***
Sekarang kita akan membicarakan sianida, yang konon digunakan dalam kasus ini. Jika kita memasukkan sianida ke dalam minuman, semisal kopi, kadar sianida itu akan menguap perlahan-lahan, dan benar-benar hilang (menjadi 0%) setelah dua hari.
Ada penelitian ilmiah yang pernah dilakukan untuk mengetahui seberapa lama sianida mampu bertahan, ketika dicampur ke dalam berbagai minuman. Dalam penelitian, para ilmuwan memasukkan sianida ke dalam gelas berisi Coca Cola, orange juice, kopi, susu, sake, dan air biasa. Masing-masing gelas diberi sianida dengan kadar yang sama, dan terus dipantau dari menit ke menit.
Pada menit pertama, kadar sianida masih bertahan 100% (sesuai kadar yang dimasukkan). Satu jam kemudian, kadar sianida pada masing-masing gelas itu turun, menjadi 80%. Enam jam kemudian, kadar sianida pada masing-masing gelas terus turun, menjadi 60%. Ketika mencapai waktu dua hari, kadar sianida pada masing-masing gelas benar-benar hilang, atau 0%.
Karenanya, pertanyaan tadi perlu diajukan. Selama lima hari itu, di mana posisi gelas Mirna? Lebih spesifik lagi, kapan polisi mulai melakukan pemeriksaan terhadap gelas Mirna, mengingat mereka baru melakukan olah TKP setelah lima hari kejadian? Dan apakah polisi yakin kalau gelas yang mereka periksa memang gelas Mirna, mengingat mereka tidak langsung mengamankan TKP (kafe) setelah peristiwa terjadi?
Itu kejanggalan kedua.
Kejanggalan ketiga, terkait sianida yang digunakan.
Polisi mengindikasikan bahwa tipe sianida yang terdapat di kopi Mirna adalah tipe HCN.
Hydrogen Cyanide atau HCN adalah zat sianida berbentuk cairan. Saat berada di bawah suhu 25,6 derajat Celcius, zat berbahaya ini tetap berbentuk cairan. Tetapi, ketika ada di ruangan bersuhu di atas 25,6 derajat Celcius, zat tersebut akan menguap menjadi gas.
Sekarang kita lihat tempat Mirna, Jessica, dan Hani, duduk di Kafe Olivier. Lokasi meja mereka berada di ruangan outdoor, yang tentu terpapar suhu Jakarta, dan pasti lebih dari 25,6 derajat Celcius. Jika Jessica memang membawa HCN, dan menuangkan racun itu ke dalam gelas Mirna, maka zat itu akan langsung menguap menjadi gas, dan—bisa dipastikan—akan terhirup Jessica. Artinya, jika memang itu yang terjadi, maka Jessica sendiri yang akan mati.
(Belakangan, keterangan mengenai HCN ini diralat, dengan menyatakan sianida yang digunakan berbentuk kristal).
Itu kejanggalan ketiga.
Kejanggalan yang keempat, terkait sianida di lambung Mirna.
Polisi menyatakan bahwa—dari otopsi yang dilakukan—mereka menemukan sianida di lambung Mirna. Dan karena itulah mereka menyimpulkan kalau Mirna tewas akibat sianida yang ada dalam gelas kopinya.
Pertanyaannya sederhana, kenapa di lambung?
Dalam pelajaran biologi, kita pasti telah belajar bahwa pencernaan dimulai dari mulut atau lidah, rongga mulut, saluran tenggorokan, kemudian saluran pencernaan. Jika kopi yang diminum Mirna memang mengandung sianida, kenapa mereka tidak menemukan jejak atau residu sianida di lidah, di rongga mulut, di saluran tenggorokan, dan saluran pencernaan?
Keberadaan sianida di lambung tidak bisa serta merta disimpulkan bahwa seseorang tewas karena sianida, karena keberadaan sianida di lambung bisa terjadi sebagai hasil post mortem, ketika seseorang meninggal.
Itulah kenapa, dalam catatan di sini, saya menyatakan bahwa bisa jadi sianida di lambung Mirna tidak berasal dari luar, melainkan dari tubuhnya sendiri, karena tubuh manusia memang dapat memproduksi sianida ketika meninggal.
Dokter Ferryal Basbeth, seorang ahli forensik, juga menyatakan hal serupa. Kepada CNN Indonesia, ia menjelaskan, “Perlu diperhatikan juga bahwa mayat memang menghasilkan sianida. Jadi, kalau menetapkan pembunuhan karena menemukan sianida di lambung, itu kurang akurat. Polisi juga perlu mengambil sampel dari air liur, kantong empedu, dan urin, apakah ada sianida di situ.”
Itu kejanggalan keempat.
