Selasa, 29 November 2016

Ucapan Ahok dan Potongan Buni Yani

Ahok atau bukan Ahok, masalah tidak akan selesai, 
kalau sistem nilai yang digunakan hanya sebatas fanatisme 
dan suka atau tidak suka.


Sebenarnya saya tidak ingin menulis catatan ini. Tapi otak saya gatal. Sebegitu gatal, hingga saya tidak mampu menahan diri untuk tidak menulis catatan ini. Jadi, meski dengan terpaksa, saya menulis catatan ini.

Orang-orang meributkan kasus ucapan Ahok—terkait surat Al-Maidah—yang bahkan sampai memicu banyak orang melakukan demo di Jakarta, tempo hari. Kasus itu bahkan belum selesai hingga hari ini. Jika dirunut ke belakang, kasus ucapan itu—hingga sampai munculnya demo—dimulai oleh Buni Yuni yang memotong (perhatikan, saya tidak mengatakan “mengedit”) ucapan Ahok.

Buni Yani memotong video rekaman Ahok saat berbicara di Kepulauan Seribu, tepat pada bagian yang diinginkannya, kemudian mengunggah potongan video itu ke akun Facebook miliknya. Beserta unggahan itu, Buni Yani juga menuliskan tiga baris kalimat. Berikut ini tiga baris kalimat yang ditulis Buni Yani:

PENISTAAN TERHADAP AGAMA?

“Bapak ibu (pemilih muslim) dibohongi surat Al Madinah (dan) masuk neraka (juga bapak ibu) dibodohi”.

Kelihatannya akan terjadi sesuatu yang kurang baik dengan video ini.

Lebih jelas, silakan lihat gambar yang saya ambil dari Detik.Com berikut ini.


Itulah asal usul ribut-ribut sampai demo di Jakarta, tempo hari. Seiring dengan itu—khususnya di dunia maya—ada dua kubu yang terpecah. Sebagian menganggap Buni Yani benar, sementara sebagian lain menganggap Buni Yani salah. Dan dua kubu itu terus ribut sampai sekarang, sebegitu ribut hingga topik perdebatan mereka sering kali lepas dan meninggalkan konteks awal.

Bagi saya, kasus ini sangat jelas, gamblang, dan sederhana. Sebegitu jelas dan sederhana, hingga saya heran kenapa akibat dan kekisruhan yang terjadi tidak juga selesai. Masalah terkait ucapan Ahok hanyalah masalah konteks. Dan, seperti biasa, ada banyak orang yang lebih suka meributkan teks tapi melupakan konteks.

Sejujurnya, saya bukan pendukung Ahok, terkait Pilkada yang akan dilangsungkan di Jakarta. Saya bukan warga DKI, dan KTP saya juga bukan KTP Jakarta. Terus terang, saya juga tidak peduli siapa yang akan jadi Gubernur DKI, karena bisa dibilang tidak ada pengaruhnya bagi saya.

Dulu, saya sempat “menyinyiri” Ahok, lantaran bosan melihat dia tiap hari muncul di banyak situs berita, mengomentari apa saja, dan media-media terus memuatnya tanpa jeda. Saya bahkan sempat mencurigai beberapa media sengaja meng-endors Ahok, hingga sangat aktif menulis tentang Ahok, dan melupakan objektivitas. Jadi, terkait Ahok, saya tidak punya kepentingan apa pun dengannya.

Tetapi, bagaimana pun, saya harus fair dan objektif melihat fakta—dan tidak sekadar menghakimi Ahok lantaran sentimen pribadi—khususnya fakta terkait ucapan Ahok di Kepulauan Seribu, yang jadi masalah akhir-akhir ini. Ketika kasus itu mencuat, saya pun menyempatkan diri menyaksikan rekaman video Ahok yang berbicara di hadapan warga Kepulauan Seribu. Saya menontonnya dari awal sampai akhir, hingga bisa memahami seutuhnya; apa sebenarnya yang diucapkan Ahok.

Setelah selesai menonton rekaman video itu, saya tidak melihat masalah apa pun. Ucapan Ahok biasa-biasa saja, dan dia tidak menistakan Al-Qur’an seperti yang dituduhkan banyak orang. Ahok memang sempat menyebut “surat Al-Maidah”, tetapi dia mengucapkan kalimat itu dalam konteks yang sama sekali berbeda dari yang dipahami orang-orang yang lalu menista dirinya.

Jika ingin membaca transkrip lengkap ucapan Ahok dalam acara itu, silakan lihat di sini: Ini Transkrip Ucapan Ahok di Kepulauan Seribu.

Lalu kenapa ucapan Ahok yang sebenarnya biasa-biasa saja, bisa menjadi masalah besar? Ada banyak faktor penyebab. Tetapi, meski begitu, kita bisa merunut akarnya. Yaitu ulah Buni Yani yang memotong video tersebut.

Jadi, Buni Yani memotong ucapan Ahok dalam rekaman video tersebut, tepat pada bagian Ahok menyebut Surat Al-Maidah. Buni Yani memang tidak mengedit—karena ulahnya lebih tepat disebut “memotong”. Dan bagian yang ia potong adalah bagian yang diinginkannya, yaitu pada durasi ketika Ahok menyebut Surat Al-Maidah. Setelah itu, ia unggah potongan video tersebut ke akun Facebook-nya, sembari menulis kalimat provokatif seperti yang terlihat dalam gambar di atas.

Sekilas, pemotongan yang dilakukan Buni Yani memang tampak sepele. Tapi dia melakukan kesalahan besar, yaitu menghilangkan konteks!

Buni Yani sengaja mengambil teks yang ia inginkan, sembari menghilangkan konteks seutuhnya yang mengikuti teks tersebut. Kenyataan itu pula yang membuat Buni Yani menjadi tersangka dalam kasus ini, karena yang dilakukannya memang salah. Penjelasan lebih lanjut tentang hal tersebut, bisa dilihat di sini: Buni Yani Jadi Tersangka karena 3 Paragraf Kalimat.

Perdebatan tentang hal ini—apakah Buni Yani bersalah atau tidak—bisa jadi akan terus berlangsung sampai kiamat, jika orang hanya mengedepankan kebenaran versinya sendiri, dan tidak mau objektif melihat fakta. Karenanya, agar tidak terjebak dalam perdebatan semacam itu, sekarang saya akan menceritakan kisah yang bisa dibilang serupa dengan kasus Ahok dan ulah Buni Yani. Yaitu kisah tentang Louis CK.

Bagi yang mungkin belum tahu, Louis CK adalah salah satu komedian hebat di dunia, yang dianggap sosok penghibur penuh inspirasi. Para komedian di mana pun sangat menghormatinya, karena Louis CK bukan hanya sosok senior di bidang komedi, tapi juga seorang guru. Dalam kariernya, dia adalah komedian pertama di dunia yang meraih tiga kali sold-out tiket dalam satu show di Madison Square Garden.

Dalam kehidupan pribadi, Louis CK punya beberapa anak perempuan, dan dia sangat menyayangi mereka. Sebegitu sayang pada putri-putrinya, sampai Louis CK bertekad meninggalkan smartphone dan internet, demi bisa meluangkan waktu lebih banyak bersama putri-putrinya, demi bisa bercakap-cakap secara dekat dengan anak-anak yang disayanginya. Dia bukan hanya seorang komedian yang hebat, tapi juga figur ayah yang hebat.

Nah, suatu hari, Louis CK mengisi acara Saturday Night Live. Seperti biasa, dia ngomong banyak hal yang mampu membuat orang-orang tertawa, tapi juga memberi inspirasi. Dalam acara itu, Louis CK mengatakan kalimat berikut ini:

“Padahal hukuman karena memperkosa anak itu sangat keras! Bisa hukuman mati, atau penjara seumur hidup. Kalau pun dipenjara, orang-orang itu (si pemerkosa) pasti akan dihabisi karena—bahkan bagi para penghuni penjara—pemerkosa anak dianggap kriminal yang levelnya paling nista. Tapi kenapa masih ada yang berani melakukannya? Kesimpulan yang bisa kita ambil, pasti enak memperkosa anak-anak, sehingga mereka bersedia menerima risikonya. Enak untuk mereka (si pemerkosa), lho ya.”

Ketika Louis CK mengatakan kalimat itu, tidak ada yang mempermasalahkan, karena kenyataannya kalimat itu memang tidak salah. Tetapi, kemudian, ada orang yang memotong kalimat Louis CK pada bagian yang diinginkannya, dan sengaja meninggalkan konteks kalimat seutuhnya. Bagian yang ia potong adalah, “pasti enak memperkosa anak-anak.”

Bayangkan hasilnya seperti ini, Louis CK mengatakan, “Pasti enak memperkosa anak-anak.”

Kira-kira bagaimana respons kebanyakan orang atas kalimat provokatif semacam itu? Benar, orang-orang langsung geger dan mencerca Louis CK! Kenapa? Karena mereka tidak melihat konteks kalimat itu seutuhnya, dan hanya melihat bagian teks yang sengaja dipotong oleh si provokator!

Padahal, kalau saja orang-orang mau melihat konteks kalimat seutuhnya, mereka akan memahami, bahwa maksud Louis CK jauh berbeda dari kalimat yang dipotong tersebut. Lebih dari itu, Louis CK seorang ayah yang sangat menyayangi putri-putrinya, sehingga tidak mungkin dia mengatakan kalimat semacam itu.

Nah, kenyataan semacam itulah yang terjadi pada kasus ucapan Ahok yang sengaja dipotong Buni Yani. Memang, Buni Yani tidak mengedit, dia memotong. Tapi dia sengaja memotong pada bagian yang diinginkannya, lalu menambahi potongan kalimat itu dengan kalimatnya sendiri yang cenderung provokatif. Mungkin kasusnya akan berbeda, kalau saja Buni Yani secara jujur mengunggah video Ahok selengkapnya, dan membiarkan orang lain menilai tanpa diprovokasi.

Terkait Buni Yani, sebenarnya bukan sekali ini dia ketahuan memotong ucapan orang. Sebelum kasus Ahok, Buni Yani diketahui pernah memotong ucapan Profesor Quraish Shihab, dan menimbulkan masalah serupa. Baca beritanya di sini: Ternyata Ahok Bukan yang Pertama Dipelintir Ucapannya....

Quraish Shihab berbicara tentang banyak hal terkait kehidupan Nabi Muhammad, hingga ada penjelasan bahwa Nabi tidak terjamin masuk surga karena amal atau perbuatannya, karena masuknya seseorang ke surga—termasuk Nabi—semata karena kasih sayang Allah. Quraish Shihab adalah pakar tafsir terkemuka, dan dia tentu paham betul ajaran agama. Karenanya, penjelasan itu pun didasarkan pada ajaran agama, bukan sesuatu yang ia karang-karang sendiri.

Oleh Buni Yani, kalimat utuh Quraish Shihab tersebut dipotong, menjadi, “Nabi tidak dijamin masuk surga karena amal atau perbuatannya.”

Apa akibatnya? Kita semua sudah tahu! Orang-orang mencerca dan mencaci Quraish Shihab gara-gara sepotong teks tersebut, padahal mereka tidak melihat konteks kalimat seutuhnya.

Selain Quraish Shihab, Buni Yani juga diketahui pernah memotong ucapan Syaikh Ahmad Badruddin Hassoun, seorang mufti besar Suriah. Lagi-lagi, dia sengaja mengambil bagian kalimat yang diinginkannya—tentang “pemusnahan rakyat Aleppo”—dan sengaja meninggalkan konteks kalimat seutuhnya. Orang-orang kembali terprovokasi, padahal mereka hanya melihat secuil teks yang sengaja dipotong atau dilepaskan dari konteks seutuhnya.

Jadi, setidaknya kita bisa mengambil simpulan, bahwa Buni Yani tampaknya memang suka memotong kalimat orang lain, lalu ia gunakan untuk kepentingannya sendiri—terlepas apa pun kepentingannya. Dan kalau kepada orang seperti Quraish Shihab atau Badruddin Hassoun saja Buni Yani bisa seenaknya memotong kalimat mereka, apalagi kepada seorang yang suka ngablak seperti Ahok?

Ahok adalah orang yang suka ngablak—bicara blak-blakan, ceplas-ceplos, dan apa adanya. Umumnya, orang-orang ngablak semacam itu sosok yang jujur, tidak takut kelepasan ngomong apa pun, karena memang tidak menyembunyikan apa pun. Secara pribadi, saya percaya Ahok sosok yang jujur—terlepas orang-orang yang mungkin mengelilinginya.

Kalau saja Ahok bukan pejabat, dia orang yang menyenangkan dijadikan teman, karena kita bisa yakin dia memang jujur. Yang menjadi masalah, Ahok adalah pejabat, bahkan memegang jabatan kunci. Karenanya, diakui atau tidak, pasti akan ada konflik kepentingan yang terjadi di sini, terkait ucapannya yang dipotong Buni Yani. Apalagi menjelang Pilkada seperti sekarang.

Jadi, dalam melihat kasus ini, saya menilai Ahok kebetulan apes, begitu pula Buni Yani. Ahok apes akibat kebiasannya ngomong ngablak, sementara Buni Yani juga apes karena kali ini “hobinya” memotong ucapan orang berbuntut panjang.

Karenanya, biarlah kasus ini menjadi pembelajaran bersama—bagi Ahok, Buni Yani, dan kita semua. Dengan terjadinya kasus ini, bisa jadi Ahok akan mulai belajar berbicara secara lebih baik dan lebih tertata, sehingga ucapannya tidak rentan disalahpahami orang lain, khususnya oleh orang-orang yang mungkin tidak menyukainya.

