Jika Jessica sampai dijatuhi hukuman, aku sangat sedih. Bukan hanya untuk Jessica, tapi juga untuk keadilan dan kemanusiaan hukum kita.
Dalam konteks kasus kopi sianida, Jessica tidak sekadar korban. Dia telah menjadi tumbal kerakusan media yang makin menjelma burung nasar.
Dulu, media-media di Indonesia telah menjebloskan karyawan JIS yang tak bersalah ke penjara. Sekarang kesalahan sama diulang lewat Jessica.
Betapa pendek ingatan media-media di Indonesia, dan lebih pendek lagi ingatan para pembacanya. Sebegitu pendek, hingga mereka jadi pelupa.
Media-media di Indonesia mulai hilang arah dan mengalami krisis nurani. Demi klik dan pageview, mereka tak peduli jika harus makan bangkai.
Siapa yang paling bertanggung jawab atas nasib karyawan JIS? Mungkin si bajingan. Tapi bagaimana pun, media memiliki peran di dalamnya.
Sekarang, terkait kasus kopi sianida, siapa yang paling berperan dalam menjerumuskan nasib Jessica? Sama. Media terlibat di dalamnya.
Hukum suci media di Indonesia masa kini: Menjadi yang pertama dan terheboh. Meski untuk itu harus ada korban, atau bahkan harus ada tumbal.
Sedari awal, aku menyatakan, “kasus kopi sianida mirip novel Agatha Christie”. Karena memang terlalu fantastis, dan penuh rekayasa fiktif.
Selamat datang abad kebebalan media di Indonesia. Mereka tidak lagi mengajari pembaca untuk belajar mengingat, tapi untuk mudah lupa.
Betapa sedih menyaksikan media-media yang seharusnya mengingatkan dan mencerahkan, kini berubah menjadi sekadar kumpulan burung nasar.
Kalau dipikir-pikir, inti pengadilan Jessica hanyalah, “Pokoknya kamu salah, Jessica! Tak perlu ada bukti, kamu salah! Kamu harus dihukum!”
Jika Hakim di pengadilan bisa menghukum orang tanpa bisa membuktikan apa kesalahannya, itu benar-benar konyol sekaligus mengerikan.
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Oktober 2016.