Jumat, 04 Agustus 2017

Di Simpang Dilema

Membaca berita-berita hukum dan kriminal
akhir-akhir ini, membuatku makin percaya bahwa manusia
memang serigala bagi manusia lain.
@noffret


Salah satu video mengerikan yang pernah saya tonton di YouTube adalah penjambret yang dihakimi massa secara brutal. Dalam video itu terlihat seorang lelaki (mungkin usianya 25 tahunan) meringkuk di dalam selokan, sementara orang-orang di sekelilingnya melempari batu. Lelaki dalam selokan itu mungkin sekarat, tapi orang-orang tampak tak peduli. Bahkan, mereka kemudian mengambil sepeda motor, dan menghantamkannya ke tubuh lelaki dalam selokan.

Berdasarkan keterangan yang tertulis di bawah video, lelaki itu penjambret yang tertangkap. Berlokasi di dekat sebuah pasar, dua lelaki menaiki sepeda motor, dan menjambret tas serta kalung seorang wanita yang juga mengendarai sepeda motor. Wanita yang menjadi korban penjambretan terjatuh dari motornya, sementara dua penjambret kabur.

Peristiwa itu diketahui orang-orang di sana, yang segera mengejar dua pelaku. Dua penjambret pun tertangkap, dan hasilnya sudah bisa diduga—mereka dihakimi massa dengan buas. Mungkin karena massa sudah sangat marah terhadap kejahatan-kejahatan yang biasa terjadi, mereka pun melampiaskan kemarahan kepada dua penjambret yang tertangkap tersebut.

Dua penjambret, yang sama-sama lelaki 25 tahunan, dianiaya habis-habisan, lalu massa yang marah melemparkan tubuh mereka ke selokan. Dua penjambret yang sudah terluka parah hanya bisa meringkuk di dalam selokan, dengan tubuh telanjang, lalu massa melempari mereka dengan batu-batu. Terakhir, bersama kemarahan yang tak juga padam, massa mengambil sepeda motor pelaku, dan menghantamkannya ke tubuh mereka. Sepeda motor itu menindih seorang pelaku yang kemudian tewas dalam selokan.

Berdasarkan suara-suara yang saya dengar dalam video, peristiwa itu terjadi di Indonesia. Selama adegan dalam video berlangsung, tidak tampak polisi satu pun, jadi massa bisa melampiaskan kemarahan sepuasnya. Bahkan, ketika dua pelaku kejahatan sudah mati pun, massa tampaknya belum puas. Di video, saya melihat seorang ibu-ibu yang menginjak-injak tubuh si pelaku dengan wajah penuh kemarahan.

Banyak video semacam itu di YouTube, bahkan saya juga cukup sering menyaksikan peristiwa semacam itu di dunia nyata. Seorang atau dua orang penjahat tertangkap, lalu dihakimi massa dengan buas, hingga penjahat-penjahat itu luka-luka atau bahkan sampai tewas.

Kadang-kadang saya kasihan pada penjahat-penjahat yang tertangkap tersebut. Mereka orang-orang kecil yang mungkin menghadapi himpitan hidup, dan terpaksa melakukan kejahatan demi bertahan hidup, atau untuk menghidupi anak-istri. Tapi mereka kemudian tertangkap, dan menghadapi konsekuensi mengerikan. Tubuh penuh luka, atau bahkan sampai mati karena teraniaya massa yang marah.

Yang punya perasaan semacam itu tentu bukan cuma saya. Banyak orang yang juga merasakan hal sama—kasihan, dan berharap penjahat-penjahat yang tertangkap tidak dianiaya. Orang sering mengatakan, “Jangan main hakim sendiri.”

Tetapi, ketika saya mengatakan hal itu pada seorang teman, dia menjawab, “Kamu bisa mengatakan seperti itu, karena mungkin belum pernah menjadi korban kejahatan. Kamu bisa memiliki rasa kasihan pada penjahat, karena belum menjadi korban kejahatan mereka. Kalau kamu juga pernah menjadi korban kejahatan, kamu pasti ingin membunuh mereka!”