Sementara bagi Buni Yani, semoga ia juga mulai belajar memahami pentingnya konteks sebelum seenaknya memotong teks. Karena jika teks dianggap penting, konteks seribu kali lebih penting. Karena konteks yang melahirkan teks, bukan sebaliknya.

Menggunakan analogi yang akademis, konteks adalah realitas, sementara teks adalah teori. Jika teori dianggap penting, realitas jauh lebih penting. Bahkan, jika teori ternyata tidak sesuai realitas, yang diralat tentu teorinya, bukan realitasnya. Karena teori mengikuti realitas! Kalau realitas mengatakan A tapi teori mengatakan B, yang salah teorinya, bukan realitasnya!

Begitu pula teks dan konteks. Sebelum menghakimi teks, pahami konteksnya dulu seutuhnya. Jangan mudah terprovokasi hanya karena potongan teks. Karena kita manusia yang bisa berpikir, dan bukan kumpulan ayam yang hanya bisa berkoteks.

Khidhir Dalam Sunyi

Bagi orang-orang yang percaya, Nabi Khidhir masih hidup hari ini, meski telah hidup sejak ribuan tahun lalu. Tapi dia hidup dalam sunyi. Sendirian, tidak pernah unjuk diri, tidak butuh dikenal, dan tidak menginginkan apa pun... selain Sunyi.

Saya kerap membayangkan, kehidupan paling damai di bawah langit adalah kehidupan yang dijalani Khidhir. Dia tidak menginginkan apa pun, sehingga tidak bisa dituntut melakukan apa pun oleh siapa pun.

Kalau kau lelaki dan butuh wanita sebagai pasangan, maka wanita yang ingin kaujadikan pasangan bisa menuntut macam-macam. Dari tuntutan materi sampai tuntutan yang tak masuk akal. Khidhir tidak membutuhkan pasangan. Jadi dia terbebas dari tuntutan wanita mana pun.

Kalau kau membutuhkan popularitas dan ingin terkenal, mau tak mau kau harus unjuk diri—melakukan segala daya dan upaya—agar dunia mengenalmu. Dan kau bisa patah hati jika tak kunjung terkenal, padahal segala upaya telah dilakukan. Khidhir tidak butuh popularitas, dan tidak butuh dikenal. Jadi dia bisa bilang persetan pada dunia.

Kalau kau ingin diterima masyarakat, dan berharap orang-orang menyukaimu, kau harus melakukan hal-hal yang sama dengan masyarakat, dan hanya mengatakan hal-hal yang bisa diterima orang-orang sekitarmu. Kau tidak bisa seenaknya menjalani hidup yang kauyakini benar, jika masyarakat tidak melakukan. Kau tidak bisa mengatakan kebenaran, jika orang-orang di sekelilingmu menganggapnya salah.

Jadi, agar diterima masyarakat dan disukai orang-orang di sekelilingmu, kau harus mengatakan kebenaran yang sesuai mereka, tak peduli jika harus mengkhianati diri sendiri. Kau harus menjadi badut untuk mereka, dan tidak bisa menjadi diri sendiri. Karena kau membutuhkan masyarakat. Karena kau butuh diterima orang lain.

Khidhir tidak butuh semua itu, sehingga bisa bilang persetan pada masyarakat, dan kepadamu.

Karena itu pula, saat Musa memaksa menjadi muridnya, hal pertama yang dikatakan Khidhir kepada Musa adalah, “Jangan mengatakan apa pun.”

Dan Khidhir menegaskan, “Kalau kau mempertanyakan perbuatanku sampai tiga kali, kau harus pergi.”

Musa mengira mudah melakukan hal itu. Seperti umumnya manusia lain, Musa mengira mudah menjalani hidup dalam sunyi. Tapi kenyataannya dia gagal. Musa mengira Khidhir dapat diintervensi, padahal Khidhir tidak butuh apa pun, bahkan tidak butuh murid. Karenanya, ketika Musa akhirnya membuka mulut dan mulai berbicara, Khidhir pun menyuruh Musa untuk pergi.

Khidhir tidak butuh apa pun. Apalagi remah-remah dunia seperti pujian dan popularitas, atau pengakuan manusia lain. Yang ia butuhkan hanya Sunyi. Karena hanya dalam sunyi, dia menjadi diri sendiri. Karena hanya dalam sunyi, kemanusiaannya lesap. Ada dan tidak adanya tak berbeda.

Filsafat Apeu

Bagi orang-orang yang berpikir, hidup pada akhirnya cuma ditentukan oleh apeu.

....
....

Apeu.

Kamis, 24 November 2016

Keindahan Sunyi

Aku belajar bahwa keindahan
harus dilihat dari jauh. Agar dia selalu utuh.


Setiap kali keindahan terpapar orang banyak, ia pudar. Setiap kali keagungan disentuh orang banyak, ia hilang. Kita bisa menyaksikan kenyataan itu, sejak dari Tibet yang hening, Pulau Galapagos yang sunyi, Taj Mahal yang indah, hingga Machu Picchu yang misterius, dan Antartika yang terasing. Semua keindahan dan keagungan yang semula mereka miliki, perlahan-lahan hilang dan pudar setelah disentuh banyak orang.

Di masa lalu, Tibet adalah tempat hening yang sunyi. Keberadaannya di Puncak Himalaya menjadikan Tibet tak terusik kehidupan dunia luar. Di sana ada kehidupan yang hening, kebudayaan yang hening, bahasa yang hening, dan detak napas serta denyut jantung yang hening. Tibet ada dalam hening, dan mereka tidak pernah mengusik dunia.

Kemudian, orang-orang mulai mengusik Tibet. Karena Tibet dinilai memiliki kehidupan dan kebudayaan unik, orang-orang menjadikan Tibet sebagai destinasi wisata. Maka orang-orang pun berdatangan ke sana, mengusik keheningan Tibet, menodai kesunyian yang semula bertahta.

Sejak itu, perlahan-lahan, kehidupan Tibet terkontaminasi kehidupan orang-orang luar. Kehidupan di sana bercampur dengan kehidupan orang-orang yang berdatangan, kebudayaan di sana berbaur dengan kebudayaan asing, dan Tibet yang semula hening berubah menjadi tempat yang bising.

Semula, tidak ada yang menyadari kenyataan itu. Dan orang-orang terus berdatangan ke sana, dari waktu ke waktu, sementara orang-orang di Tibet tak punya kuasa untuk menolak. Sekilas, tidak ada yang terjadi. Tetapi, sebenarnya, perubahan terus berlangsung, dan mencerabut Tibet dari akarnya.

Hingga kemudian, pemerintah Cina menyadari perubahan yang terjadi di sana. Kebudayaan Tibet yang bersejarah telah bercampur dengan kebudayaan Cina yang modern. Kehidupan di Tibet yang semula hening dan indah kini telah jauh berubah, akibat banyaknya orang berdatangan ke sana. Maka pemerintah Cina pun merasa perlu mengambil tindakan, sebelum segalanya terlambat. Tibet harus kembali seperti semula!

Sejak itu, pemerintah Cina berusaha mengembalikan Tibet seperti dulu, dengan cara membekukan berbagai upaya kunjungan turis dari waktu ke waktu. Jika semula wisatawan bebas berdatangan ke Tibet, sekarang tidak lagi. Saat ini, Tibet sudah sulit dimasuki wisatawan. Hanya ada dua tempat di sana yang masih bisa didatangi, yaitu Potala Palace dan Ganden Monastery. Itu pun, kemungkinan besar, akan ditutup tak lama lagi, hingga Tibet akan kembali hening seperti semula.

Setiap kali keindahan terpapar orang banyak, ia pudar. Setiap kali keagungan disentuh orang banyak, ia hilang.

Kenyataan serupa terjadi di Pulau Galapagos. Di Ekuador, Galapagos semula adalah tempat yang sunyi. Tidak ada orang di sana, dan tidak ada orang ke sana. Karena tak tersentuh manusia, Galapagos menjadi tempat yang sangat indah. Di sana tumbuh habitat yang sunyi, dengan pohon-pohon dan hewan-hewan yang menjalani hidup dalam sunyi. Di tengah kegersangan Ekuador, Galapagos adalah surga tersembunyi.

Lalu tempat yang indah dan sunyi itu mulai dikenali manusia, dan bahaya mulai mengancam. Sejak Galapagos dikenali keindahannya, beribu-ribu orang berdatangan ke sana, setiap tahun, dari waktu ke waktu. Ada seratus ribu turis per tahun yang datang ke Galapagos, dan Ekuador mendapat banyak pemasukan dari turisme. Lalu apa yang terjadi? Bencana!

Saat kapal-kapal wisatawan merapat ke Galapagos, tikus-tikus naik dari kapal dan mendarat ke pulau. Para wisatawan yang terus berdatangan mengusik keindahan alami yang semula ada di sana. Dan ketika mereka pulang, tikus-tikus yang telah mendarat tidak ikut pulang. Mereka tinggal di Galapagos, dan menjadi hama. Selama bertahun-tahun, kenyataan itu tak diketahui. Bencana mengerikan itu baru diketahui setelah Galapagos mengalami kerusakan parah.

Tikus-tikus di Galapagos terus hidup dan berkembang biak. Lalu mereka memangsa apa pun yang dapat dimakan, digerogoti, dirusak, dan dihancurkan. Galapagos yang semula seindah surga berubah menjadi kawasan menyedihkan. Tempat yang semula sunyi berubah bising oleh cicit ribuan tikus yang bernyanyi. Pemerintah Ekuador menyadari kenyataan itu... tapi segalanya telah terlambat.

Setiap kali keindahan terpapar orang banyak, ia pudar. Setiap kali keagungan disentuh orang banyak, ia hilang.

Dari Ekuador, sekarang kita terbang ke India. Di India, ada bangunan menakjubkan bernama Taj Mahal, yang merupakan komplek pemakaman Mumtaz Mahal, istri terkasih Syah Jahan, Sang Kaisar Mughal. Taj Mahal adalah salah satu bangunan terindah di bawah langit, yang telah dibangun tiga ratus tahun yang lalu. Seharusnya, bangunan indah itu akan berdiri indah selamanya... kalau saja tak tersentuh manusia.

Tapi manusia memang senang mengusik apa pun yang indah. Setiap tahun, ada tiga juta orang dari berbagai belahan dunia berdatangan ke sana, menyentuh keindahan Taj Mahal, mengusik keagungannya. Sekilas, kedatangan banyak orang ke sana tidak menimbulkan masalah, bahkan pemerintah India bisa menangguk banyak devisa. Tetapi, sesuatu yang sangat berbahaya terus terjadi di sana.

Karena Taj Mahal terus menerus didatangi manusia dalam jumlah luar biasa, tanah di sekitar Taj Mahal mulai runtuh perlahan-lahan... dari dasar. Orang-orang tidak menyadari kenyataan itu, bahkan pemerintah India pun tidak! Tetapi, tanpa dilihat siapa pun, struktur bangunan Taj Mahal yang luar biasa megah itu perlahan-lahan retak dan terkikis... dari dalam. Jika masalah itu tidak segera diatasi, Taj Mahal benar-benar akan runtuh tak lama lagi.

Kenyataan mengerikan itu pun akhirnya disadari bersama, antara pemerintah India, UNESCO yang punya kepentingan merawat warisan dunia, serta kelompok-kelompok pemelihara. Kini, mereka sedang memikirkan cara terbaik untuk merestorasi Taj Mahal, sekaligus menjauhkan manusia dari bangunan indah itu. Karena, jika Taj Mahal tidak segera dijauhkan dari manusia, ia benar-benar akan runtuh, hancur, dan lenyap.

Setiap kali keindahan terpapar orang banyak, ia pudar. Setiap kali keagungan disentuh orang banyak, ia hilang.

Nasib sama juga dialami oleh Machu Picchu dan Choquequirao di Peru.

Machu Picchu adalah situs Suku Inca, yang terletak 2.430 meter (7.970 kaki) di atas permukaan laut. Kota itu berdiri di punggung bukit, di atas Lembah Urubamba di Peru, 80 kilometer (50 mil) barat laut Cuzco, tempat air Sungai Urubamba mengalir. Kebanyakan arkeolog meyakini, Machu Picchu dibangun sebagai kawasan bagi kaisar Inca, Pachacuti (1438-1472).

Di tempat itu, Suku Inca juga memulai perkebunan, sekitar tahun 1400, tapi kemudian ditinggalkan ketika Spanyol melakukan penaklukan di sana. Sejak itu, Machu Picchu ditinggalkan, sampai kemudian ditemukan kembali dan menarik perhatian internasional pada tahun 1911. Sejak itu, Machu Picchu menjadi daya tarik wisata, sekaligus situs budaya yang penting.

Sementara Choquequirao adalah “saudara” Machu Picchu yang juga merupakan situs kota dengan arsitektur serupa. Machu Picchu dan Choquequirao adalah dua reruntuhan kota yang terkenal dengan arsitektur mengagumkan, serta pemandangan dan geografis yang luar biasa. Yang menjadi masalah, dua kota kuno ini juga dikhawatirkan akan musnah, akibat banyak orang berdatangan ke sana.

Sejak ditemukan pada 1911 sampai sekarang, tak terhitung banyaknya orang yang datang ke sana, untuk melihat dan menyentuh Machu Picchu. Tidak hanya ratusan atau ribuan, tapi jutaan. Dan jutaan orang itu mengubah tempat yang semula indah dan sunyi menjadi kawasan yang selalu ramai. Machu Picchu perlahan-lahan pudar... dan terus pudar.

