Selasa, 01 Agustus 2017

Jalinan Takdir (2)

Catatan ini lanjutan catatan sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah catatan sebelumnya terlebih dulu.
 
***

Sejak kecil, Ajili telah menjadi yatim piatu. Kondisi kemiskinan menjadikannya tidak mampu mengenyam bangku pendidikan. Saat remaja, dia bekerja sebagai tukang cuci piring di sebuah restoran. Dia menjalani pekerjaan itu dengan baik, dan berharap pekerjaannya bisa memberi masa depan yang baik. Tetapi, sayang, majikan Ajili benar-benar buruk. Selain tidak bisa menghargai pekerjaan karyawan, sang majikan juga sangat rasialis. Sebagai orang berkulit hitam, Ajili kerap menjadi sasaran kemarahan majikannya.

Selama waktu-waktu itu, Ajili berusaha bertahan. Bagaimana pun, dia membutuhkan pekerjaan, agar bisa makan. Tetapi, makin lama, perlakuan majikannya semakin buruk dan makin memburuk. Nyaris setiap hari Ajili menjadi sasaran caci-maki dan pukulan, tendangan, atau sikap merendahkan lainnya.

Sampai kemudian, hari bersejarah itu tiba. Hari itu, 17 Mei 1992, Ajili berulang tahun ke-20. Ia berencana pulang kerja lebih awal, karena ingin merayakan ulang tahunnya, meski sendirian. Jadi, sepanjang hari itu, Ajili pun bekerja dengan lebih giat, berharap bisa lebih cepat selesai. Sial, saat bekerja hari itu, tanpa sengaja Ajili menjatuhkan sebuah piring, dan pecah. Sang majikan pun seketika murka.

Waktu itu Ajili sangat kalut. Dia berulang tahun, ingin pulang lebih awal, agar bisa merayakan hari istimewanya. Tapi sekarang dia menghadapi kenyataan yang sangat buruk. Majikan Ajili, yang murka melihat piringnya pecah, memukul kepala Ajili, dan memaksanya untuk memakan pecahan piring tersebut.

Ajili tak tahan lagi dengan perlakuan majikannya yang sewenang-wenang. Dia begitu marah, hingga nekat memukul sang majikan. Setelah itu, dengan amarah membara, dia berlari meninggalkan restoran, sambil bertekad membalas dendam pada orang kulit putih.

Malam itu hujan turun sangat lebat. Jalanan Way Eli, yang biasa sepi, malam itu benar-benar senyap. Saat tiba di jalanan itu, Ajili melihat seorang perempuan kulit putih, dan seketika pikiran jahatnya muncul. Dia seperti menemukan sasaran pembalasan dendam akibat majikannya yang rasialis. Ajili pun memperkosa perempuan tak berdosa itu di sana, lalu pergi meninggalkannya.

Seusai melakukan kejahatan itu, Ajili panik dan ketakutan. Malam itu juga, dia menggunakan uang ulang tahunnya untuk membeli tiket kereta api menuju Napulese, dan berharap bisa menyembunyikan diri di sana selamanya.

Di Napulese, Ajili berusaha mencari pekerjaan, dan sekali lagi dia diterima bekerja di restoran. Restoran itu dimiliki pasangan suami istri asal Amerika, dan Ajili menganggap mereka majikan yang sangat baik. Ajili bekerja dengan giat di restoran itu, dan majikannya pun menghargai pekerjaan Ajili. Seiring waktu berlalu, seiring makin memperoleh kepercayaan majikannya, Ajili diserahi tugas untuk mengelola toko minuman, yang juga dimiliki pasangan Amerika tersebut.

Di bawah kepengurusan Ajili, toko minuman itu makin ramai, dan makin menghasilkan banyak keuntungan. Majikan Ajili sangat mengagumi kerja keras lelaki itu. Rupanya, anak perempuan mereka juga sama mengagumi Ajili.

