerja sehari semalam tanpa henti, dan bisa terus menikmati! Alih-alih tersiksa saat bekerja, saya justru ingin terus bekerja, tak ingin berhenti. Kalian boleh menyebutnya “gila kerja”, tapi saya menyebutnya “mencintai kerja”.

Dalam bayangan saya, itu seperti kau masuk ke gym, dan berlatih membentuk otot tubuhmu. Kau mengambil barbel atau apa pun di sana untuk berlatih, untuk menghancurkan lemak-lemak yang menggumpal di tubuh. Mula-mula, mengangkat barbel dan menjalani latihan akan terasa berat luar biasa, apalagi jika ada instruktur kejam yang mengawasi. Kau akan berlatih sambil misuh-misuh, berkeringat sambil misuh-misuh, kelelahan sambil misuh-misuh. Dan proses yang amat berat itu akan terasa sampai berhari-hari, bahkan bisa jadi berminggu-minggu.

Tetapi, seiring dengan itu, tubuhmu mulai terbiasa. Barbel keparat yang semula terasa sangat berat, kini terasa enteng. Aktivitas misuh-misuhmu mulai berkurang, dan terus berkurang, sampai perlahan—namun pasti—kau mulai menikmati kegiatanmu. Apalagi, seiring latihan yang kaujalani, lemak-lemak tubuhmu terus berkurang, dan kau merasa lebih nyaman. Lenganmu mulai berotot, perutmu mulai rata, dan kau makin giat berlatih. Sesuatu yang semula kaubenci karena sangat berat, kini justru kaunikmati. Pada akhirnya, kau ingin terus berlatih, terus datang ke gym, karena itu menyenangkan.

Kira-kira seperti itulah yang terjadi pada saya. Di awal bekerja keras dulu, saya tentu merasa tersiksa. Bagaimana pun, seperti remaja lain umumnya, saya juga ingin nongkrong bareng teman-teman, ingin asyik keluyuran, bahkan ingin pacaran. Tapi kondisi yang saya hadapi tidak memungkinkan. Jelas, saya membenci yang dulu saya hadapi.

Tetapi, seperti yang dibilang tadi, belakangan saya menyadari, masa-masa berat itu justru membentuk saya untuk memiliki ketahanan luar biasa, khususnya dalam bekerja. Selama menjalani masa-masa itu, saya seperti dipaksa untuk mencintai pekerjaan yang saya hadapi, dan itulah yang kemudian saya lakukan. Meski mula-mula terasa berat, lama-lama saya mencintai yang saya lakukan.

Sekitar satu tahun saya bekerja di pabrik yang saya ceritakan tadi, lalu pindah ke tempat lain. Seperti di tempat kerja yang pertama, saya kembali bekerja gila-gilaan, dari pagi sampai pagi lagi. Kali ini rasanya tidak terlalu berat, karena sudah terbiasa melakukan. Lebih dari itu, saya juga senang, karena dengan kerja gila-gilaan seperti itulah saya bisa menabung, dan mengumpulkan uang.

Well, masa-masa itu telah jauh di masa lalu. Tapi bekasnya masih ada hingga sekarang, dan masih saya nikmati. Yaitu keasyikan dalam bekerja, daya tahan bekerja tanpa henti, dan kemampuan untuk tidak malas-malasan. Itu sesuatu yang sangat berharga, setidaknya bagi saya.

Sekarang, saya bekerja di rumah sendiri, mengerjakan sesuatu yang benar-benar saya cintai, dan... ya, saya selalu senang melakukannya. Meski sendirian dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, saya tidak pernah kesepian. Karena pekerjaan telah menjadi teman terbaik, dan dalam bekerjalah saya bisa melenakan beban pikiran, meninggalkan kehidupan yang makin semrawut, sekaligus melupakan depresi yang sering saya rasakan.

Mencintai dan menikmati pekerjaan, bagi saya, adalah cara menghargai kehidupan.

Poligami

Seorang lelaki berceramah, “Menikahlah, karena menikah akan membuatmu bahagia, dan melancarkan rezeki. Tidak perlu khawatir...”

Saya hanya diam, dan sok manggut-manggut.

Berbulan-bulan kemudian, kami kembali ketemu, dan kembali bercakap-cakap. Di sela percakapan, saya berkata kepadanya, “Kenapa kau tidak berpoligami?”

Dia tertawa sumbang. Lalu menjawab, “Punya istri satu, dan menghidupi dua anak saja, berat dan repotnya luar biasa, apalagi poligami?”

Saya tersenyum. “Lhooh... katanya menikah akan membuatmu bahagia, dan melancarkan rezeki? Kalau menikah dengan satu istri saja sudah membuatmu bahagia dan lancar rezeki, mestinya poligami akan melipatgandakan kebahagiaan dan rezekimu. Tidak perlu khawatir...”

YTMBBJTBTJSJCDTG

Begitu.

Rabu, 16 Agustus 2017

Legenda di Kampung Saya

Bagiku, merdeka adalah belajar dengan baik,
bekerja dengan baik, dan menjalani hidup dengan baik,
tanpa dipaksa atau diperintah siapa pun.
@noffret


Perayaan menyambut Hari Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus, sepertinya telah banyak berubah. Setidaknya, yang saya lihat di masa sekarang jauh berbeda dengan yang saya lihat di masa kecil dulu. Entah perubahan ini hanya terjadi di tempat tinggal saya, atau juga terjadi di tempat-tempat lain.

Dulu, waktu saya masih kecil, perayaan Agustusan sangat meriah. Setiap depan gang atau kampung, di masa itu, dihias aneka pertunjukan—bukan hanya sekadar gapura yang dicat seperti sekarang. “Pertunjukan” yang ada di depan kampung itu berupa panggung yang diisi orang-orangan (seperti maneken) yang bisa bergerak-gerak statis, namun menarik ditonton, yang merupakan hasil kreativitas warga setempat. Orang-orang, di tempat saya tinggal, menyebutnya “seketeng”.

Ada kalanya, “orang-orangan” di atas panggung itu diganti orang beneran (benar-benar orang hidup), tapi dirias dan bergerak-gerak statis mirip orang-orangan. Saya tidak bisa membayangkan seperti apa capeknya mereka yang berperan sebagai orang-orangan di atas panggung, karena harus bergerak-gerak statis terus menerus, dari usai isya sampai tengah malam.

Pertunjukan-pertunjukan di depan gang atau kampung itu digelar serentak pada malam 17 Agustus. Jadi, setiap malam 17 Agustus, jalan raya di mana pun akan penuh sesak oleh ribuan orang yang saling berdesakan untuk melihat aneka pertunjukan, yang dipertontonkan di panggung-panggung depan kampung. Seisi kota benar-benar meriah oleh aneka pertunjukan yang digelar di mana-mana.

Saya menyaksikan peristiwa itu ketika masih kecil, waktu awal SD. Setelah itu, aneka pertunjukan dan keramaian menyambut 17 Agustus perlahan-lahan pudar. Makin tahun, makin sedikit tempat yang membuat pertunjukan di depan kampung, dan semakin surut pula orang-orang yang menonton. Puncaknya, pagelaran meriah itu benar-benar hilang. Sejak itu pula, setiap 17 Agustus, kampung-kampung hanya mengecat atau memperbarui gapura.

Selain aneka pertunjukan di depan kampung, di masa lalu juga ada “karnaval tujuh belasan”, yaitu karnaval akbar yang—kalau tak salah ingat—diadakan setiap 18 Agustus.

Jadi, di waktu saya kecil dulu, setiap 18 Agustus nyaris semua warga kota akan berdatangan ke jalan-jalan utama, tempat karnaval akan berlangsung. Para peserta karnaval berasal dari sekolah-sekolah—TK hingga Perguruan Tinggi—organisasi-organisasi pemerintah maupun swasta, sampai masing-masing kelurahan dan kecamatan.

Masing-masing sekolah, masing-masing organisasi/institusi, maupun masing-masing kelurahan/kecamatan, mempertunjukkan aneka tontonan menarik—meski ada pula yang biasa-biasa saja. Karnaval itu dimulai habis dhuhur (sekitar pukul 13.00 siang), dan selesai menjelang maghrib. Peserta karnaval jumlahnya ribuan, sementara yang menonton jauh lebih banyak. Jadi, siang sampai sore, jalan-jalan utama seperti lautan manusia.

Biasanya, dan hampir bisa dipastikan, karnaval yang panjangnya luar biasa itu diawali oleh pasukan drumband Al-Irsyad. Bagi yang mungkin belum tahu, drumband Al-Irsyad disebut-sebut sebagai pasukan drumband terbaik di Indonesia. Kenyataannya, atraksi drumband mereka benar-benar memukau.

Jadi, ketika dari kejauhan sudah terdengar suara drumband mereka, ribuan orang yang berdiri di pinggir-pinggir jalan pun serentak bersiap menyambut kedatangan karnaval.

Atraksi drumband Al-Irsyad, yang merupakan front terdepan karnaval, biasanya mempertontonkan kehebatan mereka di jalanan, dan orang-orang terpukau. Kumpulan orang berseragam khas dengan aneka alat musik itu sangat tahu bagaimana menyuguhkan atraksi musik drumband yang indah sekaligus mewah, dan semua orang ingin melihat mereka.

Setelah pasukan drumband Al-Irsyad berlalu, di belakangnya ada ratusan rombongan karnaval lain—dari sekolah-sekolah, dari organisasi-organisasi, dari perusahaan-perusahaan, sampai rombongan karnaval dari kampung-kampung yang mewakili kelurahan atau kecamatan. Dalam hal itu, salah satu peserta karnaval yang juga ditunggu banyak orang adalah pasukan “drumband” anak-anak, yang dipimpin seorang lelaki hebat bernama Abdul Matin.

Abdul Matin adalah tokoh legenda di kampung saya. Ketika saya masih kecil dulu, Pak Abdul Matin sudah tergolong sepuh, dan anak-anak—juga orang-orang di kampung kami—biasa memanggil lelaki itu dengan sebutan Pak Dul atau Pak Dul Matin. Yang menjadikan Pak Dul Matin terkenal, bahkan menjadi legenda, karena dia memiliki semangat yang tidak dimiliki kebanyakan orang.

