Minggu, 26 Mei 2019

Semalam Bersama Ateis

Kepedulian dan kemampuan mendengarkan itu mudah dikatakan, 
tapi sulit ditemukan—khususnya oleh orang yang benar-benar 
membutuhkannya. Itulah kenapa, sejujurnya, aku tidak heran dengan orang 
bunuh diri, karena aku benar-benar memahami yang dirasakannya.


Ajakan pertemuan bisa menyenangkan bagi saya, asal pertemuan itu memenuhi “selera” saya. Seperti ajakan Husni, suatu siang, ketika dia menelepon. Husni adalah teman yang bekerja di sebuah institusi.

Saya sedang membaca buku di rumah, ketika ponsel bergetar, dan mendapati nama Husni. Lalu kami bercakap lewat telepon. Dia menyampaikan undangan, agar saya datang ke sebuah pertemuan.

“Acara apa?” tanya saya.

“Brainstorming,” jawab Husni.

“Brainstorming?”

Lalu Husni menjelaskan garis besar acara. “Acaranya cuma dua hari,” ujarnya. “Tapi kalau kamu sekalian ingin liburan, kamu bisa di sini tiga hari atau sampai kapan pun.”

Saya memastikan, “Apakah ada publisitas?”

“Ini acara internal,” jawab Husni. “Tidak ada publisitas apa pun.”

“Foto-foto?”

“Tidak ada.”

“Ngemeng-ngemeng di video?”

Husni tertawa. “Tidak ada.” Lalu dia menegaskan, “Tidak ada hal-hal yang akan membuatmu risih atau tidak nyaman. Aku juga berani mengundangmu, karena aku tahu acara ini pasti cocok denganmu. Orang-orang lain yang diundang juga sama sepertimu—mereka tidak menyukai publisitas, dan lebih senang bekerja di balik layar.”

“Siapa saja yang diundang?”

“Ada sekitar sepuluh orang.” Lalu Husni menyebut beberapa nama mereka, yang kebetulan saya kenal.

Saya pun berkata, “Sepertinya menyenangkan. Sebutkan tempatnya.”

Husni mendiktekan alamat secara lengkap.

Setelah percakapan selesai, saya menghubungi biro travel, dan lima hari kemudian berangkat ke tempat pertemuan yang diberikan Husni.

....
....

Husni menyambut saya dengan semringah. Dengan semringah pula dia menggiring saya masuk, untuk diperkenalkan dengan orang-orang lain yang sudah ada di sana. Waktu itu ada enam orang, semuanya laki-laki, dan dua di antaranya sudah saya kenal.

Saya bersalaman dengan mereka. Salah satu orang di sana bernama Nino, yang belum saya kenal. Saat menyalami saya, Nino tersenyum dan berkata, “Husni sering bercerita tentangmu.”

Saya membalas senyumnya. “Semoga belum semuanya.”

“Aku juga suka membaca blogmu,” lanjut Nino.

“Kedengarannya seperti kebiasaan buruk.”

Senyum Nino makin lebar.

....
....

Seperti yang dibilang Husni sebelumnya, acara pertemuan itu memang brainstorming. Namanya brainstorming, kami saling menyampaikan pendapat secara panjang lebar terkait topik yang dibicarakan, dan saling mendengarkan.

Acaranya santai, membahas hal-hal serius diiringi obrolan ringan, dan canda tawa menyenangkan. Tentu saja sambil menyeruput minuman dan udud. Tidak ada publisitas di media sosial, tidak ada foto-foto, tidak ada rekaman video, tidak ada selfie-selfie. Saya senang selama menjalaninya.

Malam hari, usai acara di hari pertama, Nino berkata kepada saya, “Tadi, waktu mendengarkanmu berbicara, aku seperti sedang membaca blogmu dalam versi live.”

Saya tertawa.

....
....

Acara dua hari itu sangat menyenangkan. Sudah lama saya tidak menikmati acara semacam itu. Sebenarnya, saya bahkan “prihatin” setiap kali menerima tawaran atau undangan pertemuan dari pihak mana pun, karena acara pertemuan di zaman sekarang hampir bisa dipastikan akan “disiarkan” secara live di linimasa media sosial, akan ada foto-foto, ada rekaman video, dan tetek bengek semacamnya.

Karenanya, ketika menerima undangan Husni, dan pertemuan itu benar-benar “steril” tanpa publisitas, saya pun sangat menikmati. Senang rasanya bisa kembali berbicara dengan nyaman, dan berdiskusi dengan banyak orang seperti dulu.

Malam kedua, setelah acara benar-benar usai, kami semua mengobrol sambil merokok. Semakin larut, satu per satu mulai masuk kamar, untuk tidur. Saya duduk di sofa dengan Nino. Sepertinya kami saling cocok. Selain usia yang sama, obrolan kami juga nyambung, jadi kami segera akrab. Lebih dari itu, Nino memiliki pembawaan menyenangkan, sehingga mudah akrab dengan siapa pun.

Setelah mengobrol cukup lama, Nino berkata dengan serius, “Kalau aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang ateis, bagaimana menurutmu?”

“Menurutku,” saya menjawab dengan sama serius, “kamu sudah dewasa, berakal waras, dan tentunya bisa bertanggung jawab atas apa pun pilihanmu.”

Nino tersenyum. “Aku benar-benar senang mendengarmu bicara. Rasanya seperti membaca blogmu dalam versi live.”

Mau tidak mau saya tertawa.

Nino bangkit dari duduk, dan berkata, “Aku mau ambil minum. Kamu mau?”

Saya mengangguk.

Sesaat kemudian, dia membawa dua teh botol.

Setelah menyedot minuman dan menyulut rokok, saya berkata, “Kalau aku bertanya mengapa jadi ateis, kamu mau menjelaskan?”

Nino menjelaskan, dan kalimat awalnya terdengar seperti pembukaan cerita yang mengejutkan. “Orang tuaku sangat religius,” ujarnya. “Tapi yang mereka hasilkan adalah anak yang menjadi ateis.”

Setelah itu, Nino menyatakan, “Berdasarkan pembacaanku atas tulisan-tulisanmu di blog, mungkin kita punya latar belakang serupa. Kemiskinan, masa kecil yang suram, perlakuan buruk orang tua, masalah demi masalah, luka, trauma, sebut lainnya. Kalau kamu meragukan yang barusan kukatakan, kamu bisa menanyakan pada Husni. Dia sangat tahu siapa aku, beserta latar belakangku seutuhnya.”

Pembukaan itu cukup mengejutkan, bagi saya. Melihat sosok Nino yang tampak ceria, saya seperti melihat orang yang mungkin tidak pernah menghadapi masalah.

Saya berkata, “Jadi, bagaimana kamu menjadi ateis?”

“Ceritanya panjang,” jawab Nino.

“Aku mendengarkan.”

....
....

Nino memiliki latar belakang tak jauh beda dengan saya. Dia anak kedua, dan memiliki dua adik. Kakaknya, perempuan, sudah menikah, dan hidup di tempat jauh. Sementara dua adiknya masih lajang. Nino juga masih lajang, dan belum punya rencana untuk menikah.

Ihwal ateisme yang kemudian dipeluk Nino adalah hasil perjalanan panjang kehidupan yang dijalaninya, bersama pengalaman penuh luka.

Keluarga Nino sangat miskin. Semenjak kecil, Nino—dan tentu kakak serta adik-adiknya—sering prihatin saat harus membayar biaya keperluan sekolah. Sementara kehidupan sehari-hari juga penuh keprihatinan. Dari semua anak, hanya Nino dan kakak perempuannya yang kuliah. Sementara adik-adiknya hanya lulus SMA.

Nino dan kakaknya bisa kuliah, semata karena upaya sendiri. Begitu lulus, kakak perempuan Nino menikah, dan meninggalkan keluarga untuk hidup bersama suaminya. Sejak itu, Nino merasa semua beban dan tanggung jawab ada di pundaknya. Sejak itu pula, hantaman keras kehidupan seperti mengguncang pikirannya.

“Masyarakat menghormati ayahku sebagai orang baik yang religius,” ujar Nino. “Tetapi, sebagai anak, aku mengenalnya sebagai ayah yang buruk dan tidak bertanggung jawab pada keluarga.”

Sedari kecil sampai remaja, Nino telah terbiasa dengan kekerasan dan perlakuan buruk orang tua. Tetapi, selama waktu-waktu itu, dia tidak pernah berpikir macam-macam, karena bagaimana pun “anak wajib berbakti pada orang tua”, karena “orang tua telah melahirkan serta membesarkan anak”, dan semacamnya. Selama waktu-waktu itu pula, Nino belum menyadari bahwa akar kekerasan dalam keluarga yang ia hadapi berawal dari kemiskinan mereka.

“Ayahku bisa tampak sabar dan bijaksana saat di hadapan masyarakat,” ujar Nino. “Tapi kesabaran dan kebijaksanaannya hilang di hadapan keluarganya.”

Belakangan, saat dewasa, Nino menyadari bahwa yang mendorong orang tuanya melakukan kekerasan serta memperlakukan anak-anaknya dengan sangat buruk, karena kemiskinan yang mereka hadapi. Orang tuanya frustrasi menghadapi hidup yang terus menekan, dan anak-anak mereka yang kemudian menjadi korban. Karenanya, begitu kakak perempuannya segera menikah usai lulus kuliah, Nino pun menyadari; itu upaya sang kakak untuk menjauhkan diri dari keluarga mereka yang “rusak”.

Tidak lama setelah sang kakak menikah, ayah mereka meninggal dunia.

Nino tidak bisa secuek kakaknya. Bagaimana pun, dia tidak tega jika harus meninggalkan keluarga begitu saja. Karenanya, alih-alih segera menikah untuk membangun keluarga sendiri, Nino memilih bekerja keras untuk menghidupi keluarga yang ditinggalkan ayahnya. Tetapi, rupanya, itu pun pilihan buruk yang kemudian memerangkap hidupnya hingga sangat terluka.

(Sampai di sini, Nino menjelaskan masalah keluarganya yang sangat parah. Namun, karena alasan tertentu, dia meminta agar saya tidak menuliskannya secara gamblang. Intinya, kisah Nino adalah “kisah klise” anak yang menjadi korban keluarga yang dihasilkan orang tua tanpa tanggung jawab.)

“Jadi,” ujar Nino, “aku bertanya-tanya, untuk apa sebenarnya aku dilahirkan? Semenjak kecil sampai dewasa, aku dihadapkan pada masalah demi masalah, penderitaan demi penderitaan. Seiring usiaku makin besar, masalah yang kuhadapi makin besar. Aku seperti wujud hidup novel lama—tak putus dirundung malang.”

Selama bertahun-tahun, setiap kali terpuruk akibat menanggung beban masalah yang ditimpakan keluarganya, sang ibu biasanya berkata, “Ini cobaan Tuhan, jadi serahkan segalanya pada Tuhan. Selalu ada kebahagiaan setelah cobaan.”