Lama-lama, pemerintah Peru menyadari bahaya yang mengancam Machu Picchu. Akibat banyak orang yang terus berdatangan ke sana, situs yang semula utuh mulai retak, dan hancur perlahan-lahan. Sejak kesadaran itu muncul, pemerintah Peru mulai mengendalikan kedatangan wisatawan. Jika sebelumnya orang bisa bebas masuk ke sana, kini setiap hari dibatasi hanya untuk lima orang. Tetapi, rupanya, upaya itu pun tak mampu menahan kehancuran Machu Picchu. Kian hari, kondisinya makin mengkhawatirkan.

Sementara itu, untuk Choquequirao, pemerintah Peru berusaha menjauhkan para turis dari lokasi tersebut, dengan cara membuat kereta gantung yang dapat digunakan untuk menyaksikan kota kuno itu tanpa harus menyentuhnya. Tapi akibatnya tak terbayangkan. Turis yang semula hanya beberapa orang, berubah menjadi ribuan yang berdatangan ke sana, dan lagi-lagi hal itu menyebabkan ancaman bagi Choquequirao.

Banyak pihak memprediksi, jika masuknya turis ke dua lokasi itu tidak segera dihentikan, maka Machu Picchu dan Choquequirao akan segera musnah.

Setiap kali keindahan terpapar orang banyak, ia pudar. Setiap kali keagungan disentuh orang banyak, ia hilang.

Antartika di Kutub Selatan mengalami nasib serupa. Antartika bukan hanya daratan es, tetapi juga tempat kehidupan liar yang tak bisa ditemukan di tempat lain, serta pegunungan es beku yang menakjubkan. Karenanya, banyak turis yang datang ke sana untuk melihat langsung keajaiban Antartika. Sayangnya, kedatangan banyak orang ke sana menjadikan kondisi Antartika makin mengkhawatirkan.

Sudah cukap lama, Antartika diketahui terus mencair, gunung es di sana perlahan-lahan meleleh. NASA telah mengonfirmasi hal itu, dan kedatangan banyak orang ke sana menjadikan Antartika hancur lebih cepat. Karena itu pula, upaya untuk memperlambat hancurnya Antartika telah mulai dilakukan, salah satunya dengan mengurangi jumlah wisatawan.

Saat ini, kapal-kapal yang membawa penumpang lebih dari 500 orang tidak diperbolehkan memasuki kawasan Antartika. Dari waktu ke waktu, jumlah wisatawan yang diizinkan masuk ke sana juga terus dibatasi. Upaya itu untuk menjaga kelestarian Antartika, beserta gletser, kehidupan liar, pegunungan es, hingga keindahan sunyi yang semula ada di sana.

Setiap kali keindahan terpapar orang banyak, ia pudar. Setiap kali keagungan disentuh orang banyak, ia hilang.

Mungkin, keindahan memang hidup dalam sunyi, dan keagungan hanya hidup dalam hening. Dan langkah terbaik yang bisa kita lakukan bukanlah mengusik kesunyian dan keheningan mereka... melainkan membiarkan mereka tetap hening dan sunyi.

Tidak Ada Sianida Dalam Kasus Kopi Bersianida

Sekarang aku benar-benar paham apa yang SEBENARNYA terjadi pada kasus kopi bersianida. Kasus itu sama sekali TIDAK melibatkan sianida.

Dari dulu aku kebingungan bagaimana menjelaskan keberadaan sianida di gelas kopi. Sekarang aku memahami, TIDAK ADA sianida di gelas kopi!

Dalam memahami kasus kematian Mirna, inti kebingunganku hanya pada sianida di gelas kopi. Sekarang aku paham bagaimana kasus ini terjadi.

Kasus kopi bersianida, sebenarnya, begitu jelas dan gamblang. Sebegitu jelas, hingga aku heran kenapa tidak menyadarinya sejak awal.

Keberadaan sianida di gelas Mirna membuat kasus kematiannya membingungkan. Singkirkan sianida di gelasnya, dan kita pun akan langsung paham.

“Jika bukan Jessica yang menaruh sianida di gelas Mirna, lalu siapa?” Sekarang aku tahu jawabannya: “Tidak ada sianida di gelas Mirna!”

Dulu aku masih ragu mengenai apakah Jessica benar tidak bersalah, ataukah memang bersalah. Sekarang aku tahu sepenuhnya, dia tidak bersalah.

Semoga Tuhan melindungimu, Jessica. Dan semoga kebenaran membebaskanmu.


*) Ditranskrip dari timeline ‏@noffret, 12 November 2016.

Takdir Trump

Ada kalanya kesewenang-wenangan mayoritas terhadap minoritas perlu ditegur dan diingatkan. Meski dengan cara kasar. Misal kemenangan Trump.

Kemungkinan besar Trump memang memenangkan pemilu presiden. Bukan karena apa pun, tapi karena sesuatu dalam visinya.

Kita tidak bisa mengutuk Trump atas sikapnya, atau apa yang akan dilakukannya, karena sikapnya adalah sikap mayoritas kita pada sesama.

Trump adalah monster idiot keras kepala, merasa paling benar sendiri, dan sewenang-wenang pada minoritas. Biar saja, toh kita juga sama.

Trump akhirnya menang. Perang Dunia III segera menjelang. Cepat atau lambat, peristiwa itu pasti akan datang. » http://bit.ly/2cXJAZM 


*) Ditranskrip dari timeline ‏@noffret, 9 November 2016.

Ahok atau Bukan Ahok

Mungkin nasib Ahok akan lebih baik, kalau saja dia “keseleo lidah” di waktu lain, bukan menjelang pilkada.

Ahok atau bukan Ahok, masalah tidak akan selesai, kalau sistem nilai yang digunakan hanya sebatas fanatisme dan suka atau tidak suka.

Persoalan kita tampaknya cuma suka atau tidak suka, sehingga menumpulkan objektivitas, dan merabunkan mata untuk melihat benar dan salah.


*) Ditranskrip dari timeline ‏@noffret, 2 November 2016.

Jumat, 18 November 2016

Tinjauan Ilmiah Untuk Pertanyaan “Kapan Kawin?” Dan Pengaruhnya Terhadap Kewarasan Serta Kemaslahatan Umat Manusia

Jika pertanyaan “kapan cerai?” dianggap tidak sopan,
kenapa pertanyaan “kapan kawin?” dianggap sopan?
@noffret


Saya tahu judul catatan ini terdengar lebay. Tetapi, orang yang suka bertanya “kapan kawin?” pada orang lain juga lebay. Oh, well, sangat lebay! Jadi, mari kita bahas dan pikirkan persoalan lebay ini secara ilmiah, agar kita tidak terus menerus hidup dalam peradaban yang lebay.

Dulu, saya pernah menulis catatan berjudul Pertanyaan Paling Sia-sia di Dunia, yang juga membahas pertanyaan “kapan kawin?” yang biasa dimuntahkan orang-orang kurang kerjaan kepada sesamanya. Di catatan itu, saya mengatakan bahwa pertanyaan “kapan kawin?” adalah pertanyaan paling sia-sia di dunia. Sebegitu sia-sia, hingga seharusnya pertanyaan itu dibuang ke dasar kerak neraka.

Sekarang, dalam catatan ini, kita akan meninjau lebih dalam betapa tolol dan sia-sia pertanyaan “kapan kawin?”, terkait dengan kewarasan dan kemaslahatan hidup kita bersama. Karenanya, kalau kalian kebetulan sering kebingungan karena kerap ditanya “kapan kawin?”, kalian bisa menunjukkan catatan ini kepada siapa pun yang bertanya, agar mereka bisa membaca.

Mari kita mulai dari premis ini: Manusia tidak bisa mengetahui segalanya.

Tidak ada yang bisa membantah kenyataan itu, bahwa kita—manusia—tidak bisa mengetahui segala-galanya. Bahkan orang yang paling pintar pun tidak! Bahkan orang yang paling cerdas pun tidak! Bahkan orang yang paling genius pun tidak! Tidak ada satu pun manusia yang bisa mengetahui segala-galanya. Di antara banyak hal yang tidak diketahui manusia adalah rezeki, maut, dan jodoh.

Sejak kecil, atau setidaknya sejak remaja, kita telah diberitahu bahwa tiga hal itu—rezeki, maut, dan jodoh—adalah rahasia Tuhan. Sebagai manusia, kita hanya bisa bekerja dan berusaha, namun Tuhanlah yang menentukan rezeki kita. Yang saat ini masih menganggur, misalnya, rata-rata tidak tahu di mana kelak akan memperoleh pekerjaan, atau kapan akan mendapat pekerjaan, atau di mana akan menemukan pekerjaan. Kita hanya bisa berusaha, mencoba melamar ke berbagai tempat, tapi kepastian adalah rahasia Tuhan.

Yang bekerja sebagai pedagang juga tidak tahu bagaimana rezekinya besok pagi. Yang jualan nasi, jualan batik, jualan mainan, jualan telur, tidak ada satu pun yang bisa memastikan bagaimana rezeki mereka besok. Yang bisa mereka lakukan hanyalah berusaha sebaik-baiknya, bekerja sebaik-baiknya, dan sisanya menjadi rahasia Tuhan.

Begitu pun yang saat ini miskin, melarat, dan berkekurangan. Rata-rata orang ingin hidup lebih baik, kaya, dan berkelimpahan. Tetapi, lagi-lagi, rezeki adalah rahasia Tuhan. Ada orang yang puluhan tahun menjalani kemiskinan, lalu nasibnya berubah menjadi kaya-raya. Ada pula yang semula kaya-raya berubah menjadi miskin. Sementara yang lain menjalani hidup pas-pasan dan merasa sulit melakukan perubahan meski telah bekerja keras. Semuanya menyangkut rezeki, dan rezeki adalah rahasia Tuhan.

Sekarang, cobalah kita bertanya pada pengangguran mana pun, “Kapan kamu akan kerja?” Apakah pertanyaan itu sopan?

Atau tanyakan pada pedagang mana pun, “Kapan daganganmu akan laku?” Apakah pertanyaan itu sopan?

Begitu pula, kalau kita bertanya pada tetangga kita yang miskin, “Kapan kamu akan kaya?” Apakah pertanyaan itu sopan?

Rata-rata pengangguran ingin dapat kerja. Rata-rata pedagang ingin dagangannya laku. Rata-rata orang miskin ingin kaya. Kenapa sesuatu yang amat jelas itu masih ditanyakan dengan cara menyakitkan?

Rezeki adalah urusan Tuhan, bukan urusan manusia. Urusan manusia hanyalah berusaha, dan bekerja sebaik-baiknya. Kita tidak tahu kapan, di mana, dan bagaimana, rezeki akan datang. Begitu pula orang lain.

Selain rezeki, maut juga termasuk rahasia Tuhan, karena tidak ada satu orang pun yang tahu kapan, di mana, dan bagaimana, dia akan mati. Kita yang masih bernapas hanya bisa berusaha hidup dengan baik, menjaga kesehatan dengan baik, selalu berhati-hati agar tidak celaka. Tetapi, bagaimana pun, kematian adalah rahasia Tuhan. Tak peduli sehati-hati apa pun, tak peduli sesehat apa pun, orang tetap akan mati kalau Tuhan menghendaki. Sebaliknya, meski sudah sakit bertahun-tahun, orang tetap hidup jika Tuhan belum menghendaki dia mati.

Sekarang, cobalah kita bertanya pada tetangga kita, “Kapan kamu akan mati?” Apakah pertanyaan itu sopan?

Atau, cobalah jenguk temanmu yang sedang sakit, dan tanyalah, “Kapan kamu akan mati?” Apakah pertanyaan itu sopan?

Jangankan orang sehat, jangankan orang yang ingin terus hidup, bahkan orang yang jelas-jelas ingin mati pun akan marah, jika ditanya seperti itu. Kita tidak bisa, dan tidak layak, bertanya kapan seseorang akan mati—bukan semata karena maut adalah rahasia Tuhan, tetapi juga karena pertanyaan itu tidak sopan. Orang waras mana pun tentu tahu hal itu.

Setelah rezeki dan maut, hal ketiga yang juga menjadi rahasia Tuhan adalah jodoh. Kita—masing-masing orang—tidak tahu siapa yang akan menjadi jodoh kita, kapan akan bertemu jodoh, bagaimana caranya, atau dengan jalan apa. Semuanya misteri, karena memang rahasia Ilahi. Jangankan kita yang menjomblo bertahun-tahun, bahkan yang telah pacaran bertahun-tahun pun tidak terjamin berjodoh.

Di sekeliling kita ada banyak orang—lelaki maupun perempuan—yang masih lajang, belum menemukan jodoh atau pasangan. Tidak semua dari mereka memang ingin melajang. Sebagian besar dari mereka ingin menikah, ingin mendapat jodoh, ingin punya pasangan. Tetapi, kita tahu, jodoh adalah rahasia Tuhan. Jangankan kita, bahkan mereka sendiri pun tidak tahu siapa jodohnya.

Jika kita bertanya “kapan kawin?” kepada mereka, kita sedang mencederai akal sehat kita sendiri, sekaligus menistakan manusia lain. Pertanyaan “kapan kawin?” terkait dengan jodoh, dan jodoh adalah urusan Tuhan. Karenanya, pertanyaan “kapan kawin?” seharusnya ditanyakan kepada Tuhan, bukan kepada sesama manusia, karena tidak ada satu pun manusia yang tahu.

Lajang yang ingin menikah tak jauh beda dengan pengangguran yang ingin bekerja, atau dengan orang hidup yang ingin selalu sehat. Sebagaimana pertanyaan “kapan mati?” tidak layak diajukan kepada siapa pun yang masih hidup, pertanyaan “kapan kawin?” juga tidak layak diajukan kepada siapa pun yang masih lajang. Karena tidak sopan. Karena rezeki, maut, dan jodoh, adalah rahasia Tuhan.