Pasangan Amerika itu memiliki anak perempuan, bernama Lina. Sebagaimana orang tuanya, Lina juga mengagumi semangat kerja Ajili. Saat akhirnya Lina berencana menikahi Ajili, kedua orang tuanya pun mendukung. Lalu mereka menikah, hingga memiliki tiga anak.

Selama waktu-waktu itu, Ajili menjalani kehidupan dengan baik. Dia mengurus toko dengan baik, memperlakukan para karyawan dengan baik, dan dia pun dikenal orang-orang sebagai pengusaha yang baik. Tetapi, selama waktu-waktu itu pula, diam-diam Ajili menyimpan kegelisahan yang tak pernah diungkapkan kepada siapa pun. Dia selalu memohon ampun pada Tuhan, dan berharap Tuhan melindungi wanita yang pernah diperkosanya, berharap wanita itu dapat hidup tenteram dan damai.

Jadi, ketika suatu pagi dia membuka koran, dan membaca berita mengenai seorang anak perempuan yang membutuhkan donor sumsum tulang, Ajili benar-benar terpaku, dan nyaris tak percaya. Dia tidak pernah membayangkan wanita malang itu mengandung anaknya, bahkan memikul tanggung jawab memelihara anak yang pasti tak dikehendakinya.

Hari itu, Ajili beberapa kali mencoba menelepon Dr. Adely, nama yang tertulis dalam berita yang dibacanya. Tetapi, setiap kali, dia tidak mampu melakukannya, dan menutup telepon kembali.

Hatinya berperang diam-diam. Jika dia mengakui dosa masa lalunya, orang-orang akan tahu keburukannya, istri dan anak-anaknya juga belum tentu bisa menerima. Ia akan kehilangan keluarganya, dan bisa jadi akan kehilangan semua hasil kerja kerasnya bertahun-tahun, karena tak menutup kemungkinan dia akan dihukum atas kejahatan yang pernah dilakukannya.

Tetapi, jika dia tidak mau keluar dari persembunyiannya, nyawa seorang anak perempuan tak berdosa kini menjadi taruhan. Jika dia tidak mau keluar dan menemuinya, dia akan melakukan dosa dua kali. Dan, kali ini, kepada anaknya sendiri.

Malam hari, saat makan bersama keluarga, Lina—istri Ajili—membahas berita yang waktu itu sedang dibicarakan banyak orang, yaitu kasus Martha yang sedang mencari ayah biologis untuk menolong putrinya yang kini menderita leukemia.

“Aku sangat mengagumi Martha,” ujar Lina. “Kalau aku yang ada di posisinya, aku pasti tidak akan memiliki keberanian memelihara anak hasil perkosaan itu. Aku juga sangat mengagumi suami Martha. Dia sungguh pria yang patut dihormati, karena mampu menerima kenyataan itu dengan baik.”

Ajili termenung mendengar ucapan istrinya. Kemudian, sambil memberanikan diri, Ajili berkata, “Bagaimana pendapatmu mengenai si pemerkosa?”

“Aku tidak akan memaafkannya sedikit pun!” jawab Lina seketika. “Di masa lalu, dia telah melakukan kejahatan perkosaan. Sekarang, dia kembali melakukan kejahatan, dengan membiarkan anak biologisnya sekarat karena penyakit, dan tidak mau datang menolong. Dia pasti benar-benar egois, pengecut, dan rendah!”

Larut malam, Ajili belum juga bisa tertidur. Pikirannya gelisah, dan hatinya terus berperang. Istrinya telah tertidur nyenyak di sampingnya. Ajili bangkit dari tempat tidur, dan mendatangi kamar anaknya. Melihat tiga putrinya sedang terlelap, Ajili merasakan hatinya tertusuk perih. Bersandar di pintu kamar, Ajili tak mampu menahan isak.

“Aku selalu percaya aku orang baik,” batinnya. “Tapi apakah aku benar-benar baik? Ataukah sebenarnya aku sangat jahat?”

