Jika pertanyaan “kapan cerai?” dianggap tidak sopan,
kenapa pertanyaan “kapan kawin?” dianggap sopan?
—@noffret
kenapa pertanyaan “kapan kawin?” dianggap sopan?
—@noffret
Saya tahu judul catatan ini terdengar lebay. Tetapi, orang yang suka bertanya “kapan kawin?” pada orang lain juga lebay. Oh, well, sangat lebay! Jadi, mari kita bahas dan pikirkan persoalan lebay ini secara ilmiah, agar kita tidak terus menerus hidup dalam peradaban yang lebay.
Dulu, saya pernah menulis catatan berjudul Pertanyaan Paling Sia-sia di Dunia, yang juga membahas pertanyaan “kapan kawin?” yang biasa dimuntahkan orang-orang kurang kerjaan kepada sesamanya. Di catatan itu, saya mengatakan bahwa pertanyaan “kapan kawin?” adalah pertanyaan paling sia-sia di dunia. Sebegitu sia-sia, hingga seharusnya pertanyaan itu dibuang ke dasar kerak neraka.
Sekarang, dalam catatan ini, kita akan meninjau lebih dalam betapa tolol dan sia-sia pertanyaan “kapan kawin?”, terkait dengan kewarasan dan kemaslahatan hidup kita bersama. Karenanya, kalau kalian kebetulan sering kebingungan karena kerap ditanya “kapan kawin?”, kalian bisa menunjukkan catatan ini kepada siapa pun yang bertanya, agar mereka bisa membaca.
Mari kita mulai dari premis ini: Manusia tidak bisa mengetahui segalanya.
Tidak ada yang bisa membantah kenyataan itu, bahwa kita—manusia—tidak bisa mengetahui segala-galanya. Bahkan orang yang paling pintar pun tidak! Bahkan orang yang paling cerdas pun tidak! Bahkan orang yang paling genius pun tidak! Tidak ada satu pun manusia yang bisa mengetahui segala-galanya. Di antara banyak hal yang tidak diketahui manusia adalah rezeki, maut, dan jodoh.
Sejak kecil, atau setidaknya sejak remaja, kita telah diberitahu bahwa tiga hal itu—rezeki, maut, dan jodoh—adalah rahasia Tuhan. Sebagai manusia, kita hanya bisa bekerja dan berusaha, namun Tuhanlah yang menentukan rezeki kita. Yang saat ini masih menganggur, misalnya, rata-rata tidak tahu di mana kelak akan memperoleh pekerjaan, atau kapan akan mendapat pekerjaan, atau di mana akan menemukan pekerjaan. Kita hanya bisa berusaha, mencoba melamar ke berbagai tempat, tapi kepastian adalah rahasia Tuhan.
Yang bekerja sebagai pedagang juga tidak tahu bagaimana rezekinya besok pagi. Yang jualan nasi, jualan batik, jualan mainan, jualan telur, tidak ada satu pun yang bisa memastikan bagaimana rezeki mereka besok. Yang bisa mereka lakukan hanyalah berusaha sebaik-baiknya, bekerja sebaik-baiknya, dan sisanya menjadi rahasia Tuhan.
Begitu pun yang saat ini miskin, melarat, dan berkekurangan. Rata-rata orang ingin hidup lebih baik, kaya, dan berkelimpahan. Tetapi, lagi-lagi, rezeki adalah rahasia Tuhan. Ada orang yang puluhan tahun menjalani kemiskinan, lalu nasibnya berubah menjadi kaya-raya. Ada pula yang semula kaya-raya berubah menjadi miskin. Sementara yang lain menjalani hidup pas-pasan dan merasa sulit melakukan perubahan meski telah bekerja keras. Semuanya menyangkut rezeki, dan rezeki adalah rahasia Tuhan.
Sekarang, cobalah kita bertanya pada pengangguran mana pun, “Kapan kamu akan kerja?” Apakah pertanyaan itu sopan?
Atau tanyakan pada pedagang mana pun, “Kapan daganganmu akan laku?” Apakah pertanyaan itu sopan?
Begitu pula, kalau kita bertanya pada tetangga kita yang miskin, “Kapan kamu akan kaya?” Apakah pertanyaan itu sopan?
Rata-rata pengangguran ingin dapat kerja. Rata-rata pedagang ingin dagangannya laku. Rata-rata orang miskin ingin kaya. Kenapa sesuatu yang amat jelas itu masih ditanyakan dengan cara menyakitkan?
Rezeki adalah urusan Tuhan, bukan urusan manusia. Urusan manusia hanyalah berusaha, dan bekerja sebaik-baiknya. Kita tidak tahu kapan, di mana, dan bagaimana, rezeki akan datang. Begitu pula orang lain.