Jadi, marilah tutup cocot kita rapat-rapat, dan mulailah belajar berempati. Berempati adalah menempatkan diri kita pada posisi orang lain, sebelum menasihati apalagi menghakimi orang lain. Sebagaimana orang miskin ingin kaya, pengangguran ingin bekerja, dan orang hidup ingin sehat selamanya, orang-orang yang masih lajang pun menantikan jodoh mereka.

Karenanya, tidak usah meributkan mereka, sebab hal itu—rezeki, maut, dan jodoh—adalah urusan masing-masing manusia dengan Tuhannya. Biarkan mereka berusaha sebaik-baiknya, tanpa harus diganggu oleh ucapan atau sindiran kita yang menyakitkan. Akan lebih baik jika kita bisa membantu mereka untuk mendapat kerja, meraih rezeki, atau memperoleh jodoh. Namun, jika tidak bisa, tutuplah cocotmu!

Jadi, itu premis yang pertama. Bahwa tidak ada manusia yang bisa tahu segalanya, khususnya dalam hal rezeki, maut, dan jodoh.

Premis kedua: Kapan adalah pertanyaan sejarah.

Satu-satunya pertanyaan yang boleh diawali “kapan” adalah pertanyaan yang terkait sejarah, atau masa lampau, atau setidaknya sesuatu yang telah terjadi. Jika pertanyaan kita tidak terkait dengan sejarah atau segala sesuatu yang telah terjadi, kita tidak layak menggunakan “kapan”, karena kenyataannya tidak ada kepastian. Ingat premis pertama, bahwa tidak ada manusia yang bisa tahu segalanya, termasuk kepastian “kapan”.

Kita bisa bertanya, “Kapan Jepang menjajah Indonesia?” Atau, “Kapan Soekarno membacakan teks proklamasi Republik Indonesia?” Atau, “Kapan Bung Hatta meninggal dunia?” Itu pertanyaan-pertanyaan sejarah, masa lampau, sesuatu yang telah terjadi, dan kita bisa menjawab dengan jelas. Kalau pun kita tidak tahu, kita bisa mencari tahu, karena ada referensi sejarah yang bisa dipelajari.

Tetapi, kita tidak bisa menggunakan “kapan” untuk pertanyaan atas sesuatu yang belum terjadi. Contohnya terkait dengan tiga hal di atas, yaitu rezeki, maut, dan jodoh. Kita tidak bisa menggunakan “kapan” untuk bertanya, “Kapan kamu akan dapat rezeki?” atau “Kapan kamu akan mati?” atau “Kapan kamu akan kawin?” Itu hal-hal yang belum terjadi, sehingga masing-masing orang hanya bisa berharap, merencanakan, dan berusaha, namun tetap tidak bisa memastikan “kapan” waktunya.

Oh, mungkin seorang penulis bisa saja ditanya, “Kapan buku keduamu akan terbit?” Karena sudah ada perjanjian dengan penerbit, si penulis mungkin bisa menjawab, “Nanti, tanggal sekian bulan sekian.” Tetapi, itu hanya prediksi, bukan sesuatu yang pasti. Karena selalu ada kemungkinan perubahan, selalu ada kemungkinan force majour, selalu ada kemungkinan yang menjadikan rencana berganti.

Bahkan untuk sesuatu yang telah memiliki perjanjian jelas pun bisa saja berubah, apalagi untuk hal-hal lain yang tidak memiliki perjanjian? Seperti kapan akan mendapat rezeki, kapan akan mati, dan kapan akan menikah. Karenanya, sekali lagi, pertanyaan “kapan” hanya tepat digunakan jika terkait dengan sejarah atau hal-hal yang telah lampau, sehingga siapa pun bisa menjawab dengan pasti.

Karena itu, sekali lagi, berhentilah bertanya “kapan” jika terkait hal-hal yang belum jelas. Karena itu tidak sopan. Karena itu mencederai akal sehat. Karena itu tidak ilmiah. Karena itu tidak akademis. Dan, di atas semua itu, karena pertanyaan “kapan” bisa menyakiti perasaan orang lain.

Jika kita ingin bertanya pada teman yang masih menganggur, jangan gunakan “kapan”. Alih-alih bertanya “kapan kerja?” lebih baik gunakan pertanyaan yang lebih empatik, seperti, “apa”, “di mana”, atau “bagaimana”. Daripada bertanya “kapan kerja?”, lebih baik bertanya, “apa pekerjaan yang kamu inginkan?”, atau, “di mana kamu ingin bekerja?”, atau—lebih baik lagi—“bagaimana aku bisa membantumu?”

Begitu pula jika ingin bertanya pada teman yang masih lajang. Hindari menggunakan pertanyaan “kapan” semisal “kapan kawin?”, karena itu pertanyaan yang tidak akan bisa mereka jawab. Sebagaimana orang hidup ditanya kapan mati, orang yang masih lajang juga tidak tahu kapan mereka akan kawin. Kenapa sesuatu yang sangat jelas dan sederhana semacam itu sulit dipahami?

Sekali lagi, belajarlah berempati, dan bukan hanya sibuk melatih lidah demi bisa merasa tinggi hati. Setiap kali kita ingin bertanya pada siapa pun, tanyakan terlebih dulu pertanyaan itu pada diri sendiri; apakah pertanyaan itu akan menyakiti atau tidak? Jika kita merasa tersakiti oleh pertanyaan itu, jangan tanyakan pada orang lain! Kalau kau bertanya kepada saya “kapan kamu kawin?”, maka saya akan balik bertanya kepadamu “kapan kamu mati?”

Akhirnya, untuk menutup catatan ini, mari kita ingat kembali poin-poin penting di atas. Pertama, tidak ada manusia yang bisa mengetahui segalanya, khususnya terkait rezeki, maut, dan jodoh. Kedua, istilah “kapan” hanya tepat digunakan untuk pertanyaan terkait sejarah atau masa lampau, dan tidak layak digunakan untuk sesuatu yang belum pasti. Ketiga, lebih penting dari yang lain, belajarlah berempati... dan tutuplah cocotmu!

Lebih Hina dari Binatang Ternak

Menikah itu urusan private. Menyuruh-nyuruh orang lain menikah, atau hobi bertanya kapan kawin, itu menunjukkan pelakunya tidak beradab.

Manusia tidak hidup untuk menjadi hewan ternak. Menikah atau tidak adalah soal pilihan, begitu pula punya anak atau tidak.

Ada seribu satu cara yang digunakan orang-orang menikah untuk menyuruh dan memprovokasi orang lain agar cepat menikah. Mengherankan, eh?

Mengapa orang yang menikah sangat hobi menyuruh-nyuruh dan memprovokasi orang lain cepat menikah? Ini jawabannya » http://bit.ly/1IHLlBp

Menyuruh-nyuruh dan memprovokasi orang cepat menikah dan cepat punya anak itu sama menganggap bahwa manusia adalah binatang ternak.

Di mataku, di hatiku, orang-orang yang suka menyuruh dan memprovokasi orang-orang lain cepat menikah itu lebih hina dari binatang ternak.

Binatang ternak memang hidup untuk beternak, dan tidak memiliki akal pikiran. Manusia mengaku mulia, tapi menjalani hidup serendah mereka.

Perbedaan esensial antara manusia dengan binatang ternak adalah... manusia menikah karena pilihan, sedangkan binatang karena kewajiban.

Binatang ternak memang harus kawin, karena tidak memiliki tujuan serta pilihan hidup selain kawin. Lha kok manusia mau meniru seperti itu.

Tak peduli setinggi apa pun pendidikanmu, sehebat apa pun dirimu, selama kau menyuruh-nyuruh orang lain cepat kawin... kau binatang ternak!

Jawaban terbaik untuk pertanyaan “Kapan kawin?” adalah, “Maaf, aku tidak serendah dan sehina dirimu. Hidup kok cuma untuk kawin!”


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 September 2016.

Menikah dan Beli Togel

Orang yang suka menyuruh orang-orang menikah itu seperti penjual nomor togel. Menyuruh orang lain meyakini, tapi dia sendiri tidak yakin.

Ada keparat-keparat jualan ramalan togel, dan berani menjamin kalau nomor ramalannya akurat. KENAPA TIDAK DIA BELI SENDIRI SAJA NOMOR ITU?

Yang konyol, ada banyak idiot yang mau percaya dan membeli nomor ramalan togel dan berharap bisa menang. Kenapa? KARENA NAFSU DAN KEBODOHAN.

Lama-lama aku makin menyadari bahwa upaya menyuruh-nyuruh orang lain agar cepat menikah adalah sebentuk pembodohan massal.

“Kamu kapan mau menikah?” | “APA...? KAMU SUDAH TAK SABAR INGIN MELIHATKU MENYESAL, SENGSARA, DAN MENYEDIHKAN SEPERTIMU? YANG BENAR SAJA!”

Kepada para lelaki yang istrinya suka menyuruh-nyuruh orang lain cepat kawin, nasihatilah dia, agar tidak membuka aib perkawinan sendiri.

Kepada para wanita yang suaminya suka menyuruh-nyuruh orang lain cepat kawin, ingatkanlah dia, agar tidak usah membohongi orang-orang lain.

Kapan pun aku melihat orang menyuruh orang lain cepat kawin, aku tahu dia sedang menghibur diri sambil berusaha menjerumuskan orang lain.

Tahu perbedaan orang yang bahagia atau menderita dalam perkawinannya? YANG BAHAGIA TIDAK PEDULI KAU AKAN KAWIN ATAU TIDAK.

Kapan pun kau menemukan orang yang suka menyuruh-nyuruhmu cepat kawin, dia orang yang menderita. Hiburlah dia... atau gampar saja cocotnya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 Oktober 2016.

Keindahan yang Ngapusi

Di rumah, jadi pelaku KDRT. Di Twitter, sok bijak sambil memprovokasi orang-orang lain agar cepat kawin. Huebat!

Di rumah, melemparkan setrika hingga samurai pada istrinya. Di Twitter, bertingkah sok bijak sambil berkata, “Menikah itu indah.” Uasuuu!

“Menikah itu indah, ayo menikahlah. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” | Sudahlah. Berhentilah membohongi diri sendiri dan orang lain.

Sebagai bocah, aku lebih percaya pada kenikmatan batagor, daripada ocehan tetek bengek tapi ngapusi soal indahnya menikah. Taik kucing!

Mari kita ganti pertanyaan “KAPAN KAWIN?” menjadi “KAPAN MIKIR?” Karena belajar jauh lebih mulia daripada sibuk mengurusi selangkangan.

“Menikah itu indah, dan membuatmu tenteram, damai, dan bahagia.” | NGAPUSI. Karena kalau memang benar begitu, kamu TIDAK AKAN MENGATAKANNYA.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 Oktober 2016.

Senin, 14 November 2016

Tak Ada Jalan Pulang

Sang Div menggeram dan mengetuk-ngetuk dagu.
“Aku pernah mengambil banyak anak dari banyak ayah,” katanya.
—Khaled Hosseini


Kota paling tinggi di dunia adalah La Rinconada, yang ada di pelosok Andes, Peru. Tidak ada kota lain yang lebih tinggi dibanding La Rinconada. Kota ini berada di ketinggian 16.732 kaki (5.100 meter) di atas permukaan laut (mdpl). Itu lebih tinggi dibanding puncak Carstensz di Papua, yang “cuma” 4.884 mdpl. Karenanya pula, La Rinconada menjadi kota pegunungan yang menjulang ke langit.

Membicarakan La Rinconada sama artinya membicarakan ironi dunia, dan wajah kelam manusia. Di masa lalu, kawasan La Rinconada bukanlah kota, melainkan tempat sunyi sebagaimana umumnya lahan di puncak pegunungan. Perubahan mulai terjadi, ketika di sana ditemukan tambang emas. Sejak itu, semuanya berubah. Tempat yang semula sunyi sepi mulai penuh sesak manusia.

Mula-mula, hanya terdapat sebuah kamp pertambangan emas, yang dihuni sekelompok pekerja. Tetapi, perlahan namun pasti, jumlah orang yang tinggal di sana terus bertambah dan semakin banyak. Dan yang banyak itu saling kawin dan beranak-pinak, hingga La Rinconada dihuni oleh lebih dari 50.000 orang.

Setelah menjadi kota, La Rinconada masuk dalam distrik Ananea di Provinsi San Antonio de Putina. Jika kita datang dari Lima—ibu kota Peru—perjalanan ke sana bisa ditempuh dengan pesawat selama 2 jam, melalui Kota Puno. Setelah itu dilanjutkan naik bus selama 6 jam. Semakin dekat dengan La Rinconada, udara semakin dingin. Saat akhirnya sampai di sana, salju akan tampak di mana-mana.

Apa yang menarik di La Rinconada? Bisa dibilang tidak ada!

Secara geografis, wilayah La Rinconada sebenarnya bukan tempat yang layak huni, apalagi untuk didatangi wisatawan. Sementara keberadaannya di puncak pegunungan menjadikan udara di sana sangat tipis, sehingga kita kesulitan bernapas, sementara awan tebal terus menyelimuti seisi kota. Setiap hari, penduduk La Rinconada menjalani kehidupan semacam itu.

Jadi, sekali lagi, tidak ada yang menarik di La Rinconada. Pemandangan di sana bahkan bisa didapatkan di tempat lain yang jauh lebih mudah dijangkau, dengan suasana yang lebih nyaman. Yang menarik di La Rinconada, sebenarnya, justru kisah di baliknya.

Seperti yang disebut tadi, awal mula Kota La Rinconada adalah tambang emas yang ditemukan di sana, yang kemudian menarik banyak orang (penduduk lokal, Peru) berdatangan ke sana. Di masa lalu, tambang emas itu memang cukup berlimpah, dan orang-orang yang bekerja sebagai penambang bisa mendapat hasil memuaskan, sehingga semakin banyak menarik orang lain ke sana. Karenanya, semua penduduk La Rinconada adalah para pekerja yang beremigrasi ke lokasi terpencil tersebut untuk memperoleh pekerjaan dan emas.

