Bagiku, merdeka adalah belajar dengan baik,
bekerja dengan baik, dan menjalani hidup dengan baik,
tanpa dipaksa atau diperintah siapa pun.
—@noffret
bekerja dengan baik, dan menjalani hidup dengan baik,
tanpa dipaksa atau diperintah siapa pun.
—@noffret
Perayaan menyambut Hari Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus, sepertinya telah banyak berubah. Setidaknya, yang saya lihat di masa sekarang jauh berbeda dengan yang saya lihat di masa kecil dulu. Entah perubahan ini hanya terjadi di tempat tinggal saya, atau juga terjadi di tempat-tempat lain.
Dulu, waktu saya masih kecil, perayaan Agustusan sangat meriah. Setiap depan gang atau kampung, di masa itu, dihias aneka pertunjukan—bukan hanya sekadar gapura yang dicat seperti sekarang. “Pertunjukan” yang ada di depan kampung itu berupa panggung yang diisi orang-orangan (seperti maneken) yang bisa bergerak-gerak statis, namun menarik ditonton, yang merupakan hasil kreativitas warga setempat. Orang-orang, di tempat saya tinggal, menyebutnya “seketeng”.
Ada kalanya, “orang-orangan” di atas panggung itu diganti orang beneran (benar-benar orang hidup), tapi dirias dan bergerak-gerak statis mirip orang-orangan. Saya tidak bisa membayangkan seperti apa capeknya mereka yang berperan sebagai orang-orangan di atas panggung, karena harus bergerak-gerak statis terus menerus, dari usai isya sampai tengah malam.
Pertunjukan-pertunjukan di depan gang atau kampung itu digelar serentak pada malam 17 Agustus. Jadi, setiap malam 17 Agustus, jalan raya di mana pun akan penuh sesak oleh ribuan orang yang saling berdesakan untuk melihat aneka pertunjukan, yang dipertontonkan di panggung-panggung depan kampung. Seisi kota benar-benar meriah oleh aneka pertunjukan yang digelar di mana-mana.
Saya menyaksikan peristiwa itu ketika masih kecil, waktu awal SD. Setelah itu, aneka pertunjukan dan keramaian menyambut 17 Agustus perlahan-lahan pudar. Makin tahun, makin sedikit tempat yang membuat pertunjukan di depan kampung, dan semakin surut pula orang-orang yang menonton. Puncaknya, pagelaran meriah itu benar-benar hilang. Sejak itu pula, setiap 17 Agustus, kampung-kampung hanya mengecat atau memperbarui gapura.
Selain aneka pertunjukan di depan kampung, di masa lalu juga ada “karnaval tujuh belasan”, yaitu karnaval akbar yang—kalau tak salah ingat—diadakan setiap 18 Agustus.
Jadi, di waktu saya kecil dulu, setiap 18 Agustus nyaris semua warga kota akan berdatangan ke jalan-jalan utama, tempat karnaval akan berlangsung. Para peserta karnaval berasal dari sekolah-sekolah—TK hingga Perguruan Tinggi—organisasi-organisasi pemerintah maupun swasta, sampai masing-masing kelurahan dan kecamatan.
Masing-masing sekolah, masing-masing organisasi/institusi, maupun masing-masing kelurahan/kecamatan, mempertunjukkan aneka tontonan menarik—meski ada pula yang biasa-biasa saja. Karnaval itu dimulai habis dhuhur (sekitar pukul 13.00 siang), dan selesai menjelang maghrib. Peserta karnaval jumlahnya ribuan, sementara yang menonton jauh lebih banyak. Jadi, siang sampai sore, jalan-jalan utama seperti lautan manusia.
Biasanya, dan hampir bisa dipastikan, karnaval yang panjangnya luar biasa itu diawali oleh pasukan drumband Al-Irsyad. Bagi yang mungkin belum tahu, drumband Al-Irsyad disebut-sebut sebagai pasukan drumband terbaik di Indonesia. Kenyataannya, atraksi drumband mereka benar-benar memukau.
Jadi, ketika dari kejauhan sudah terdengar suara drumband mereka, ribuan orang yang berdiri di pinggir-pinggir jalan pun serentak bersiap menyambut kedatangan karnaval.
Atraksi drumband Al-Irsyad, yang merupakan front terdepan karnaval, biasanya mempertontonkan kehebatan mereka di jalanan, dan orang-orang terpukau. Kumpulan orang berseragam khas dengan aneka alat musik itu sangat tahu bagaimana menyuguhkan atraksi musik drumband yang indah sekaligus mewah, dan semua orang ingin melihat mereka.