Selain rezeki, maut juga termasuk rahasia Tuhan, karena tidak ada satu orang pun yang tahu kapan, di mana, dan bagaimana, dia akan mati. Kita yang masih bernapas hanya bisa berusaha hidup dengan baik, menjaga kesehatan dengan baik, selalu berhati-hati agar tidak celaka. Tetapi, bagaimana pun, kematian adalah rahasia Tuhan. Tak peduli sehati-hati apa pun, tak peduli sesehat apa pun, orang tetap akan mati kalau Tuhan menghendaki. Sebaliknya, meski sudah sakit bertahun-tahun, orang tetap hidup jika Tuhan belum menghendaki dia mati.
Sekarang, cobalah kita bertanya pada tetangga kita, “Kapan kamu akan mati?” Apakah pertanyaan itu sopan?
Atau, cobalah jenguk temanmu yang sedang sakit, dan tanyalah, “Kapan kamu akan mati?” Apakah pertanyaan itu sopan?
Jangankan orang sehat, jangankan orang yang ingin terus hidup, bahkan orang yang jelas-jelas ingin mati pun akan marah, jika ditanya seperti itu. Kita tidak bisa, dan tidak layak, bertanya kapan seseorang akan mati—bukan semata karena maut adalah rahasia Tuhan, tetapi juga karena pertanyaan itu tidak sopan. Orang waras mana pun tentu tahu hal itu.
Setelah rezeki dan maut, hal ketiga yang juga menjadi rahasia Tuhan adalah jodoh. Kita—masing-masing orang—tidak tahu siapa yang akan menjadi jodoh kita, kapan akan bertemu jodoh, bagaimana caranya, atau dengan jalan apa. Semuanya misteri, karena memang rahasia Ilahi. Jangankan kita yang menjomblo bertahun-tahun, bahkan yang telah pacaran bertahun-tahun pun tidak terjamin berjodoh.
Di sekeliling kita ada banyak orang—lelaki maupun perempuan—yang masih lajang, belum menemukan jodoh atau pasangan. Tidak semua dari mereka memang ingin melajang. Sebagian besar dari mereka ingin menikah, ingin mendapat jodoh, ingin punya pasangan. Tetapi, kita tahu, jodoh adalah rahasia Tuhan. Jangankan kita, bahkan mereka sendiri pun tidak tahu siapa jodohnya.
Jika kita bertanya “kapan kawin?” kepada mereka, kita sedang mencederai akal sehat kita sendiri, sekaligus menistakan manusia lain. Pertanyaan “kapan kawin?” terkait dengan jodoh, dan jodoh adalah urusan Tuhan. Karenanya, pertanyaan “kapan kawin?” seharusnya ditanyakan kepada Tuhan, bukan kepada sesama manusia, karena tidak ada satu pun manusia yang tahu.
Lajang yang ingin menikah tak jauh beda dengan pengangguran yang ingin bekerja, atau dengan orang hidup yang ingin selalu sehat. Sebagaimana pertanyaan “kapan mati?” tidak layak diajukan kepada siapa pun yang masih hidup, pertanyaan “kapan kawin?” juga tidak layak diajukan kepada siapa pun yang masih lajang. Karena tidak sopan. Karena rezeki, maut, dan jodoh, adalah rahasia Tuhan.
Jadi, marilah tutup cocot kita rapat-rapat, dan mulailah belajar berempati. Berempati adalah menempatkan diri kita pada posisi orang lain, sebelum menasihati apalagi menghakimi orang lain. Sebagaimana orang miskin ingin kaya, pengangguran ingin bekerja, dan orang hidup ingin sehat selamanya, orang-orang yang masih lajang pun menantikan jodoh mereka.
Karenanya, tidak usah meributkan mereka, sebab hal itu—rezeki, maut, dan jodoh—adalah urusan masing-masing manusia dengan Tuhannya. Biarkan mereka berusaha sebaik-baiknya, tanpa harus diganggu oleh ucapan atau sindiran kita yang menyakitkan. Akan lebih baik jika kita bisa membantu mereka untuk mendapat kerja, meraih rezeki, atau memperoleh jodoh. Namun, jika tidak bisa, tutuplah cocotmu!
Jadi, itu premis yang pertama. Bahwa tidak ada manusia yang bisa tahu segalanya, khususnya dalam hal rezeki, maut, dan jodoh.
Premis kedua: Kapan adalah pertanyaan sejarah.
Satu-satunya pertanyaan yang boleh diawali “kapan” adalah pertanyaan yang terkait sejarah, atau masa lampau, atau setidaknya sesuatu yang telah terjadi. Jika pertanyaan kita tidak terkait dengan sejarah atau segala sesuatu yang telah terjadi, kita tidak layak menggunakan “kapan”, karena kenyataannya tidak ada kepastian. Ingat premis pertama, bahwa tidak ada manusia yang bisa tahu segalanya, termasuk kepastian “kapan”.