Teman yang mengatakan kalimat itu bernama Adib. Dia pernah menjadi korban kejahatan, dan sampai saat ini masih memendam dendam kepada penjahat—bahkan penjahat mana pun.

Dulu, Adib pernah membeli motorsport keluaran baru, yang ia beli secara cash di dealer. Tetapi, baru dua bulan dia memiliki, motor kesayangan itu hilang. Ceritanya, Adib masuk ke sebuah toko ponsel, dan memarkir motornya di depan toko. Dia telah mengunci motor tersebut. Tetapi, saat ia keluar dari toko, motor itu raib. Wilayah di sekitar toko tidak ada CCTV, sehingga Adib tidak bisa melacak pencuri motornya.

Sampai berbulan-bulan kemudian—bahkan sampai hari ini—motor itu tidak pernah ditemukan. Adib telah melaporkan kepada polisi, tapi tidak ada hasil. Adib telah berupaya mencarinya ke tempat-tempat yang kadang digunakan untuk transaksi motor bodong (motor yang tidak dilengkapi surat-surat), tapi motornya tidak juga ditemukan. Itulah awal mula dendam kesumat Adib kepada penjahat.

Sejak itu, kapan pun dia mendapati ada penjahat yang tertangkap—entah mencopet, mencuri, menjambret, atau lainnya—Adib akan melampiaskan dendam dan kemarahannya habis-habisan. Bahkan, dia tidak segan untuk mengejar penjahat kapan pun ada kesempatan, dan dia akan melakukannya sepenuh hati, habis-habisan, sampai si penjahat tertangkap. Biasanya, penjahat yang bertemu Adib mengalami nasib mengerikan.

Saya pernah bertanya kepadanya, “Kalau umpama kamu menemukan orang yang dulu mencuri motormu, apa yang kira-kira akan kamu lakukan?”

“Aku akan membakarnya hidup-hidup,” jawabnya spontan.

Mengingat perangainya yang memang berangasan, saya tidak ragu kalau Adib akan melakukan yang dikatakannya. “Untung”, orang yang mencuri motor Adib sampai sekarang tidak diketahui, dan Adib tidak sempat melihat wajahnya. Kalau saja Adib sempat melihat wajah si pencuri—misal lewat CCTV—hampir bisa dipastikan dia akan mengejarnya, bahkan sampai ke ujung neraka.

Omong-omong soal CCTV, ada video lain yang saya lihat di YouTube, yang memperlihatkan rekaman CCTV. Berdasarkan video yang saya tonton, CCTV itu tampaknya dipasang untuk memantau trotoar di depan sebuah gedung bank.

Mula-mula, ada sepeda motor matic terparkir di atas trotoar. Tidak lama setelah itu, muncul dua lelaki berboncengan naik motor—keduanya berpenampilan seperti anak kuliahan, dengan tas di punggung. Dua lelaki yang masih muda itu mendekati motor matic yang terparkir di trotoar, memandanginya sejenak, lalu salah satu dari mereka turun dari motor. Waktu itu, sempat ada orang-orang lain yang kebetulan melintas di dekat mereka, tapi tampaknya tidak ada yang curiga.

Setelah tempat itu sepi kembali, salah satu lelaki tadi mengambil kunci dari dalam sakunya, lalu menggunakannya untuk mengutak-atik motor matic di atas trotoar. Sesaat kemudian, motor matic sudah bisa dikuasai. Lelaki itu segera mengendarainya, lalu kabur bersama temannya yang naik motor sendiri. Seketika, orang-orang dari halaman bank keluar berhamburan sambil berteriak-teriak marah. Jelas sudah, dua lelaki itu mencuri motor matic tadi.