Para penambang itu tidak bekerja secara mandiri, dalam arti mereka menjadi pekerja atau buruh untuk perusahaan yang menguasai tambang emas tersebut. Mereka bekerja dengan sistem pembayaran yang aneh, yang disebut "cachorreo". Jadi, para pekerja di sana akan bekerja selama 30 hari tanpa dibayar apa pun. Memasuki hari ke-31, mereka diizinkan untuk mengambil bijih emas dari tambang sebanyak yang dapat mereka bawa. Apa pun yang dapat mereka ekstrak dari bijih tersebut, sepenuhnya menjadi milik mereka.

Itulah yang mengiming-imingi banyak orang berdatangan ke La Rinconada. Mereka membawa impian cepat kaya dalam waktu singkat.

Dulu, ketika tambang emas masih berlimpah, para pekerja memang bisa mendapatkan hasil besar. Tetapi, sesubur apa pun sebuah tambang, tetap saja memiliki batas. Semakin banyak orang ikut menambang, semakin banyak bijih dikeruk, semakin berkurang kekayaan tambang. Makin lama, hasil yang bisa diperoleh para penambang kian sedikit dan terus menyusut.

Karena itu pula, meski hampir seluruh sumber ekonomi La Rinconada berasal dari tambang emas, namun penduduk La Rinconada menjalani kehidupan memprihatinkan. Tidak hanya secara ekonomi, infrastruktur kota itu juga tetap miskin. Di sana tidak ada pipa saluran air, dan tidak memiliki sistem sanitasi. Kenyataan itu diperkirakan karena kekhawatiran terjadinya kontaminasi merkuri, yang berasal dari praktik pertambangan yang dilakukan. Karenanya, penduduk di sana tidak bisa melakukan apa-apa, dan hidup seadanya.

Meski kondisi kota bisa dibilang miskin, dan para pekerja di sana dibayar dengan sistem nonkonvensional (tidak umum), namun para penambang terus berdatangan ke sana. Dalam satu dekade terakhir, populasi di kawasan La Rinconada bahkan meningkat hingga 230 persen. Jadilah kota pegunungan itu seperti kota metropolitan yang padat. Bedanya, di sana tidak ada mal megah dan gedung pencakar langit.

Kian hari, kondisi La Rinconada semakin memprihatinkan. Penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Barang-barang kebutuhan sehari-hari sulit diperoleh, sementara anak-anak di sana tidak bersekolah, karena harus ikut bekerja mencari uang. Sebenarnya, di sana bahkan tidak ada sekolah. Setidaknya ada 23 ribu anak di sana, berkeliaran, mengais sampah, mencari uang. Itu, kalau dipikir-pikir, sangat ironis, karena mereka tinggal di tambang emas!

Dan tambang emas yang menarik banyak orang ke sana kini telah menjadi tambang kering yang tak memberi apa pun. Selain karena isinya telah terkuras, di sana juga terlalu banyak orang yang saling berebut. Akibatnya, masing-masing hanya mendapatkan sedikit, dan yang sedikit itu kian hari makin sedikit. Setiap hari, mereka mencoba mengorek-ngorek tambang, tapi semakin sulit menemukan emas. Intinya, sumber kekayaan di La Rinconada telah habis.

Jika memang di La Rinconada tidak ada emas lagi, dan tidak ada apa pun yang bisa diharapkan, kenapa orang-orang masih tetap tinggal di sana?

Jawabannya sederhana; karena mereka tidak punya pilihan.

Dulu, saat orang-orang berdatangan ke sana, mereka begitu yakin dapat kaya dalam waktu singkat, dengan emas yang akan mereka peroleh. Maka mereka pun berangkat ke La Rinconada, dan tanpa pikir panjang membangun kehidupan baru di sana.

Karena merasa bisa hidup enak—dari hasil tambang—mereka pun menikah, dan memboyong pasangannya ke sana. Di sana, mereka beranak-pinak. Semakin banyak orang yang melakukan hal serupa, hingga sebuah komunitas tumbuh di sana. Semula, semuanya tampak baik-baik saja. Tapi mereka melupakan satu hal, bahwa tidak ada tambang emas yang abadi.

Ketika akhirnya La Rinconada menjadi kota—dengan penduduk berjumlah puluhan ribu—mereka pun menghadapi kenyataan mengerikan. Kekayaan tambang emas itu habis, dan mereka kebingungan bagaimana melanjutkan hidup. Kehidupan yang semula tampak baik-baik saja berubah drastis. Mereka akhirnya menyadari tidak bisa melanjutkan apalagi mempertahankan hidup di La Rinconada, dan sudah saatnya mereka pulang.

Tapi mau pulang ke mana?

Mereka sudah memutuskan untuk hidup di sana, di La Rinconada, dan—selama bertahun-tahun—sudah terputus dari kehidupan luar. Karenanya, mereka tak punya pilihan selain tetap tinggal di sana, meneruskan kehidupan memprihatinkan, karena—bagaimana pun—mereka telah terikat dengan tempat tinggal, dengan pasangan, dengan anak-anak. Lebih dari itu, mereka juga malu jika harus kembali ke kampung halaman, karena dulu begitu yakin dapat membangun hidup baru di La Rinconada.

Mereka tidak lagi punya pilihan... oh, well, tak punya pilihan lagi, karena mereka telah menutup pilihannya sendiri.

Jika kita datang ke La Rinconada, yang akan kita dapati adalah perkotaan berisi rumah-rumah sederhana beratap seng. Meski berada di pegunungan, La Rinconada tidak jauh beda dengan kota-kota lain yang biasa kita kenal. Bedanya, suhu di sana sangat dingin. Paling hangat cuma 10 derajat Celcius, sehingga banyak turis yang mengalami sesak napas selama berada di sana.

Jadi, secara keseluruhan, La Rinconada bisa diilustrasikan seperti ini: Kota dengan penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, tanpa saluran air, tanpa sanitasi, tinggal di rumah-rumah sangat sederhana, sangat sulit mendapat uang karena pekerjaan sehari-hari hanya mengorek-ngorek tambang yang telah kering, barang-barang dan makanan sulit diperoleh, sementara anak-anak tumbuh tanpa pendidikan. Di atas semua itu, salju dan awan tebal setiap saat menyelimuti, sehingga hidup di sana benar-benar tidak nyaman.

Apakah itu sudah terdengar suram? Tunggu, kalian belum mendengar yang lebih suram.

Karena sulitnya mendapatkan pekerjaan dan uang, kejahatan tumbuh di La Rinconada, dan kebanyakan memangsa para wisatawan kurang kerjaan yang mau-maunya datang ke sana. Orang-orang yang semula bekerja sebagai penambang emas, kini banyak yang berubah menjadi geng atau kelompok kriminal. Semantara, di malam hari, anak-anak perempuan di La Rinconada menjadi pekerja seks komersial demi bisa makan.

Masalah kriminalitas dan prostitusi yang tumbuh subur di La Rinconada sebenarnya sudah sangat meresahkan, dan pemerintah Peru sudah mengetahui kenyataan itu. Tetapi, tampaknya, upaya yang dilakukan pemerintah tidak mempan untuk penduduk La Rinconada. Bahkan, bisa dibilang, polisi sama sekali tidak ditakuti di La Rinconada. Karena penduduk di sana lebih takut kelaparan!

Karenanya, seperti yang dibilang tadi, membicarakan La Rinconada sama artinya membicarakan ironi dunia, dan wajah kelam manusia. Ironi dunia—sesuatu yang semula mengundang banyak orang dan tampak menjanjikan, tapi berubah menjadi impian kosong. Dan wajah kelam manusia—ketika mereka harus berhadapan dengan kenyataan yang didasari pilihannya, yang kemudian membuat mereka tak bisa memilih lagi. Sebuah keberangkatan tanpa jalan pulang.

Insiden Kedua

Bahkan umpama aku jatuh cinta setengah mati pada seseorang,
dan dia mencoba mempersulitku, aku akan bilang persetan dengannya.
@noffret


Dunia ini kecil. Kau bisa pergi ke tempat yang sangat jauh atau terpencil, berpikir tidak akan ada yang mengenalimu, tapi ternyata di sana ada orang yang kaukenal. Seperti lelaki ini.

Sendirian, dia pergi ke suatu tempat yang ia pikir tidak ada yang mengenali, tapi ternyata bertemu seseorang yang pernah bertemu dengannya—seorang wanita yang pernah ia temui di sebuah rumah makan terpencil.

“Tidak mungkin,” pikirnya. Kepergiannya ke tempat itu tidak diketahui siapa pun, apalagi oleh si wanita yang sebenarnya tidak mengenalnya. Bagaimana mereka bisa kembali bertemu di sini?

Tapi mereka bertemu di sana, saling berpapasan saat melangkah di sebuah jembatan yang rindang. Mereka saling melangkah ke depan—face to face—hingga tak ada kesempatan untuk menghindar. Bahkan sejak jarak mereka masih beberapa meter, mereka telah sama-sama saling mengenali.

Saat langkah mereka akhirnya bertemu, si lelaki menyapa dengan serbasalah, “Sepertinya aku mengenalmu.”

“Begitu pun aku.” Si wanita tersenyum. “Kau sosok yang tak mudah dilupakan.”

“Aku tersanjung.”

Mereka berhenti di bibir jembatan, berhadapan.

“Apa yang kaulakukan di sini?” tanya si wanita.

“Kau tidak ingin tahu.”

Si wanita kembali tersenyum—sejenis senyum yang pasti telah meluluhkan banyak salju membeku. “Kalau aku kembali menawari makan malam, kau setuju?”

“Asal aku tidak mendengar penolakan.”

“Kau lelaki dengan ego sangat besar.”

Si lelaki tersenyum. “Aku tidak malu mengakuinya.”

....
....

Mereka makan malam di sebuah tempat yang hening, dan tidak ada sepatah kata pun keluar selama makan berlangsung. Setelah makan, si lelaki menghabiskan minuman di gelas, menyulut rokok, sementara si wanita mengunyah butir anggur.

Sambil mengunyah anggur dengan santai, si wanita berkata, “Sebenarnya, aku tahu siapa dirimu.”

Si lelaki tersenyum. “Tentu saja kau tahu siapa aku.”

“Apa yang membuatmu mati-matian mengurung diri dalam kesendirian, dan mengelilingi diri dengan keangkuhan?”

“Kau sudah mengatakannya.”

Si wanita mengangguk. “Karena kau memiliki ego yang besar.”

Sejenak, keheningan menggantung di langit-langit. Restoran tempat mereka makan malam itu didatangi beberapa orang, tapi suasana begitu hening. Orang bercakap-cakap dengan suara lirih.

Sambil menatap si lelaki, si wanita berkata, “Apa yang terjadi dengan seorang lelaki yang memiliki ego begitu besar?”

Si lelaki mengisap rokoknya, mengembuskan asap beberapa saat, kemudian berkata perlahan-lahan, “Ada orang yang hidupnya dibangun dengan tawa keceriaan, ada orang yang hidupnya dibangun dengan kepercayaan dan keyakinan, ada orang yang hidupnya dibangun dengan ketidakpastian. Hidupku dibangun di atas luka. Sebegitu banyak luka yang kualami, hingga aku sangat peka. Persis seperti luka menganga yang tak juga sembuh, dan aku harus mati-matian menjaganya dari kemungkinan benturan atau goresan. Karena sesedikit apa pun goresan, luka yang ada akan semakin parah. Karena itulah aku sengaja membentengi diri dengan ego yang besar, sebagai bentuk pertahanan atas luka yang kualami. Agar perasaanku yang peka tidak mudah terluka, dan agar luka yang ada tidak semakin perih.”

“Karena itu, kau begitu sensitif dengan penolakan?”

“Sebenarnya, ya. Aku tidak malu mengakui bahwa aku sedemikian rapuh. Sebegitu rapuh, hingga aku menjaga diri agar tidak hancur. Oleh penolakan, oleh sikap menyakitkan, oleh apa pun yang hanya akan menambah luka. Dan aku telah diselamatkan, berkali-kali, oleh ego yang kumiliki. Dengannya, aku bisa bilang persetan kepada apa pun atau siapa pun yang mencoba melukaiku.”

“Kedengarannya menyakitkan.”

“Lebih dari yang kaubayangkan.”

Si wanita menatap si lelaki. Lalu berkata perlahan-lahan, “Kau, hati lembut yang mengeras karena luka, jiwa halus yang rapuh karena terlalu peka. Kau tahu apa yang kaubutuhkan?”

Si lelaki menatap mata si wanita. “Kau lebih tahu.”

....
....

Malam lebih panjang.

Mungkin Hutan di Sini

Oh, mungkin hutan di sini.

Rabu, 09 November 2016

Teman Saya Kapok Naik Haji

Pengalaman terbaik adalah pengalaman yang diceritakan secara jujur.
Itu menjadi guru terbaik bagi orang lain, dan bagi diri sendiri.
@noffret


Setiap kali orang bercerita tentang ibadah haji di Mekkah, rata-rata mereka menceritakan hal-hal yang asyik, hebat, menyenangkan, dan positif lainnya. Sebegitu menyenangkan, hingga mereka ingin sering beribadah haji ke Mekkah, kalau saja bisa. Selama ini, saya belum pernah mendengar orang mengatakan hal sebaliknya. Kapan pun orang bercerita tentang ibadah haji, yang selalu saya dengar adalah “hebat”, “asyik”, “menyenangkan”, dan seterusnya.