Kita bisa bertanya, “Kapan Jepang menjajah Indonesia?” Atau, “Kapan Soekarno membacakan teks proklamasi Republik Indonesia?” Atau, “Kapan Bung Hatta meninggal dunia?” Itu pertanyaan-pertanyaan sejarah, masa lampau, sesuatu yang telah terjadi, dan kita bisa menjawab dengan jelas. Kalau pun kita tidak tahu, kita bisa mencari tahu, karena ada referensi sejarah yang bisa dipelajari.
Tetapi, kita tidak bisa menggunakan “kapan” untuk pertanyaan atas sesuatu yang belum terjadi. Contohnya terkait dengan tiga hal di atas, yaitu rezeki, maut, dan jodoh. Kita tidak bisa menggunakan “kapan” untuk bertanya, “Kapan kamu akan dapat rezeki?” atau “Kapan kamu akan mati?” atau “Kapan kamu akan kawin?” Itu hal-hal yang belum terjadi, sehingga masing-masing orang hanya bisa berharap, merencanakan, dan berusaha, namun tetap tidak bisa memastikan “kapan” waktunya.
Oh, mungkin seorang penulis bisa saja ditanya, “Kapan buku keduamu akan terbit?” Karena sudah ada perjanjian dengan penerbit, si penulis mungkin bisa menjawab, “Nanti, tanggal sekian bulan sekian.” Tetapi, itu hanya prediksi, bukan sesuatu yang pasti. Karena selalu ada kemungkinan perubahan, selalu ada kemungkinan force majour, selalu ada kemungkinan yang menjadikan rencana berganti.
Bahkan untuk sesuatu yang telah memiliki perjanjian jelas pun bisa saja berubah, apalagi untuk hal-hal lain yang tidak memiliki perjanjian? Seperti kapan akan mendapat rezeki, kapan akan mati, dan kapan akan menikah. Karenanya, sekali lagi, pertanyaan “kapan” hanya tepat digunakan jika terkait dengan sejarah atau hal-hal yang telah lampau, sehingga siapa pun bisa menjawab dengan pasti.
Karena itu, sekali lagi, berhentilah bertanya “kapan” jika terkait hal-hal yang belum jelas. Karena itu tidak sopan. Karena itu mencederai akal sehat. Karena itu tidak ilmiah. Karena itu tidak akademis. Dan, di atas semua itu, karena pertanyaan “kapan” bisa menyakiti perasaan orang lain.
Jika kita ingin bertanya pada teman yang masih menganggur, jangan gunakan “kapan”. Alih-alih bertanya “kapan kerja?” lebih baik gunakan pertanyaan yang lebih empatik, seperti, “apa”, “di mana”, atau “bagaimana”. Daripada bertanya “kapan kerja?”, lebih baik bertanya, “apa pekerjaan yang kamu inginkan?”, atau, “di mana kamu ingin bekerja?”, atau—lebih baik lagi—“bagaimana aku bisa membantumu?”
Begitu pula jika ingin bertanya pada teman yang masih lajang. Hindari menggunakan pertanyaan “kapan” semisal “kapan kawin?”, karena itu pertanyaan yang tidak akan bisa mereka jawab. Sebagaimana orang hidup ditanya kapan mati, orang yang masih lajang juga tidak tahu kapan mereka akan kawin. Kenapa sesuatu yang sangat jelas dan sederhana semacam itu sulit dipahami?
Sekali lagi, belajarlah berempati, dan bukan hanya sibuk melatih lidah demi bisa merasa tinggi hati. Setiap kali kita ingin bertanya pada siapa pun, tanyakan terlebih dulu pertanyaan itu pada diri sendiri; apakah pertanyaan itu akan menyakiti atau tidak? Jika kita merasa tersakiti oleh pertanyaan itu, jangan tanyakan pada orang lain! Kalau kau bertanya kepada saya “kapan kamu kawin?”, maka saya akan balik bertanya kepadamu “kapan kamu mati?”
Akhirnya, untuk menutup catatan ini, mari kita ingat kembali poin-poin penting di atas. Pertama, tidak ada manusia yang bisa mengetahui segalanya, khususnya terkait rezeki, maut, dan jodoh. Kedua, istilah “kapan” hanya tepat digunakan untuk pertanyaan terkait sejarah atau masa lampau, dan tidak layak digunakan untuk sesuatu yang belum pasti. Ketiga, lebih penting dari yang lain, belajarlah berempati... dan tutuplah cocotmu!