Sehelai daun lepas dari ranting. Diembus angin,
melayang-layang bersama udara. Lalu jatuh di tanah basah.
Di kejauhan, takdir tertawa.
—@noffret
melayang-layang bersama udara. Lalu jatuh di tanah basah.
Di kejauhan, takdir tertawa.
—@noffret
—Semua identitas dalam kisah ini disamarkan, namun jalan cerita dan alur waktu ditulis sesuai aslinya.
Kisah ini dimulai pada suatu malam berhujan, 17 Mei 1992, di Italia, tepatnya di sebuah jalan sepi bernama Way Eli.
Malam itu, seorang wanita berkulit putih diperkosa seorang pemuda berkulit hitam. Si wanita sedang melangkah sendirian, dan tiba-tiba muncul lelaki yang langsung membekap mulutnya, dan memperkosanya. Peristiwa itu berlangsung sangat cepat, dan terjadi di jalan yang sepi. Begitu si pemerkosa pergi, si wanita terduduk sendirian, menangis, sementara tubuhnya basah oleh hujan yang turun.
Sepuluh tahun kemudian....
Di suatu tempat di Italia, ada sebuah keluarga kecil yang bahagia—sepasang suami istri, dan seorang anak perempuan. Si suami bernama Peterson, istrinya bernama Martha, dan anak perempuan mereka bernama Monika. Martha berusia 35 tahun, dan suaminya dua tahun lebih tua. Yang menarik dari keluarga kecil itu adalah perbedaan mencolok warna kulit mereka. Peterson dan istrinya sama-sama berkulit putih. Sementara Monika, putri mereka, berkulit hitam.
Semula, perbedaan warna kulit itu sempat menjadi pergunjingan tetangga. Namun, Martha menyatakan bahwa kakek Monika berkulit putih, sementara nenek Monika berkulit hitam. Kenyataan itu tampaknya memberi pengaruh pada Monika, cucu mereka. Orang-orang pun, perlahan-lahan, menerima kenyataan itu, dan tidak lagi menganggap aneh perbedaan warna kulit Monika dengan orang tuanya.
Musim gugur 2002, Monika mengalami demam tinggi. Semula, Martha dan suaminya menganggap itu masalah biasa—demam yang biasa dialami anak-anak. Tetapi, makin hari, demam Monika makin tinggi, dan mereka pun membawanya ke RS Elizabeth. Di rumah sakit itu, melalui pemeriksaan Dr. Adely, diketahui kalau ternyata Monika mengidap leukemia. Kondisi Monika sudah buruk, dan Dr. Adely menyatakan bahwa satu-satunya harapan untuk monika hanyalah transplantasi sumsum tulang.
Dr. Adely menjelaskan pada Martha dan Peterson, “Cara paling mudah menemukan pendonor yang cocok untuk Monika adalah dengan mencari anggota keluarga yang memiliki hubungan darah dengan Monika.”
Dalam waktu singkat, seluruh anggota keluarga Martha maupun keluarga Peterson dikumpulkan di rumah sakit, untuk menjalani pemeriksaan sumsum tulang belakang, demi bisa menemukan donor yang cocok untuk Monika. Tetapi pemeriksaan itu tidak mendapat hasil. Tidak ada satu pun anggota keluarga—baik dari keluarga Martha maupun Peterson—yang cocok menjadi donor.
Malam itu, di ruangan rumah sakit yang sunyi, Dr. Adely akhirnya berkata pada Martha dan suaminya, “Dalam kasus seperti yang kita hadapi sekarang, sangat kecil kemungkinan bagi kita untuk menemukan donor yang cocok, karena bahkan anggota keluarga yang memiliki hubungan darah dengan Monika pun tidak ada yang cocok. Karena itu, kini tinggal ada satu cara.”
Satu cara tersisa yang bisa dilakukan hanyalah... Martha dan suaminya kembali memiliki anak, lalu menggunakan sumsum tulang belakang si anak yang akan lahir tersebut sebagai donor bagi Monika.
Mendengar penjelasan itu, Martha tak bisa menahan tangisnya. Dia terisak tiba-tiba, putus asa, sementara suaminya merangkul dan menenangkan. Dengan bibir bergetar, Martha meratap, “Ya Tuhan, kenapa bisa jadi begini...?”