Setiap menjelang Agustusan, Pak Dul Matin mengumpulkan anak-anak kecil di kampung kami, untuk dibentuk menjadi “pasukan drumband”. Ada banyak sekali anak-anak yang tertarik ikut, dan mereka dilatih Pak Dul Matin untuk menyuguhkan atraksi drumband yang menarik.

Yang menarik dari pasukan drumband anak-anak itu bukan drumband-nya, melainkan semangatnya. Semangat dari seorang lelaki tua yang berusaha menularkan semangat di jiwanya kepada anak-anak.

Jadi, berbeda dengan pasukan drumband Al-Irsyad yang mewah dan megah, pasukan drumband Pak Dul Matin sangat sederhana. Pasukan drumband itu tidak dijalankan orang-orang dewasa, melainkan anak-anak. “Alat musik” yang dijadikan instrumen drumband bukan alat-alat mahal dan besar, melainkan kaleng biskuit Kong Guan kotak, yang diikat tali rafia. Sementara alat pemukulnya menggunakan bilah kayu yang berasal dari potongan bambu.

Ada sekitar 20-30-an anak yang biasanya menjadi pasukan drumband Pak Dul Matin, dan mereka berlatih sungguh-sungguh setiap menjelang Agustusan. Dalam pasukan drumband istimewa itu, Pak Dul Matin menjadi mayoret. Tetapi, berbeda dengan mayoret drumband Al-Irsyad yang memegang tongkat mengilap dan mewah, Pak Dul Matin memegang tongkat kayu.

Yang menakjubkan, anak-anak kecil itu—dengan instrumen musik yang sangat sederhana—mampu menghasilkan tetabuhan drumband yang serempak sekaligus enak didengar, seiring dan seirama Pak Dul Matin menggerakkan tongkat kayunya.

Dan pasukan drumband yang mungkin hanya satu-satunya di dunia itu memukau ribuan orang setiap tahun, dalam karnaval Agustusan. Pasukan drumband Pak Dul Matin jelas tidak akan mampu mengalahkan pasukan drumband Al-Irsyad, yang disebut sebagai drumband terbaik di Indonesia. Tetapi... pasukan drumband Al-Irsyad juga tidak akan mampu mengalahkan pasukan drumband Pak Dul Matin, tak peduli sekeras apa pun mereka mencoba.

Yang disuguhkan Pak Dul Matin bersama pasukan kecilnya—yang membawa alat drumband sederhana—bukan hanya atraksi drumband mereka, melainkan semangat yang menyala-nyala. Itu tontonan yang sulit didapatkan di mana pun, sekaligus pemandangan mempesona yang mampu membuat beribu-ribu orang berdesakan di sengat panas di pinggir-pinggir jalan, demi bisa menyaksikan mereka.

Menyaksikan Pak Dul Matin memimpin anak-anak kecil dengan kaleng Kong Ghuan yang dijadikan alat drumband, adalah menyaksikan semangat dari jiwa tua yang tak kalah oleh usia, bahkan mampu menularkannya kepada anak-anak... benih yang kelak menjadi pemimpin di masa dewasa.

....
....

Kini, saat saya menulis catatan ini, Pak Dul Matin sudah lama tiada. Kematian Pak Dul Matin juga menjadi penanda tidak ada lagi drumband anak-anak dengan kaleng Kong Ghuan yang dulu pernah mempesona ribuan orang... sebuah kematian yang membuat kehilangan banyak orang.

Tetapi, sebagaimana legenda lain, nama Pak Dul Matin tetap hidup, selalu disebut-sebut setiap kali Agustus datang, karena—semasa hidupnya dulu—dia telah menunjukkan cara mengisi kemerdekaan, memanfaatkan hidup dan usia, dengan cara yang tak bisa digantikan orang lain.

Ternyata Sama

Menakjubkan, kalau dipikir-pikir, betapa hal-hal yang kita kira berbeda, ternyata sama.

Sabtu, 12 Agustus 2017

Saya Suka Belajar, tapi Benci Sekolah

Kalau aku jadi Mendikbud, mungkin hal pertama
yang akan kulakukan adalah... membubarkan sekolah.
@noffret


Ribut-ribut soal full day school (FDS), membuat saya teringat pada famili di Bekasi. Anak famili saya sudah SMP, dan bersekolah sampai pukul lima sore. Kenyataan itu saya ketahui cukup lama, jauh sebelum muncul wacana FDS tempo hari. Saya tidak tahu apakah hal itu—sekolah sampai sore—hanya ada di Bekasi, atau juga ada di tempat lain.

Jadi, kalau saya tidak salah tangkap, anak famili saya masuk “kelas luar biasa”. Karenanya, berbeda dengan umumnya anak sekolah lain yang tengah hari sudah pulang, anak famili saya baru pulang sore hari.

Mendengar penjelasan itu, saya sempat nyeletuk, “Kalau aku, sih, mending nggak luar biasa, daripada harus sekolah sampai sore.”

Famili saya menjelaskan, meski sekolah seharian, anaknya menikmati—dalam arti tidak merasa tertekan apalagi tersiksa. Anak famili saya suka sekolah. Karenanya, ketika diminta bersekolah seharian, dia justru senang. Mendengar penuturan itu, saya ikut senang. “Syukurlah kalau begitu,” ujar saya. “Soalnya kasihan kalau anak harus sekolah seharian dengan perasaan tertekan.”

Mungkin anak famili saya tergolong “luar biasa”, hingga masuk “kelas luar biasa” dan menjalani sekolah seharian, dari pagi sampai sore, dan dapat menjalani dengan senang. Terus terang, saya jarang mendapati anak sekolah semacam itu. Kadang, saya bertanya pada keponakan-keponakan yang sudah bersekolah—sebagian dari mereka ada yang SD, ada juga yang SMP—apakah mereka senang bersekolah?

Rata-rata, mereka menjawab tidak. Saya menegaskan, “Kamu lebih suka berangkat sekolah, atau lebih suka libur?”

Jawaban mereka sama; lebih suka libur!

Sejujurnya, saya tidak terkejut mendapati jawaban semacam itu. Wong nyatanya saya juga begitu. Selama menjalani hari-hari sekolah, dari SD sampai SMA, saya menganggap dan merasakan sekolah adalah saat-saat membosankan, dan hari libur adalah waktu yang sangat menyenangkan. Jika ada hal menyenangkan di sekolah, itu adalah kesempatan bertemu teman-teman, bukan duduk di kelas dan mempelajari hal-hal yang tidak saya inginkan!

Jadi, terus terang, saya bosan sekolah, karena nyatanya sekolah adalah kegiatan yang sangat... sangat membosankan. Tetapi, meski nyaris mati karena bosan, saya tidak punya pilihan lain. Karena masyarakat akan menilaimu tidak beradab kalau kau tidak sekolah. Karena orang tuamu bisa marah kalau kau tidak sekolah. Karena dunia akan mencampakkanmu kalau kau tidak sekolah. Sebagai bocah yang masih berseragam sekolah, di hadapan tirani semacam itu, saya bisa apa?

Maka, saya pun menjalani nasib seperti yang dijalani jutaan anak Indonesia di mana pun—bangun pagi setiap hari, memakai seragam yang sama, lalu berangkat sekolah untuk menjalani setengah hari yang sangat membosankan. Dalam hal itu, saya bersyukur karena waktu itu belum ada menteri yang punya rencana mewajibkan anak sekolah sehari penuh. Wong sekolah setengah hari saja sudah tidak karuan rasanya, apalagi sekolah sehari penuh? Saya pikir, itu ide paling mengerikan yang pernah didengar anak sekolah.

Terkait sekolah, ada kebingungan yang sampai saat ini tidak mampu saya pahami. Kebingungan saya sederhana. Yaitu, kenapa rata-rata anak usia sekolah—setidaknya yang saya tahu—mengatakan tidak suka sekolah?

Kalau-kalau ada yang meragukan pernyataan itu, cobalah tanyakan pada adikmu, atau keponakanmu, atau anak tetanggamu, atau siapa pun, apakah mereka suka sekolah... atau tidak? Bahkan, jangan-jangan, kita semua sebenarnya sama-sama tidak suka sekolah. Dulu, kita berangkat sekolah saban hari bukan karena suka, tapi karena terpaksa.

Pertanyaannya, kenapa bisa begitu? Maksud saya, kenapa anak-anak bisa tidak menyukai sekolah?

Di masa sekarang, sekolah mungkin gratis, karena dibiayai pemerintah. (Meski kenyataannya masih ada berbagai iuran dan pungutan yang ujung-ujungnya tidak gratis.) Tetapi, di masa lalu, setidaknya di zaman ketika saya sekolah, setiap bulan saya harus bayar SPP (ampun, saya bahkan tidak ingat apa kepanjangan SPP.)

SPP, apa pun kepanjangannya, adalah iuran yang wajib dibayar setiap siswa sebulan sekali, sebagai semacam “pembayaran karena telah memberi pendidikan”. Untuk dapat membayar SPP, orang tua saya harus bekerja keras dan banting tulang. Jadi, orang tua saya mati-matian berusaha menyekolahkan saya, dan mereka rela melakukan apa pun agar saya bisa sekolah, sementara saya tersiksa setengah mati menjalaninya.

Kalau dipikir-dipikir, itu piye coba?

Kau bekerja mati-matian, peras keringat dan banting tulang, yang hasilnya ditujukan agar anakmu bisa sekolah. Padahal, anakmu sangat benci sekolah, dan terpaksa menjalani, karena itu diwajibkan untuk mereka. Sekali lagi, apakah kenyataan itu bisa diterima akal sehat? Semakin saya memikirkan, semakin saya yakin ada yang salah dalam hal ini.

Sekolah, sebagai penyelanggara pendidikan, mungkin perlu mengadakan semacam survei atau penelitian, untuk mendapatkan jawaban jujur dari murid-murid. Apakah mereka—murid-murid—senang sekolah, atau tidak? Lihat berapa banyak yang mengatakan senang, dan berapa banyak yang mengatakan sebaliknya. Bahkan kalau hasilnya imbang pun, saya akan takjub. Karena, dalam bayangan saya, kemungkinan besar akan lebih banyak yang mengatakan tidak senang daripada yang senang.

Anak-anak tidak senang sekolah, itu sudah jadi rahasia umum!