Betapa mudah melakukan kejahatan, pikir saya saat menyaksikan video itu. Orang bisa saja mendatangi milikmu, lalu mereka menguasainya dengan mudah, dan membuatmu kehilangan. Mungkin tidak terlalu masalah kalau kau bisa membeli motor semudah membalik telapak tangan. Tapi bagaimana kalau si pemilik motor yang dicuri tadi orang miskin, yang mengandalkan motor satu-satunya untuk menjalani hidup?

Ketika menyaksikan video CCTV yang merekam adegan pencurian itu, saya mulai memahami kenapa banyak orang sangat marah pada penjahat yang kebetulan tertangkap. Orang-orang itu mungkin pernah menjadi korban kejahatan, kehilangan sesuatu yang berharga, dan tidak bisa mendapatkannya kembali, lalu memendam amarah dan dendam. Akibatnya, setiap kali mendapati penjahat yang tertangkap, mereka pun meluapkan kemarahan dan dendam mereka.

Dalam kata-kata bijak, kita tentu bisa mengatakan, tidak semua penjahat melakukan kejahatan karena memang jahat. Sebagian dari mereka melakukan kejahatan karena terpaksa, akibat dihimpit kondisi hidup, sehingga mereka terpaksa mencuri, mencopet, atau menjambret. Tapi massa yang marah—apalagi si korban kejahatan—tidak mau peduli dengan hal-hal semacam itu. Bagi mereka, penjahat tetap penjahat, apa pun motivasinya.

Lebih dari itu, massa mungkin memendam kemarahan diam-diam—sebentuk kemarahan yang terus tertahan—akibat menyaksikan penjahat-penjahat kelas kakap tidak mendapat hukuman setimpal. Mereka marah menyaksikan koruptor-koruptor yang mengisap darah rakyat bisa hidup bebas, atau hanya dihukum ringan. Mereka marah mendapati begitu banyak kejahatan yang dibiarkan, akibat uang menyuap dan membungkam keadilan.

Itu jenis kemarahan berbahaya, seperti api dalam sekam. Tidak tampak, tapi terus menyala dalam diam. Dan penjahat-penjahat kecil yang apes, yang tertangkap, menjadi sasaran nyala dendam mereka.

Menyaksikan kejahatan manusia adalah menyaksikan dilema. Kita melihat kejahatan-kejahatan besar yang tak pernah terungkap, dan pelakunya masih asyik menjalani hidup. Mereka melakukan kejahatan bukan karena terpaksa atau keterdesakan, melainkan karena kerakusan dan ketamakan. Mereka melakukan kejahatan dengan mengandalkan koneksi, jabatan, seragam, atau kesempatan mumpung punya kuasa. Kejahatan mereka sering kali besar, tapi pelakunya tak tersentuh.

Sementara, di sisi lain, kita melihat kejahatan-kejahatan kecil, atau bahkan tak seberapa, tapi pelakunya tertangkap dan harus menghadapi amukan massa yang mengerikan. Sebagian dari mereka melakukan kejahatan karena terdesak akibat himpitan hidup. Mereka melakukan kejahatan dengan mengandalkan kesempatan dan keberanian yang nekad, mempertaruhkan nyawa yang sewaktu-waktu bisa hilang. Kejahatan yang dilakukan sering kali tak seberapa, tapi pelakunya bisa terbunuh.

Kejahatan memang kejahatan, tak peduli besar atau kecil. Kejahatan tetap kejahatan, tak peduli pelakunya pejabat atau orang melarat. Yang membedakan, mungkin, alasan mereka melakukan kejahatan, dan konsekuensi yang mereka hadapi. Penjahat yang punya uang bisa aman meski melakukan kejahatan, sementara penjahat yang tak punya uang harus menghadapi konsekuensi mengerikan.

Bahkan sama-sama penjahat, si kaya dan si miskin diperlakukan berbeda. Bahkan di hadapan keadilan, yang kaya dan miskin tetap memiliki kasta.

 
;