Kalau aku jadi Mendikbud, mungkin hal pertama
yang akan kulakukan adalah... membubarkan sekolah.
—@noffret
yang akan kulakukan adalah... membubarkan sekolah.
—@noffret
Ribut-ribut soal full day school (FDS), membuat saya teringat pada famili di Bekasi. Anak famili saya sudah SMP, dan bersekolah sampai pukul lima sore. Kenyataan itu saya ketahui cukup lama, jauh sebelum muncul wacana FDS tempo hari. Saya tidak tahu apakah hal itu—sekolah sampai sore—hanya ada di Bekasi, atau juga ada di tempat lain.
Jadi, kalau saya tidak salah tangkap, anak famili saya masuk “kelas luar biasa”. Karenanya, berbeda dengan umumnya anak sekolah lain yang tengah hari sudah pulang, anak famili saya baru pulang sore hari.
Mendengar penjelasan itu, saya sempat nyeletuk, “Kalau aku, sih, mending nggak luar biasa, daripada harus sekolah sampai sore.”
Famili saya menjelaskan, meski sekolah seharian, anaknya menikmati—dalam arti tidak merasa tertekan apalagi tersiksa. Anak famili saya suka sekolah. Karenanya, ketika diminta bersekolah seharian, dia justru senang. Mendengar penuturan itu, saya ikut senang. “Syukurlah kalau begitu,” ujar saya. “Soalnya kasihan kalau anak harus sekolah seharian dengan perasaan tertekan.”
Mungkin anak famili saya tergolong “luar biasa”, hingga masuk “kelas luar biasa” dan menjalani sekolah seharian, dari pagi sampai sore, dan dapat menjalani dengan senang. Terus terang, saya jarang mendapati anak sekolah semacam itu. Kadang, saya bertanya pada keponakan-keponakan yang sudah bersekolah—sebagian dari mereka ada yang SD, ada juga yang SMP—apakah mereka senang bersekolah?
Rata-rata, mereka menjawab tidak. Saya menegaskan, “Kamu lebih suka berangkat sekolah, atau lebih suka libur?”
Jawaban mereka sama; lebih suka libur!
Sejujurnya, saya tidak terkejut mendapati jawaban semacam itu. Wong nyatanya saya juga begitu. Selama menjalani hari-hari sekolah, dari SD sampai SMA, saya menganggap dan merasakan sekolah adalah saat-saat membosankan, dan hari libur adalah waktu yang sangat menyenangkan. Jika ada hal menyenangkan di sekolah, itu adalah kesempatan bertemu teman-teman, bukan duduk di kelas dan mempelajari hal-hal yang tidak saya inginkan!
Jadi, terus terang, saya bosan sekolah, karena nyatanya sekolah adalah kegiatan yang sangat... sangat membosankan. Tetapi, meski nyaris mati karena bosan, saya tidak punya pilihan lain. Karena masyarakat akan menilaimu tidak beradab kalau kau tidak sekolah. Karena orang tuamu bisa marah kalau kau tidak sekolah. Karena dunia akan mencampakkanmu kalau kau tidak sekolah. Sebagai bocah yang masih berseragam sekolah, di hadapan tirani semacam itu, saya bisa apa?
Maka, saya pun menjalani nasib seperti yang dijalani jutaan anak Indonesia di mana pun—bangun pagi setiap hari, memakai seragam yang sama, lalu berangkat sekolah untuk menjalani setengah hari yang sangat membosankan. Dalam hal itu, saya bersyukur karena waktu itu belum ada menteri yang punya rencana mewajibkan anak sekolah sehari penuh. Wong sekolah setengah hari saja sudah tidak karuan rasanya, apalagi sekolah sehari penuh? Saya pikir, itu ide paling mengerikan yang pernah didengar anak sekolah.
Terkait sekolah, ada kebingungan yang sampai saat ini tidak mampu saya pahami. Kebingungan saya sederhana. Yaitu, kenapa rata-rata anak usia sekolah—setidaknya yang saya tahu—mengatakan tidak suka sekolah?