Di Twitter saja, tagar #BesokSenin sering menjadi trending topic, sebagai bentuk “kejengkelan” karena hari libur akan berakhir. Anak-anak sekolah senang ketika hari libur datang, dan malas—atau bahkan benci—ketika harus kembali bersekolah. Saya memaklumi hal itu, wong saya pun dulu begitu. Omong-omong, saya dulu bahkan sering bolos ke pantai, dan duduk sendirian di pantai jauh lebih menyenangkan daripada duduk di kelas mendengarkan hal-hal membosankan.

Jadi, apa sebenarnya yang terjadi dengan sekolah, dan dunia pendidikan kita? Mengapa anak-anak yang menjadi subjek sekolah justru membencinya? Siapakah sebenarnya yang paling berkepentingan terhadap sekolah? Anak-anak sekolah, ataukah guru-guru dan para pejabat terkait pendidikan? Akhirnya, siapakah yang paling berhak untuk menentukan sistem pendidikan yang akan dijalani anak-anak sekolah?

Selama berpuluh-puluh tahun, orang-orang tahu bahwa bersekolah adalah kegiatan membosankan. Yang saya pikirkan, selama berpuluh-puluh tahun itu, kenapa tidak ada satu orang pun yang mencoba dan berusaha melakukan inovasi sehingga sekolah bisa lebih baik, dan anak-anak sekolah lebih senang menjalani?

Satu per satu menteri pendidikan berganti, yang mereka lakukan bukan menjadikan aktivitas sekolah lebih nyaman dan menyenangkan, tapi justru sebaliknya. Sekolah di zaman saya, meski sulit dan membosankan dan menjengjelkan, sepertinya tidak ada apa-apanya dibandingkan sekolah di zaman sekarang yang jauh lebih sulit dan membosankan dan menjengkelkan. Terakhir, ide full day school atau sekolah seharian. Ya Tuhan, saya bersyukur sudah dewasa, dan tidak harus menjalaninya!

Jika memang menganggap sekolah penting dilakukan, jika kita memaksa anak-anak bersekolah dengan tujuan yang luhur, mestinya kita juga mempersiapkan perangkat dan sistem yang menyenangkan buat mereka... bukan malah sebaliknya! Memaksa anak-anak untuk melakukan sesuatu, tapi mereka tersiksa selama menjalaninya, dan kita memaksa mereka terus melakukan sampai bertahun-tahun... well, saya pikir itu sangat mengerikan.

Sejujurnya, saya suka belajar, bahkan sangat mencintai aktivitas belajar—sejak kecil, sampai dewasa kini. Ketika teman-teman sebaya asyik bermain, saya sudah senang belajar. Ketika teman-teman asyik nongkrong, saya lebih suka belajar. Pendeknya, saya sangat mencintai belajar, dan Tuhan—beserta para malaikat yang suci—menjadi saksi atas kebenaran kata-kata ini. Tetapi, bahkan saya yang sangat mencintai belajar pun, tetap benci sekolah. Itu piye, coba?

Jadi, sekolah itu sebenarnya apa? Waktu untuk belajar, atau untuk apa? Kalau memang sekolah adalah waktu untuk belajar, kenapa saya yang sangat mencintai belajar justru membencinya? Jelas, ada yang salah di sini. Ilustrasi mudahnya, kalau kau suka pizza dan diminta masuk kedai pizza untuk makan pizza sepuasnya, kau pasti akan senang. Kalau tidak senang, artinya ada yang salah.

Pernahkah Menteri Pendidikan—dari zaman dulu sampai sekarang—memikirkan hal sederhana itu? Pernahkah mereka bertanya-tanya, kenapa rata-rata murid sekolah tidak senang bersekolah? Lebih penting lagi, pernahkah mereka berusaha memikirkan cara agar sekolah lebih menyenangkan, sehingga murid-murid lebih senang menjalani? Saya meragukan hal itu. 

Satu per satu Menteri Pendidikan berganti, kurikulum demi kurikulum berubah, sistem pengajaran diperbarui, tapi hasilnya tetap sama. Anak-anak sekolah benci sekolah. Masalahnya, dalam pikiran saya, karena para menteri itu berpikir egois—menggunakan kepalanya sendiri, dan menganggap anak-anak sekolah sekadar sebagai benda yang dapat diperlakukan seenaknya.

Mungkin akan lebih baik kalau para menteri berhenti berpikir macam-macam, terkait pendidikan dan sekolah. Sebagai gantinya, cobalah tanyakan pada murid-murid sekolah, “Bagaimana sekolah yang kalian inginkan, agar kalian rajin sekolah, dan tidak ingin pulang?”

Minta mereka menyebutkan sekolah macam apa yang ingin mereka jalani, kumpulkan semua jawaban dan masukan, lalu susunlah kurikulum berdasarkan jawaban dan masukan tersebut. Itu baru aturan yang fair. Bagaimana pun, subjek terpenting di sekolah adalah murid—bukan guru atau kurikulum.

Kita bisa menyediakan sejuta guru dan kurikulum sehebat apa pun. Tapi kalau murid tidak suka, persetan dengan semuanya.

Jadi, saya pikir, itulah masalah di dunia sekolah Indonesia. Yaitu menganggap kurikulum sebagai berhala, sembari melupakan anak-anak sekolah adalah manusia. Orang-orang dewasa merancang sistem untuk anak-anak sekolah, tapi anak-anak sekolah tidak pernah didengar apalagi diminta masukannya. Menteri pendidikan berpikir apa yang terbaik baginya, tapi mungkin lupa memikirkan apa yang terbaik menurut anak sekolah. Sebentuk kekacauan yang benar-benar bermasalah.

Sampai hari ini, saya masih suka belajar. Dan sampai hari ini, saya masih benci sekolah.

Surat Keterangan Mbuh

Aku ingin membuat Surat Keterangan Mbuh untuk diriku sendiri.
 
Selasa, 08 Agustus 2017

Mia Khalifa Solusinya

Seseorang baru pulang dugem sambil sempoyongan.
Masuk Twitter dan langsung ngoceh soal moral.
Lalu muntah-muntah di sudut kamar.
@noffret


Mia Khalifa tidak pernah menyangka, bahwa kelak di suatu hari dia akan menjadi bintang porno paling fenomenal di dunia. Sebagaimana umumnya gadis-gadis yang tumbuh di Timur Tengah, Mia Khalifa menjalani kehidupan masa kecil di tengah keterbatasan ruang gerak, khususnya bagi wanita. Tapi takdir memang sering menjalankan skenario tak terduga.

Lahir pada 10 Februari 1993 di Beirut, Lebanon, Mia Khalifa menjalani masa kanak-kanak bersama kecamuk yang tak kunjung henti di Timur Tengah. Lebanon termasuk negara yang terdampak kemelut di sana, dan keluarga Mia Khalifa pun hidup dengan perasaan waswas, jauh dari ketenangan. Kapan saja perang bisa merembet ke tempat tinggal mereka, dan kapan saja kedamaian bisa terenggut dari mereka.

Karena latar belakang dan pertimbangan itu pula, orang tua Mia Khalifa memutuskan untuk pindah ke Amerika, pada pertengahan 2000. Mia Khalifa masih berusia 11 tahun, ketika mereka meninggalkan Lebanon, dan menuju Amerika Serikat.

Di Amerika, keluarga Mia Khalifa tinggal di Montgomery County, Maryland. Di sanalah Mia Khalifa tumbuh sebagai remaja, dan bersekolah di SMA Northwest. Lulus dari SMA, dia meneruskan pendidikan ke University of Texas at El Paso, dan lulus dengan gelar Bachelor of Arts di bidang Sejarah.

Lulus dari perguruan tinggi tidak menjadikan seseorang mudah mendapat pekerjaan sesuai latar belakang pendidikan. Begitu pula yang dialami Mia Khalifa. Ia sempat berusaha mencari lowongan dan mengirimkan lamaran ke beberapa tempat, namun tidak juga mendapat jawaban. Sampai akhirnya, ia menemukan lowongan di sebuah restoran cepat saji, dan di sanalah ia lalu bekerja.

Bekerja sebagai pelayan di restoran tidak menyusutkan semangat hidup Mia Khalifa. Seperti gadis-gadis muda umumnya, ia tetap menjalani kehidupan dengan optimisme, yakin suatu hari kesempatan akan datang, dan dia bisa mendapat pekerjaan sesuai bakatnya, sesuai pendidikannya, lalu ia akan naik jenjang, mendapat gaji besar, kemudian... well, menemukan pangeran yang akan membawanya ke istana untuk hidup bahagia selama-lamanya.

Suatu hari, pada September 2014, Mia Khalifa sedang menjalani pekerjaan sebagai pelayan restoran seperti biasa, ketika seorang lelaki melihatnya. Lelaki itu seorang pencari bakat, dan kebetulan masuk ke restoran tempat Mia Khalifa bekerja. Sejak pertama kali melihat, ia langsung tertarik pada Mia Khalifa, dan berniat mengajaknya masuk industri hiburan. Sampai cukup lama dia mengamati Mia Khalifa, hingga menjadi pelanggan di restoran tersebut.

Waktu itu, Mia Khalifa berumur 21 tahun, bertinggi badan 157 centimeter, dengan berat 55 kilogram. Seperti umumnya wanita Timur Tengah, Mia Khalifa memiliki kecantikan yang khas. Selain itu, dia memiliki pesona yang sulit ditepiskan—sepasang payudara berukuran super, yang sanggup membuat bocah-bocah di mana pun mimisan.

Jadi, ketika Mia Khalifa mengantarkan pesanan ke mejanya, si pencari bakat mengajaknya bercakap. Karena sudah mengenal lelaki itu sebagai pelanggan tetap, Mia Khalifa melayani percakapan dengan baik.

Setelah menjelaskan profesinya, si pencari bakat berkata, “Kau memiliki pesona yang menakjubkan, Mia. Kau tertarik main film?”

Mia Khalifa berbinar. “Main film?”

“Ya, main film. Kau tertarik?”

“Tentu saja aku tertarik,” sahut Mia Khalifa. “Siapa yang tidak minat main film?”

Dan begitulah awalnya.

Peristiwa itu terjadi pada akhir September 2014. Pada Oktober 2014, Mia Khalifa mulai masuk industri film dewasa, dan selanjutnya adalah sejarah.