Jadi, saya pun percaya kalau ibadah haji ke Mekkah memang sangat menyenangkan. Karenanya, saya pun tidak heran ketika mendapati banyak orang sampai rela menabung bertahun-tahun demi bisa beribadah haji ke Mekkah. Sebagai salah satu ibadah, haji tampaknya memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki rata-rata ibadah lain. Bahkan, ibadah haji juga memberi “bonus”—khususnya bagi orang Indonesia—yaitu sebutan Pak Haji atau Bu Haji.

Bandingkan itu dengan ibadah atau bahkan rukun Islam lain. Haji termasuk rukun Islam. Tetapi, di antara semua rukun Islam, cuma haji yang istimewa. Orang yang shalat saban hari, tidak pernah dipanggil “Pak Shalat” atau “Bu Shalat”. Orang yang berzakat setiap tahun tidak pernah dipanggil “Pak Zakat” atau “Bu Zakat”. Tapi orang yang beribadah haji—meski hanya sekali seumur hidup—dipanggil “Pak Haji” atau “Bu Haji”.

Kalau kau pernah ke Mekkah untuk ibadah haji, kau berhak dan layak menempatkan huruf “H” di depan namamu, dan orang-orang akan lebih menghormatimu.

Jadi wajar kalau kemudian banyak orang sangat ingin beribadah haji. Karena, selain ibadah itu menyenangkan—sebagaimana yang biasa dikatakan orang-orang—ibadah haji juga memiliki semacam prestise. Atau semacam gelar yang mengukuhkan derajat seseorang lebih tinggi, dibanding rata-rata orang lain yang tidak memiliki gelar sama.

Tentu tidak semua orang ingin berangkat haji ke Mekkah karena motivasi itu. Banyak dari mereka yang beribadah haji semata-mata karena memang ingin beribadah, dan tidak ingin macam-macam, termasuk tidak ingin dipanggil Pak Haji atau Bu Haji. Lebih dari itu, ternyata tidak semua orang memiliki pengalaman menyenangkan selama berhaji—sebagaimana yang biasa dikatakan orang. Ada pula orang yang justru “kapok” naik haji. Teman saya bisa menjadi contoh dalam hal ini.

Teman saya, sebut saja Ihsan, berangkat ke Mekkah untuk beribadah haji bersama orangtua dan kakaknya. Jadi, mereka berempat pergi ke Mekkah bersama rombongan dari Indonesia. Sepulang dari Mekkah, seperti biasa, orang-orang pun mengunjungi mereka, untuk ikut bersuka cita karena mereka pulang dengan selamat.

Bersama teman-teman, saya ikut mengunjungi Ihsan setelah dia pulang dari Mekkah. Dalam kunjungan itu, kami pun mengobrol, dan meminta Ihsan menceritakan pengalamannya selama berhaji di Mekkah. Berbeda dengan umumnya cerita yang biasa kami dengar dari orang lain, Ihsan memiliki pengalaman berbeda. Bukannya berkata senang atau ingin kembali berhaji, Ihsan justru mengatakan, “Terus terang, aku kapok naik haji.”

Kami semua tercengang.

Perlu saya jelaskan terlebih dulu, Ihsan teman kami memang sosok yang suka ngablak, dan biasa berbicara apa adanya. Dia bukan orang yang suka jaim. Dia orang jujur dalam arti sebenarnya. Karena itu, ketika dia mengatakan kapok naik haji, kami pun percaya. Tetapi, tentu saja, kami penasaran ingin mendengar ceritanya, hingga ia kapok naik haji. Maka Ihsan pun bercerita.

“Aku benar-benar heran dengan orang yang mengatakan ibadah haji sangat menyenangkan,” ujar Ihsan terus terang. “Di sana (Mekkah) sangat panas, cuacanya sangat tidak ramah, dan itu—ditambah berbagai masalah lain—bisa membuat orang mudah emosi. Aku sampai sering bertengkar dengan kakakku gara-gara hal sepele, karena dipicu kondisi di sana yang memang tak bersahabat. Itu baru kondisi alam, belum yang lain.”

Setelah terdiam sejenak, Ihsan melanjutkan, “Kita ke Mekkah untuk ibadah haji, kan? Jadi, aku pun mengikuti rombongan untuk melaksanakan ibadah haji di sana, dan—terus terang—itu ibadah yang sangat berat, tak bisa dibilang menyenangkan, juga sangat melelahkan. Kita berdesak-desakan dengan jutaan orang yang sama-sama beribadah haji, dan tidak semua dari mereka orang ramah.”

Penjelasan mengenai hal itu sebenarnya masih panjang lebar, tapi sengaja saya potong sampai di situ.

“Itu baru soal ibadah,” lanjut Ihsan. “Belum lagi dalam urusan keseharian, seperti makan, minum, istirahat, dan lainnya. Ya ampun, dibandingkan kehidupan sehari-hariku di sini, terus terang jauh lebih enak di sini. Meski sederhana, aku di sini bisa makan dengan mudah, bisa beristirahat dengan layak. Lhah, di sana...? Semuanya serba susah, dan—sekali lagi—jauh dari kesan menyenangkan. Makanya aku heran dengan orang-orang yang mengatakan ibadah haji itu menyenangkan, hingga mereka ingin kembali ke sana. Di mana menyenangkannya...?”

Seorang teman kemudian bertanya, “Jadi, kamu tidak ingin kembali ke sana?”

Ihsan menjawab, “Seperti yang kubilang tadi, aku kapok. Kalau orang lain menganggap beribadah haji menyenangkan, itu urusan mereka, dan bisa jadi mereka memiliki pengalaman berbeda denganku. Tetapi, berdasarkan pengalamanku sendiri, semua yang kualami di sana sama sekali tidak bisa dibilang menyenangkan.”

Saat pulang dari rumah Ihsan, kami benar-benar mendapat “pengalaman baru”, meski dengan tercengang. Seumur-umur, baru kali itu kami mendengar ada orang yang kapok naik haji. Biasanya, setiap kali orang bercerita pengalamannya naik haji, yang terdengar adalah hal-hal hebat, asyik, menyenangkan, dan semacamnya. Ihsan punya pengalaman berbeda, dan itu membuat kami “terpesona”.

Karena penasaran dengan cerita dan pengalaman Ihsan, saya pun mencoba mengonfirmasikannya pada Iskandar. Dia orang yang sangat alim, tapi moderat. Dia juga pernah melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Lebih dari itu, Iskandar sosok yang bisa dipercaya. Jadi, saya ingin tahu bagaimana pendapat Iskandar mengenai cerita Ihsan.

Ketika mendengar saya menceritakan pengalaman Ihsan, Iskandar menyatakan, “Sebenarnya tidak aneh, kalau temanmu (Ihsan) punya pengalaman seperti itu. Karena nyatanya di sana memang panas, dan kondisi di sana memang kadang tidak ramah. Ritual ibadah yang dijalani juga relatif berat—itu bukan hal-hal menyenangkan.”

Saya jadi tergelitik, dan bertanya, “Tapi menurutmu, ibadah haji menyenangkan?”

“Aku tidak pernah mengatakan begitu,” jawab Iskandar. “Bagiku, ibadah haji tak jauh beda dengan ibadah lain, sama-sama ibadah. Ya sama seperti ibadah lain—ada senangnya, juga ada tidak senangnya. Ambil contoh yang jelas sajalah, seperti puasa misalnya. Sebagai ibadah, apakah puasa menyenangkan? Kalau kamu menganggapnya menyenangkan, itu urusanmu. Tetapi, menurutku, puasa sangat tidak menyenangkan, karena seharian harus menahan lapar dan haus. Memangnya apa yang menyenangkan dari hal semacam itu? Tetapi, begitu magrib tiba, dan kita bisa mulai makan minum, aku merasa minum setelah berpuasa seharian jauh lebih nikmat dibandingkan minuman yang kurasakan di hari-hari biasa.”

Saya mulai memahami maksudnya.

“Begitu pun ibadah lain, termasuk haji,” lanjut Iskandar. “Mengatakan bahwa ibadah haji pasti menyenangkan, itu berlebihan. Karena nyatanya—setidaknya berdasarkan pengalamanku sendiri—prosesi selama ibadah haji ada yang menyenangkan, ada pula yang tidak menyenangkan. Yang membedakan, mungkin, ada orang yang menikmati pengalaman menyenangkan lebih banyak, ada pula yang kebetulan menghadapi pengalaman menyenangkan lebih sedikit. Seperti Ihsan, temanmu. Mungkin dia kebetulan menghadapi pengalaman menyenangkan lebih sedikit, hingga mengatakan kapok naik haji. Bagiku, itu hal wajar. Kita toh tidak bisa menyalahkan pengalaman orang, wong itu pengalamannya. Dia yang mengalami, bukan kita.”

Setelah jeda beberapa saat, saya bertanya, “Tetapi, kenapa kebanyakan orang yang naik haji lebih sering mengatakan hal-hal hebat, menyenangkan, dan nyaris tidak pernah menjelaskan bahwa di sana juga ada hal-hal yang tidak atau kurang menyenangkan? Maksudku, kenapa mereka tidak menjelaskan secara jujur dan apa adanya mengenai keadaan di Mekkah—bahwa di sana ada hal menyenangkan, tapi juga ada yang tidak menyenangkan—sehingga orang-orang yang ingin naik haji lebih mampu menyiapkan mental.”

Iskandar tersenyum. “Kamu lebih tahu soal itu.”

“Sori?”

Senyum Iskandar makin lebar. “Itu urusan yang terkait sifat manusia, dan kamu lebih tahu sifat manusia.”

“Sebenarnya, aku tidak tahu.”

Setelah hening sejenak, akhirnya Iskandar berkata perlahan-lahan, “Manusia selalu berusaha membenarkan diri sendiri—atau setidaknya menjaga etika—terlepas apa pun yang dilakukan. Termasuk soal ibadah, seperti haji. Apalagi dalam kebudayaan kita, yang masih menganggap ibadah haji sebagai sesuatu yang hebat. Orang tidak mungkin berangkat ke Mekkah untuk ibadah haji, membayar sekian puluh juta, menunggu sampai lama untuk bisa berangkat, diantar orang sekampung, lalu pulang disambut keramaian, kemudian berkata blak-blakan bahwa dia kapok naik haji.”

Saya tersenyum. “Kecuali Ihsan.”

“Ya, kecuali Ihsan, temanmu. Dia pasti orang yang sangat jujur.” Lalu Iskandar melanjutkan, “Jadi, ketika kebanyakan orang mengatakan bahwa ibadah haji menyenangkan, hebat, dan semacamnya, itu upaya mereka untuk menjaga etika di hadapan orang-orang lain, karena mereka tentu berat untuk mengatakan hal sebaliknya, meski jika itu kenyataan atau pengalaman yang mereka hadapi. Bukankah memang begitu sifat alami manusia?”

Saya mengangguk.

Iskandar melanjutkan, “Mereka ingin tampak baik. Itu lebih terkait dengan sifat manusia, yang tidak ingin berbeda dengan pendapat umum masyarakat. Karena kebanyakan orang lain mengatakan ibadah haji menyenangkan, mereka pun berusaha menunjukkan hal yang sama. Mereka tidak ingin mencederai kepercayaan orang lain, dalam hal ini terkait haji. Mereka ingin orang lain punya kesan positif, bahwa mereka juga menikmati pengalaman beribadah haji yang menyenangkan—sama seperti orang-orang lain.”

Saya mengangguk-angguk, lalu berkata, “Jadi, yang terjadi sini—terkait pengalaman haji yang selalu terdengar menyenangkan—adalah upaya konformitas?”

Iskandar tersenyum. “Konformitas, atau kamu bisa menyebutnya sebagai kebohongan yang bisa dimaklumi bersama.”

Saya tertawa. “Seperti perkawinan, ya? Orang-orang selalu berusaha menunjukkan kalau perkawinan pasti menyenangkan, bahagia, dan lain-lain, meski sebenarnya belum tentu seperti itu.”

“Ya, seperti perkawinan,” ujar Iskandar. “Orang kerap menganggap perkawinan sebagai bagian dari ibadah, dan posisinya jadi mirip fenomena haji. Orang yang menikah, yang melangsungkan prosesi sejak melamar sampai diramaikan orang sekampung, yang telah menghabiskan banyak biaya untuk resepsi dan segala macam, apa iya mau blak-blakan mengakui kalau perkawinan ternyata tidak seindah yang mereka bayangkan? Lagi-lagi, ini sangat terkait dengan sifat manusia. Mereka ingin tampak senang, tampak beruntung, tampak baik. Apalagi, dalam perkawinan, ada pihak lain yang terlibat. Kita tidak mungkin mengatakan terang-terangan bahwa pasangan kita ternyata brengsek dan menjengkelkan, meski sebenarnya mungkin begitu.”

Saya jadi teringat, “Omong-omong, kamu akan menikah tidak lama lagi.”

“Ya.” Iskandar mengangguk. “Tetapi, aku menikah bukan karena tergiur iming-iming bahwa menikah pasti menyenangkan, atau akan melancarkan rezeki dan semacamnya. Kakak-kakakku telah menikah, dan aku tahu bagaimana keluarga mereka. Ada hal positifnya, ada pula hal negatifnya. Kalau kakakku mengatakan bahwa menikah pasti menyenangkan, aku tahu dia bohong. Aku akan menikah, tak lama lagi, semata-mata karena aku memang jatuh cinta pada calon istriku, dan kami telah bersepakat untuk hidup bersama, berbagi hidup, kegembiraan dan kedukaan.”

“Kedengarannya menyenangkan.”