“Tetapi,” lanjut Nino, “setiap kali aku akan bahagia, orang tuaku lagi-lagi menimpakan beban dan masalah, dan begitu seterusnya. Kenyataan itu terus kuhadapi dari kecil sampai dewasa. Lama-lama aku menyadari, semua masalah dan penderitaan itu bukan cobaan Tuhan, melainkan hasil kemiskinan dan kebodohan, yang bercampur dengan iman tanpa kesadaran. Orang tuaku mengatakan agar menyerahkan semua masalah kepada Tuhan. Kenyataannya, mereka menyerahkan dan menimpakan semua masalah kepadaku!”

Setelah terdiam beberapa lama, Nino berkata perlahan-lahan, “Aku merasa... seperti marah pada Tuhan. Aku dilahirkan orang tuaku tanpa pernah meminta, tapi dipaksa percaya bahwa akulah yang meminta dilahirkan. Setelah itu, aku tumbuh besar dengan segala susah dan derita, sambil dipaksa percaya bahwa itu cobaan Tuhan, dan aku harus kuat menanggungnya.

“Aku menghadapi orang tua yang begitu buruk dan kejam, tapi dipaksa untuk berbakti pada mereka, dan harus percaya bahwa orang tua ingin anak-anaknya bahagia. Yang jadi masalah, bagaimana orang tua bisa membahagiakan anak-anaknya, kalau diri mereka sendiri tidak bahagia? Kenyataannya, kita didoktrin untuk membahagiakan orang tua.

“Jadi, selama ini orang tua kita tidak bahagia, hingga melahirkan anak-anak untuk didoktrin agar membahagiakan mereka. Ini seperti lingkatan setan. Orang tua tidak bahagia melahirkan anak-anak dengan dalih ingin melihat anak-anaknya bahagia. Tetapi, sebenarnya, mereka tidak bahagia, sehingga mereka mendoktrin anak-anak untuk membahagiakan mereka. Lalu anak-anak mereka mengulangi hal serupa, dan menghasilkan anak-anak lain yang menjadi korban selanjutnya.”

Nino menyedot teh dalam botol yang tinggal setengah, kemudian melanjutkan, “Di tengah kekacauan semacam itulah, aku merasa marah kepada Tuhan. Ayahku membaktikan hidupnya untuk Tuhan, tapi yang ia hasilkan adalah kemiskinan dan penderitaan keluarga.

“Ibuku sangat taat beragama, tapi hidup tertekan dalam kemiskinan, hingga memperlakukan anak-anaknya dengan sangat buruk. Dan sambil melakukan semua itu, mereka mengatakan itu cobaan Tuhan, menyemburkan doktrin yang membuatku sangat tertekan, dan menimpakan semua masalah mereka kepadaku hingga membuatku merasa hidup dalam kutukan.”

“Aku benar-benar sangat tertekan,” lanjut Nino perlahan-lahan. “Dan perasaan tertekan itu berlangsung bertahun-tahun. Di satu sisi, aku terus beribadah dan berdoa kepada Tuhan, sambil terus berupaya menghormati orang tua sesuai doktrin agama. Tetapi, bersamaan dengan itu, aku ditikam masalah demi masalah, derita demi derita, yang tak juga usai. Hingga akhirnya, di satu titik, saat semua kesabaran dan keteguhanku seperti terkuras, aku merasa lelah... sangat lelah.”

Nino terdiam cukup lama, dan saya berkata, “Sejujurnya, sejak bertemu denganmu, aku tidak pernah menyangka kamu menjalani semua ini—semua masalah hidup yang kamu ceritakan. Kamu tampak ceria, seperti tak punya masalah berat.”

“Aku menjalani terapi,” jawab Nino lirih. Kemudian, dengan ragu-ragu, dia melanjutkan, “Aku mencoba bunuh diri, tapi selamat. Setelah itu, aku menjalani terapi pemulihan. Usai terapi, Husni memberiku uang dan memintaku agar berlibur, menjauh dari keluargaku, dan menenangkan diri. Kamu bisa menanyakan kebenaran yang kukatakan ini pada Husni. Bahkan, gara-gara itu pula, Husni menceritakan tentangmu. Bahwa aku tidak sendirian, bahwa ada orang lain di luar sana, yang sama mengalami masalah sepertiku.”

“Jadi, setelah itu, kamu berlibur—menenangkan diri?”

Nino mengangguk. “Aku pergi ke Bali. Bukan untuk wisata, tentu saja, tapi semata untuk menjauh sejenak dari berbagai masalah keluargaku, agar aku bisa menenangkan diri, menata pikiran dan hati.”

Selama di Bali, Nino benar-benar sendirian, dan kondisi itu ia manfaatkan untuk melakukan refleksi atas diri dan kehidupannya. Sampai dua minggu dia di Bali, sendirian, menikmati hidup tanpa masalah atau gangguan apa pun, hingga dapat berpikir tenang, dan selama waktu-waktu itu Nino merasa—sesuai istilahnya—“dilahirkan kembali”. Saat akhirnya pulang, Nino telah menjadi ateis.

“Sejak itu, aku tidak lagi beribadah, dan sama sekali tak peduli dengan agama maupun doktrin-doktrinnya,” ujar Nino. “Sebenarnya, aku bahkan tak peduli lagi Tuhan benar-benar ada atau tidak. Aku tidak peduli akhirat benar-benar ada atau tidak, sebagaimana aku tak peduli lagi pada surga dan neraka.”

Setelah terdiam sesaat, Nino melanjutkan, “Percaya atau tidak, justru setelah memutuskan menjadi ateis, aku merasa lebih ringan menjalani hidup. Pikiranku tidak lagi seberat semula. Kini, aku hanya tahu satu hal—berupaya membereskan masalah-masalah keluargaku, dan menjalani hidup dengan baik. Aku tidak mau lagi dibelenggu doktrin-doktrin mengerikan tentang akhirat dan segala macam isinya. Jadi, inilah aku sekarang. Kamu mengatakan aku seperti orang tak punya masalah, dan aku senang mendengarnya.”

Kami terdiam cukup lama, dan saya tahu cerita Nino telah berakhir.

Saya kemudian berkata, “Aku boleh menanyakan sesuatu?”

Dia mengangguk.

“Umpama,” saya berkata, “umpama kelak setelah mati ternyata ada akhirat, dan kamu harus menghadap Tuhan yang ternyata benar-benar ada, kira-kira apa yang akan kamu lakukan?”

Nino tersenyum. “Kita sama-sama percaya Tuhan bukan hanya Mahatahu, tapi juga Mahabijaksana. Jadi, itulah yang akan kukatakan kepada-Nya. Jika Tuhan benar-benar ada, Dia pasti tahu seperti apa perjalananku selama di dunia, bagaimana kehidupan ini—khususnya orang tuaku—memperlakukanku hingga akhirnya aku menjadi ateis. Tidak ada akibat tanpa sebab, kan?

“Jadi, kalau Tuhan memutuskan aku bersalah, aku akan menyeret orang tuaku agar menghadapi kesalahan yang sama, karena merekalah sumber masalahku. Orang tuaku menjalani kehidupan religius, mendoktrinku agar percaya kepada Tuhan, tapi hasilnya justru menjadikanku ateis. Jika aku dinyatakan bersalah, mereka menanggung kesalahan yang sama.”

Saya merasa kehilangan kata-kata.

Hollywood Memang Licik

Apakah Thanos orang baik atau orang jahat? Menurutku, dia orang baik. Kalau dia jahat, dia pasti akan memilih siapa saja yang akan ia musnahkan, sesuai seleranya. Tapi tidak, dia membiarkan alam semesta memusnahkan setengah makhluk di dalamnya, tanpa intervensi apa pun darinya.

Karenanya, kisah Avengers mestinya sudah selesai. Alam semesta sudah seimbang, misi Thanos sudah tercapai, dan bocah-bocah Avengers bisa kembali ke kehidupan masing-masing. Apa pun yang terjadi, kondisi bumi dan planet lainnya sudah lebih baik karena adanya penurunan populasi.

Tapi Hollywood memang licik. Sejak awal, mereka menempatkan Avengers sebagai protagonis, dan Thanos sebagai antagonis. Akibatnya, jika seri Avengers selesai, kalian pasti tidak puas dan bisa jadi akan ngamuk. Jadi, Avengers: Endgame pun dirilis, agar kita semua bisa tidur tenang.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 April 2018.

Sesuatu yang Mbuh Kabeh karena Dibuat dari Barang Sedih

Kira-kira begitu.

Senin, 20 Mei 2019

Perempuan-Perempuan Perkasa di Korea

Perempuan mungkin diciptakan ketika langit sedang hujan, 
atau ketika angin cemburu pada hening rembulan.


Kalau keluyuran ke Korea Selatan, jangan hanya menyusuri pusat kota sambil berharap ketemu oppa. Sambagilah salah satu tempat terindah dan paling syahdu di Korea Selatan, bernama Cheju Do. Itulah tempat paling makmur dan paling aman di Korea Selatan, dengan penduduk yang ramah-tamah. Saking makmurnya, di sana tidak ada pengemis, dan tidak ada kejahatan.

Cheju Do atau Pulau Cheju adalah pulau yang terletak di ujung selatan Korea Selatan. Sebagai pulau vulkanik, Pulau Cheju menyimpan jejak lava berusia sekitar 2 juta tahun, yang kini mewujud dalam pemandangan luar biasa. Di tengah pulau ada gunung tertinggi di Korea, yakni Mount Halla (1.950 meter di atas permukaan laut). Dari puncaknya, kita bisa menatap seluruh pulau yang hanya seluas 1.845 km persegi.

Di sekitar lereng, berbagai flora tumbuh, sementara hewan-hewan berkeliaran bebas dan berdekatan dengan manusia, seolah di kebun binatang. Sementara di kaki gunung, padang rumput menghampar luas, dengan hewan-hewan ternak digembalakan.

Di bawah, terdapat pantai yang bersih dan indah, dan di pantai itulah perempuan-perempuan paling perkasa di dunia menunjukkan kehebatannya.

Di Pulau Cheju, patriarki sudah lama mati.

Pencari nafkah di Pulau Cheju adalah perempuan, dan mereka mencari nafkah dengan cara yang sangat indah, memukau, sekaligus berbahaya. Setiap hari, perempuan-perempuan di sana menyelam ke dasar laut yang jernih untuk menangkap abalone, sejenis siput laut bercangkang keras, yang merupakan seafood paling mahal di dunia.

Sekadar FYI, abalone adalah makanan laut langka yang sangat bernilai, lebih mahal dari lobster bahkan kaviar! Masakan abalone biasa disantap para miliuner di Asia, semacam lobster di Eropa.

Di Pulau Cheju, abalone hidup di dasar laut, dan para perempuan “memanen” abalone dengan menyelami lautan. Dalam proses penyelaman itu, mereka hanya berbekal baju selam karet, goggle (kacamata selam), keranjang di bahu, dan sekop mini di tangan. Tanpa alat bantu pernapasan, tapi perempuan-perempuan itu bisa bertahan di dalam air hingga 3 menit.