Hanya dalam waktu singkat, film yang dibintangi Mia Khalifa telah meraih 1,5 juta penonton. Karena kenyataan itu, pada 28 Desember 2014, PornHub—situs porno paling terkenal di dunia—menempatkan Mia Khalifa di peringkat teratas di situs mereka, mengalahkan Lisa Ann, yang sebelumnya menjadi bintang porno paling populer di dunia.

Mia Khalifa adalah fenomena di industri film porno, mirip Maria Ozawa ketika memasuki industri JAV (Japan Adult Video). Dan sama seperti Maria Ozawa yang menghadapi penentangan orang tua, Mia Khalifa juga menghadapi kenyataan serupa.

Mendapati Mia Khalifa terjun ke industri film porno, dan menjadi artis film dewasa, orang tuanya marah dan kecewa, sekaligus menanggung malu terhadap saudara-saudara mereka di Lebanon. Bagaimana bisa seorang perempuan yang lahir di Timur Tengah menjadi artis film porno? Sejak itu pula, komunikasi Mia Khalifa dengan orang tuanya terputus. Dia tidak lagi diakui sebagai keluarga.

Penentangan yang dihadapi Mia Khalifa dalam menjalani karir sebagai artis film porno tidak hanya datang dari orang tua, tapi juga dari masyarakat Timur Tengah, khususnya Lebanon, tanah kelahirannya. Sejak nama Mia Khalifa populer sebagai artis film porno, pandangan orang-orang di Lebanon terarah kepadanya. Mereka marah, karena menganggap Mia Khalifa telah mencederai budaya Timur Tengah, sekaligus menjadi aib bagi mereka.

Persoalan “aib” itu—khususnya—dipicu salah satu film yang dibintangi Mia Khalifa, yang memperlihatkan dia mengenakan jilbab ketika beradegan cinta dengan pasangannya. Film itu diproduksi oleh Bang Bros, dan—karena tuntutan cerita dalam film—Mia Khalifa harus mengenakan jilbab. Sebagai profesional, Mia Khalifa tidak mempersoalkan. Jadi, dia bermain film porno dengan mengenakan jilbab, sementara bagian tubuhnya yang lain telanjang.

Gara-gara film itulah Mia Khalifa semakin fenomenal sekaligus kian kontroversial. Sejak itu pula, kecaman, teror, bahkan ancaman pembunuhan makin sering datang kepadanya. Main film porno saja sudah dianggap aib oleh masyarakat Timur Tengah, khususnya Lebanon. Dan sekarang Mia Khalifa main film porno dengan mengenakan jilbab! Itu jelas mencoreng masyarakat muslim, kata mereka. Benar-benar penghinaan yang tak bisa ditoleransi!

Terkait kontroversi jilbab di film porno, yang panasnya menyaingi kemelut di Timur Tengah, Washington Post mewawancarai Mia Khalifa, untuk mendapatkan pandangan serta penjelasannya, terkait jilbab yang ia kenakan.

Kepada Washington Post, Mia Khalifa menyatakan, “Itu (film porno yang ia bintangi) film satir, dan saya memang harus mengenakan jilbab dalam adegan tersebut.”

Ketika ditanya mengapa ia tidak memikirkan dampak yang mungkin terjadi, Mia Khalifa menjelaskan, “Anda tahu, film-film Hollywood lebih gila dalam menggambarkan masyarakat muslim. Dalam film, orang-orang muslim digambarkan sebagai teroris, pembunuh, dan penjahat-penjahat lain yang melakukan kekerasan terhadap kemanusiaan. Saya hanya mengenakan jilbab sambil bercinta—tidak membunuh, tidak menjadi teroris, dan tidak menjadi penjahat. Saya pikir, yang saya lakukan tidak ada apa-apanya dibanding yang dilakukan film-film Hollywood. Film-film Hollywood menggambarkan muslim jauh lebih negatif daripada pornografi.”

Jawaban yang cukup panjang itu tidak hanya membuat reporter Washington Post tertegun, tapi juga membuat saya—yang membaca wawancara tersebut—ikut tertegun. Sepertinya, yang dilakukan Mia Khalifa memang “tidak ada apa-apanya” dibanding yang dilakukan film-film Hollywood.

Kita tahu, film-film Hollywood kerap menggambarkan muslim sebagai teroris, penjahat, dan antagonis semacamnya, tapi dunia—khususnya masyarakat muslim—tenang-tenang saja. Mereka tidak marah ketika identitas mereka digunakan sebagai pelaku teror, sebagai penjahat, sebagai aktor kekerasan terhadap sesama manusia. Padahal, meminjam ungkapan Mia Khalifa, “Film-film Hollywood menggambarkan muslim jauh lebih negatif daripada pornografi.”

Dulu, ada film Hollywood yang sempat menimbulkan kehebohan di dunia muslim, berjudul True Lies (dibintangi Arnold Schwarzenegger). Film yang dirilis pada 1994 itu menceritakan beberapa muslim merencanakan teror menggunakan bom yang akan dijatuhkan di Amerika. Identitas muslim dalam film itu diwakili pakaian khas Timur Tengah (baju putih panjang dengan penutup kepala, serta komunikasi dalam bahasa Arab.)

Sebenarnya, film itu bisa dibilang “biasa saja”—khas film-film Hollywood. Penggambaran muslim yang diceritakan sebagai teroris dalam film juga tergolong “biasa saja”, khususnya jika dibandingkan film-film yang muncul setelahnya. Tetapi, karena True Lies menjadi film pertama yang menggambarkan muslim sebagai teroris, orang-orang Islam di seluruh dunia pun meributkan. Film itu bahkan dicekal di Indonesia, meski bajakannya banyak beredar di Glodok.

Setelah True Lies, Hollywood masih memproduksi film-film serupa, yang menggambarkan muslim sebagai penjahat, pelaku teror, atau bajingan lainnya. Masyarakat muslim masih memprotes, seperti semula, tapi tensi protes yang muncul kian lama kian surut. Berbeda dengan True Lies yang mendapat kecaman secara internasional, film-film serupa setelahnya hanya mendapat kecaman ala kadarnya.

Belakangan, muncul film Hollywood mutakhir, berjudul Killer Elite (dibintangi Jason Statham dan Robert DeNiro). Film itu mengisahkan seorang muslim Arab yang merencanakan pembalasan dendam mengerikan terhadap para pembunuh putranya. Si Arab menyewa para pembunuh bayaran untuk membalaskan dendamnya, dengan alasan, “Agar aku bisa mati dengan tenang, karena mengetahui dendamku telah terbalas.”

Dibandingkan True Lies yang menggambarkan teroris muslim berencana mengebom Amerika, penggambaran muslim dalam Killer Elite jauh lebih menjijikkan. Sebagai perbandingan, muslim dalam True Lies berencana menghancurkan Amerika dengan alasan “rasional”, salah satunya menganggap Amerika sebagai “dajjal sewenang-wenang yang harus dilawan”. Sementara muslim dalam Killer Elite berencana membunuh orang-orang karena dendam pribadi, hanya “agar aku bisa mati dengan tenang, karena dendamku telah terbalas.”

Tapi apakah ada masyarakat muslim di negara mana pun yang menentang, memprotes, atau mengecam film Killer Elite? Tidak ada! Film itu melenggang bebas dan diputar di dunia, termasuk di negara-negara Arab.

Karena itulah, Mia Khalifa heran, dan mengatakan, “Yang saya lakukan tidak ada apa-apanya dibanding yang dilakukan film-film Hollywood. Film-film Hollywood menggambarkan muslim jauh lebih negatif daripada pornografi.”

Disadari atau tidak, pernyataan itu benar. Hollywood menggambarkan muslim dengan begitu buruk melalui film-film yang mereka produksi—sebagai penjahat, sebagai teroris, sebagai bajingan, sebagai pelaku kekerasan, dan semacamnya. Tapi orang-orang muslim bungkam, bahkan menikmati film-film itu dengan asyik. Sementara yang dilakukan Mia Khalifa—dalam film—hanya bercinta.

Oh, well, hanya bercinta. Dia tidak menggambarkan muslim sebagai penjahat, atau sebagai pelaku kekerasan atau kejahatan apa pun, tapi hanya bercinta. Dan hanya karena itu, Mia Khalifa dikecam habis-habisan, sampai diancam teror pembunuhan.

Memikirkan kenyataan itu, saya berpikir, jangan-jangan kita lebih bisa menoleransi terorisme atau aksi kekerasan semacamnya, daripada menoleransi ketelanjangan. Jangan-jangan, kita lebih mampu bersikap terbuka pada orang yang melakukan kekerasan terhadap sesama, daripada menerima kenyataan bahwa sepasang pria dan wanita bisa bercinta, terlepas apa pun agama mereka.

Oh, saya tidak bermaksud mengatakan yang dilakukan Mia Khalifa itu benar. Yang saya maksudkan, kenapa kita begitu sensitif dan reaktif ketika mendapati ketelanjangan, daripada saat menghadapi kekerasan?

Seperti sinetron-sinetron di televisi. Adegan ciuman lawan jenis, misalnya, disensor. Tapi adegan kekerasan—orang memukul atau melakukan kejahatan terhadap orang lain—diperlihatkan secara vulgar. Jika tujuan menyensor ciuman karena beralasan adegan itu tidak mendidik, apakah adegan kekerasan dianggap mendidik? Jika adegan ciuman dengan lawan jenis dianggap “tidak sesuai budaya kita”, apakah kekerasan sesuai budaya kita?

Saya khawatir ada yang salah dalam cara kita menjalani kehidupan, sehingga lebih mampu menoleransi kekerasan, daripada kemungkinan melihat orang berciuman. Saya khawatir ada yang salah dalam pendidikan kita, sehingga lebih malu pada ketelanjangan daripada malu terhadap kekerasan. Seperti orang-orang Timur Tengah yang terus berperang dengan sesama, dan menganggap itu hal biasa, tapi ribut ketika menyaksikan Mia Khalifa bercinta.

Terkait hal itu, ada sesuatu yang—kalau dipikirkan—sangat ironis. Seiring kecaman yang berdatangan dari masyarakat Timur Tengah terhadap Mia Khalifa, statistik di situs PornHub menunjukkan pencarian untuk film Mia Khalifa meningkat lima kali lipat. Peningkatan itu khususnya datang dari wilayah Lebanon, dan negara-negara Arab di sekitarnya.