Semakin hari, kegelisan yang dirasakan Ajili makin menguat, hingga istrinya mulai menyadari ada yang tidak beres. Ajili masih mencoba meyakinkan semuanya baik-baik saja. Tetapi Ajili tahu, kenyataannya tidak baik-baik saja. Ada seorang anak perempuan yang sekarat, dan satu-satunya orang yang bisa menolong adalah dirinya.
  
Setelah berhari-hari nuraninya berperang, Ajili memberanikan diri untuk menghubungi Dr. Adely. Saat teleponnya diterima, Ajili berbicara sedatar mungkin, “Dokter, saya ingin sekali tahu bagaimana keadaan anak perempuan yang menderita leukemia, yang beritanya tersebar luas itu. Apakah ayahnya sudah datang?”

Dr. Adely memberitahukan keadaan Monika apa adanya, dan menyatakan dengan lelah, “Entahlah, apakah anak malang itu dapat menunggu hari kemunculan ayah kandungnya.”

Kalimat terakhir itu seperti pisau yang menusuk jantung Ajili. Anak perempuan itu menunggu, pikirnya. Anak perempuan yang kini sekarat itu menunggunya, dan akan mati jika dirinya tidak datang.

Akhirnya, Ajili pun membulatkan tekad untuk menolong Monika. Dia telah melakukan kesalahan satu kali, dan dia bertekad untuk tidak meneruskan kesalahan ini. Malam hari, Ajili memberanikan diri untuk memberitahu kenyataan tersebut kepada Lina, istrinya. Ia menceritakan peristiwa yang terjadi sepuluh tahun lalu, tentang wanita yang pernah diperkosanya, dan Ajili menyatakan, “Sangat mungkin kalau akulah ayah Monika yang sekarang mereka cari.”

Lina sangat terkejut mendengar pengakuan itu, dan dia sangat marah. Malam itu juga, setelah mencaci suaminya, Lina memutuskan pulang ke rumah orang tuanya dengan membawa tiga anaknya.

Orang tua Lina terkejut mendapati putri mereka datang mendadak, dalam keadaan kusut. Selama bertahun-tahun setelah menikah dengan Ajili, Lina selalu tampak bahagia, dan rumah tangga mereka baik-baik saja. Jadi, mereka pun menanyakan masalah apa yang sedang terjadi, dan Lina menceritakan semuanya.

Semula, orang tua Lina juga marah dengan kenyataan itu. Tetapi, kemudian, mereka menyatakan, “Tentu saja kita patut marah pada perbuatan Ajili di masa lalu. Tapi cobalah pikirkan dengan kepala dingin. Sebenarnya, dia bisa saja tetap menyimpan hal itu, dan kita tidak tahu. Bagaimana pun, dia pasti membutuhkan keberanian yang sangat besar untuk memberitahu kenyataan itu, dan artinya dia masih memiliki hati nurani. Jadi, apakah kau mengharapkan suami yang pernah melakukan kesalahan tapi kini mau memperbaiki diri, ataukah kau mengharapkan suami yang selamanya menyimpan keburukan tanpa pernah mengatakannya kepadamu?”

Kata-kata itu akhirnya menyadarkan Lina. Bagaimana pun, Ajili selama ini telah menjadi suami yang baik. Kenyataan bahwa sekarang dia mau memperbaiki kesalahan yang dulu pernah dilakukannya, itu juga menunjukkan suaminya memang orang baik. Akhirnya, keesokan pagi, Lina pulang menemui Ajili. Kepada suaminya, yang tampak belum tidur, Lina berkata, “Temuilah Dr. Adely. Aku akan menemanimu.”

Pada 3 Februari 2003, Ajili menghubungi Dr. Adely, dan Ajili mengungkapkan siapa dirinya. Lima hari kemudian, ditemani istrinya, Ajili datang ke RS Elizabeth untuk melakukan pemeriksaan DNA. Hasilnya, berdasarkan pemeriksaan DNA, Ajili benar-benar ayah Monika.