“Kuharap begitu.” Setelah terdiam sesaat, Iskandar kembali berkata, “Bagaimana pun, kita toh menyadari hidup tidak hitam putih. Mengatakan bahwa kehidupanmu selalu bahagia, itu bohong. Sama bohong kalau mengatakan kehidupanmu selalu sengsara. Begitu pun hal lain. Ibadah haji, menikah, urusan kerja, dan lain-lain. Ada bahagianya, ada pula kedukaannya. Karenanya, kemarin, aku dan calon istriku juga membahas hal itu, bahwa kehidupan yang akan kami jalani tidak seindah ocehan orang-orang. Jauh lebih baik kami menyiapkan mental untuk menghadapi hal-hal buruk, daripada berharap hal-hal indah tapi justru merasa tertipu.”

Saya mengangguk-angguk. “Aku jadi penasaran, kira-kira bagaimana komentar Ihsan, kalau saja dia telah menikah...”

Iskandar tertawa.

Bocah yang Ingin Opname

Bocah ini berkata pada ibunya, “Ma, tiba-tiba aku ingin opname.”

Ibunya terkejut. “Kamu ingin... apa?”

“Opname.”

“Opname...? KENAPA KAMU INGIN OPNAME?”

“Soalnya, kata Hoeda Manis, sesekali kita perlu opname, Ma. Karena hidup ini sungguh sia-sia jika kita tidak pernah opname.”

Si ibu melotot. “Sebaiknya kamu berhenti membaca Hoeda Manis! Lama-lama kamu jadi sinting kayak dia!”

Noffret’s Note: Mendikbud

Pak Mendikbud. Anda dikutip katakan meniru sistem Finlandia dgn
sekolah sehari penuh. Jika benar anda bilang begitu, maaf, anda salah total.
@gm_gm

Sekolah di Finlandia justru cuma 5 jam, dan sangat menyenangkan.
Tanpa PR, tanpa ujian, tanpa tetek bengek.
@noffret


Mendikbud yang baru ini... sebenarnya bagaimana sih cara dia berpikir? Ide sekolah seharian... dan sekarang hukuman fisik dianggap bagus.
—Twitter, 11 Agustus 2016

Anak sepupuku sekolah seharian, karena katanya masuk “kelas luar biasa”. Aku bilang, mending tidak luar biasa, daripada sekolah seharian.
—Twitter, 11 Agustus 2016

Kalau aku jadi Mendikbud, mungkin hal pertama yang akan kulakukan adalah... membubarkan sekolah.
—Twitter, 11 Agustus 2016


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Kamis, 03 November 2016

Jejak-jejak Keanehan Kasus Kopi Sianida (2)

Catatan ini lanjutan catatan sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah catatan sebelumnya terlebih dulu.

***

Sekarang kita akan membicarakan sianida, yang konon digunakan dalam kasus ini. Jika kita memasukkan sianida ke dalam minuman, semisal kopi, kadar sianida itu akan menguap perlahan-lahan, dan benar-benar hilang (menjadi 0%) setelah dua hari.

Ada penelitian ilmiah yang pernah dilakukan untuk mengetahui seberapa lama sianida mampu bertahan, ketika dicampur ke dalam berbagai minuman. Dalam penelitian, para ilmuwan memasukkan sianida ke dalam gelas berisi Coca Cola, orange juice, kopi, susu, sake, dan air biasa. Masing-masing gelas diberi sianida dengan kadar yang sama, dan terus dipantau dari menit ke menit.

Pada menit pertama, kadar sianida masih bertahan 100% (sesuai kadar yang dimasukkan). Satu jam kemudian, kadar sianida pada masing-masing gelas itu turun, menjadi 80%. Enam jam kemudian, kadar sianida pada masing-masing gelas terus turun, menjadi 60%. Ketika mencapai waktu dua hari, kadar sianida pada masing-masing gelas benar-benar hilang, atau 0%.

Karenanya, pertanyaan tadi perlu diajukan. Selama lima hari itu, di mana posisi gelas Mirna? Lebih spesifik lagi, kapan polisi mulai melakukan pemeriksaan terhadap gelas Mirna, mengingat mereka baru melakukan olah TKP setelah lima hari kejadian? Dan apakah polisi yakin kalau gelas yang mereka periksa memang gelas Mirna, mengingat mereka tidak langsung mengamankan TKP (kafe) setelah peristiwa terjadi?

Itu kejanggalan kedua.

Kejanggalan ketiga, terkait sianida yang digunakan.

Polisi mengindikasikan bahwa tipe sianida yang terdapat di kopi Mirna adalah tipe HCN.

Hydrogen Cyanide atau HCN adalah zat sianida berbentuk cairan. Saat berada di bawah suhu 25,6 derajat Celcius, zat berbahaya ini tetap berbentuk cairan. Tetapi, ketika ada di ruangan bersuhu di atas 25,6 derajat Celcius, zat tersebut akan menguap menjadi gas.

Sekarang kita lihat tempat Mirna, Jessica, dan Hani, duduk di Kafe Olivier. Lokasi meja mereka berada di ruangan outdoor, yang tentu terpapar suhu Jakarta, dan pasti lebih dari 25,6 derajat Celcius. Jika Jessica memang membawa HCN, dan menuangkan racun itu ke dalam gelas Mirna, maka zat itu akan langsung menguap menjadi gas, dan—bisa dipastikan—akan terhirup Jessica. Artinya, jika memang itu yang terjadi, maka Jessica sendiri yang akan mati.

(Belakangan, keterangan mengenai HCN ini diralat, dengan menyatakan sianida yang digunakan berbentuk kristal).

Itu kejanggalan ketiga.

Kejanggalan yang keempat, terkait sianida di lambung Mirna.

Polisi menyatakan bahwa—dari otopsi yang dilakukan—mereka menemukan sianida di lambung Mirna. Dan karena itulah mereka menyimpulkan kalau Mirna tewas akibat sianida yang ada dalam gelas kopinya.

Pertanyaannya sederhana, kenapa di lambung?

Dalam pelajaran biologi, kita pasti telah belajar bahwa pencernaan dimulai dari mulut atau lidah, rongga mulut, saluran tenggorokan, kemudian saluran pencernaan. Jika kopi yang diminum Mirna memang mengandung sianida, kenapa mereka tidak menemukan jejak atau residu sianida di lidah, di rongga mulut, di saluran tenggorokan, dan saluran pencernaan?

Keberadaan sianida di lambung tidak bisa serta merta disimpulkan bahwa seseorang tewas karena sianida, karena keberadaan sianida di lambung bisa terjadi sebagai hasil post mortem, ketika seseorang meninggal.

Itulah kenapa, dalam catatan di sini, saya menyatakan bahwa bisa jadi sianida di lambung Mirna tidak berasal dari luar, melainkan dari tubuhnya sendiri, karena tubuh manusia memang dapat memproduksi sianida ketika meninggal.

Dokter Ferryal Basbeth, seorang ahli forensik, juga menyatakan hal serupa. Kepada CNN Indonesia, ia menjelaskan, “Perlu diperhatikan juga bahwa mayat memang menghasilkan sianida. Jadi, kalau menetapkan pembunuhan karena menemukan sianida di lambung, itu kurang akurat. Polisi juga perlu mengambil sampel dari air liur, kantong empedu, dan urin, apakah ada sianida di situ.”

Itu kejanggalan keempat.

Uraian ini bisa saja berlanjut terus, menyangkut hal-hal teknis yang lebih rumit, dan kita akan menemukan begitu banyak kejanggalan lain—termasuk reaksi keluarga Mirna yang tiba-tiba berlebihan dalam menuduh Jessica, kesaksian Amir yang mengaku melihat pertemuan suami Mirna dengan barista kafe, dan lain-lain. Tetapi saya sengaja membatasi uraian ini hanya pada kasus intinya, yaitu meninggalnya Mirna, serta hal-hal yang bisa dipahami sesama orang awam.

Sekarang, kita masuk kejanggalan kelima.

Yaitu lolosnya Jessica dari uji detektor kebohongan.

Pertama, kenapa hanya Jessica yang diperiksa dengan detektor kebohongan? Ingat, Mirna tidak hanya minum dengan Jessica, tapi juga dengan Hani. Dan jangan lupakan orang-orang lain yang juga ada di kafe tempat peristiwa terjadi. Jadi, kenapa hanya Jessica yang diperiksa dengan detektor kebohongan?

Akhirnya, jika hanya Jessica yang diperiksa dengan detektor kebohongan, dan dia terbukti lolos, kenapa dia masih dituduh dan ditetapkan sebagai tersangka?

Tujuan penggunaan detektor kebohongan adalah untuk menguji apakah keterangan seseorang benar atau tidak (jujur atau bohong). Fakta bahwa Jessica lolos dari pemeriksaan tersebut, membuktikan kalau Jessica memang jujur. Lalu kenapa dia masih dituduh? Dan, kembali lagi, kenapa polisi tidak mencoba memeriksa orang-orang lain yang mungkin terlibat?

Darmawan Salihin, ayah mendiang Mirna, menyatakan kepada media bahwa Jessica adalah perempuan pintar, sehingga bisa mengelabui detektor kebohongan. Saya takjub sekaligus geli dengan pernyataan itu. Memangnya sepintar apa Jessica, sehingga dia bisa mengelabui detektor kebohongan?

Mari saya ceritakan.

Detektor kebohongan, sejauh ini, telah menjerat tak terhitung banyaknya penjahat kelas kakap, dari pembunuh profesional, sampai mata-mata yang memiliki IQ sangat tinggi. Ketika seorang mata-mata tertangkap di suatu negara, sering kali mereka baru “kalah” ketika berhadapan dengan detektor kebohongan. Artinya, mengelabui detektor kebohongan tidak semudah yang diocehkan orang. Saat berhadapan dengan mesin itu, orang membutuhkan kekuatan pikiran yang luar biasa untuk bisa mengelabuinya.

Di dunia ini, hanya ada lima orang yang sejauh ini mampu mengelabui detektor kebohongan. Yang pertama adalah Gary Ridgway, seorang pembunuh yang dikenal sangat genius. Dia lolos dari tes kebohongan yang dilakukan oleh polisi dan FBI. Dia tertangkap bukan karena detektor kebohongan, melainkan karena polisi menemukan DNA miliknya pada salah satu korban yang dibunuhnya.

Yang kedua adalah Aldrich Hazen Ames, yang menjadi anggota CIA (Dinas Intelijen AS), dan merangkap menjadi mata-mata Rusia. CIA sudah mencurigai Ames sebagai musuh dalam selimut, tapi Ames lolos saat diuji dengan detektor kebohongan. Belakangan, Ames mengakui kalau dia memang merangkap menjadi anggota CIA sekaligus KGB, dan itu artinya dia memang mengelabui detektor kebohongan.

Yang ketiga adalah Ana Belen Montes, mantan analis senior di Defense Intelligence Agency (DIA), Amerika Serikat. Dia dituduh membocorkan informasi rahasia Amerika Serikat kepada pemerintah Kuba. Tapi Montes lolos saat diuji detektor kebohongan, meski kemudian ia dihukum 25 tahun penjara dengan bukti-bukti lain.

Yang keempat adalah Leandro Aragoncillo. Semula, dia analis intelijen Biro Penyidik Federal Amerika Serikat (FBI). Sama seperti Montes, dia juga membocorkan informasi rahasia negara AS ke negara lain. Leandro Aragoncillo sempat diperiksa dengan detektor kebohongan, tapi dia lolos.

Terakhir, yang kelima, adalah Karel Koecher, seorang pria Cekoslovakia. Karena sangat cerdas dan fasih berbahasa Inggris, dia disusupkan badan intelijen Cekoslovakia ke Amerika Serikat. Penyusupan itu berhasil, dan Karel Koecher dipekerjakan sebagai penerjemah bahasa di Badan Intelijen Amerika Serikat (CIA).

Bahkan, karena fasih dalam sejumlah bahasa negara Eropa Timur, Karel dipercaya CIA untuk menerjemahkan dokumen-dokumen rahasia. Dari situ, Karel membocorkan informasi-informasi penting dan rahasia milik AS, ke badan intelijen negaranya.

Ketika ulahnya ketahuan, Karel Koecher ditangkap pemerintah AS, dan menjalani pemeriksaan dengan detektor kebohongan. Karel lolos saat diperiksa, tapi AS tetap memenjarakannya. Akhirnya, pihak Cekoslovakia membebaskan Karel melalui penukaran tawanan.

Kita lihat...? Lima orang itu bukan orang-orang sembarangan, dan hanya lima orang itulah yang sejauh ini mampu mengelabui detektor kebohongan. Jadi, kalau ada yang mengatakan bahwa Jessica sangat pintar, sehingga mampu mengelabui detektor kebohongan, memangnya sepintar apa Jessica...?

Kalau Jessica memang sepintar itu, dia tidak akan membunuh Mirna dengan cara yang sangat bodoh, sebagaimana yang dituduhkan kepadanya. Meracuni temannya dengan sianida di sebuah kafe, di tengah orang banyak, itu benar-benar cara membunuh yang sangat “kasar” dan “tidak intelektual”. Kalau Jessica memang benar melakukannya, itu justru menunjukkan kalau dia perempuan tolol!

Jadi, berdasarkan pemaparan sebatas ini saja, kita melihat begitu banyak kejanggalan sekaligus kontradiksi yang saling mementahkan satu sama lain. Mari kita sorot satu per satu agar lebih jelas.

Pertama, Mirna disebut mati karena sianida, yang konon ditaruh di gelas kopinya. Faktanya, dia mampu bertahan hidup hingga 5 jam sejak meminum kopi tersebut. Kenyataan ini secara langsung mementahkan teori bahwa dia mati karena sianida.