Dr. Adely, yang mengira tangis Martha pecah karena mendengar penjelasannya, buru-buru memberitahu bahwa saat ini sudah banyak orang yang menggunakan cara tersebut (menggunakan sumsum tulang anak kandung lain sebagai donor), dan hal itu tidak memiliki pengaruh bagi si anak yang menjadi donor. Tapi Martha tidak menjawab apa-apa, sementara suaminya hanya menatap Dr. Adely dengan kebingungan.
Akhirnya, Peterson, suami Martha, berkata pada Dr. Adely, “Biar kami memikirkannya dulu.”
Besok malamnya, pasangan Peterson dan Martha kembali mendatangi Dr. Adely. Martha menggigit bibir, menahan tangis, sementara Peterson menggenggam tangannya. Peterson pulalah yang kemudian berbicara, “Dokter, kami ingin memberitahu sesuatu, tapi kami berharap Anda berjanji untuk menjaga kerahasiaannya, karena yang akan kami ceritakan adalah rahasia kami sebagai suami istri selama ini.”
Dr. Adely mengangguk, memastikan.
Lalu Martha, dengan terbata-bata, menceritakan peristiwa yang menimpanya, sepuluh tahun yang lalu. Malam itu, ia sedang melangkah pulang dari tempat kerja, seperti biasa, ketika tiba-tiba muncul seorang lelaki berkulit hitam menyerang dan memperkosanya. Waktu itu, Martha telah menikah dengan Peterson, dan dia dihinggapi kebingungan luar biasa atas terjadinya peristiwa tersebut. Saat ia melangkah pulang ke rumah, Martha seperti merasakan langit sedang runtuh.
Peterson mampu menghadapi peristiwa itu dengan baik, dan malam itu Martha saling memeluk dengan suaminya, dalam diam, masing-masing menahan kepedihan.
Tidak lama setelah itu, Martha mendapati dirinya hamil. “Kami sangat ketakutan, waktu itu,” ujar Martha pada Dr. Adely.
Martha khawatir kalau anak yang dikandungnya adalah hasil perkosaan yang dialaminya. Martha juga telah berencana untuk menggugurkan kandungan, tetapi kemudian dia berpikir kembali, dan berharap anak yang dikandungnya benar-benar anaknya bersama sang suami.
Seiring usia kandungan yang kian besar, Marta terus diliputi waswas. Antara ketakutan jika anak yang akan dilahirkannya adalah hasil perkosaan, dan harapan bahwa anak yang akan dilahirkannya adalah anak yang memang telah lama ia harapkan bersama suami tercinta.
Maret 1993, akhirnya Martha melahirkan seorang bayi perempuan. Ketika menyadari bayi itu berkulit hitam, tangis Martha pecah, dan seketika menyadari itu “bukan bayinya”.
“Kami sangat putus asa waktu itu,” cerita Martha. “Kami sempat terpikir untuk mengirim bayi itu ke panti asuhan. Tetapi... saat mendengar suara tangisnya, kami sungguh tidak tega.”
Lebih dari itu, Martha menyadari bahwa dia telah mengandung bayi perempuan itu, dan melahirkannya hingga memiliki nyawa. Akhirnya, setelah mempertimbangkan bersama sang suami, mereka pun memutuskan untuk merawat si bayi, dan memberinya nama Monika. Waktu demi waktu, Monika terus tumbuh, dan Martha maupun suami sangat menyayanginya. Sampai peristiwa leukemia itu terjadi.
Mendengar semua tuturan itu, mata Dr. Adely berkaca-kaca. Ia pun akhirnya menyadari mengapa Martha tampak sangat ketakutan jika harus memiliki anak lagi untuk dijadikan donor bagi Monika. Karena, meski Martha melahirkan sepuluh anak lagi pun, tetap saja belum tentu cocok menjadi donor sumsum tulang, karena mereka memiliki gen ayah yang berbeda.
Setelah terdiam cukup lama, Dr. Adely akhirnya berkata, “Sepertinya kalian harus menemukan ayah kandung Monika. Mungkin sumsum tulangnya cocok, hingga ia bisa menjadi donor.”
Saran itu membuat Martha terdiam kebingungan. Masalahnya, dia sama sekali tidak pernah lagi bertemu lelaki yang dulu memperkosanya, dia bahkan tidak tahu siapa orangnya. Bagaimana mereka harus menemukan si lelaki? Peristiwa itu telah terjadi sepuluh tahun yang lalu, dan Martha bahkan telah lupa sama sekali wajah si lelaki.