Uraian ini bisa saja berlanjut terus, menyangkut hal-hal teknis yang lebih rumit, dan kita akan menemukan begitu banyak kejanggalan lain—termasuk reaksi keluarga Mirna yang tiba-tiba berlebihan dalam menuduh Jessica, kesaksian Amir yang mengaku melihat pertemuan suami Mirna dengan barista kafe, dan lain-lain. Tetapi saya sengaja membatasi uraian ini hanya pada kasus intinya, yaitu meninggalnya Mirna, serta hal-hal yang bisa dipahami sesama orang awam.
Sekarang, kita masuk kejanggalan kelima.
Yaitu lolosnya Jessica dari uji detektor kebohongan.
Pertama, kenapa hanya Jessica yang diperiksa dengan detektor kebohongan? Ingat, Mirna tidak hanya minum dengan Jessica, tapi juga dengan Hani. Dan jangan lupakan orang-orang lain yang juga ada di kafe tempat peristiwa terjadi. Jadi, kenapa hanya Jessica yang diperiksa dengan detektor kebohongan?
Akhirnya, jika hanya Jessica yang diperiksa dengan detektor kebohongan, dan dia terbukti lolos, kenapa dia masih dituduh dan ditetapkan sebagai tersangka?
Tujuan penggunaan detektor kebohongan adalah untuk menguji apakah keterangan seseorang benar atau tidak (jujur atau bohong). Fakta bahwa Jessica lolos dari pemeriksaan tersebut, membuktikan kalau Jessica memang jujur. Lalu kenapa dia masih dituduh? Dan, kembali lagi, kenapa polisi tidak mencoba memeriksa orang-orang lain yang mungkin terlibat?
Darmawan Salihin, ayah mendiang Mirna, menyatakan kepada media bahwa Jessica adalah perempuan pintar, sehingga bisa mengelabui detektor kebohongan. Saya takjub sekaligus geli dengan pernyataan itu. Memangnya sepintar apa Jessica, sehingga dia bisa mengelabui detektor kebohongan?
Mari saya ceritakan.
Detektor kebohongan, sejauh ini, telah menjerat tak terhitung banyaknya penjahat kelas kakap, dari pembunuh profesional, sampai mata-mata yang memiliki IQ sangat tinggi. Ketika seorang mata-mata tertangkap di suatu negara, sering kali mereka baru “kalah” ketika berhadapan dengan detektor kebohongan. Artinya, mengelabui detektor kebohongan tidak semudah yang diocehkan orang. Saat berhadapan dengan mesin itu, orang membutuhkan kekuatan pikiran yang luar biasa untuk bisa mengelabuinya.
Di dunia ini, hanya ada lima orang yang sejauh ini mampu mengelabui detektor kebohongan. Yang pertama adalah Gary Ridgway, seorang pembunuh yang dikenal sangat genius. Dia lolos dari tes kebohongan yang dilakukan oleh polisi dan FBI. Dia tertangkap bukan karena detektor kebohongan, melainkan karena polisi menemukan DNA miliknya pada salah satu korban yang dibunuhnya.
Yang kedua adalah Aldrich Hazen Ames, yang menjadi anggota CIA (Dinas Intelijen AS), dan merangkap menjadi mata-mata Rusia. CIA sudah mencurigai Ames sebagai musuh dalam selimut, tapi Ames lolos saat diuji dengan detektor kebohongan. Belakangan, Ames mengakui kalau dia memang merangkap menjadi anggota CIA sekaligus KGB, dan itu artinya dia memang mengelabui detektor kebohongan.
Yang ketiga adalah Ana Belen Montes, mantan analis senior di Defense Intelligence Agency (DIA), Amerika Serikat. Dia dituduh membocorkan informasi rahasia Amerika Serikat kepada pemerintah Kuba. Tapi Montes lolos saat diuji detektor kebohongan, meski kemudian ia dihukum 25 tahun penjara dengan bukti-bukti lain.
Yang keempat adalah Leandro Aragoncillo. Semula, dia analis intelijen Biro Penyidik Federal Amerika Serikat (FBI). Sama seperti Montes, dia juga membocorkan informasi rahasia negara AS ke negara lain. Leandro Aragoncillo sempat diperiksa dengan detektor kebohongan, tapi dia lolos.
Terakhir, yang kelima, adalah Karel Koecher, seorang pria Cekoslovakia. Karena sangat cerdas dan fasih berbahasa Inggris, dia disusupkan badan intelijen Cekoslovakia ke Amerika Serikat. Penyusupan itu berhasil, dan Karel Koecher dipekerjakan sebagai penerjemah bahasa di Badan Intelijen Amerika Serikat (CIA).
Bahkan, karena fasih dalam sejumlah bahasa negara Eropa Timur, Karel dipercaya CIA untuk menerjemahkan dokumen-dokumen rahasia. Dari situ, Karel membocorkan informasi-informasi penting dan rahasia milik AS, ke badan intelijen negaranya.