Biasanya, mereka bekerja secara kelompok, 3-4 orang, yang menyebar di beberapa titik lokasi. Setelah lokasi pencarian ditentukan, mereka pun menyelam ke kedalaman 12-20 meter di bawah laut, dan mulai mencari abalone. Gerakan mereka sangat lincah, liat, dan—tidak ada kata lain yang bisa menggambarkan, kecuali—perkasa. Di permukaan laut yang sangat jernih, perempuan-perempuan itu bisa disaksikan “menari” di kedalaman laut, seolah mereka bisa bernapas di sana.

Kalian mungkin membayangkan mereka perempuan-perempuan muda yang memang bertubuh kuat, liat, dan lentur? Salah!

Perempuan-perempuan penyelam di Pulau Cheju, yang mampu menyelam hingga tiga menit tanpa alat bantu pernapasan, rata-rata berusia 50 tahun ke atas. Sebagian mereka bahkan ada yang berusia 60 bahkan 70 tahun! Karena itulah, tidak ada kata yang lebih tepat digunakan, selain “perkasa”. Dalam bahasa lokal, mereka disebut Haenyo.

Di kedalaman laut, mereka mencari abalone dengan sekop mini yang mereka bawa. Abalone yang tertangkap lalu dimasukkan ke keranjang di punggung mereka.

Meski mungkin terdengar mudah, kenyataannya mencari abalone di dalam laut bukan pekerjaan mudah. Pertama, abalone sulit ditemukan, karena langka. Kedua, abalone adalah hewan laut yang sangat berbahaya. Jika salah memegangnya, cangkang abalone akan menutup dengan cepat, dan menjepit tangan. Terjepit cangkang abalone bisa menimbulkan cacat seumur hidup, bahkan kematian.

Karenanya, menyelam untuk mencari abalone tidak hanya membutuhkan kekuatan dan kelincahan, tapi juga keterampilan. Karena itu pula, sajian abalone di restoran-restoran elite harganya luar biasa mahal.

Rata-rata, para perempuan di Pulau Cheju menyelam sekitar 3-4 jam setiap hari, dan mereka melakukannya sekitar 7-10 hari dalam sebulan. Di luar waktu-waktu itu... apa yang mereka lakukan? Macam-macam, ada yang mengelola kafe, restoran, hotel, dan berbagai usaha lain. Sebagian mereka bahkan memiliki vila-vila indah yang biasa digunakan untuk bersantai.

Jangan salah, perempuan-perempuan penyelam itu kaya-raya, dan menjadi warga terhormat di Korea Selatan. Rumah mereka rata-rata luas dan mewah di pusat kota, meski mereka tinggal di tepi pantai. Rata-rata mereka juga punya bisnis yang memungkinkan keluarga mereka berkelimpahan, dan anak-anak mereka mengenyam pendidikan sampai tinggi.

Jika para perempuan itu bekerja sedemikian keras, lalu ke mana para laki-laki yang menjadi suami mereka? Para suami berdiam di rumah, mengurus rumah tangga, dari memasak sampai membersihkan rumah! Karena itulah, seperti yang disebut tadi, patriarki sudah lama mati di Pulau Cheju.

Sekian abad yang lalu, Korea Selatan menjadi negara yang sangat patriarkis. Kaum laki-laki ditempatkan sebegitu tinggi, sementara kaum perempuan ditempatkan sedemikian rendah. Upah pekerja laki-laki sangat besar, upah pekerja perempuan sangat kecil. Laki-laki juga mendapat berbagai fasilitas—misal layanan publik—yang tidak didapat perempuan. Lebih dari itu, pajak yang ditetapkan pada kaum laki-laki jauh lebih tinggi, dibanding pajak yang ditetapkan pada perempuan.

Karena harus membayar pajak sangat tinggi, kaum laki-laki di Korea Selatan seperti berlari dalam tong setan, hanya berputar-putar tapi tak sampai ke mana pun. Semakin banyak penghasilan mereka, pajak mereka semakin besar. Akibatnya, penghasilan bersih mereka sangat minim, dan hal itu berakibat pada sulitnya memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Di sisi lain, perempuan hanya dikenai pajak yang kecil. Karenanya, meski penghasilan mereka lebih kecil, tapi hasil yang diperoleh (penghasilan bersih) lebih besar daripada laki-laki.

Sekian abad yang lalu, banyak laki-laki di Pulau Cheju yang bekerja sebagai nelayan. Karena harus membayar pajak yang besar, istri mereka pun berinisiatif mencari uang tambahan, dengan cara menyelam ke laut, mencari berbagai hasil laut yang bisa dijual. Belakangan, hasil yang diperoleh para perempuan tersebut jauh melebihi hasil kaum laki-laki.

Sejak itu, perempuan-perempuan Pulau Cheju pun alih profesi menjadi penyelam, sebagai tulang punggung ekonomi keluarga. Sementara laki-laki tinggal di rumah, mengambil alih pekerjaan wanita, mengurus rumah tangga, memasak, mencuci, dan ngemong anak. Itu jauh lebih baik, daripada bekerja keras tapi hasilnya cuma cukup untuk bayar pajak.

Dari situlah, tradisi menyelam para perempuan di Pulau Cheju menggeser nilai lama, dan patriarki perlahan-lahan mati.

Memasuki abad ke-19, kebiasaan perempuan-perempuan laut itu pun diwariskan dari generasi ke generasi. Dan kini, perempuan-perempuan Cheju mendapat tempat terhormat sebagai “kepala keluarga”.

Sejak era ‘70-an, hasil tangkapan para perempuan di Pulau Cheju mendapat pasar tetap, terutama untuk ekspor ke Jepang. Harga makanan laut itu semakin melejit naik. Uang pun mengalir ke kantong perempuan-perempuan perkasa di Cheju. Memungkinkan mereka untuk meningkatkan taraf hidup, membangun rumah baru, menyekolahkan anak-anak, bahkan menabung untuk masa depan.

Berbeda dengan jutaan perempuan lain di dunia yang harus bekerja 8 jam setiap hari, perempuan-perempuan di Pulau Cheju hanya bekerja 3-4 jam dalam sehari, dan rata-rata mereka hanya bekerja 7 hari dalam sebulan. Tapi mereka mendapat penghasilan sangat besar, hingga mampu membangun bisnis, dari usaha penginapan sampai restoran.

Kini, Pulau Cheju menjadi tempat paling makmur sekaligus paling aman di Korea Selatan. Hal itu, ditunjang dengan keindahan alamnya yang luar biasa, menjadikan Pulau Cheju sebagai destinasi para wisatawan. Para turis yang datang ke sana selalu takjub menyaksikan perempuan-perempuan yang menyelam dengan lincah dan indah, seolah sedang berlomba di Olimpiade.

Sekadar saran, jika ingin ke sana, datanglah saat musim semi (Maret-Mei) atau saat musim gugur (September-November). Di saat-saat itu, keragaman flora di Pulau Cheju sangat memukau, hingga siapa pun tak ingin pulang.

Feminisme Salah Kaprah

Saat ini ada sebagian orang yang tampaknya berusaha menganggap bahwa semua kesalahan wanita bukan kesalahan, atau harus dimaklumi jika pelakunya wanita, seolah-olah wanita adalah makhluk yang tidak mungkin bersalah, dan kita harus menganggap mereka tak bersalah.

Berkendara di jalan seenaknya itu salah. Tapi kalau pelakunya wanita—khususnya ibu-ibu, tentu saja—kita diminta memaklumi. Menyalakan lampu sein kiri belok kanan itu salah, bahkan berbahaya. Tetapi, lagi-lagi, kita diminta untuk memaklumi seolah itu hal biasa-biasa saja.

Padahal, orang baru bisa memperbaiki kesalahannya, jika menyadari itu kesalahan. Kalau kita terus membela mereka seolah mereka tak bersalah, sampai kapan pun mereka tidak akan belajar dan berupaya memperbaiki kesalahannya. Ngapain, wong kita terus menerus memaklumi.

Membela wanita secara membabi buta semacam itu sebenarnya justru menjadikan wanita tidak belajar dari kesalahannya, dan terus melakukan kesalahan serupa, karena mereka pikir itu bukan kesalahan, atau kesalahan yang bisa dimaklumi... hanya karena mereka wanita.

Kita menyebut bahwa wanita kadang (atau bahkan sering) melakukan kesalahan di jalan raya, bukan karena melarang mereka berkendara. Mereka tentu punya hak untuk berkendara, tapi mereka juga wajib mematuhi aturan sehingga tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain. Itu poinnya!

Mentang-mentang sekarang lagi tren feminisme, lalu kita bersikap seolah-olah wanita tak pernah salah, atau kita harus terus menerus memaklumi kesalahan mereka. Itu bukan feminisme, tapi seenaknya-sendiri-isme! Kesalahan tetap kesalahan, tak peduli siapa pun pelakunya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 7 November 2018.

Enam Huruf

Enam kotak, depannya R belakangnya S.

Ringes.

Rabu, 15 Mei 2019

Kisah Si Bedebah

Ngobrol sama bocah.

Aku: Howone semromong.
Dia: Semromong kabeh, sak dunyo.
Aku: Yo ora sak dunyo. Antartika wae mesti tetep adem.
Dia: Uhm... Antartika kuwi opo?
Aku: Antartika kuwi Kutub Selatan.
Dia: Ooh. Lha nang kono, agamane opo, kok iso adem?

Percakapan pun terhenti.


Di lingkungan tempat saya tinggal, ada lelaki yang populer dengan sebutan Si Bedebah. Saya tidak perlu menyebutkan nama aslinya, tapi orang-orang menyebutnya Bedebah.

Bedebah adalah lelaki berusia 35-an, dan tergolong “kurang genap” pikirannya. Maksud saya begini. Andai kapasitas otak yang dimiliki orang-orang normal/waras adalah 100 persen, maka kapasitas otak Bedebah mungkin sekitar 70-80 persen. Jadinya kurang genap atau kurang penuh.

Karena kondisi itu pula, Bedebah menunjukkan perilaku yang berbeda dengan umumnya orang lain yang kapasitas otaknya genap atau benar-benar penuh—atau, dengan kata lain, waras/normal. Sebenarnya, Bedebah juga bisa disebut waras atau normal, tapi ya itu tadi... kurang genap—kalau kau paham maksud saya.

Semua orang di lingkungan saya tinggal mengenal Bedebah. Karena dia sosok yang ramah pada siapa saja. Bukan hanya ramah, dia bahkan memiliki kemampuan berkomunikasi dengan siapa pun—dari anak-anak sampai orang tua, dari pejabat kelurahan sampai masyarakat biasa—bahkan bisa langsung akrab dengan orang asing mana pun yang ditemuinya.

Seiring perjalanan waktu, saya pun tahu kalau Bedebah “kurang genap”. Hal itu saya tahu dari para tetangga, juga dari interaksi yang terjadi antara saya dengannya. Dalam hal itu, saya tidak mempermasalahkan kondisi Bedebah. Dia orang baik, tidak pernah mengganggu atau membuat masalah, dan itu saja sudah cukup.