Jangan-jangan, di tengah kecamuk yang tiada henti di sana, sebagian masyarakat menjadikan film Mia Khalifa sebagai solusi pusing kepala.

Emesssh...

Aku kudu piye, ya Allah?

Jumat, 04 Agustus 2017

Di Simpang Dilema

Membaca berita-berita hukum dan kriminal
akhir-akhir ini, membuatku makin percaya bahwa manusia
memang serigala bagi manusia lain.
@noffret


Salah satu video mengerikan yang pernah saya tonton di YouTube adalah penjambret yang dihakimi massa secara brutal. Dalam video itu terlihat seorang lelaki (mungkin usianya 25 tahunan) meringkuk di dalam selokan, sementara orang-orang di sekelilingnya melempari batu. Lelaki dalam selokan itu mungkin sekarat, tapi orang-orang tampak tak peduli. Bahkan, mereka kemudian mengambil sepeda motor, dan menghantamkannya ke tubuh lelaki dalam selokan.

Berdasarkan keterangan yang tertulis di bawah video, lelaki itu penjambret yang tertangkap. Berlokasi di dekat sebuah pasar, dua lelaki menaiki sepeda motor, dan menjambret tas serta kalung seorang wanita yang juga mengendarai sepeda motor. Wanita yang menjadi korban penjambretan terjatuh dari motornya, sementara dua penjambret kabur.

Peristiwa itu diketahui orang-orang di sana, yang segera mengejar dua pelaku. Dua penjambret pun tertangkap, dan hasilnya sudah bisa diduga—mereka dihakimi massa dengan buas. Mungkin karena massa sudah sangat marah terhadap kejahatan-kejahatan yang biasa terjadi, mereka pun melampiaskan kemarahan kepada dua penjambret yang tertangkap tersebut.

Dua penjambret, yang sama-sama lelaki 25 tahunan, dianiaya habis-habisan, lalu massa yang marah melemparkan tubuh mereka ke selokan. Dua penjambret yang sudah terluka parah hanya bisa meringkuk di dalam selokan, dengan tubuh telanjang, lalu massa melempari mereka dengan batu-batu. Terakhir, bersama kemarahan yang tak juga padam, massa mengambil sepeda motor pelaku, dan menghantamkannya ke tubuh mereka. Sepeda motor itu menindih seorang pelaku yang kemudian tewas dalam selokan.

Berdasarkan suara-suara yang saya dengar dalam video, peristiwa itu terjadi di Indonesia. Selama adegan dalam video berlangsung, tidak tampak polisi satu pun, jadi massa bisa melampiaskan kemarahan sepuasnya. Bahkan, ketika dua pelaku kejahatan sudah mati pun, massa tampaknya belum puas. Di video, saya melihat seorang ibu-ibu yang menginjak-injak tubuh si pelaku dengan wajah penuh kemarahan.

Banyak video semacam itu di YouTube, bahkan saya juga cukup sering menyaksikan peristiwa semacam itu di dunia nyata. Seorang atau dua orang penjahat tertangkap, lalu dihakimi massa dengan buas, hingga penjahat-penjahat itu luka-luka atau bahkan sampai tewas.

Kadang-kadang saya kasihan pada penjahat-penjahat yang tertangkap tersebut. Mereka orang-orang kecil yang mungkin menghadapi himpitan hidup, dan terpaksa melakukan kejahatan demi bertahan hidup, atau untuk menghidupi anak-istri. Tapi mereka kemudian tertangkap, dan menghadapi konsekuensi mengerikan. Tubuh penuh luka, atau bahkan sampai mati karena teraniaya massa yang marah.

Yang punya perasaan semacam itu tentu bukan cuma saya. Banyak orang yang juga merasakan hal sama—kasihan, dan berharap penjahat-penjahat yang tertangkap tidak dianiaya. Orang sering mengatakan, “Jangan main hakim sendiri.”

Tetapi, ketika saya mengatakan hal itu pada seorang teman, dia menjawab, “Kamu bisa mengatakan seperti itu, karena mungkin belum pernah menjadi korban kejahatan. Kamu bisa memiliki rasa kasihan pada penjahat, karena belum menjadi korban kejahatan mereka. Kalau kamu juga pernah menjadi korban kejahatan, kamu pasti ingin membunuh mereka!”

Teman yang mengatakan kalimat itu bernama Adib. Dia pernah menjadi korban kejahatan, dan sampai saat ini masih memendam dendam kepada penjahat—bahkan penjahat mana pun.

Dulu, Adib pernah membeli motorsport keluaran baru, yang ia beli secara cash di dealer. Tetapi, baru dua bulan dia memiliki, motor kesayangan itu hilang. Ceritanya, Adib masuk ke sebuah toko ponsel, dan memarkir motornya di depan toko. Dia telah mengunci motor tersebut. Tetapi, saat ia keluar dari toko, motor itu raib. Wilayah di sekitar toko tidak ada CCTV, sehingga Adib tidak bisa melacak pencuri motornya.

Sampai berbulan-bulan kemudian—bahkan sampai hari ini—motor itu tidak pernah ditemukan. Adib telah melaporkan kepada polisi, tapi tidak ada hasil. Adib telah berupaya mencarinya ke tempat-tempat yang kadang digunakan untuk transaksi motor bodong (motor yang tidak dilengkapi surat-surat), tapi motornya tidak juga ditemukan. Itulah awal mula dendam kesumat Adib kepada penjahat.

Sejak itu, kapan pun dia mendapati ada penjahat yang tertangkap—entah mencopet, mencuri, menjambret, atau lainnya—Adib akan melampiaskan dendam dan kemarahannya habis-habisan. Bahkan, dia tidak segan untuk mengejar penjahat kapan pun ada kesempatan, dan dia akan melakukannya sepenuh hati, habis-habisan, sampai si penjahat tertangkap. Biasanya, penjahat yang bertemu Adib mengalami nasib mengerikan.

Saya pernah bertanya kepadanya, “Kalau umpama kamu menemukan orang yang dulu mencuri motormu, apa yang kira-kira akan kamu lakukan?”

“Aku akan membakarnya hidup-hidup,” jawabnya spontan.

Mengingat perangainya yang memang berangasan, saya tidak ragu kalau Adib akan melakukan yang dikatakannya. “Untung”, orang yang mencuri motor Adib sampai sekarang tidak diketahui, dan Adib tidak sempat melihat wajahnya. Kalau saja Adib sempat melihat wajah si pencuri—misal lewat CCTV—hampir bisa dipastikan dia akan mengejarnya, bahkan sampai ke ujung neraka.

Omong-omong soal CCTV, ada video lain yang saya lihat di YouTube, yang memperlihatkan rekaman CCTV. Berdasarkan video yang saya tonton, CCTV itu tampaknya dipasang untuk memantau trotoar di depan sebuah gedung bank.

Mula-mula, ada sepeda motor matic terparkir di atas trotoar. Tidak lama setelah itu, muncul dua lelaki berboncengan naik motor—keduanya berpenampilan seperti anak kuliahan, dengan tas di punggung. Dua lelaki yang masih muda itu mendekati motor matic yang terparkir di trotoar, memandanginya sejenak, lalu salah satu dari mereka turun dari motor. Waktu itu, sempat ada orang-orang lain yang kebetulan melintas di dekat mereka, tapi tampaknya tidak ada yang curiga.

Setelah tempat itu sepi kembali, salah satu lelaki tadi mengambil kunci dari dalam sakunya, lalu menggunakannya untuk mengutak-atik motor matic di atas trotoar. Sesaat kemudian, motor matic sudah bisa dikuasai. Lelaki itu segera mengendarainya, lalu kabur bersama temannya yang naik motor sendiri. Seketika, orang-orang dari halaman bank keluar berhamburan sambil berteriak-teriak marah. Jelas sudah, dua lelaki itu mencuri motor matic tadi.

Betapa mudah melakukan kejahatan, pikir saya saat menyaksikan video itu. Orang bisa saja mendatangi milikmu, lalu mereka menguasainya dengan mudah, dan membuatmu kehilangan. Mungkin tidak terlalu masalah kalau kau bisa membeli motor semudah membalik telapak tangan. Tapi bagaimana kalau si pemilik motor yang dicuri tadi orang miskin, yang mengandalkan motor satu-satunya untuk menjalani hidup?

Ketika menyaksikan video CCTV yang merekam adegan pencurian itu, saya mulai memahami kenapa banyak orang sangat marah pada penjahat yang kebetulan tertangkap. Orang-orang itu mungkin pernah menjadi korban kejahatan, kehilangan sesuatu yang berharga, dan tidak bisa mendapatkannya kembali, lalu memendam amarah dan dendam. Akibatnya, setiap kali mendapati penjahat yang tertangkap, mereka pun meluapkan kemarahan dan dendam mereka.

Dalam kata-kata bijak, kita tentu bisa mengatakan, tidak semua penjahat melakukan kejahatan karena memang jahat. Sebagian dari mereka melakukan kejahatan karena terpaksa, akibat dihimpit kondisi hidup, sehingga mereka terpaksa mencuri, mencopet, atau menjambret. Tapi massa yang marah—apalagi si korban kejahatan—tidak mau peduli dengan hal-hal semacam itu. Bagi mereka, penjahat tetap penjahat, apa pun motivasinya.

Lebih dari itu, massa mungkin memendam kemarahan diam-diam—sebentuk kemarahan yang terus tertahan—akibat menyaksikan penjahat-penjahat kelas kakap tidak mendapat hukuman setimpal. Mereka marah menyaksikan koruptor-koruptor yang mengisap darah rakyat bisa hidup bebas, atau hanya dihukum ringan. Mereka marah mendapati begitu banyak kejahatan yang dibiarkan, akibat uang menyuap dan membungkam keadilan.

Itu jenis kemarahan berbahaya, seperti api dalam sekam. Tidak tampak, tapi terus menyala dalam diam. Dan penjahat-penjahat kecil yang apes, yang tertangkap, menjadi sasaran nyala dendam mereka.