Setelah pasukan drumband Al-Irsyad berlalu, di belakangnya ada ratusan rombongan karnaval lain—dari sekolah-sekolah, dari organisasi-organisasi, dari perusahaan-perusahaan, sampai rombongan karnaval dari kampung-kampung yang mewakili kelurahan atau kecamatan. Dalam hal itu, salah satu peserta karnaval yang juga ditunggu banyak orang adalah pasukan “drumband” anak-anak, yang dipimpin seorang lelaki hebat bernama Abdul Matin.
Abdul Matin adalah tokoh legenda di kampung saya. Ketika saya masih kecil dulu, Pak Abdul Matin sudah tergolong sepuh, dan anak-anak—juga orang-orang di kampung kami—biasa memanggil lelaki itu dengan sebutan Pak Dul atau Pak Dul Matin. Yang menjadikan Pak Dul Matin terkenal, bahkan menjadi legenda, karena dia memiliki semangat yang tidak dimiliki kebanyakan orang.
Setiap menjelang Agustusan, Pak Dul Matin mengumpulkan anak-anak kecil di kampung kami, untuk dibentuk menjadi “pasukan drumband”. Ada banyak sekali anak-anak yang tertarik ikut, dan mereka dilatih Pak Dul Matin untuk menyuguhkan atraksi drumband yang menarik.
Yang menarik dari pasukan drumband anak-anak itu bukan drumband-nya, melainkan semangatnya. Semangat dari seorang lelaki tua yang berusaha menularkan semangat di jiwanya kepada anak-anak.
Jadi, berbeda dengan pasukan drumband Al-Irsyad yang mewah dan megah, pasukan drumband Pak Dul Matin sangat sederhana. Pasukan drumband itu tidak dijalankan orang-orang dewasa, melainkan anak-anak. “Alat musik” yang dijadikan instrumen drumband bukan alat-alat mahal dan besar, melainkan kaleng biskuit Kong Guan kotak, yang diikat tali rafia. Sementara alat pemukulnya menggunakan bilah kayu yang berasal dari potongan bambu.
Ada sekitar 20-30-an anak yang biasanya menjadi pasukan drumband Pak Dul Matin, dan mereka berlatih sungguh-sungguh setiap menjelang Agustusan. Dalam pasukan drumband istimewa itu, Pak Dul Matin menjadi mayoret. Tetapi, berbeda dengan mayoret drumband Al-Irsyad yang memegang tongkat mengilap dan mewah, Pak Dul Matin memegang tongkat kayu.
Yang menakjubkan, anak-anak kecil itu—dengan instrumen musik yang sangat sederhana—mampu menghasilkan tetabuhan drumband yang serempak sekaligus enak didengar, seiring dan seirama Pak Dul Matin menggerakkan tongkat kayunya.
Dan pasukan drumband yang mungkin hanya satu-satunya di dunia itu memukau ribuan orang setiap tahun, dalam karnaval Agustusan. Pasukan drumband Pak Dul Matin jelas tidak akan mampu mengalahkan pasukan drumband Al-Irsyad, yang disebut sebagai drumband terbaik di Indonesia. Tetapi... pasukan drumband Al-Irsyad juga tidak akan mampu mengalahkan pasukan drumband Pak Dul Matin, tak peduli sekeras apa pun mereka mencoba.
Yang disuguhkan Pak Dul Matin bersama pasukan kecilnya—yang membawa alat drumband sederhana—bukan hanya atraksi drumband mereka, melainkan semangat yang menyala-nyala. Itu tontonan yang sulit didapatkan di mana pun, sekaligus pemandangan mempesona yang mampu membuat beribu-ribu orang berdesakan di sengat panas di pinggir-pinggir jalan, demi bisa menyaksikan mereka.
Menyaksikan Pak Dul Matin memimpin anak-anak kecil dengan kaleng Kong Ghuan yang dijadikan alat drumband, adalah menyaksikan semangat dari jiwa tua yang tak kalah oleh usia, bahkan mampu menularkannya kepada anak-anak... benih yang kelak menjadi pemimpin di masa dewasa.
....
....
Kini, saat saya menulis catatan ini, Pak Dul Matin sudah lama tiada. Kematian Pak Dul Matin juga menjadi penanda tidak ada lagi drumband anak-anak dengan kaleng Kong Ghuan yang dulu pernah mempesona ribuan orang... sebuah kematian yang membuat kehilangan banyak orang.
Tetapi, sebagaimana legenda lain, nama Pak Dul Matin tetap hidup, selalu disebut-sebut setiap kali Agustus datang, karena—semasa hidupnya dulu—dia telah menunjukkan cara mengisi kemerdekaan, memanfaatkan hidup dan usia, dengan cara yang tak bisa digantikan orang lain.