Bahkan, sejujurnya, saya sering iri campur kagum pada kemampuan Bedebah dalam menjalin interaksi dengan orang lain. Dia seperti tak punya rasa canggung atau ragu-ragu saat menyapa siapa pun, sehingga bisa berkomunikasi dengan siapa saja, dengan mudah. Karena hal itu pula, orang-orang pun selalu “welcome” setiap kali melihat Bedebah, karena menganggapnya orang ramah.

Itu benar-benar kemampuan yang tidak saya miliki, yang sangat ingin saya miliki. Kadang-kadang, saat melihat Bedebah sedang asyik mengobrol dengan seseorang, dan mereka tampak tertawa-tawa, saya membayangkan untuk mengurangi kapasitas otak saya agar “kurang genap” seperti dirinya—entah bagaimana caranya.

Sore hari, kalau pas selo, saya kadang duduk di depan rumah sambil udud, dan kadang Bedebah lewat. Biasanya, kalau melihat saya di depan rumah, dia akan berhenti, lalu mengajak saya mengobrol. Dia pernah tanya, “Kamu tinggal sendirian di rumah besar kayak gini, pasti sering lihat penampakan, ya?”

Saya menjawab, “Nggak pernah.”

Dia menunjukkan ekspresi tidak percaya. “Ah, yang bener? Pasti sering lihat penampakan!”

“Nggak pernah,” saya menegaskan.

“Ah, bohong. Pasti sering!”

Dia terus memaksa agar saya mengakui sering melihat penampakan, meski saya tetap kukuh mengatakan tidak pernah.

Ketika itu, ada tetangga-tetangga yang juga lewat di depan rumah saya. Dan setiap kali ada tetangga lewat, Bedebah akan menghentikannya, lalu berkata pada si tetangga, “Eh, tahu nggak, ternyata Hoeda sering melihat penampakan di rumahnya!”

Si tetangga, yang tahu siapa Bedebah, biasanya cuma tertawa atau menyetujui apa pun yang dikatakan Bedebah. Ada pula yang sengaja—meminjam istilah Jawa—ngonggrong, dengan maksud agar Bedebah makin semangat menjelaskan ceritanya. Dan dia terus melakukan hal itu setiap kali ada tetangga lewat, tak peduli pria maupun wanita. Hanya dalam waktu singkat, orang sekampung tahu kalau saya “sering melihat penampakan di rumah”.

Benar-benar bedebah!

Percakapan soal “melihat penampakan” itu terjadi beberapa tahun lalu. Saya pikir, dia sudah lupa dengan hal itu. Ternyata tidak! Tempo hari, waktu ada tukang batu di rumah saya yang merenovasi ruangan buku, Bedebah datang. Dia melihat-lihat para tukang bekerja, memperhatikan ruangan di rumah saya, lalu bertanya dengan tanpa dosa, “Jadi, di mana kamu biasanya melihat penampakan?”

Sekarang saya paham kenapa dia disebut Bedebah!

Tampaknya, setiap orang di lingkungan saya punya kisah masing-masing terkait Si Bedebah, seperti yang saya alami. Dan hal itu, mungkin, yang membuat kami punya semacam “ikatan emosional” dengan Bedebah—suatu perasaan yang tidak kami miliki pada sembarang orang. Berinteraksi dengan Bedebah artinya menghadapi kemungkinan mengejutkan yang bisa membuat kami cekikikan, meski kemungkinan itu benar-benar bedebah.

Seperti yang saya alami kemarin malam. Bersama para tetangga, saya salat tarawih di musala. Bedebah juga tarawih di sana, meski dia sering terlihat keluar masuk musala dengan santai, seolah musala itu miliknya.

Kemarin malam, usai tarawih rampung, saya buru-buru pulang, karena dikabari ada tamu yang menunggu di depan rumah. Jadi, saya langsung keluar musala begitu salat witir selesai, sementara jemaah yang lain masih duduk di musala, membaca doa kamilin (doa usai tarawih).

Di depan musala, dengan agak buru-buru, saya memakai sandal yang saya pikir milik saya, karena bentuknya sama dengan sandal yang saya pakai ke musala. Tetapi, saat sampai di gerbang musala, saya merasa sandal itu bukan milik saya—rasanya berbeda dengan sandal yang biasa saya pakai. Saya pun berhenti, dan memperhatikan sandal itu. Akhirnya saya yakin, itu bukan sandal saya, meski bentuknya sama. Lalu saya berbalik masuk lagi, bermaksud mengganti sandal yang benar.

Ketika saya berbalik dan sedang melangkah menuju tempat sandal, Bedebah kebetulan juga baru sampai di sana. Ketika melihat saya berdiri di tempat sandal, dia bertanya dengan nada prihatin, “Waduh, kamu baru datang, ya? Sayang sekali, tarawihnya sudah selesai.”

Saya, yang sedang sibuk mencari sandal, belum sempat menyahut ucapannya.

Dan Bedebah melanjutkan, “Apa kita perlu minta imamnya mengulang tarawih, biar kamu bisa salah tarawih?”

Sebelum sempat saya mengatakan apa pun, Bedebah sudah nyelonong ke pintu musala, dan berkata dengan lantang—seolah dia si pemilik musala, “Ini Hoeda minta tarawihnya diulang, soalnya dia baru datang.”

Serentak, orang-orang di musala menengok ke arah saya yang sedang berdiri di tengah-tengah hamparan sandal.

Saya merasa ingin mati detik itu juga.

Noffret’s Note: Origin

Butuh 20 jam nonstop bagiku untuk mengkhatamkan Origin-nya Dan Brown, seisi-isinya. Seperti yang sudah diduga, aku puas menikmatinya.

Aku menyebutnya "Hukum Ketiga Newton" dalam membesarkan anak: Untuk setiap kegilaan, selalu ada kegilaan yang sama besar dan berlawanan arah. —Edmond Kirsch, Origin

Tensi ketegangan dalam Origin tidak setinggi novel-novel Dan Brown sebelumnya. Malah cenderung datar. Tapi kisah di dalamnya... paling gila di antara semua novel sebelumnya.

Siapakah pahlawan dalam serial novel Dan Brown? Robert Langdon? Bukan. Menurutku, pahlawan sesungguhnya dalam novel-novel Dan Brown justru para antagonisnya. Robert Langdon hanya berfungsi sebagai semacam "narator".

Dalam Inferno-nya Dan Brown, Bertrand Zobrist diposisikan sebagai antagonis. Menurutku, dialah pahlawan sesungguhnya.

Catatan (untuk tidak menyebut pesan moral) dari Origin: Jika agama dulu pernah menentang kebenaran teori Galileo, tapi sekarang menerimanya... ada kemungkinan kelak agama juga akan menerima kebenaran teori evolusi, setelah tidak bisa lagi berkelit dari fakta-fakta yang ada.

Sekian ratus tahun lalu, teori Galileo (bumi mengitari matahari) jelas hantaman telak bagi ajaran agama, yang mengajarkan matahari mengitari bumi. Tapi toh kebenaran teori itu tak bisa dibantah. Di zaman kita, teori evolusi seperti mengulang hal serupa.

Dalam bayanganku, sekian puluh tahun mendatang, agama-agama akan menerima kebenaran teori evolusi, meski saat ini mati-matian menentangnya, sebagaimana agama sekarang menerima kebenaran teori Galileo meski dulu mati-matian menentangnya.

Akan sangat menarik membayangkan jika itu terjadi, saat agama-agama akhirnya menerima kebenaran teori evolusi, karena tidak bisa lagi berkelit dari sekian banyak fakta yang tak bisa dibantah. Karena penerimaan itu akan menjadi semacam pengakuan dengan implikasi yang mengerikan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 Desember 2017.

Tulisan Ini Telah Dibagikan Jutaan Kali

Jangan percaya. Saya bohong.

Sabtu, 11 Mei 2019

Guru Terbaik, Termahal, dan Paling Berbahaya

Pengalaman terbaik adalah pengalaman yang diceritakan secara jujur. 
Itu menjadi guru terbaik bagi orang lain, dan bagi diri sendiri.


Kita tentu sering mendengar ungkapan, “Pengalaman adalah guru terbaik.” Ungkapan itu benar, karena banyak orang belajar dari pengalaman, sehingga dapat menjalani kehidupan dengan lebih baik. Tetapi, sayang, pengalaman juga guru yang sangat mahal, dan—dalam beberapa hal—sangat berbahaya.

Teman saya, Dewi, mendapat pengalaman yang memberi pelajaran, yang pasti tidak akan ia lupa seumur hidup. Tetapi, untuk mendapat pelajaran itu, Dewi harus menginap di rumah sakit sampai berhari-hari.

Ceritanya, Dewi berboncengan motor dengan adiknya, Evi, pergi ke suatu tempat. Evi duduk di belakang Dewi. Mereka sudah biasa melakukan aktivitas itu—berboncengan motor—dan mereka tidak pernah menyadari sesuatu yang sangat berbahaya.

Evi biasa mengenakan gaun panjang, dan dia membonceng di jok motor dengan duduk menyamping. Tanpa setahu Dewi maupun Evi, gaun panjang yang dikenakan Evi rupanya menutupi lampu belakang motor. Kenyataan itu pasti telah sering mereka alami, tapi keduanya tidak pernah menyadari.

Lalu tiba hari petaka. Suatu siang, saat keduanya melaju berboncengan seperti biasa, Dewi bermaksud membawa motor ke kanan. Untuk tujuan itu, dia pun menyalakan lampu sein kanan. Lampu sein berkedip normal. Tetapi, karena lampu belakang tertutup pakaian yang dikenakan Evi, lampu sein yang berkedip itu tidak terlihat. Atau, setidaknya, tidak dapat terlihat jelas.

Kebetulan, dari arah belakang, ada sepeda motor lain yang sedang melaju kencang. Si pengendara, seorang lelaki, tampaknya tidak melihat lampu sein yang menyala di depannya. Akibatnya, ketika Dewi membawa motornya ke kanan, lelaki itu terkejut. Lanjutannya bisa ditebak. Lelaki itu, mungkin karena kesulitan mengerem laju motor, menabrak motor Dewi.

Dewi dan Evi jatuh menghantam aspal, begitu pula si penabrak. Karena kecelakaan itu pula, Dewi mengalami luka parah, hingga harus menginap di rumah sakit. Evi, adiknya, hanya mengalami luka ringan. Begitu pula lelaki yang menabrak mereka, juga hanya mengalami luka ringan.

Dalam hal itu, si penabrak mengaku, sama sekali tidak melihat lampu sein motor Dewi yang menyala, karena lampu itu tertutup pakaian yang dikenakan Evi. Karenanya, dia sangat terkejut, hingga tak dapat mengerem laju motor, ketika tiba-tiba melihat motor Dewi memotong jalan ke arah kanan.

Sejak peristiwa itu, setiap kali mengendarai motor, Dewi akan memastikan Evi—atau siapa pun yang memboncengnya—merapikan pakaian yang dikenakan, agar tidak sampai menutupi lampu belakang motor. Dewi tidak akan menjalankan sepeda motor, sampai dia yakin hal itu. Bagaimana pun, keselamatan mereka yang menjadi taruhan.