Menyaksikan kejahatan manusia adalah menyaksikan dilema. Kita melihat kejahatan-kejahatan besar yang tak pernah terungkap, dan pelakunya masih asyik menjalani hidup. Mereka melakukan kejahatan bukan karena terpaksa atau keterdesakan, melainkan karena kerakusan dan ketamakan. Mereka melakukan kejahatan dengan mengandalkan koneksi, jabatan, seragam, atau kesempatan mumpung punya kuasa. Kejahatan mereka sering kali besar, tapi pelakunya tak tersentuh.

Sementara, di sisi lain, kita melihat kejahatan-kejahatan kecil, atau bahkan tak seberapa, tapi pelakunya tertangkap dan harus menghadapi amukan massa yang mengerikan. Sebagian dari mereka melakukan kejahatan karena terdesak akibat himpitan hidup. Mereka melakukan kejahatan dengan mengandalkan kesempatan dan keberanian yang nekad, mempertaruhkan nyawa yang sewaktu-waktu bisa hilang. Kejahatan yang dilakukan sering kali tak seberapa, tapi pelakunya bisa terbunuh.

Kejahatan memang kejahatan, tak peduli besar atau kecil. Kejahatan tetap kejahatan, tak peduli pelakunya pejabat atau orang melarat. Yang membedakan, mungkin, alasan mereka melakukan kejahatan, dan konsekuensi yang mereka hadapi. Penjahat yang punya uang bisa aman meski melakukan kejahatan, sementara penjahat yang tak punya uang harus menghadapi konsekuensi mengerikan.

Bahkan sama-sama penjahat, si kaya dan si miskin diperlakukan berbeda. Bahkan di hadapan keadilan, yang kaya dan miskin tetap memiliki kasta.

Menua

Kita menua dengan cepat.

Tapi kematian datang merayap.

Selasa, 01 Agustus 2017

Jalinan Takdir (2)

Catatan ini lanjutan catatan sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah catatan sebelumnya terlebih dulu.
 
***

Sejak kecil, Ajili telah menjadi yatim piatu. Kondisi kemiskinan menjadikannya tidak mampu mengenyam bangku pendidikan. Saat remaja, dia bekerja sebagai tukang cuci piring di sebuah restoran. Dia menjalani pekerjaan itu dengan baik, dan berharap pekerjaannya bisa memberi masa depan yang baik. Tetapi, sayang, majikan Ajili benar-benar buruk. Selain tidak bisa menghargai pekerjaan karyawan, sang majikan juga sangat rasialis. Sebagai orang berkulit hitam, Ajili kerap menjadi sasaran kemarahan majikannya.

Selama waktu-waktu itu, Ajili berusaha bertahan. Bagaimana pun, dia membutuhkan pekerjaan, agar bisa makan. Tetapi, makin lama, perlakuan majikannya semakin buruk dan makin memburuk. Nyaris setiap hari Ajili menjadi sasaran caci-maki dan pukulan, tendangan, atau sikap merendahkan lainnya.

Sampai kemudian, hari bersejarah itu tiba. Hari itu, 17 Mei 1992, Ajili berulang tahun ke-20. Ia berencana pulang kerja lebih awal, karena ingin merayakan ulang tahunnya, meski sendirian. Jadi, sepanjang hari itu, Ajili pun bekerja dengan lebih giat, berharap bisa lebih cepat selesai. Sial, saat bekerja hari itu, tanpa sengaja Ajili menjatuhkan sebuah piring, dan pecah. Sang majikan pun seketika murka.

Waktu itu Ajili sangat kalut. Dia berulang tahun, ingin pulang lebih awal, agar bisa merayakan hari istimewanya. Tapi sekarang dia menghadapi kenyataan yang sangat buruk. Majikan Ajili, yang murka melihat piringnya pecah, memukul kepala Ajili, dan memaksanya untuk memakan pecahan piring tersebut.

Ajili tak tahan lagi dengan perlakuan majikannya yang sewenang-wenang. Dia begitu marah, hingga nekat memukul sang majikan. Setelah itu, dengan amarah membara, dia berlari meninggalkan restoran, sambil bertekad membalas dendam pada orang kulit putih.

Malam itu hujan turun sangat lebat. Jalanan Way Eli, yang biasa sepi, malam itu benar-benar senyap. Saat tiba di jalanan itu, Ajili melihat seorang perempuan kulit putih, dan seketika pikiran jahatnya muncul. Dia seperti menemukan sasaran pembalasan dendam akibat majikannya yang rasialis. Ajili pun memperkosa perempuan tak berdosa itu di sana, lalu pergi meninggalkannya.

Seusai melakukan kejahatan itu, Ajili panik dan ketakutan. Malam itu juga, dia menggunakan uang ulang tahunnya untuk membeli tiket kereta api menuju Napulese, dan berharap bisa menyembunyikan diri di sana selamanya.

Di Napulese, Ajili berusaha mencari pekerjaan, dan sekali lagi dia diterima bekerja di restoran. Restoran itu dimiliki pasangan suami istri asal Amerika, dan Ajili menganggap mereka majikan yang sangat baik. Ajili bekerja dengan giat di restoran itu, dan majikannya pun menghargai pekerjaan Ajili. Seiring waktu berlalu, seiring makin memperoleh kepercayaan majikannya, Ajili diserahi tugas untuk mengelola toko minuman, yang juga dimiliki pasangan Amerika tersebut.

Di bawah kepengurusan Ajili, toko minuman itu makin ramai, dan makin menghasilkan banyak keuntungan. Majikan Ajili sangat mengagumi kerja keras lelaki itu. Rupanya, anak perempuan mereka juga sama mengagumi Ajili.

Pasangan Amerika itu memiliki anak perempuan, bernama Lina. Sebagaimana orang tuanya, Lina juga mengagumi semangat kerja Ajili. Saat akhirnya Lina berencana menikahi Ajili, kedua orang tuanya pun mendukung. Lalu mereka menikah, hingga memiliki tiga anak.

Selama waktu-waktu itu, Ajili menjalani kehidupan dengan baik. Dia mengurus toko dengan baik, memperlakukan para karyawan dengan baik, dan dia pun dikenal orang-orang sebagai pengusaha yang baik. Tetapi, selama waktu-waktu itu pula, diam-diam Ajili menyimpan kegelisahan yang tak pernah diungkapkan kepada siapa pun. Dia selalu memohon ampun pada Tuhan, dan berharap Tuhan melindungi wanita yang pernah diperkosanya, berharap wanita itu dapat hidup tenteram dan damai.

Jadi, ketika suatu pagi dia membuka koran, dan membaca berita mengenai seorang anak perempuan yang membutuhkan donor sumsum tulang, Ajili benar-benar terpaku, dan nyaris tak percaya. Dia tidak pernah membayangkan wanita malang itu mengandung anaknya, bahkan memikul tanggung jawab memelihara anak yang pasti tak dikehendakinya.

Hari itu, Ajili beberapa kali mencoba menelepon Dr. Adely, nama yang tertulis dalam berita yang dibacanya. Tetapi, setiap kali, dia tidak mampu melakukannya, dan menutup telepon kembali.

Hatinya berperang diam-diam. Jika dia mengakui dosa masa lalunya, orang-orang akan tahu keburukannya, istri dan anak-anaknya juga belum tentu bisa menerima. Ia akan kehilangan keluarganya, dan bisa jadi akan kehilangan semua hasil kerja kerasnya bertahun-tahun, karena tak menutup kemungkinan dia akan dihukum atas kejahatan yang pernah dilakukannya.

Tetapi, jika dia tidak mau keluar dari persembunyiannya, nyawa seorang anak perempuan tak berdosa kini menjadi taruhan. Jika dia tidak mau keluar dan menemuinya, dia akan melakukan dosa dua kali. Dan, kali ini, kepada anaknya sendiri.

Malam hari, saat makan bersama keluarga, Lina—istri Ajili—membahas berita yang waktu itu sedang dibicarakan banyak orang, yaitu kasus Martha yang sedang mencari ayah biologis untuk menolong putrinya yang kini menderita leukemia.

“Aku sangat mengagumi Martha,” ujar Lina. “Kalau aku yang ada di posisinya, aku pasti tidak akan memiliki keberanian memelihara anak hasil perkosaan itu. Aku juga sangat mengagumi suami Martha. Dia sungguh pria yang patut dihormati, karena mampu menerima kenyataan itu dengan baik.”

Ajili termenung mendengar ucapan istrinya. Kemudian, sambil memberanikan diri, Ajili berkata, “Bagaimana pendapatmu mengenai si pemerkosa?”

“Aku tidak akan memaafkannya sedikit pun!” jawab Lina seketika. “Di masa lalu, dia telah melakukan kejahatan perkosaan. Sekarang, dia kembali melakukan kejahatan, dengan membiarkan anak biologisnya sekarat karena penyakit, dan tidak mau datang menolong. Dia pasti benar-benar egois, pengecut, dan rendah!”

Larut malam, Ajili belum juga bisa tertidur. Pikirannya gelisah, dan hatinya terus berperang. Istrinya telah tertidur nyenyak di sampingnya. Ajili bangkit dari tempat tidur, dan mendatangi kamar anaknya. Melihat tiga putrinya sedang terlelap, Ajili merasakan hatinya tertusuk perih. Bersandar di pintu kamar, Ajili tak mampu menahan isak.

“Aku selalu percaya aku orang baik,” batinnya. “Tapi apakah aku benar-benar baik? Ataukah sebenarnya aku sangat jahat?”

Semakin hari, kegelisan yang dirasakan Ajili makin menguat, hingga istrinya mulai menyadari ada yang tidak beres. Ajili masih mencoba meyakinkan semuanya baik-baik saja. Tetapi Ajili tahu, kenyataannya tidak baik-baik saja. Ada seorang anak perempuan yang sekarat, dan satu-satunya orang yang bisa menolong adalah dirinya.
  
Setelah berhari-hari nuraninya berperang, Ajili memberanikan diri untuk menghubungi Dr. Adely. Saat teleponnya diterima, Ajili berbicara sedatar mungkin, “Dokter, saya ingin sekali tahu bagaimana keadaan anak perempuan yang menderita leukemia, yang beritanya tersebar luas itu. Apakah ayahnya sudah datang?”

Dr. Adely memberitahukan keadaan Monika apa adanya, dan menyatakan dengan lelah, “Entahlah, apakah anak malang itu dapat menunggu hari kemunculan ayah kandungnya.”