Ketika ulahnya ketahuan, Karel Koecher ditangkap pemerintah AS, dan menjalani pemeriksaan dengan detektor kebohongan. Karel lolos saat diperiksa, tapi AS tetap memenjarakannya. Akhirnya, pihak Cekoslovakia membebaskan Karel melalui penukaran tawanan.
Kita lihat...? Lima orang itu bukan orang-orang sembarangan, dan hanya lima orang itulah yang sejauh ini mampu mengelabui detektor kebohongan. Jadi, kalau ada yang mengatakan bahwa Jessica sangat pintar, sehingga mampu mengelabui detektor kebohongan, memangnya sepintar apa Jessica...?
Kalau Jessica memang sepintar itu, dia tidak akan membunuh Mirna dengan cara yang sangat bodoh, sebagaimana yang dituduhkan kepadanya. Meracuni temannya dengan sianida di sebuah kafe, di tengah orang banyak, itu benar-benar cara membunuh yang sangat “kasar” dan “tidak intelektual”. Kalau Jessica memang benar melakukannya, itu justru menunjukkan kalau dia perempuan tolol!
Jadi, berdasarkan pemaparan sebatas ini saja, kita melihat begitu banyak kejanggalan sekaligus kontradiksi yang saling mementahkan satu sama lain. Mari kita sorot satu per satu agar lebih jelas.
Pertama, Mirna disebut mati karena sianida, yang konon ditaruh di gelas kopinya. Faktanya, dia mampu bertahan hidup hingga 5 jam sejak meminum kopi tersebut. Kenyataan ini secara langsung mementahkan teori bahwa dia mati karena sianida.
Kedua, polisi baru melakukan olah TKP, lima hari setelah peristiwa terjadi. Dan menyatakan bahwa mereka menemukan sianida di gelas Mirna sebesar 15 gram. Keterangan ini membingungkan, karena saling kontradiktif—antara waktu olah TKP, dan fakta bahwa sianida mudah menguap.
Ketiga, polisi semula mengindikasikan bahwa sianida yang digunakan dalam kasus ini adalah HCN. Faktanya, HCN adalah zat sianida berbentuk cairan yang sangat mudah berubah menjadi gas. Jika memang itu yang terjadi, seharusnya Jessica sudah tewas saat mencoba menggunakan racun tersebut. Kenyataannya dia masih segar bugar.
Keempat, berdasarkan otopsi yang dilakukan pada jasad Mirna, hanya ditemukan kadar sianida di lambung, dalam jumlah tidak signifikan. Para ahli sepakat, keberadaan sianida di lambung tidak bisa disimpulkan berasal dari luar, karena tubuh bisa memproduksi sianida ketika mati. Bagaimana pun, kita tidak bisa memaksakan tuduhan kepada seseorang—dalam hal ini kepada Jessica—jika sesuatu yang dituduhkan masih debateable.
Kelima, puncak dari segalanya, Jessica telah diperiksa menggunakan detektor kebohongan, dan dia lolos. Jika kenyataan telah menunjukkan bahwa Jessica jujur, dan dia tidak berbohong atas apa yang dikatakannya, serta telah dibuktikan dengan uji detektor kebohongan... lalu kenapa Jessica masih dituduh dan didakwa?
Lebih dari itu, rekaman CCTV di Kafe Olivier sama sekali tidak menunjukkan tanda bahwa Jessica menuangkan apa pun ke dalam gelas Mirna. Artinya, sejauh ini, tuduhan kepada Jessica tidak didasarkan pada fakta, melainkan pada asumsi.
Terkait tuduhan kepada Jessica, teori yang dibangun sangat tidak meyakinkan. Bahkan, keterangan-keterangan yang diharapkan dapat membangun teori itu, justru runtuh sendiri ketika saling dikonfrontasikan dengan kenyataan. Jika teori dan kenyataan tidak sesuai, artinya ada yang salah... dan kita tidak perlu ngotot, apalagi sampai menghukum seseorang yang belum tentu bersalah.
Hotman Paris, pengacara senior yang telah menangani banyak kasus dalam jumlah tak terhitung banyaknya, menyatakan, “Sejak sejarah Romawi kuno sampai sekarang, banyak tindak pidana yang tidak terpecahkan. Itu risiko. Itu namanya unsolved crime.”
Kini, Jessica telah dijatuhi hukuman 20 tahun penjara oleh pangadilan yang mengadilinya, padahal kasus ini masih memiliki banyak tanda tanya. Karenanya, kalau Jessica dan pengacaranya benar-benar memutuskan untuk naik banding, kita berharap pengadilan selanjutnya bisa lebih arif sekaligus lebih adil dalam memahami kasus ini, agar tidak ada lagi orang tak bersalah yang dihukum karena prasangka.
Karena membebaskan seribu orang bersalah masih lebih baik, daripada menghukum satu orang yang tak bersalah.