Peristiwa yang dialami Dewi tentu pengalaman yang memberi pelajaran sangat baik dan berharga. Sebegitu baik dan berharga, sampai Dewi bisa dipastikan akan mengingat seumur hidup. Tetapi, itu juga pengalaman yang sangat mahal, sekaligus berbahaya. Mahal, karena harus mengalami kecelakaan terlebih dulu untuk memahami pelajaran tersebut. Juga berbahaya, karena... bagaimana kalau yang menabrak bukan sepeda motor, tapi mobil atau bus yang melaju kencang?

Tetangga saya mengalami peristiwa serupa, yang lebih berbahaya. Kali ini sepasang suami istri. Kasusnya mirip yang dialami Dewi dan Evi, yaitu pakaian panjang yang dikenakan si istri. Ketika sedang melaju di atas sepeda motor, kain panjang si istri masuk ke rantai motor, dan sepeda motor mereka terbanting ke aspal.

Meski tidak ada kendaraan lain yang menabrak mereka, efek kecelakaan itu tidak seringan yang mungkin kita kira. Gara-gara kecelakaan itu, tulang kaki si suami patah. Bahkan, sampai saya menulis catatan ini, masalah yang diderita si suami akibat patah tulang kaki belum bisa dibilang sembuh. Sementara si istri, yang membonceng, mengalami luka-luka.

Sama seperti Dewi dan Evi, tetangga saya yang mengalami kecelakaan juga selalu mengingat peristiwa tersebut sebagai pelajaran penting. Dia bahkan mengingatkan orang-orang lain agar waspada saat berkendara, khususnya jika mengenakan pakaian panjang, “Pastikan pakaianmu tidak menyentuh rantai motor, karena akibatnya bisa berbahaya.”

Dewi maupun tetangga saya mendapatkan pelajaran penting dari guru terbaik, yaitu pengalaman. Sayang, dalam kasus mereka, pengalaman yang menjadi guru terbaik itu membutuhkan harga mahal, bahkan harus mempertaruhkan keselamatan jiwa. Karena itu, saya pun ikut menjadikan pengalaman mereka sebagai guru, agar juga berhati-hati saat berkendara. Meski saya tidak mengalami pengalaman mereka, setidaknya saya bisa ikut memetik pelajaran. Bagaimana pun, pengalaman adalah guru terbaik, meski dialami orang lain.

Mengapa saya terpengaruh untuk ikut memetik pelajaran dari pengalaman yang dialami Dewi atau tetangga saya? Karena saya melihat langsung dampak yang terjadi. Saya melihat Dewi terkapar di rumah sakit akibat luka yang parah, sebagaimana saya menyaksikan tetangga saya tidak bisa berjalan normal sampai sangat lama, akibat kecelaaan yang dialami. Karena melihat langsung akibat yang terjadi, saya ikut belajar. Meski saya tidak mengalami.

Sayang, dalam hal ini, saya kadang naif, sebagaimana mungkin orang-orang lain. Ada kalanya, orang memberitahukan atau menceritakan pengalaman yang mereka alami, dengan harapan agar kita ikut belajar dari pengalaman mereka. Tetapi, karena tidak melihat dampak langsung dari pengalaman mereka, kita tidak memperhatikan, dan tidak belajar.

Pada waktu SMA, saya punya guru sejarah yang bijaksana. Bertahun-tahun lalu, di depan kelas, dia berkata pada kami, murid-muridnya, “Saat ini, usia saya 40 tahun. Jika saya bisa dilahirkan kembali, hal pertama yang akan saya ingat adalah menghargai waktu. Dulu, saat masih remaja seusia kalian, saya membuang-buang waktu untuk hal-hal tak berguna, dan sekarang saya sangat menyesal. Tapi penyesalan yang saya alami tentu tak berguna, karena semua telah terjadi, dan masa muda saya sudah hilang.”

Setelah terdiam sejenak, dia menatap kami, dan melanjutkan, “Karena itu, mumpung kalian masih muda, ingat-ingatlah untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Karena, jika kalian membuang-buang waktu tanpa guna seperti yang saya lakukan, kalian akan sangat menyesal, kelak saat kalian mulai tua. Ketika penyesalan itu datang, kalian akan mengingat yang saya katakan hari ini.”

Yang dikatakan guru saya tentu benar, karena berdasarkan pengalaman. Tetapi, ironisnya, kami—setidaknya saya—tidak belajar dari pengalamannya. Pada waktu SMA, bahkan hingga masa-masa kuliah, saya masih suka membuang-buang waktu untuk hal-hal tak berguna. Nongkrong semalaman, jalan-jalan tanpa tujuan, dan semacamnya. Selama waktu-waktu itu, saya bahkan lupa pada yang dikatakan guru saya di SMA.

Kini, ketika benar-benar telah dewasa, sejujurnya saya sangat... sangat menyesal. Menyesal, karena tidak mengingat yang dikatakan guru saya, menyesal karena telah membuang banyak waktu untuk hal-hal tak berguna, menyesal karena waktu tak bisa diundur kembali, dan menyesal karena menyadari betapa banyak waktu yang telah saya buang sia-sia. Dan ketika penyesalan itu datang, saya baru ingat yang dikatakan guru di SMA bertahun-tahun lalu—tepat seperti yang dikatakannya.

“Ketika penyesalan itu datang, kalian akan mengingat yang saya katakan hari ini.”

Mengapa dulu saya tidak mengingat dan belajar dari pengalaman yang diceritakan guru di SMA? Mungkin, karena saya tidak melihat dampak atau akibat langsung dari yang ia ceritakan. Ketika menceritakan pengalamannya, guru saya tampak sehat, waras, dan terlihat baik-baik saja. Akibatnya, mungkin, dampaknya “kurang dramatis”—setidaknya bagi saya—sehingga kami tidak tertarik untuk langsung belajar dari pengalamannya.

Padahal, dampak yang dialami guru saya memang tidak terlihat, karena tersimpan dalam hati dan pikiran, juga dalam penyesalan. Seperti yang saya alami sekarang. Saat ini, meski wujud luar saya tampak baik-baik saja, tapi ada dampak tertentu yang tergurat dalam pikiran saya, berupa penyesalan yang amat dalam. Penyesalan akibat dulu membuang-buang waktu seenaknya, padahal waktu tak bisa dibeli, dan tak bisa diulang lagi.

Sekarang, umpama saya menjadi guru, dan berkata di depan kelas pada murid-murid, tentang penyesalan yang saya alami akibat membuang-buang waktu, apakah murid-murid saya akan percaya? Lebih lagi, apakah murid-murid saya akan mengingat yang saya katakan, sehingga mereka akan sangat menghargai waktu yang dimiliki? Kemungkinannya sama, tidak! Kenapa? Karena mereka tidak melihat dampak langsung yang saya alami!

Jika orang mengalami kecelakaan di jalan, lalu terluka parah, atau patah tulang, dan dia berkata, “Hati-hatilah berkendara di jalan raya,” kemungkinan besar kita akan mengingat ucapannya, dan belajar dari pengalamannya. Kita melihat dampak langsung yang mengerikan akibat kecelakaan di jalan. Luka parah sampai patah tulang. Kita tidak ingin mengalami peristiwa serupa, sehingga ingat untuk hati-hati saat berkendara. Kita percaya, dan kita ingat, karena melihat dampaknya.

Tetapi, ketika seseorang mengatakan, “Hargailah waktumu, karena kelak kau akan menyesal jika membuang-buang waktu tanpa guna,” kemungkinan besar kita akan lupa ucapannya, dan tidak belajar dari pengalamannya. Kita tidak melihat dampak langsung yang mengerikan akibat pengalaman itu. Karena tidak ada dampak yang terlihat, kita pun mengabaikan.

Padahal, semua pengalaman memiliki dampak, terlihat maupun tak terlihat. Apa pun dampaknya, semua pengalaman adalah pelajaran terbaik, juga sangat mahal. Pengalaman kecelakaan di jalan raya sering menunjukkan dampak yang jelas, berupa luka kasatmata, yang dapat dilihat orang lain. Sementara, pengalaman membuang waktu di masa muda kerap tidak menimbulkan dampak fisik serupa, karena dampaknya hanya terasa oleh si pelaku. Terlihat atau tak terlihat, dampak akibat pengalaman sama-sama mahal, dan menjadi pelajaran yang baik.

Sayangnya, dalam hal ini, kita lebih mudah belajar dari pengalaman orang lain yang dampaknya jelas terlihat, daripada belajar dari pengalaman yang tidak memiliki dampak jelas. Bahkan, sering kali kita mengabaikan pengalaman orang lain, karena kita tidak melihat dampak langsung. Alih-alih memperhatikan untuk mengingat, kita sering kali justru mengulangi pengalaman serupa.

Salah satu teman saya bernama Arif. Waktu kuliah, dia berpacaran dengan teman sekampus, lalu mereka menikah tidak lama setelah wisuda. Kini, Arif telah memiliki satu anak, dan dia maupun istrinya memutuskan untuk menunda punya anak lagi. Alasannya mungkin klise, yaitu tanggung jawab menghidupi anak yang dirasa berat.

Berbeda dengan kebanyakan orang lain yang lebih suka menutupi kondisi rumah tangganya, Arif justru menjadikan pengalamannya berumah tangga agar menjadi pelajaran bagi teman-teman yang belum menikah.

Kepada kami, yang belum menikah, Arif berkata blak-blakan, “Kalau bisa, sebaiknya jangan buru-buru menikah. Bangunlah dulu hidupmu, bekerja yang rajin, persiapkan segalanya dengan matang, baru setelah itu menikah. Karena, jika kalian buru-buru menikah seperti yang kulakukan, bisa jadi kalian akan menyesal. Ketika penyesalan itu datang, kalian tidak bisa melakukan apa pun, karena sudah terikat perkawinan.

“Saat itu terjadi, kalian akan sadar harus berbenah—membenahi diri dan berusaha hidup lebih baik—tapi kalian telah punya beban berat berupa pasangan dan anak. Sejujurnya, itu sangat berat, dan aku tahu pasti karena telah mengalami. Jadi, belajarlah dari pengalamanku. Jangan buru-buru menikah, jika belum benar-benar siap. Jauh lebih baik menunda keinginan, daripada menyesal.”

Nasihat yang disampaikan Arif tentu sangat baik, karena didasarkan pengalamannya langsung dalam hal menikah dan berumah tangga. Tapi apakah teman-teman kami mengingat untuk lebih berhati-hati? Lebih banyak yang tidak! Kenapa? Mungkin karena mereka tidak melihat dampak langsung yang dapat disaksikan. Bagaimana pun, saat menceritakan pengalamannya, Arif tampak sehat dan baik-baik saja.

Jadi, meski telah diberitahu dengan jelas seperti itu pun, banyak teman kami yang cepat-cepat menikah—tentu dengan berbagai alasan—padahal mungkin belum benar-benar siap. Biasanya, setelah waktu-waktu berlalu, khususnya saat mereka mulai punya anak, mereka mengatakan baru ingat ucapan Arif sebelumnya. Penyesalan selalu datang di belakang.