Kedua, polisi baru melakukan olah TKP, lima hari setelah peristiwa terjadi. Dan menyatakan bahwa mereka menemukan sianida di gelas Mirna sebesar 15 gram. Keterangan ini membingungkan, karena saling kontradiktif—antara waktu olah TKP, dan fakta bahwa sianida mudah menguap.

Ketiga, polisi semula mengindikasikan bahwa sianida yang digunakan dalam kasus ini adalah HCN. Faktanya, HCN adalah zat sianida berbentuk cairan yang sangat mudah berubah menjadi gas. Jika memang itu yang terjadi, seharusnya Jessica sudah tewas saat mencoba menggunakan racun tersebut. Kenyataannya dia masih segar bugar.

Keempat, berdasarkan otopsi yang dilakukan pada jasad Mirna, hanya ditemukan kadar sianida di lambung, dalam jumlah tidak signifikan. Para ahli sepakat, keberadaan sianida di lambung tidak bisa disimpulkan berasal dari luar, karena tubuh bisa memproduksi sianida ketika mati. Bagaimana pun, kita tidak bisa memaksakan tuduhan kepada seseorang—dalam hal ini kepada Jessica—jika sesuatu yang dituduhkan masih debateable.

Kelima, puncak dari segalanya, Jessica telah diperiksa menggunakan detektor kebohongan, dan dia lolos. Jika kenyataan telah menunjukkan bahwa Jessica jujur, dan dia tidak berbohong atas apa yang dikatakannya, serta telah dibuktikan dengan uji detektor kebohongan... lalu kenapa Jessica masih dituduh dan didakwa?

Lebih dari itu, rekaman CCTV di Kafe Olivier sama sekali tidak menunjukkan tanda bahwa Jessica menuangkan apa pun ke dalam gelas Mirna. Artinya, sejauh ini, tuduhan kepada Jessica tidak didasarkan pada fakta, melainkan pada asumsi.

Terkait tuduhan kepada Jessica, teori yang dibangun sangat tidak meyakinkan. Bahkan, keterangan-keterangan yang diharapkan dapat membangun teori itu, justru runtuh sendiri ketika saling dikonfrontasikan dengan kenyataan. Jika teori dan kenyataan tidak sesuai, artinya ada yang salah... dan kita tidak perlu ngotot, apalagi sampai menghukum seseorang yang belum tentu bersalah.

Hotman Paris, pengacara senior yang telah menangani banyak kasus dalam jumlah tak terhitung banyaknya, menyatakan, “Sejak sejarah Romawi kuno sampai sekarang, banyak tindak pidana yang tidak terpecahkan. Itu risiko. Itu namanya unsolved crime.”

Kini, Jessica telah dijatuhi hukuman 20 tahun penjara oleh pangadilan yang mengadilinya, padahal kasus ini masih memiliki banyak tanda tanya. Karenanya, kalau Jessica dan pengacaranya benar-benar memutuskan untuk naik banding, kita berharap pengadilan selanjutnya bisa lebih arif sekaligus lebih adil dalam memahami kasus ini, agar tidak ada lagi orang tak bersalah yang dihukum karena prasangka.

Karena membebaskan seribu orang bersalah masih lebih baik, daripada menghukum satu orang yang tak bersalah.

Jejak-jejak Keanehan Kasus Kopi Sianida (1)

Entah kenapa, feeling-ku dari dulu mengatakan 
Jessica bukan si pembunuh. Dia hanya terjebak dalam 
situasi yang salah, di waktu yang salah.


Dulu, ketika pertama kali mengetahui kasus kematian seorang wanita (Mirna) setelah minum kopi di kafe, sejujurnya saya tidak terlalu peduli. Saya bahkan tetap tidak peduli ketika kasus itu rupanya terus berlanjut, dan menempatkan Jessica sebagai tersangka. Sampai di titik itu, saya masih tidak peduli, bahkan tidak tertarik.

Selama waktu-waktu itu, saya pikir kasus kematian Mirna hanyalah kasus biasa. Dan kalau Jessica kemudian ditetapkan sebagai tersangka, saya pikir itu juga hal biasa. Selama itu saya tidak mengikuti kasus tersebut, jadi tidak tahu perkembangan yang terjadi. Karena itu pulalah, saya tidak terlalu peduli.

Yang membuat saya mulai tertarik dengan kasus ini adalah ketika mengetahui Jessica bisa lolos dari detektor kebohongan (lie detector).

Pada waktu Jessica mulai dijadikan tersangka, dia menjalani pemeriksaan, yang salah satunya dengan detektor kebohongan, dan dinyatakan lolos. Dengan kata lain, semua yang dikatakan Jessica—bahwa dia tidak membunuh Mirna—adalah kejujuran atau kebenaran. Artinya, Jessica memang tidak membunuh Mirna, dengan bukti dia lolos detektor kebohongan. Meski begitu, dia tetap dijadikan tersangka.

Penetapan Jessica sebagai tersangka, meski dia telah lolos uji detektor kebohongan, seolah menyatakan bahwa Jessica bisa “mengelabui” detektor tersebut. Dan itulah yang membuat saya tertarik. Sejak itu, saya mulai mempelajari kasus ini lebih mendalam untuk mengetahui keseluruhan yang terjadi, sekaligus mengenal siapa Jessica. Karena, jika dia memang pembunuh Mirna, dan bisa lolos detektor kebohongan, dia pasti wanita luar biasa.

Dalam sebuah berita, saya mendapati Darmawan Salihin (ayah Mirna), bahkan sempat menyatakan, “Lie detector saja kalah sama Jessica!”

Wanita bernama Jessica ini pasti hebat, pikir saya waktu itu. Jadi, didorong rasa penasaran, saya pun mulai membaca dan mempelajari semua hal terkait kasus kematian Mirna serta kopi bersianida, dan yang saya dapati di luar dugaan. Kasus yang semula saya bayangkan “biasa”, ternyata begitu rumit dan penuh keanehan serta kejanggalan. Di atas semua itu, saya jadi tidak percaya kalau Jessica benar-benar membunuh Mirna.

Mari kita mulai dari awal untuk melihat bagaimana kasus ini terbentuk, dan kita akan menyadari betapa anehnya kasus ini. (Semua uraian di bawah ini direkonstruksi dari artikel-artikel yang saya baca, yang dapat kalian lacak sendiri di internet).

Kasus ini dimulai pada 8 Januari 2016. Saya masih ingat, judul berita yang sempat saya baca waktu itu, “Seorang Wanita Tewas Setelah Minum Kopi Vietnam”. Sebagaimana kebanyakan orang, waktu itu saya hanya berpikir kalau wanita yang tewas seusai minum kopi itu memiliki masalah kesehatan, atau riwayat penyakit yang berat.

(Catatan: Peristiwa itu sebenarnya terjadi pada 6 Januari 2016, namun baru tercium media pada 8 Januari 2016, setelah Mirna dinyatakan meninggal, dan polisi mulai terlibat).

Mirna, wanita yang disebut “tewas” tersebut, minum kopi di Kafe Olivier bersama dua temannya, yaitu Hani dan Jessica. Ketika Mirna tampak mengalami “masalah” usai minum kopi, mereka membawa Mirna ke klinik terdekat, dan Mirna diperiksa oleh Dokter Joshua. Pada waktu itu, Mirna masih hidup.

Dokter Joshua, yang memeriksa kondisi Mirna, memastikan Mirna tidak mengalami gejala keracunan. Tidak ada tanda muntah atau semacamnya. Dokter Joshua bahkan memastikan denyut nadi Mirna kala itu 80 kali per menit, yang artinya masih tergolong normal.

Setelah itu, Mirna dibawa suaminya ke Rumah Sakit Abdi Waluyo, dan Mirna meninggal di sana. Kepada Kompas.Com, Kasubag Humas Polres Metro Jakarta Pusat Kompol Suyatno (8/1/2016) menyatakan, “Korban berinisial WMS (27) meninggal pukul 22.00 pada 6 Januari lalu.”

Berpangkal dari kenyataan itu, sekarang bacalah uraian kronologi berikut ini dengan cermat dan hati-hati, karena—meski tampak wajar dan biasa—di dalamnya terdapat kejanggalan luar biasa. Orang-orang awam tidak akan memperhatikan hal-hal tersembunyi berikut ini. Karenanya, bacalah perlahan dan cermat.

Ketika Mirna dinyatakan meninggal pada 6 Januari malam, bahkan hingga 8 Januari, pihak keluarganya sudah menerima kenyataan tersebut sebagai takdir. Mereka bahkan menolak jasad Mirna diotopsi, karena sudah menganggap kematian Mirna sebagai “hal wajar”. Bisa jadi, pihak keluarga Mirna mengetahui kalau Mirna memang memiliki riwayat kesehatan tertentu.

Kemudian, pada 7 Januari 2016, polisi datang ke kafe tempat kasus itu terjadi, dan meminta rekaman CCTV. Besoknya, tanggal 8 Januari 2016, polisi memeriksa Kafe Olivier, tapi belum melakukan olah TKP (Tempat Kejadian Perkara). Bahkan sampai tanggal 9 Januari 2016, Kapolsek Tanah Abang, AKBP Jefri Siagian, mengatakan bahwa CCTV tidak menunjukkan tanda mencurigakan.

Sementara itu, pihak keluarga Mirna akhirnya bersedia memenuhi permintaan polisi, yaitu melakukan otopsi pada jasad Mirna. Otopsi dilakukan secara tidak lengkap, pada 9 Januari, dan setelah itu jasad Mirna dimakamkan di Bogor.

Besoknya, pada 10 Januari 2016, Dirkrismum Polda Metro Jaya menyatakan, dari 3 sampel kopi yang dibawa dari Kafe Olivier—tempat kejadian perkara—salah satunya mengandung sianida. Kemudian, pada 11 Januari 2016, polisi mulai melakukan olah TKP di Kafe Olivier.

Sehari setelahnya, pada 12 Januari 2016, Puslabfor polisi mengeluarkan pernyataan bahwa hasil forensik terhadap jasad Mirna menemukan ada sianida sebesar 3,75 mg di lambung korban. Polisi juga memastikan bahwa kopi yang diminum Mirna mengandung 15 gram Sianida.

Sejak itu, nasib Jessica di ujung tanduk. Dia menjadi tersangka, dan dituduh telah membunuh Mirna. Terakhir, dia bahkan dituntut 20 tahun penjara, setelah berbulan-bulan menghadapi persidangan di pengadilan.

Berdasarkan kronologi di atas, sudah melihat keanehan dan kejanggalan yang terjadi? Belum? Mari kita urai satu per satu.

Mirna, Jessica, dan Hani, berada di Kafe Olivier pada sore hari, 6 Januari 2016. Lalu Mirna mengalami “masalah” seusai minum kopi, dan dibawa ke klinik. Setelah sekitar 5 menit kemudian, dia dibawa ke Rumah Sakit Abdi Waluyo, dan meninggal di rumah sakit pada pukul 22.00.

You see that...? Ada jeda waktu cukup panjang di sini, setidaknya 5 jam, dari peristiwa di kafe sampai meninggal di rumah sakit. Perhatikan jeda waktu ini—sekitar 5 jam.

Kemudian, polisi baru melakukan olah TKP pada 11 Januari di Kafe Olivier. Artinya, polisi baru melakukan pemeriksaan intensif di kafe tersebut, 5 hari setelah peristiwa itu terjadi. Saya ulangi, lima hari setelah peristiwa itu terjadi.

Berdasarkan olah TKP yang mereka lakukan, polisi menyatakan bahwa satu di antara tiga gelas kopi yang diambil dari sana mengandung sianida, bahkan bisa memastikan kalau kopi yang diminum Mirna mengandung 15 gram sianida.

Keterangan itu sangat... sangat aneh, bahkan saling bertolak belakang dengan kenyataan yang terjadi.

Pertama, sianida adalah racun mematikan. Bahkan dengan 1 gram saja, siniada sudah bisa membunuh orang. Jika kita mempelajari literatur kedokteran, kita akan diberitahu bahwa 1 gram sianida dapat menewaskan seorang lelaki dewasa dalam waktu kurang dari 30 menit.

Jika sianida dalam gelas Mirna mencapai 15 gram—sebagaimana yang dikatakan polisi—maka artinya racun dalam kopinya dalam dosis besar. Tak peduli Mirna menyeruput sesedikit apa pun, kadar sianida yang masuk ke tubuhnya pasti banyak, dan—bisa dipastikan—dia akan cepat tewas. Lebih dari itu, dia pasti akan menunjukkan tanda-tanda keracunan yang mudah dikenali, khususnya oleh dokter.

Tapi kenyataannya Mirna tidak langsung tewas. Dia sempat dibawa ke klinik, dan Dokter Joshua yang memeriksanya menyatakan kalau Mirna tidak mengalami tanda keracunan. Dokter Joshua bahkan memastikan denyut nadi Mirna waktu itu tergolong normal. Mirna baru meninggal setelah dibawa ke Rumah Sakit Abdi Waluyo, dan itu setidaknya 5 jam setelah dia meminum kopi di kafe.

Itu kejanggalan pertama.

Kejanggalan yang kedua, terkait sianida itu sendiri.

Perhatikan lagi kronologi di atas. Mirna minum kopi pada 6 Januari 2016, dan meninggal pada malam harinya. Sementara polisi baru melakukan olah TKP pada 11 Januari 2016, atau lima hari setelah peristiwa itu terjadi. Pertanyaannya, selama lima hari itu, di mana posisi gelas yang digunakan Mirna?

Pertanyaan itu penting diajukan, karena pada 12 Januari 2016, polisi menyatakan dengan pasti bahwa gelas Mirna mengandung sianida sebesar 15 gram. Bagaimana polisi bisa memastikan hal itu?

Lanjut ke sini: Jejak-jejak Keanehan Kasus Kopi Sianida (2)

 
;