Kalimat terakhir itu seperti pisau yang menusuk jantung Ajili. Anak perempuan itu menunggu, pikirnya. Anak perempuan yang kini sekarat itu menunggunya, dan akan mati jika dirinya tidak datang.

Akhirnya, Ajili pun membulatkan tekad untuk menolong Monika. Dia telah melakukan kesalahan satu kali, dan dia bertekad untuk tidak meneruskan kesalahan ini. Malam hari, Ajili memberanikan diri untuk memberitahu kenyataan tersebut kepada Lina, istrinya. Ia menceritakan peristiwa yang terjadi sepuluh tahun lalu, tentang wanita yang pernah diperkosanya, dan Ajili menyatakan, “Sangat mungkin kalau akulah ayah Monika yang sekarang mereka cari.”

Lina sangat terkejut mendengar pengakuan itu, dan dia sangat marah. Malam itu juga, setelah mencaci suaminya, Lina memutuskan pulang ke rumah orang tuanya dengan membawa tiga anaknya.

Orang tua Lina terkejut mendapati putri mereka datang mendadak, dalam keadaan kusut. Selama bertahun-tahun setelah menikah dengan Ajili, Lina selalu tampak bahagia, dan rumah tangga mereka baik-baik saja. Jadi, mereka pun menanyakan masalah apa yang sedang terjadi, dan Lina menceritakan semuanya.

Semula, orang tua Lina juga marah dengan kenyataan itu. Tetapi, kemudian, mereka menyatakan, “Tentu saja kita patut marah pada perbuatan Ajili di masa lalu. Tapi cobalah pikirkan dengan kepala dingin. Sebenarnya, dia bisa saja tetap menyimpan hal itu, dan kita tidak tahu. Bagaimana pun, dia pasti membutuhkan keberanian yang sangat besar untuk memberitahu kenyataan itu, dan artinya dia masih memiliki hati nurani. Jadi, apakah kau mengharapkan suami yang pernah melakukan kesalahan tapi kini mau memperbaiki diri, ataukah kau mengharapkan suami yang selamanya menyimpan keburukan tanpa pernah mengatakannya kepadamu?”

Kata-kata itu akhirnya menyadarkan Lina. Bagaimana pun, Ajili selama ini telah menjadi suami yang baik. Kenyataan bahwa sekarang dia mau memperbaiki kesalahan yang dulu pernah dilakukannya, itu juga menunjukkan suaminya memang orang baik. Akhirnya, keesokan pagi, Lina pulang menemui Ajili. Kepada suaminya, yang tampak belum tidur, Lina berkata, “Temuilah Dr. Adely. Aku akan menemanimu.”

Pada 3 Februari 2003, Ajili menghubungi Dr. Adely, dan Ajili mengungkapkan siapa dirinya. Lima hari kemudian, ditemani istrinya, Ajili datang ke RS Elizabeth untuk melakukan pemeriksaan DNA. Hasilnya, berdasarkan pemeriksaan DNA, Ajili benar-benar ayah Monika.

Ketika Dr. Adely menyampaikan kabar itu pada Martha, bahwa pemuda kulit hitam yang dulu pernah memperkosanya kini telah datang untuk menolong Monika, Martha tak dapat menahan tangisnya. Selama sepuluh tahun dia memendam dendam terhadap Ajili, kepada lelaki yang pernah memperkosanya, namun kini dia hanya diliputi perasaan terharu.

Kabar munculnya ayah biologis Monika tercium pers. Tetapi, pihak rumah sakit, juga Dr. Adely, menutup rapat-rapat semua identitas. Mereka hanya mengonfirmasi bahwa ayah kandung Monika telah ditemukan.

Sekali lagi masyarakat Italia dilanda kegemparan. Mereka terus menerus menghubungi Dr. Adely dan rumah sakit, menyatakan ingin menyampaikan kemarahan sekaligus penghormatan mereka kepada lelaki kulit hitam itu. Seorang warga yang diwawancarai salah satu koran di sana, menyatakan, “Mungkin dia pernah melakukan tindak pidana, namun saat ini dia seorang pahlawan.”

Pada 18 Februari 2003, pasangan Ajili dan Lina dipertemukan dengan pasangan Marta dan Peterson. Sebenarnya, semula, Ajili tidak berani menemui Martha. Namun, setelah Martha meminta, Ajili menyetujui pertemuan itu.

Saat melihat Martha, setelah sepuluh tahun berlalu, Ajili merasakan wajahnya sendiri memucat. Martha dan suaminya datang, dengan wajah lelah, dan mereka saling berjabat tangan. Lalu hening. Karena air mata runtuh.

Saat akhirnya bisa membuka mulutnya, Ajili berkata kepada Martha, dengan suara di antara isak, “Tolong... tolong maafkan aku.”

Itu ucapan yang telah dipendamnya dalam hati selama sepuluh tahun. Selama bertahun-tahun, dia memendam ucapan itu sendirian, mengulanginya berulang-ulang, dalam keheningan. Sekarang dia dapat mengucapkannya, kepada orang yang harus mendengarnya, dan Ajili merasakan beban berat diangkat dari pundaknya.

Martha mengangguk, dan mengatakan, “Terima kasih kau mau datang. Semoga Tuhan memberkatimu.”

Pada 19 Februari 2003, para dokter melakukan pemeriksaan sumsum tulang belakang Ajili. Pemeriksaan mereka menemukan kecocokan dengan sumsum tulang Monika. Akhirnya, pada 22 Februari 2003, bersama harapan dan doa-doa warga Italia yang terus mengikuti perkembangan berita itu, Monika menerima donor sumsum tulang belakang Ajili, ayah kandungnya, dan anak perempuan itu akhirnya berhasil melewati masa kritis. Satu minggu kemudian, Monika diizinkan meninggalkan rumah sakit, dan warga Italia hanyut dalam kegembiraan.

Martha dan suaminya telah memaafkan Ajili sepenuhnya, dan secara khusus mengundang Ajili, juga Dr. Adely, untuk datang ke rumah merayakan kesembuhan Monika. Dr. Adely datang memenuhi undangan tersebut, namun Ajili tidak datang. Dr. Adely menyampaikan surat yang dititipkan Ajili untuk Martha serta suaminya, dan berikut ini isi suratnya,

“Aku tidak ingin kembali mengganggu kehidupan tenang kalian. Aku berharap Monika bahagia bisa hidup dan tumbuh dewasa bersama kalian. Bila kalian menghadapi kesulitan apa pun, harap hubungi aku. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membantu.

“Aku sangat berterima kasih pada Monika, dari dalam lubuk hatiku terdalam. Dialah yang memberiku kesempatan untuk menebus dosa. Dialah yang membuatku dapat memiliki kehidupan yang benar-benar bahagia, di sisa hidupku selanjutnya.”

Jalinan Takdir (1)

Sehelai daun lepas dari ranting. Diembus angin,
melayang-layang bersama udara. Lalu jatuh di tanah basah.
Di kejauhan, takdir tertawa.
@noffret


—Semua identitas dalam kisah ini disamarkan, namun jalan cerita dan alur waktu ditulis sesuai aslinya.

Kisah ini dimulai pada suatu malam berhujan, 17 Mei 1992, di Italia, tepatnya di sebuah jalan sepi bernama Way Eli.

Malam itu, seorang wanita berkulit putih diperkosa seorang pemuda berkulit hitam. Si wanita sedang melangkah sendirian, dan tiba-tiba muncul lelaki yang langsung membekap mulutnya, dan memperkosanya. Peristiwa itu berlangsung sangat cepat, dan terjadi di jalan yang sepi. Begitu si pemerkosa pergi, si wanita terduduk sendirian, menangis, sementara tubuhnya basah oleh hujan yang turun.

Sepuluh tahun kemudian....

Di suatu tempat di Italia, ada sebuah keluarga kecil yang bahagia—sepasang suami istri, dan seorang anak perempuan. Si suami bernama Peterson, istrinya bernama Martha, dan anak perempuan mereka bernama Monika. Martha berusia 35 tahun, dan suaminya dua tahun lebih tua. Yang menarik dari keluarga kecil itu adalah perbedaan mencolok warna kulit mereka. Peterson dan istrinya sama-sama berkulit putih. Sementara Monika, putri mereka, berkulit hitam.

Semula, perbedaan warna kulit itu sempat menjadi pergunjingan tetangga. Namun, Martha menyatakan bahwa kakek Monika berkulit putih, sementara nenek Monika berkulit hitam. Kenyataan itu tampaknya memberi pengaruh pada Monika, cucu mereka. Orang-orang pun, perlahan-lahan, menerima kenyataan itu, dan tidak lagi menganggap aneh perbedaan warna kulit Monika dengan orang tuanya.

Musim gugur 2002, Monika mengalami demam tinggi. Semula, Martha dan suaminya menganggap itu masalah biasa—demam yang biasa dialami anak-anak. Tetapi, makin hari, demam Monika makin tinggi, dan mereka pun membawanya ke RS Elizabeth. Di rumah sakit itu, melalui pemeriksaan Dr. Adely, diketahui kalau ternyata Monika mengidap leukemia. Kondisi Monika sudah buruk, dan Dr. Adely menyatakan bahwa satu-satunya harapan untuk monika hanyalah transplantasi sumsum tulang.

Dr. Adely menjelaskan pada Martha dan Peterson, “Cara paling mudah menemukan pendonor yang cocok untuk Monika adalah dengan mencari anggota keluarga yang memiliki hubungan darah dengan Monika.”

Dalam waktu singkat, seluruh anggota keluarga Martha maupun keluarga Peterson dikumpulkan di rumah sakit, untuk menjalani pemeriksaan sumsum tulang belakang, demi bisa menemukan donor yang cocok untuk Monika. Tetapi pemeriksaan itu tidak mendapat hasil. Tidak ada satu pun anggota keluarga—baik dari keluarga Martha maupun Peterson—yang cocok menjadi donor.

Malam itu, di ruangan rumah sakit yang sunyi, Dr. Adely akhirnya berkata pada Martha dan suaminya, “Dalam kasus seperti yang kita hadapi sekarang, sangat kecil kemungkinan bagi kita untuk menemukan donor yang cocok, karena bahkan anggota keluarga yang memiliki hubungan darah dengan Monika pun tidak ada yang cocok. Karena itu, kini tinggal ada satu cara.”