Dalam hal itu, mungkin saya patut bersyukur. Karena, setidaknya, saya belajar untuk tidak menambah deret penyesalan.

Peradaban Bising

Jika dunia yang lebih luas disempitkan oleh orang lain, kau harus membangun alam semesta di dalam dadamu sendiri. —Mohammad Hatta

Di Australia, ada program “uji nyali” bernama Wilderness Society. Ini adalah tantangan bagi siapa pun yang ingin menguji dirinya sendiri dengan meninggalkan hiruk pikuk kota, dan tinggal di hutan yang sunyi, sendirian, selama 12 bulan. Tentu saja tanpa ponsel atau gadget apa pun.

Tempo hari, perempuan asal Newcastle, bernama Claire Dunn, berhasil menaklukkan tantangan tersebut. Dia meninggalkan kota tempat tinggalnya, dan masuk hutan yang sunyi sendirian, tanpa barang-barang yang biasa ada dalam kesehariannya. Dia mampu bertahan sampai 12 bulan.

Belakangan, dia menceritakan, hal terberat pertama saat masuk hutan sendirian adalah menghadapi kesunyian. Setelah setiap hari telinganya biasa pekak oleh kebisingan kota, dia seperti masuk peradaban yang hilang. Kesunyian seperti monster mengerikan yang siap mencabik-cabiknya.

Tetapi seiring hari-harinya di hutan yang sunyi, dia perlahan-lahan bisa beradaptasi dengan kesunyian, bahkan akhirnya menikmati. Dia terlepas dari adiksi kebisingan yang selama ini biasa masuk telinganya, dan terlepas dari ketergantungan benda-benda duniawi yang biasa dibawanya.

Dua belas bulan kemudian, saat akhirnya ia “lulus” dalam program tersebut, dan bisa keluar dari kesunyian hutan untuk kembali masuk ke kotanya, dia menghadapi hal sama; telinganya sangat tersiksa oleh kebisingan! Setelah setahun bersama sunyi, kebisingan benar-benar menyiksa.

Yang terjadi pada Claire Dunn sebenarnya juga terjadi pada kehidupan kita. Selama ini, tanpa disadari, hidup kita diserbu oleh aneka kebisingan, dari suara kendaraan sampai bising toa. Kita menganggap semua itu hal biasa, padahal—yang sebenarnya terjadi—kita membiasakan diri.

Kita membiasakan diri dengan kebisingan, karena kita dipaksa untuk melakukannya. Sejak bangun tidur sampai mau tidur kembali, hidup kita terus menerus terisi kebisingan dan kebisingan. Mau tak mau, kita terpaksa membiasakan diri, dan begitulah hidup kita. Hidup yang bising.

Dan di dalam kebisingan peradaban, manusia tidak punya kesempatan untuk hening, untuk berpikir, untuk menemukan kesadaran. Dalam pikiranku, itulah tujuan besar kebisingan yang terus menerus datang dalam keseharian hidup kita. Ia memang sengaja menjauhkan manusia dari kesadaran.

Sejak bangun tidur sampai mau tidur lagi, kebisingan mendikte dan mendoktrin tentang apa yang harus kita percaya dan apa yang harus kita ingkari. Dan dalam rentetan kebisingan tanpa henti semacam itu, manusia tidak punya kesempatan untuk berpikir dan menemukan kesadaran sejati.

Apa yang kita percaya dan kita yakini? Tidak ada!

Yang kita percaya hanyalah hal-hal yang didiktekan oleh kebisingan kepada kita. Yang kita yakini hanyalah hal-hal yang didoktrinkan kebisingan kepada kita.

Kita tidak mempercayai dan meyakini apa pun, selain doktrin yang bising.

Cobalah sesekali sendirian dalam hening, lalu tanya diri sendiri:

"Apakah hal-hal yang kupercaya memang sesuatu yang ingin kupercaya, ataukah karena aku dipaksa untuk mempercayainya? Apakah hal-hal yang kuyakini memang ingin kuyakini, ataukah karena aku dipaksa meyakininya?"

Jika pertanyaan itu terlalu filosofis, mari gunakan contoh nyata yang mudah dibuktikan. Doktin pernikahan, misalnya.

Kita dipaksa percaya bahwa orang menikah akan bahagia dan lancar rezeki. Sekarang, mari pertanyakan: Apakah itu memang kenyataan... ataukah cuma doktrin dusta?

Itu contoh mudah yang bisa dibuktikan siapa pun, kapan pun, di mana pun. Kalau memang pernikahan menjamin bahagia, kenapa banyak pasangan bercerai? Kalau memang menikah menjamin rezeki lancar, kenapa banyak keluarga yang terjerat utang, dan anak-anak telantar? Tanya dan pikirkan!

Hidup ini begitu singkat. Dan dalam singkatnya hidup, kita dijejali kebisingan demi kebisingan hingga tak punya kesempatan untuk berpikir dan menemukan kesadaran, selain menerima mentah-mentah apa saja yang dicekokkan kepada kita.

Hidup cuma sekali, dusta berteriak berkali-kali.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 Maret 2019.

Equalizer II dan IT II

Banyak yang bilang, The Equalizer II tak sebagus yang pertama. Aku setuju. Bahkan Denzel Washington pun mungkin menyadari kenyataan itu, hingga selama ini selalu menolak membintangi film sekuel. Tapi, well, tetap menyenangkan melihat Washington kembali beraksi.

Equalizer II adalah yang pertama dan mungkin satu-satunya sekuel yang dibintangi Denzel Washington. Ada dugaan, dia bersedia membintangi sekuel itu semata-mata karena Antoine Fuqua (sang sutradara). Dia merasa tidak enak untuk menolak, karena segan dan merasa berutang.

Equalizer II: ✔
Escape Plan II: ✔
Deadpool II: ✔
Jurassic World II: ✔
IT II: Kapan?

*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Agustus 2018.

Minggu, 05 Mei 2019

Kisah Cinta yang Sangat Mbuh

Jangan salahkan orang yang menjadi bodoh ketika jatuh cinta.
Karena rupanya kita harus menjadi bodoh dulu untuk bisa jatuh cinta.
@noffret


Agnes Monica menyanyi, “Cinta ini kadang-kadang tak ada logika.” Selain tak ada logika, cinta juga kadang sangat mbuh. Saya sengaja menggunakan istilah “mbuh”, karena tidak tahu lagi bagaimana menyebut kisah cinta yang akan saya ceritakan ini.

Di dunia maya, ada empat blogger yang telah berteman beberapa tahun. Kita sebut saja Si A, Si B, Si C, dan Si D. Empat blogger itu semuanya cowok. Seperti umumnya pertemanan blogger lain, perkenalan mereka diawali dari blog. Belakangan, mereka kadang berkomunikasi lewat saluran pribadi, khususnya kalau ada hal penting yang perlu diobrolkan.

Namanya blogger, mereka kadang blogwalking, khususnya beberapa tahun lalu, ketika belum sesibuk sekarang. Dari banyak blog yang mereka sambangi, ada blog seorang cewek, kita sebut saja Si Z. Di blog Si Z, empat cowok tadi kadang bertemu saat blogwalking. Sebenarnya, itu hal biasa. Karena, selain di blog Si Z, empat cowok tadi juga kadang ketemu di blog-blog lain.

Terkait Si Z itulah, kisah cinta yang mbuh ini dimulai.

Empat cowok tadi, sama sekali tidak tahu seperti apa Si Z, karena memang tidak ada fotonya. Mereka suka menyambangi blog Si Z juga bukan karena ingin melihat foto Si Z, tapi semata ingin blogwalking. Mereka tidak peduli Si Z seperti apa. Kalau Si Z tidak memasang foto, itu bukan urusan mereka. Wong tujuan mereka memang semata blogwalking.

Suatu hari, Si A mengabari teman-teman bloggernya, kalau dia akan menikah. Si B, Si C, dan Si D pun mengucap selamat, seperti umumnya teman, dan mendoakan semoga Si A bisa membangun keluarga yang sakinah dan bahagia bersama istrinya.

Terkait pernikahan itu, Si A sempat mengobrol dengan Si D di saluran pribadi. Setelah mengobrol panjang lebar, Si A mengaku bahwa salah satu tujuannya menikah adalah untuk lepas dari kejaran Si Z, blogger cewek yang disebut di atas.

Si D kaget. Dia bertanya, “Lhah, emang ada hubungan apa dengan Si Z?”

Si A pun akhirnya bercerita. Selama beberapa tahun, menurutnya, Si Z terus mendekatinya. Dulu, teman-teman yang lain memang biasa melihat Si Z selalu aktif berkomentar di blog Si A. Tetapi, selama masa-masa itu, mereka hanya berpikir kalau itu blogwalking biasa, sebagaimana umumnya blogger. Tetapi, rupanya tidak. Berdasarkan cerita Si A, itu bagian dari upaya Si Z mendekatinya.

Selain aktif berkomentar di blog Si A, blogger cewek bernama Si Z itu juga sering mengirim e-mail yang isinya jelas upaya pendekatan. Di Facebook, Si Z juga melakukan upaya serupa—mendekati Si A dengan agresif, hingga Si A sering jengah. Karena itulah, akhirnya, ketika Si A menemukan cewek yang membuatnya jatuh cinta, dia segera menikah. Pikirnya, Si Z tidak akan bisa lagi mengejar-ngejarnya, karena sekarang dia telah menikah.

Kenyataannya, setelah menikah, Si A jadi punya senjata pamungkas untuk menahan “gempuran” Si Z. Setiap kali Si Z mencoba mendekatinya seperti biasa, Si A langsung mengatakan, “Aku sudah menikah. Tolong cari cowok lain saja.”

Ketika menceritakan kisah itu pada Si D, Si A juga mengatakan, “Kalau kamu tidak percaya ceritaku, kamu bisa menanyakannya pada Si B. Dia tahu soal ini, karena ternyata Si Z juga mengejar-ngejarnya.”

Lalu Si A menceritakan. Dulu, ketika mendapati Si Z agresif mengejar-ngejarnya, Si A sempat curhat pada Si B, dengan maksud meminta nasihat mengenai bagaimana cara menghadapi Si Z. Ternyata, Si B justru membuka kisah serupa, bahwa Si Z juga pernah mengejar-ngejarnya.

Belakangan, Si Z berhenti mengejar-ngejar Si B, setelah Si B mengatakan bahwa dirinya gay, dan tidak tertarik pada Si Z atau cewek mana pun! Entah pengakuan Si B soal gay itu benar atau tidak, yang jelas jawaban itu terbukti ampuh untuk menyingkirkan Si Z dari hidup Si B, dan sejak itu Si Z berhenti mengejar-ngejar Si B. Sejak itu pula, Si Z ganti mengejar-ngejar Si A.

Ketika mendengar cerita itu, Si D penasaran. Maka dia pun menghubungi Si B, dan menanyakan hal tersebut. Si B pun menceritakan kisahnya, bahwa Si Z memang pernah mengejar-ngejarnya, sebagaimana yang diceritakan Si A.