Kalau-kalau ada yang meragukan pernyataan itu, cobalah tanyakan pada adikmu, atau keponakanmu, atau anak tetanggamu, atau siapa pun, apakah mereka suka sekolah... atau tidak? Bahkan, jangan-jangan, kita semua sebenarnya sama-sama tidak suka sekolah. Dulu, kita berangkat sekolah saban hari bukan karena suka, tapi karena terpaksa.
Pertanyaannya, kenapa bisa begitu? Maksud saya, kenapa anak-anak bisa tidak menyukai sekolah?
Di masa sekarang, sekolah mungkin gratis, karena dibiayai pemerintah. (Meski kenyataannya masih ada berbagai iuran dan pungutan yang ujung-ujungnya tidak gratis.) Tetapi, di masa lalu, setidaknya di zaman ketika saya sekolah, setiap bulan saya harus bayar SPP (ampun, saya bahkan tidak ingat apa kepanjangan SPP.)
SPP, apa pun kepanjangannya, adalah iuran yang wajib dibayar setiap siswa sebulan sekali, sebagai semacam “pembayaran karena telah memberi pendidikan”. Untuk dapat membayar SPP, orang tua saya harus bekerja keras dan banting tulang. Jadi, orang tua saya mati-matian berusaha menyekolahkan saya, dan mereka rela melakukan apa pun agar saya bisa sekolah, sementara saya tersiksa setengah mati menjalaninya.
Kalau dipikir-dipikir, itu piye coba?
Kau bekerja mati-matian, peras keringat dan banting tulang, yang hasilnya ditujukan agar anakmu bisa sekolah. Padahal, anakmu sangat benci sekolah, dan terpaksa menjalani, karena itu diwajibkan untuk mereka. Sekali lagi, apakah kenyataan itu bisa diterima akal sehat? Semakin saya memikirkan, semakin saya yakin ada yang salah dalam hal ini.
Sekolah, sebagai penyelanggara pendidikan, mungkin perlu mengadakan semacam survei atau penelitian, untuk mendapatkan jawaban jujur dari murid-murid. Apakah mereka—murid-murid—senang sekolah, atau tidak? Lihat berapa banyak yang mengatakan senang, dan berapa banyak yang mengatakan sebaliknya. Bahkan kalau hasilnya imbang pun, saya akan takjub. Karena, dalam bayangan saya, kemungkinan besar akan lebih banyak yang mengatakan tidak senang daripada yang senang.
Anak-anak tidak senang sekolah, itu sudah jadi rahasia umum!
Di Twitter saja, tagar #BesokSenin sering menjadi trending topic, sebagai bentuk “kejengkelan” karena hari libur akan berakhir. Anak-anak sekolah senang ketika hari libur datang, dan malas—atau bahkan benci—ketika harus kembali bersekolah. Saya memaklumi hal itu, wong saya pun dulu begitu. Omong-omong, saya dulu bahkan sering bolos ke pantai, dan duduk sendirian di pantai jauh lebih menyenangkan daripada duduk di kelas mendengarkan hal-hal membosankan.
Jadi, apa sebenarnya yang terjadi dengan sekolah, dan dunia pendidikan kita? Mengapa anak-anak yang menjadi subjek sekolah justru membencinya? Siapakah sebenarnya yang paling berkepentingan terhadap sekolah? Anak-anak sekolah, ataukah guru-guru dan para pejabat terkait pendidikan? Akhirnya, siapakah yang paling berhak untuk menentukan sistem pendidikan yang akan dijalani anak-anak sekolah?
Selama berpuluh-puluh tahun, orang-orang tahu bahwa bersekolah adalah kegiatan membosankan. Yang saya pikirkan, selama berpuluh-puluh tahun itu, kenapa tidak ada satu orang pun yang mencoba dan berusaha melakukan inovasi sehingga sekolah bisa lebih baik, dan anak-anak sekolah lebih senang menjalani?
Satu per satu menteri pendidikan berganti, yang mereka lakukan bukan menjadikan aktivitas sekolah lebih nyaman dan menyenangkan, tapi justru sebaliknya. Sekolah di zaman saya, meski sulit dan membosankan dan menjengjelkan, sepertinya tidak ada apa-apanya dibandingkan sekolah di zaman sekarang yang jauh lebih sulit dan membosankan dan menjengkelkan. Terakhir, ide full day school atau sekolah seharian. Ya Tuhan, saya bersyukur sudah dewasa, dan tidak harus menjalaninya!
