Entah kenapa, feeling-ku dari dulu mengatakan
Jessica bukan si pembunuh. Dia hanya terjebak dalam
situasi yang salah, di waktu yang salah.
Dulu, ketika pertama kali mengetahui kasus kematian seorang wanita (Mirna) setelah minum kopi di kafe, sejujurnya saya tidak terlalu peduli. Saya bahkan tetap tidak peduli ketika kasus itu rupanya terus berlanjut, dan menempatkan Jessica sebagai tersangka. Sampai di titik itu, saya masih tidak peduli, bahkan tidak tertarik.
Selama waktu-waktu itu, saya pikir kasus kematian Mirna hanyalah kasus biasa. Dan kalau Jessica kemudian ditetapkan sebagai tersangka, saya pikir itu juga hal biasa. Selama itu saya tidak mengikuti kasus tersebut, jadi tidak tahu perkembangan yang terjadi. Karena itu pulalah, saya tidak terlalu peduli.
Yang membuat saya mulai tertarik dengan kasus ini adalah ketika mengetahui Jessica bisa lolos dari detektor kebohongan (lie detector).
Pada waktu Jessica mulai dijadikan tersangka, dia menjalani pemeriksaan, yang salah satunya dengan detektor kebohongan, dan dinyatakan lolos. Dengan kata lain, semua yang dikatakan Jessica—bahwa dia tidak membunuh Mirna—adalah kejujuran atau kebenaran. Artinya, Jessica memang tidak membunuh Mirna, dengan bukti dia lolos detektor kebohongan. Meski begitu, dia tetap dijadikan tersangka.
Penetapan Jessica sebagai tersangka, meski dia telah lolos uji detektor kebohongan, seolah menyatakan bahwa Jessica bisa “mengelabui” detektor tersebut. Dan itulah yang membuat saya tertarik. Sejak itu, saya mulai mempelajari kasus ini lebih mendalam untuk mengetahui keseluruhan yang terjadi, sekaligus mengenal siapa Jessica. Karena, jika dia memang pembunuh Mirna, dan bisa lolos detektor kebohongan, dia pasti wanita luar biasa.
Dalam sebuah berita, saya mendapati Darmawan Salihin (ayah Mirna), bahkan sempat menyatakan, “Lie detector saja kalah sama Jessica!”
Wanita bernama Jessica ini pasti hebat, pikir saya waktu itu. Jadi, didorong rasa penasaran, saya pun mulai membaca dan mempelajari semua hal terkait kasus kematian Mirna serta kopi bersianida, dan yang saya dapati di luar dugaan. Kasus yang semula saya bayangkan “biasa”, ternyata begitu rumit dan penuh keanehan serta kejanggalan. Di atas semua itu, saya jadi tidak percaya kalau Jessica benar-benar membunuh Mirna.
Mari kita mulai dari awal untuk melihat bagaimana kasus ini terbentuk, dan kita akan menyadari betapa anehnya kasus ini. (Semua uraian di bawah ini direkonstruksi dari artikel-artikel yang saya baca, yang dapat kalian lacak sendiri di internet).
Kasus ini dimulai pada 8 Januari 2016. Saya masih ingat, judul berita yang sempat saya baca waktu itu, “Seorang Wanita Tewas Setelah Minum Kopi Vietnam”. Sebagaimana kebanyakan orang, waktu itu saya hanya berpikir kalau wanita yang tewas seusai minum kopi itu memiliki masalah kesehatan, atau riwayat penyakit yang berat.
(Catatan: Peristiwa itu sebenarnya terjadi pada 6 Januari 2016, namun baru tercium media pada 8 Januari 2016, setelah Mirna dinyatakan meninggal, dan polisi mulai terlibat).
Mirna, wanita yang disebut “tewas” tersebut, minum kopi di Kafe Olivier bersama dua temannya, yaitu Hani dan Jessica. Ketika Mirna tampak mengalami “masalah” usai minum kopi, mereka membawa Mirna ke klinik terdekat, dan Mirna diperiksa oleh Dokter Joshua. Pada waktu itu, Mirna masih hidup.
Dokter Joshua, yang memeriksa kondisi Mirna, memastikan Mirna tidak mengalami gejala keracunan. Tidak ada tanda muntah atau semacamnya. Dokter Joshua bahkan memastikan denyut nadi Mirna kala itu 80 kali per menit, yang artinya masih tergolong normal.
Setelah itu, Mirna dibawa suaminya ke Rumah Sakit Abdi Waluyo, dan Mirna meninggal di sana. Kepada Kompas.Com, Kasubag Humas Polres Metro Jakarta Pusat Kompol Suyatno (8/1/2016) menyatakan, “Korban berinisial WMS (27) meninggal pukul 22.00 pada 6 Januari lalu.”
Berpangkal dari kenyataan itu, sekarang bacalah uraian kronologi berikut ini dengan cermat dan hati-hati, karena—meski tampak wajar dan biasa—di dalamnya terdapat kejanggalan luar biasa. Orang-orang awam tidak akan memperhatikan hal-hal tersembunyi berikut ini. Karenanya, bacalah perlahan dan cermat.
Ketika Mirna dinyatakan meninggal pada 6 Januari malam, bahkan hingga 8 Januari, pihak keluarganya sudah menerima kenyataan tersebut sebagai takdir. Mereka bahkan menolak jasad Mirna diotopsi, karena sudah menganggap kematian Mirna sebagai “hal wajar”. Bisa jadi, pihak keluarga Mirna mengetahui kalau Mirna memang memiliki riwayat kesehatan tertentu.