Satu cara tersisa yang bisa dilakukan hanyalah... Martha dan suaminya kembali memiliki anak, lalu menggunakan sumsum tulang belakang si anak yang akan lahir tersebut sebagai donor bagi Monika.

Mendengar penjelasan itu, Martha tak bisa menahan tangisnya. Dia terisak tiba-tiba, putus asa, sementara suaminya merangkul dan menenangkan. Dengan bibir bergetar, Martha meratap, “Ya Tuhan, kenapa bisa jadi begini...?”

Dr. Adely, yang mengira tangis Martha pecah karena mendengar penjelasannya, buru-buru memberitahu bahwa saat ini sudah banyak orang yang menggunakan cara tersebut (menggunakan sumsum tulang anak kandung lain sebagai donor), dan hal itu tidak memiliki pengaruh bagi si anak yang menjadi donor. Tapi Martha tidak menjawab apa-apa, sementara suaminya hanya menatap Dr. Adely dengan kebingungan.

Akhirnya, Peterson, suami Martha, berkata pada Dr. Adely, “Biar kami memikirkannya dulu.”

Besok malamnya, pasangan Peterson dan Martha kembali mendatangi Dr. Adely. Martha menggigit bibir, menahan tangis, sementara Peterson menggenggam tangannya. Peterson pulalah yang kemudian berbicara, “Dokter, kami ingin memberitahu sesuatu, tapi kami berharap Anda berjanji untuk menjaga kerahasiaannya, karena yang akan kami ceritakan adalah rahasia kami sebagai suami istri selama ini.”

Dr. Adely mengangguk, memastikan.

Lalu Martha, dengan terbata-bata, menceritakan peristiwa yang menimpanya, sepuluh tahun yang lalu. Malam itu, ia sedang melangkah pulang dari tempat kerja, seperti biasa, ketika tiba-tiba muncul seorang lelaki berkulit hitam menyerang dan memperkosanya. Waktu itu, Martha telah menikah dengan Peterson, dan dia dihinggapi kebingungan luar biasa atas terjadinya peristiwa tersebut. Saat ia melangkah pulang ke rumah, Martha seperti merasakan langit sedang runtuh.

Peterson mampu menghadapi peristiwa itu dengan baik, dan malam itu Martha saling memeluk dengan suaminya, dalam diam, masing-masing menahan kepedihan.

Tidak lama setelah itu, Martha mendapati dirinya hamil. “Kami sangat ketakutan, waktu itu,” ujar Martha pada Dr. Adely. 

Martha khawatir kalau anak yang dikandungnya adalah hasil perkosaan yang dialaminya. Martha juga telah berencana untuk menggugurkan kandungan, tetapi kemudian dia berpikir kembali, dan berharap anak yang dikandungnya benar-benar anaknya bersama sang suami.

Seiring usia kandungan yang kian besar, Marta terus diliputi waswas. Antara ketakutan jika anak yang akan dilahirkannya adalah hasil perkosaan, dan harapan bahwa anak yang akan dilahirkannya adalah anak yang memang telah lama ia harapkan bersama suami tercinta.

Maret 1993, akhirnya Martha melahirkan seorang bayi perempuan. Ketika menyadari bayi itu berkulit hitam, tangis Martha pecah, dan seketika menyadari itu “bukan bayinya”.

“Kami sangat putus asa waktu itu,” cerita Martha. “Kami sempat terpikir untuk mengirim bayi itu ke panti asuhan. Tetapi... saat mendengar suara tangisnya, kami sungguh tidak tega.”

Lebih dari itu, Martha menyadari bahwa dia telah mengandung bayi perempuan itu, dan melahirkannya hingga memiliki nyawa. Akhirnya, setelah mempertimbangkan bersama sang suami, mereka pun memutuskan untuk merawat si bayi, dan memberinya nama Monika. Waktu demi waktu, Monika terus tumbuh, dan Martha maupun suami sangat menyayanginya. Sampai peristiwa leukemia itu terjadi.

Mendengar semua tuturan itu, mata Dr. Adely berkaca-kaca. Ia pun akhirnya menyadari mengapa Martha tampak sangat ketakutan jika harus memiliki anak lagi untuk dijadikan donor bagi Monika. Karena, meski Martha melahirkan sepuluh anak lagi pun, tetap saja belum tentu cocok menjadi donor sumsum tulang, karena mereka memiliki gen ayah yang berbeda.

Setelah terdiam cukup lama, Dr. Adely akhirnya berkata, “Sepertinya kalian harus menemukan ayah kandung Monika. Mungkin sumsum tulangnya cocok, hingga ia bisa menjadi donor.”

Saran itu membuat Martha terdiam kebingungan. Masalahnya, dia sama sekali tidak pernah lagi bertemu lelaki yang dulu memperkosanya, dia bahkan tidak tahu siapa orangnya. Bagaimana mereka harus menemukan si lelaki? Peristiwa itu telah terjadi sepuluh tahun yang lalu, dan Martha bahkan telah lupa sama sekali wajah si lelaki.

Dr. Adely kembali memberi saran, “Mungkin kita bisa mencoba mencarinya dengan membuat iklan di media massa. Siapa tahu dia menemukan iklan tersebut, dan hatinya terketuk untuk menolong. Tetapi... apakah kalian bersedia membiarkan dia muncul kembali dalam kehidupan kalian?”

Martha menjawab, “Demi anak, aku bersedia berlapang dada memaafkannya. Jika dia bersedia muncul untuk menyelamatkan Monika, aku tidak akan memperkarakannya.”

Setelah mempertimbangkan banyak hal, Martha dan Peterson memutuskan untuk memasang iklan di berita pencarian orang di koran, menggunakan nama samaran.

November 2002, iklan yang dipasang Martha termuat di koran lokal Italia. Iklan pencarian orang itu berisi permohonan kepada sang pelaku pemerkosaan agar bersedia muncul, demi menolong nyawa seorang anak perempuan penderita leukemia.

Dalam iklan itu juga dijelaskan mengenai peristiwa perkosaan yang terjadi, waktu dan tempatnya, dan penjelasan bahwa si pelaku adalah lelaki berkulit hitam. Seusai perkosaan itu, si wanita hamil, hingga melahirkan seorang anak perempuan. Kini, anak perempuan itu menderita leukemia, dan satu-satunya pertolongan yang bisa diharapkan adalah adanya donor sumsum tulang dari ayah biologisnya.

Dalam iklan itu juga diberi keterangan, bahwa jika si pelaku yang dimaksud membaca iklan tersebut, bisa mengubungi Dr. Adely di RS Elizabeth.

Begitu iklan terbit, seketika masyarakat gempar. Selama berhari-hari kemudian, mereka membicarakan iklan itu, dan mengira-ngira apakah si pelaku pemerkosaan berani muncul. Bagaimana pun, pelaku pemerkosaan itu sekarang menghadapi masalah besar.

Peristiwa itu telah terjadi sepuluh tahun yang lalu, dan bisa jadi si pemerkosa sekarang telah memiliki istri dan anak-anak. Jika dia berani muncul untuk memenuhi iklan tersebut, dia tidak hanya akan berhadapan dengan tuntutan hukum, tapi juga kemungkinan rusaknya rumah tangganya sendiri. Sebaliknya, jika dia memilih bungkam, sekali lagi dia telah melakukan dosa besar tak terampuni, yaitu menyebabkan kematian seorang anak.

Sejak itu pula, kotak surat Dr. Adely terus menerus menerima kiriman surat, sementara teleponnya nyaris tak pernah berhenti berdering. Orang-orang ingin bertemu dengannya, ingin tahu siapa yang memasang iklan tersebut, berharap ingin bisa membantu mereka. Tetapi Dr. Adely—sebagaimana permintaan Martha—tidak pernah menyebutkan identitas pasiennya.

Seiring kegemparan yang terjadi, iklan kecil yang semula hanya terbit di koran lokal itu kemudian dimuat sebagai berita utama di koran-koran nasional. Nyaris semua orang Italia mengetahui berita itu, dan mereka—seperti jutaan orang lain—mengira-ngira apa yang akan terjadi.

Apakah lelaki yang menjadi ayah Monika berani muncul? Jika dia benar-benar muncul, apakah aturan hukum tetap bisa dilakukan, dan bagaimanakah seharusnya sikap masyarakat kepadanya? Haruskah dia menerima hukuman dan caci-maki untuk masa lalunya, ataukah dia harus menerima pujian karena keberaniannya untuk muncul demi menyelamatkan anaknya?

Kehebohan berita itu akhirnya sampai pada seseorang bernama Ajili, lelaki kulit hitam yang tinggal di daerah Napulese. Ketika pertama kali membaca berita tersebut, Ajili kalut, dan perasaannya kacau tak karuan. Ia tahu, lelaki yang dicari koran-koran itu adalah dirinya.

Saat ini, Ajili adalah pengelola toko minuman berusia 30 tahun, dan dihormati warga di tempatnya sebagai orang kaya yang baik. Dia memiliki istri dan tiga anak yang lucu, dan segalanya tampak baik-baik saja. Tetapi, diam-diam, Ajili menyimpan lembaran hitam dari masa lalu... sebuah mimpi terburuk dalam hidupnya yang terjadi suatu malam berhujan, 17 Mei 1992.

Lanjut ke sini: Jalinan Takdir (2)

Dilema di Kamar Mandi

Saya kerap mengalami dilema, yang terjadi hampir setiap hari.

Biasanya, siang menjelang sore, badan terasa panas, dan saya ingin mandi. Saya berpikir, “Pasti enak sekali, mandi pas panas gini.”

Sesampai di kamar mandi, dilema terjadi. Mungkin karena efek ruangan kamar mandi, badan jadi terasa dingin, dan saya berpikir, “Waduh, dingin gini. Jadi males mau mandi.”

Lalu saya keluar dari kamar mandi.

Gebleknya, hal yang sama terulang setiap hari. Siang menjelang sore, badan terasa panas. Dengan hati ringan, saya melangkah ke kamar mandi. Sesampai di kamar mandi, tiba-tiba badan terasa dingin. Lalu keluar lagi dari kamar mandi.

Dan begitu seterusnya... mungkin sampai kiamat.

 
;