Dr. Adely kembali memberi saran, “Mungkin kita bisa mencoba mencarinya dengan membuat iklan di media massa. Siapa tahu dia menemukan iklan tersebut, dan hatinya terketuk untuk menolong. Tetapi... apakah kalian bersedia membiarkan dia muncul kembali dalam kehidupan kalian?”
Martha menjawab, “Demi anak, aku bersedia berlapang dada memaafkannya. Jika dia bersedia muncul untuk menyelamatkan Monika, aku tidak akan memperkarakannya.”
Setelah mempertimbangkan banyak hal, Martha dan Peterson memutuskan untuk memasang iklan di berita pencarian orang di koran, menggunakan nama samaran.
November 2002, iklan yang dipasang Martha termuat di koran lokal Italia. Iklan pencarian orang itu berisi permohonan kepada sang pelaku pemerkosaan agar bersedia muncul, demi menolong nyawa seorang anak perempuan penderita leukemia.
Dalam iklan itu juga dijelaskan mengenai peristiwa perkosaan yang terjadi, waktu dan tempatnya, dan penjelasan bahwa si pelaku adalah lelaki berkulit hitam. Seusai perkosaan itu, si wanita hamil, hingga melahirkan seorang anak perempuan. Kini, anak perempuan itu menderita leukemia, dan satu-satunya pertolongan yang bisa diharapkan adalah adanya donor sumsum tulang dari ayah biologisnya.
Dalam iklan itu juga diberi keterangan, bahwa jika si pelaku yang dimaksud membaca iklan tersebut, bisa mengubungi Dr. Adely di RS Elizabeth.
Begitu iklan terbit, seketika masyarakat gempar. Selama berhari-hari kemudian, mereka membicarakan iklan itu, dan mengira-ngira apakah si pelaku pemerkosaan berani muncul. Bagaimana pun, pelaku pemerkosaan itu sekarang menghadapi masalah besar.
Peristiwa itu telah terjadi sepuluh tahun yang lalu, dan bisa jadi si pemerkosa sekarang telah memiliki istri dan anak-anak. Jika dia berani muncul untuk memenuhi iklan tersebut, dia tidak hanya akan berhadapan dengan tuntutan hukum, tapi juga kemungkinan rusaknya rumah tangganya sendiri. Sebaliknya, jika dia memilih bungkam, sekali lagi dia telah melakukan dosa besar tak terampuni, yaitu menyebabkan kematian seorang anak.
Sejak itu pula, kotak surat Dr. Adely terus menerus menerima kiriman surat, sementara teleponnya nyaris tak pernah berhenti berdering. Orang-orang ingin bertemu dengannya, ingin tahu siapa yang memasang iklan tersebut, berharap ingin bisa membantu mereka. Tetapi Dr. Adely—sebagaimana permintaan Martha—tidak pernah menyebutkan identitas pasiennya.
Seiring kegemparan yang terjadi, iklan kecil yang semula hanya terbit di koran lokal itu kemudian dimuat sebagai berita utama di koran-koran nasional. Nyaris semua orang Italia mengetahui berita itu, dan mereka—seperti jutaan orang lain—mengira-ngira apa yang akan terjadi.
Apakah lelaki yang menjadi ayah Monika berani muncul? Jika dia benar-benar muncul, apakah aturan hukum tetap bisa dilakukan, dan bagaimanakah seharusnya sikap masyarakat kepadanya? Haruskah dia menerima hukuman dan caci-maki untuk masa lalunya, ataukah dia harus menerima pujian karena keberaniannya untuk muncul demi menyelamatkan anaknya?
Kehebohan berita itu akhirnya sampai pada seseorang bernama Ajili, lelaki kulit hitam yang tinggal di daerah Napulese. Ketika pertama kali membaca berita tersebut, Ajili kalut, dan perasaannya kacau tak karuan. Ia tahu, lelaki yang dicari koran-koran itu adalah dirinya.
Saat ini, Ajili adalah pengelola toko minuman berusia 30 tahun, dan dihormati warga di tempatnya sebagai orang kaya yang baik. Dia memiliki istri dan tiga anak yang lucu, dan segalanya tampak baik-baik saja. Tetapi, diam-diam, Ajili menyimpan lembaran hitam dari masa lalu... sebuah mimpi terburuk dalam hidupnya yang terjadi suatu malam berhujan, 17 Mei 1992.
Lanjut ke sini: Jalinan Takdir (2)