Kemudian, pada 7 Januari 2016, polisi datang ke kafe tempat kasus itu terjadi, dan meminta rekaman CCTV. Besoknya, tanggal 8 Januari 2016, polisi memeriksa Kafe Olivier, tapi belum melakukan olah TKP (Tempat Kejadian Perkara). Bahkan sampai tanggal 9 Januari 2016, Kapolsek Tanah Abang, AKBP Jefri Siagian, mengatakan bahwa CCTV tidak menunjukkan tanda mencurigakan.
Sementara itu, pihak keluarga Mirna akhirnya bersedia memenuhi permintaan polisi, yaitu melakukan otopsi pada jasad Mirna. Otopsi dilakukan secara tidak lengkap, pada 9 Januari, dan setelah itu jasad Mirna dimakamkan di Bogor.
Besoknya, pada 10 Januari 2016, Dirkrismum Polda Metro Jaya menyatakan, dari 3 sampel kopi yang dibawa dari Kafe Olivier—tempat kejadian perkara—salah satunya mengandung sianida. Kemudian, pada 11 Januari 2016, polisi mulai melakukan olah TKP di Kafe Olivier.
Sehari setelahnya, pada 12 Januari 2016, Puslabfor polisi mengeluarkan pernyataan bahwa hasil forensik terhadap jasad Mirna menemukan ada sianida sebesar 3,75 mg di lambung korban. Polisi juga memastikan bahwa kopi yang diminum Mirna mengandung 15 gram Sianida.
Sejak itu, nasib Jessica di ujung tanduk. Dia menjadi tersangka, dan dituduh telah membunuh Mirna. Terakhir, dia bahkan dituntut 20 tahun penjara, setelah berbulan-bulan menghadapi persidangan di pengadilan.
Berdasarkan kronologi di atas, sudah melihat keanehan dan kejanggalan yang terjadi? Belum? Mari kita urai satu per satu.
Mirna, Jessica, dan Hani, berada di Kafe Olivier pada sore hari, 6 Januari 2016. Lalu Mirna mengalami “masalah” seusai minum kopi, dan dibawa ke klinik. Setelah sekitar 5 menit kemudian, dia dibawa ke Rumah Sakit Abdi Waluyo, dan meninggal di rumah sakit pada pukul 22.00.
You see that...? Ada jeda waktu cukup panjang di sini, setidaknya 5 jam, dari peristiwa di kafe sampai meninggal di rumah sakit. Perhatikan jeda waktu ini—sekitar 5 jam.
Kemudian, polisi baru melakukan olah TKP pada 11 Januari di Kafe Olivier. Artinya, polisi baru melakukan pemeriksaan intensif di kafe tersebut, 5 hari setelah peristiwa itu terjadi. Saya ulangi, lima hari setelah peristiwa itu terjadi.
Berdasarkan olah TKP yang mereka lakukan, polisi menyatakan bahwa satu di antara tiga gelas kopi yang diambil dari sana mengandung sianida, bahkan bisa memastikan kalau kopi yang diminum Mirna mengandung 15 gram sianida.
Keterangan itu sangat... sangat aneh, bahkan saling bertolak belakang dengan kenyataan yang terjadi.
Pertama, sianida adalah racun mematikan. Bahkan dengan 1 gram saja, siniada sudah bisa membunuh orang. Jika kita mempelajari literatur kedokteran, kita akan diberitahu bahwa 1 gram sianida dapat menewaskan seorang lelaki dewasa dalam waktu kurang dari 30 menit.
Jika sianida dalam gelas Mirna mencapai 15 gram—sebagaimana yang dikatakan polisi—maka artinya racun dalam kopinya dalam dosis besar. Tak peduli Mirna menyeruput sesedikit apa pun, kadar sianida yang masuk ke tubuhnya pasti banyak, dan—bisa dipastikan—dia akan cepat tewas. Lebih dari itu, dia pasti akan menunjukkan tanda-tanda keracunan yang mudah dikenali, khususnya oleh dokter.
Tapi kenyataannya Mirna tidak langsung tewas. Dia sempat dibawa ke klinik, dan Dokter Joshua yang memeriksanya menyatakan kalau Mirna tidak mengalami tanda keracunan. Dokter Joshua bahkan memastikan denyut nadi Mirna waktu itu tergolong normal. Mirna baru meninggal setelah dibawa ke Rumah Sakit Abdi Waluyo, dan itu setidaknya 5 jam setelah dia meminum kopi di kafe.
Itu kejanggalan pertama.
Kejanggalan yang kedua, terkait sianida itu sendiri.
Perhatikan lagi kronologi di atas. Mirna minum kopi pada 6 Januari 2016, dan meninggal pada malam harinya. Sementara polisi baru melakukan olah TKP pada 11 Januari 2016, atau lima hari setelah peristiwa itu terjadi. Pertanyaannya, selama lima hari itu, di mana posisi gelas yang digunakan Mirna?
Pertanyaan itu penting diajukan, karena pada 12 Januari 2016, polisi menyatakan dengan pasti bahwa gelas Mirna mengandung sianida sebesar 15 gram. Bagaimana polisi bisa memastikan hal itu?
Lanjut ke sini: Jejak-jejak Keanehan Kasus Kopi Sianida (2)