Ketika Dr. Adely menyampaikan kabar itu pada Martha, bahwa pemuda kulit hitam yang dulu pernah memperkosanya kini telah datang untuk menolong Monika, Martha tak dapat menahan tangisnya. Selama sepuluh tahun dia memendam dendam terhadap Ajili, kepada lelaki yang pernah memperkosanya, namun kini dia hanya diliputi perasaan terharu.

Kabar munculnya ayah biologis Monika tercium pers. Tetapi, pihak rumah sakit, juga Dr. Adely, menutup rapat-rapat semua identitas. Mereka hanya mengonfirmasi bahwa ayah kandung Monika telah ditemukan.

Sekali lagi masyarakat Italia dilanda kegemparan. Mereka terus menerus menghubungi Dr. Adely dan rumah sakit, menyatakan ingin menyampaikan kemarahan sekaligus penghormatan mereka kepada lelaki kulit hitam itu. Seorang warga yang diwawancarai salah satu koran di sana, menyatakan, “Mungkin dia pernah melakukan tindak pidana, namun saat ini dia seorang pahlawan.”

Pada 18 Februari 2003, pasangan Ajili dan Lina dipertemukan dengan pasangan Marta dan Peterson. Sebenarnya, semula, Ajili tidak berani menemui Martha. Namun, setelah Martha meminta, Ajili menyetujui pertemuan itu.

Saat melihat Martha, setelah sepuluh tahun berlalu, Ajili merasakan wajahnya sendiri memucat. Martha dan suaminya datang, dengan wajah lelah, dan mereka saling berjabat tangan. Lalu hening. Karena air mata runtuh.

Saat akhirnya bisa membuka mulutnya, Ajili berkata kepada Martha, dengan suara di antara isak, “Tolong... tolong maafkan aku.”

Itu ucapan yang telah dipendamnya dalam hati selama sepuluh tahun. Selama bertahun-tahun, dia memendam ucapan itu sendirian, mengulanginya berulang-ulang, dalam keheningan. Sekarang dia dapat mengucapkannya, kepada orang yang harus mendengarnya, dan Ajili merasakan beban berat diangkat dari pundaknya.

Martha mengangguk, dan mengatakan, “Terima kasih kau mau datang. Semoga Tuhan memberkatimu.”

Pada 19 Februari 2003, para dokter melakukan pemeriksaan sumsum tulang belakang Ajili. Pemeriksaan mereka menemukan kecocokan dengan sumsum tulang Monika. Akhirnya, pada 22 Februari 2003, bersama harapan dan doa-doa warga Italia yang terus mengikuti perkembangan berita itu, Monika menerima donor sumsum tulang belakang Ajili, ayah kandungnya, dan anak perempuan itu akhirnya berhasil melewati masa kritis. Satu minggu kemudian, Monika diizinkan meninggalkan rumah sakit, dan warga Italia hanyut dalam kegembiraan.

Martha dan suaminya telah memaafkan Ajili sepenuhnya, dan secara khusus mengundang Ajili, juga Dr. Adely, untuk datang ke rumah merayakan kesembuhan Monika. Dr. Adely datang memenuhi undangan tersebut, namun Ajili tidak datang. Dr. Adely menyampaikan surat yang dititipkan Ajili untuk Martha serta suaminya, dan berikut ini isi suratnya,

“Aku tidak ingin kembali mengganggu kehidupan tenang kalian. Aku berharap Monika bahagia bisa hidup dan tumbuh dewasa bersama kalian. Bila kalian menghadapi kesulitan apa pun, harap hubungi aku. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membantu.

“Aku sangat berterima kasih pada Monika, dari dalam lubuk hatiku terdalam. Dialah yang memberiku kesempatan untuk menebus dosa. Dialah yang membuatku dapat memiliki kehidupan yang benar-benar bahagia, di sisa hidupku selanjutnya.”

 
;