Didorong penasaran, Si D kemudian menghubungi Si C, untuk memastikan apakah temannya yang satu itu juga mengalami hal serupa.

Ketika Si D menanyakan hal itu pada Si C, cowok itu mengatakan, “Saat ini aku sedang mematikan semua saluran online-ku, agar tidak terusik oleh Si Z.”

Rupanya, Si C juga mengalami hal serupa, sebagaimana yang dialami Si A dan Si B—dikejar-kejar oleh Si Z. Menurut cerita Si C, kapan pun saluran online yang ia miliki tampak menyala, Si Z akan langsung menyambar. Di Facebook, di G-Talk, di WhatsApp, di BBM, dan di berbagai tempat lain, sampai Si C merasa prihatin setiap kali ingin membuka chat dengan orang lain, karena bisa jadi Si Z masuk sewaktu-waktu.

Di blog, Si Z selalu aktif berkomentar di blog Si C, tapi kini sudah tidak diurusi. Di Facebook, Si Z juga kerap menulis di dinding Si C, atau bahkan mengirim pesan langsung, namun lagi-lagi tak diurusi. Si Z bahkan kadang mengirim e-mail, tapi tak dibalas.

Si D mencoba bertanya pada Si C, “Kenapa kamu tidak mau merespons Si Z? Maksudku, kenapa kamu tidak tertarik kepadanya? Bukannya dia kelihatan asyik?”

“Asyik apaan?” sahut Si C. “Lagian, bagaimana aku akan tertarik, kalau wujudnya saja tidak jelas?”

Lalu Si C berkata pada Si D, “Cepat atau lambat, dia (Si Z), juga pasti akan melakukan hal sama kepadamu.”

Kenyataannya, “ramalan” itu benar-benar terjadi.

Mungkin, karena sudah putus asa mengejar-ngejar Si C, akhirnya Si Z benar-benar banting setir, dan kini giliran Si D yang dikejar-kejar.

Mungkin, upaya Si Z mendekati Si D sudah berlangsung sejak lama, tapi Si D sama sekali tidak menyadari. Si Z sangat aktif berkomentar di blognya, namun selama itu Si D hanya menganggap bahwa itu komentar antarblogger biasa—tidak ada yang istimewa. Si D pun menjawab komentar-komentar Si Z dengan biasa, meski isi komentar-komentar Si Z berlagak sok imut dan centil. Yang jelas, Si D sama sekali tidak berpikir bahwa waktu itu Si Z sedang berupaya mendekatinya.

Si D mulai sadar—dan mulai tidak nyaman—ketika Si Z mulai sering menyambar setiap kali G-Talk-nya menyala. Kadang-kadang, Si D berkomunikasi dengan beberapa teman lewat G-Talk. Setiap kali G-Talk Si D menyala, saat itu juga Si Z akan muncul. Dari sekadar menyapa “hai” yang biasa, sampai menyapa dengan sok centil, sampai menyapa dengan kesan serius.

Biasanya, “sapaan serius” ala Si Z adalah, “Aku lagi punya masalah, nih, aku ingin curhat,” atau semacamnya.

Karena sudah waspada dengan trik-trik pendekatan ala Si Z, sebagaimana yang telah terjadi pada teman-temannya, Si D pun tidak terjebak, dan segara “memasang pagar”. Setiap kali Si Z muncul di G-Talk, Si D segera mematikan G-Talk-nya. Di tempat lain juga begitu. Setiap kali Si Z mengirim pesan, Si D sama sekali tidak membalas. Intinya, dia tidak ingin terjebak dalam “dilema mbuh” gara-gara merasa dikejar-kejar Si Z.

Sampai sekarang, Si Z mungkin masih berupaya—atau setidaknya berharap—pada Si D. Mungkin, dia masih mengkhayal, entah bagaimana caranya, Si D akan tertarik kepadanya. Yang mungkin tidak sempat ia pikirkan, bagaimana Si D—atau cowok lain—akan tertarik, kalau dia tidak pernah jelas wujudnya?

Kalau cewek tidak pernah menunjukkan fotonya secara jelas, cowok akan berpikir bahwa cewek itu tidak pede. Dan sebagaimana umumnya cewek tidak tertarik pada cowok tidak pede, cowok juga tidak tertarik pada cewek yang tidak pede. Lebih parah adalah cewek yang tidak pede dengan dirinya sendiri, tapi kepedean mendekati empat cowok sekaligus!

Empat cowok itu yang terdeteksi. Di luar Si A, Si B, Si C, dan Si D, entah berapa cowok lain yang sudah coba ia dekati.

....
....

Dulu, saya pikir keberadaan cewek semacam itu hanya ada dalam kisah fiksi. Ternyata benar-benar ada, setidaknya di dunia maya. Dan itu mengerikan, kau tahu. Setidaknya bagi cowok baik-baik—dalam arti bukan bajingan yang suka memanfaatkan cewek.

Untung cowok-cowok yang didekati Si Z tergolong cowok baik-baik, hingga respons mereka hanya menjauh dan menjaga jarak. Bisa apes kalau kebetulan Si Z mendekati cowok bajingan, lalu dia justru dimanfaatkan.

So, guys, kalian juga pernah mengalami kisah serupa? Share, ya, di kolom komentar.

....
....

Uhmm... kolom komentarnya mana, tong? Blog sialan ini tidak menyediakan kolom komentar!

....
....

Oh, ya, saya lupa.

Yo wis, tidak usah komentar.

Noffret’s Note: Chairil Anwar

Dulu aku pernah mengira, Chairil Anwar anak orang miskin—sebegitu miskin sampai terpaksa mencuri buku. Ternyata dia anak orang kaya. Ayahnya seorang pamongpraja di Medan. Zaman masih ABG, Chairil Anwar sudah punya sepeda, padahal waktu itu sepeda masih barang mewah.

“Kemiskinan” Chairil Anwar mulai terjadi saat ayahnya bercerai dan menikah lagi, dan uang saku untuk Chairil Anwar terhenti. Sejak itulah, dia mulai menjalani kehidupan “umbrus” bersama Asrul Sani, yang salah satunya suka mencuri buku, demi bisa membaca.

Tapi “kemiskinan” dan “kehidupan umbrus” itu pula yang tampaknya mematangkan pikiran dan jiwa Chairil Anwar, hingga membentuknya seperti yang kita kenal kemudian. Dia mulai—meminjam ungkapan Paul Tillich—serius mencoba mengerti hidup secara lebih jauh dari batas-batas lahiriah.

Apakah Chairil Anwar seorang religius? Dia menulis beberapa puisi yang dinilai religius, seperti Doa, Di Masjid, dan lain-lain. Tetapi, menurut Ida Rosihan Anwar (istri Rosihan Anwar, yang sangat dekat dengan Chairil), penyair jalang itu tidak religius-religius amat.

Dalam keseharian, menurut Ida, Chairil Anwar tidak menunjukkan dia orang yang taat beragama. Dia tidak pernah tampak salat, tidak berpuasa saat Ramadan, bahkan tidak ikut bergembira saat Idul Fitri. (Saat tahu soal ini, entah kenapa aku cekikikan sendiri).

“Kita hidup,” kata Chairil Anwar, “untuk sesuatu yang tidak kita ketahui maknanya. Dan barangkali satu-satunya alasan untuk terus hidup adalah karena kita sedang mencari maknanya.”


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Januari 2019.

9 Faktor yang Anu

Dari jurnal yang sedang kubaca:

Ada 9 faktor yang meningkatkan penyakit jantung koroner; kolesterol tinggi, merokok, stres, diabetes, tekanan darah tinggi, abdominal obesitas, tidak mengonsumsi alkohol sama sekali, tidak berolahraga, dan kurang mengonsumsi sayuran/buah-buahan.

Ada yang merasa aneh dengan 9 faktor itu? “Tidak mengonsumsi alkohol sama sekali” termasuk faktor yang dapat meningkatkan risiko penyakit jantung koroner! Jadi kita perlu mabuk sesekali atau bagaimana ini?

Ehm, abdominal obesitas itu apa? Perut yang lebih besar dari bokong.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 Oktober 2018.

Rabu, 01 Mei 2019

Orang Asing di Dalam Diri Kita

Kebiasaan adalah perbuatan asing
yang kita lihat dan lakukan berulang-ulang.
Kejanggalan adalah hal biasa yang baru kita kenal.
@noffret


Diam-diam, ada orang asing di dalam diri kita, yang mungkin tidak atau belum kita kenali. Dan saat orang asing itu menampakkan diri, bisa jadi kita terkejut atau bahkan terpesona. Saya tahu hal itu, ketika ada sekelompok tukang batu bekerja di rumah saya, sebagaimana tempo hari diceritakan di sini.

Semula, saya orang nokturnal alias biasa melek malam. Biasanya, saya baru tidur setelah subuh, bangun saat zuhur, dan begitu seterusnya. Kebiasaan itu telah berlangsung bertahun-tahun, dan saya benar-benar kesulitan mengubahnya.

Selama bertahun-tahun, ada kalanya saya harus menghadiri acara pagi hari, dan membutuhkan tubuh serta pikiran segar. Saya pun berusaha tidur pada malam hari, agar bisa bangun pagi. Tapi saya tidak pernah berhasil! Setiap kali berbaring untuk tidur di malam hari, mata saya tak mau terpejam. Akibatnya, saya sering menghadiri acara pagi atau siang hari dengan kondisi belum tidur sama sekali.

Selama bertahun-tahun pula, saya telah berusaha melakukan berbagai upaya agar bisa tidur. Aneka tip, saran, dan resep, sudah saya lakukan, dari yang modern sampai yang tradisional. Tapi tak ada yang berhasil. Insomnia saya tampaknya tak tertolong lagi, dan itulah diri saya yang selama bertahun-tahun saya kenali. Sosok yang tak pernah bisa tidur malam hari, dan hanya bisa terlelap setelah pagi.

Lalu datanglah bencana itu. Buku-buku saya digerogoti rayap karena ruangan yang lembap, hingga saya memutuskan untuk merombak dan memperbarui ruangan tempat penyimpanan buku-buku di rumah, dan saya memanggil para tukang batu untuk mewujudkannya (kisah selengkapnya bisa dibaca di sini).

Sebenarnya, bukan kali ini saja saya mengundang para tukang batu ke rumah untuk hal-hal tertentu. Sebelumnya, sudah beberapa kali ada tukang batu yang pernah bekerja di rumah saya. Tetapi, biasanya, setelah mereka datang ke rumah, saya akan tidur, dan membiarkan mereka bekerja.

Namun kali ini berbeda. Ruangan yang akan digarap adalah tempat penyimpanan buku, dan saya harus memastikan ruangan itu tepat seperti yang saya inginkan. Jadi, mau tak mau, saya harus memantau mereka bekerja, untuk memastikan segalanya sempurna. Karena itulah, mau tak mau, saya harus sadar (terjaga) dari pagi sampai sore—selama para tukang batu bekerja—dan artinya pula saya harus bisa tidur malam hari, bagaimana pun caranya!