Jika memang menganggap sekolah penting dilakukan, jika kita memaksa anak-anak bersekolah dengan tujuan yang luhur, mestinya kita juga mempersiapkan perangkat dan sistem yang menyenangkan buat mereka... bukan malah sebaliknya! Memaksa anak-anak untuk melakukan sesuatu, tapi mereka tersiksa selama menjalaninya, dan kita memaksa mereka terus melakukan sampai bertahun-tahun... well, saya pikir itu sangat mengerikan.
Sejujurnya, saya suka belajar, bahkan sangat mencintai aktivitas belajar—sejak kecil, sampai dewasa kini. Ketika teman-teman sebaya asyik bermain, saya sudah senang belajar. Ketika teman-teman asyik nongkrong, saya lebih suka belajar. Pendeknya, saya sangat mencintai belajar, dan Tuhan—beserta para malaikat yang suci—menjadi saksi atas kebenaran kata-kata ini. Tetapi, bahkan saya yang sangat mencintai belajar pun, tetap benci sekolah. Itu piye, coba?
Jadi, sekolah itu sebenarnya apa? Waktu untuk belajar, atau untuk apa? Kalau memang sekolah adalah waktu untuk belajar, kenapa saya yang sangat mencintai belajar justru membencinya? Jelas, ada yang salah di sini. Ilustrasi mudahnya, kalau kau suka pizza dan diminta masuk kedai pizza untuk makan pizza sepuasnya, kau pasti akan senang. Kalau tidak senang, artinya ada yang salah.
Pernahkah Menteri Pendidikan—dari zaman dulu sampai sekarang—memikirkan hal sederhana itu? Pernahkah mereka bertanya-tanya, kenapa rata-rata murid sekolah tidak senang bersekolah? Lebih penting lagi, pernahkah mereka berusaha memikirkan cara agar sekolah lebih menyenangkan, sehingga murid-murid lebih senang menjalani? Saya meragukan hal itu.
Satu per satu Menteri Pendidikan berganti, kurikulum demi kurikulum berubah, sistem pengajaran diperbarui, tapi hasilnya tetap sama. Anak-anak sekolah benci sekolah. Masalahnya, dalam pikiran saya, karena para menteri itu berpikir egois—menggunakan kepalanya sendiri, dan menganggap anak-anak sekolah sekadar sebagai benda yang dapat diperlakukan seenaknya.
Mungkin akan lebih baik kalau para menteri berhenti berpikir macam-macam, terkait pendidikan dan sekolah. Sebagai gantinya, cobalah tanyakan pada murid-murid sekolah, “Bagaimana sekolah yang kalian inginkan, agar kalian rajin sekolah, dan tidak ingin pulang?”
Minta mereka menyebutkan sekolah macam apa yang ingin mereka jalani, kumpulkan semua jawaban dan masukan, lalu susunlah kurikulum berdasarkan jawaban dan masukan tersebut. Itu baru aturan yang fair. Bagaimana pun, subjek terpenting di sekolah adalah murid—bukan guru atau kurikulum.
Kita bisa menyediakan sejuta guru dan kurikulum sehebat apa pun. Tapi kalau murid tidak suka, persetan dengan semuanya.
Jadi, saya pikir, itulah masalah di dunia sekolah Indonesia. Yaitu menganggap kurikulum sebagai berhala, sembari melupakan anak-anak sekolah adalah manusia. Orang-orang dewasa merancang sistem untuk anak-anak sekolah, tapi anak-anak sekolah tidak pernah didengar apalagi diminta masukannya. Menteri pendidikan berpikir apa yang terbaik baginya, tapi mungkin lupa memikirkan apa yang terbaik menurut anak sekolah. Sebentuk kekacauan yang benar-benar bermasalah.
Sampai hari ini, saya masih suka belajar. Dan sampai hari ini, saya masih benci sekolah.