Malam pertama, ketika akan memulai tidur malam hari, saya benar-benar tak yakin bisa melakukannya. Tapi saya memaksa diri untuk membaringkan tubuh di tempat tidur pada pukul 23:00, berusaha membuat diri senyaman mungkin, dan berharap mata mau terlelap.

Tepat seperti yang saya bayangkan, mata saya tidak mau terpejam!

Sampai satu jam kemudian, saya hanya gelisah di tempat tidur—berharap bisa lelap tapi tidak juga berhasil. Memasuki tengah malam, saya merasa marah pada diri sendiri. “Kenapa belum juga tidur, sialan?”

Tapi saya tetap tak tertidur. Semakin saya memarahi diri sendiri, mata saya makin sulit dipejamkan, dan sedikit pun tidak ada kantuk—ini, sebenarnya, kisah klise yang telah saya alami bertahun-tahun. Biasanya, kalau sudah begitu, saya akan bangkit dari tempat tidur, pergi ke dapur dan membikin segelas cokelat hangat, lalu udud. Dan terjaga sampai pagi.

Kali ini, saya tidak bisa melakukan hal itu, karena harus tidur sekarang, agar besok bisa bangun pagi saat para tukang batu bekerja.

Akhirnya, di ambang frustrasi, saya terpikir untuk mengubah taktik. Tidak lagi memarahi diri sendiri karena tidak bisa tidur, tapi membujuk agar bisa tidur. Saya berkata pada diri sendiri, “Hei, bocah, kita harus tidur sekarang. Besok kita harus bangun pagi, agar bisa menemani para tukang batu bekerja membereskan ruangan buku. Ayo tidur sekarang.”

Ajaib, saya pun tertidur!

Besoknya, saya bangun pagi dengan tubuh segar, dan siap menemani para tukang batu bekerja seharian. Sampai saat ini, saya masih tercengang dengan “keajaiban” itu. Selama bertahun-tahun, saya menantang dan memarahi diri sendiri agar bisa tidur malam hari, tapi upaya itu tak pernah berhasil. Sekarang, saya membujuk diri sendiri dengan baik-baik, dan keinginan untuk bisa tidur malam langsung berhasil.

Para tukang batu yang bekerja di rumah saya membutuhkan waktu sebulan lebih. Artinya, selama waktu-waktu itu, saya pun harus terus tidur malam hari, agar bisa selalu bangun pagi. Dan selama waktu-waktu itu pula, saya bisa terus tidur malam hari dengan mudah, dan bisa selalu bangun pagi!

Sejak itu, saya mengenali adanya orang asing di dalam diri saya, yang selama ini tidak saya kenali. Diri saya sebelumnya, yang telah saya kenal dengan akrab, adalah sosok pengidap insomnia yang tak pernah bisa tidur malam hari, meski ditantang dengan obat apa pun, meski dimarahi dengan kelelahan seperti apa pun. Saya begitu mengenalnya, karena ia akrab bersama saya setiap hari, menghabiskan malam-malam panjang dengan mata yang tak pernah bisa lelap, hingga bertahun-tahun.

Kini, saya mengenali ada sosok lain di dalam diri saya—sosok yang patuh jika dibujuk, termasuk dibujuk untuk tidur malam hari, dan sejak itu saya bisa menjalani kehidupan baru dengan sosok baru tersebut. Saya tetap menjadi diri saya seperti biasa, seperti sebelumnya. Tetapi, kali ini, sosok di dalam diri saya berbeda dengan sosok sebelumnya. Bukan lagi sosok nokturnal, tapi sosok normal yang tidur malam dan bangun pagi.

Sejak itu pula, saya menjalani kehidupan dengan sosok yang baru. Seharian terus terjaga, bekerja, melakukan berbagai aktivitas dan kesibukan seperti orang-orang lainnya, dan merasa lelah serta mengantuk saat malam tiba. Lalu saya membaringkan tubuh di tempat tidur, dan tak lama kemudian terlelap. Betapa berbeda dengan diri saya yang dulu! Dan, omong-omong, tidur sambil dikeloni mbakyu malam hari rasanya lebih menenteramkan.

Kini, para tukang batu telah menyelesaikan pekerjaan mereka di rumah saya. Tapi saya tetap menjalani hari seperti sebelumnya. Tidur malam hari, dan bangun pagi hari, seperti saat mereka masih bekerja di rumah saya.

Well, omong-omong soal para tukang batu, ada cerita unik yang juga layak saya ceritakan. Mula-mula, ada 5 tukang batu yang bekerja. Setelah pekerjaan-pekerjaan penting—yang membutuhkan orang banyak—selesai dilakukan, dua dari mereka tidak lagi bekerja di rumah saya, karena harus mengerjakan tugas mereka di tempat lain. Sejak itu, hanya ada 3 tukang batu yang meneruskan pekerjaan di rumah saya.

Setiap hari, saya menyiapkan minum untuk mereka, termasuk jajan dan rokok. Ketika tukang batu yang bekerja ada 5 orang, saya menyiapkan minuman dan lain-lain untuk 5 orang. Dan ketika tinggal 3 orang yang bekerja, saya pun menyiapkan sajian untuk 3 orang. Tiga orang ini punya kebiasaan unik yang membuat saya tercengang.

Jadi, pagi hari, saat mereka baru datang, saya menyiapkan tiga gelas teh hangat dan lain-lain. Saya juga meletakkan seteko teh dan gula, sehingga mereka leluasa kalau mau bikin teh sendiri. Di samping itu, saya juga menyediakan botol-botol berisi air putih, plus gelas-gelas kosong. Semuanya saya tempatkan di meja tersendiri.

Ketika baru disajikan, semua gelas dalam kondisi tertutup, begitu pula teko dan botol-botol. Keberadaan tutup ini penting, agar minuman mereka tidak terkontaminasi, khususnya karena debu-debu beterbangan selama mereka bekerja. Saya memastikan minuman untuk mereka benar-benar bersih, sehingga saya pun memastikan semuanya dalam kondisi tertutup rapat.

Tetapi, setiap kali para tukang itu mulai minum, semua tutup akan tersingkir dari tempatnya. Tutup gelas tidak lagi di tempatnya, tutup-tutup botol terlepas, bahkan tutup teko pun tidak lagi menutupi teko seperti sebelumnya. Semuanya dalam kondisi terbuka, dengan tutup-tutup bergeletakan di dekatnya.

Ketika pertama kali mendapati hal itu, saya pikir para tukang mungkin lupa kembali menutup. Jadi, saya pun menutup kembali gelas-gelas, botol, dan teko, seperti sebelumnya. Tetapi, setiap kali para tukang itu kembali minum, setiap kali pula tutup-tutup tidak kembali ke tempatnya, dan semua kembali dalam kondisi terbuka.

Dengan agak heran, saya menegur mereka, “Ini kalau tidak ditutup, nanti minumannya kemasukan debu.”

“Oh, iya, Mas,” sahut mereka waktu ditegur. “Tadi lupa, soalnya.”

Dan “lupa” itu terus terjadi setiap hari, berlangsung setiap waktu, selama mereka bekerja di rumah saya. Kapan pun mereka mendekati meja minuman, tutup-tutup pasti akan terlepas dan tidak dikembalikan. Kalau dipikir, sebenarnya, seberat apa sih menutup gelas, menutup botol, atau menutup teko? Ini pasti bukan soal lupa atau berat, tapi semata karena kebiasaan.

Para tukang itu, entah bagaimana, mungkin pernah menjalani hari panjang ketika mereka harus terbiasa minum dari gelas-gelas terbuka atau botol-botol terbuka. Sebegitu lama dan sebegitu terbiasa, sampai alam bawah sadar mereka menggerakkan tangan-tangan mereka untuk melepas tutup dari gelas, dari botol, sampai dari teko.

Ketika menyadari kemungkinan itu, saya pun akhirnya mengalah. Setiap kali melihat gelas-gelas mereka terbuka, saya menutupnya kembali. Setiap kali melihat teko dan botol-botol terbuka, saya memasang tutupnya lagi. Saya melakukan hal itu berulang kali, setiap hari, berhari-hari, demi memastikan mereka mengonsumsi minuman bersih selama bekerja di tempat saya.

Selama melakukan hal aneh itu, saya tidak marah sama sekali. Sebaliknya, entah kenapa, saya malah senyum-senyum sendiri.

Ingin Menjadi Bocah Dalam Film Malena

Aku ingin menjadi Magneto dalam film X-Men.
Aku ingin menjadi Walter dalam film The Dark Tower.
Aku ingin menjadi Thanos dalam film Infinity War.
Aku ingin menjadi Batman dalam film The Dark Knight.

Akhirnya...

Aku ingin menjadi bocah dalam film Malena.

Peradaban Asu

“Ketika anakmu tidak mau sekolah, kau menipu dirimu sendiri kalau kaupikir bisa memaksa mereka. Paksaan hanya akan mengubah anakmu jadi pembohong,” ujar David Gilmour.

Sayang sekali, orang tuaku tidak berpikir seperti itu, dan tetap memaksaku sekolah.

Sekolah, seperti beberapa hal lain, sebenarnya hanya pilihan, tapi dipaksakan sebagai kewajiban. Padahal, yang wajib adalah belajar, sementara sekolah hanyalah cara. Tidak masalah kalau anak belajar di luar sekolah, karena intinya adalah belajar, dan sekolah hanya satu sarana.

Tidak semua anak cocok bersekolah. Itu sama alami dengan tidak setiap anak cocok dengan satu kegiatan meski teman-temannya asyik melakukan. Kita tidak bisa memaksa setiap anak bermain kelereng hanya karena anak-anak tetangga bermain kelereng. Itu konyol.

Tapi kita hidup dalam peradaban konyol semacam itu; sebentuk peradaban yang menganggap pilihan sebagai kewajiban, lalu memaksakan pilihan sebagai kewajiban, dan menganggap aneh orang yang tidak sama. Wong pilihan kok harus sama. Siapakah sebenarnya yang aneh?

Dari sekolah sampai menikah sampai bagaimana menjalani kehidupan, kita dipaksa untuk sama. Yang belum sekolah dipaksa sekolah. Yang sudah tidak sekolah, dipaksa kawin. Yang sudah kawin, dipaksa beranak-pinak. Lalu mereka mewariskan hal sama pada anak-anaknya dengan cara serupa.

Jadi, itulah peradaban kita. Sebuah peradaban manusia yang sibuk luar biasa... tapi ironis. Selama bertahun-tahun aku memikirkan keanehan itu, dan sampai pada satu jawaban: Manusia sengaja disibukkan dengan segala tetek-bengek itu, agar mereka tidak punya waktu untuk berpikir.

Hewan-hewan, termasuk primata, memiliki banyak waktu luang, tapi mereka tidak bisa berpikir seperti manusia. Itulah kenapa, manusia harus dibuat sibuk luar biasa (dari diwajibkan sekolah sampai didoktrin menikah dan beranak pinak), agar mereka tidak punya waktu untuk berpikir.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Mei 2018.

 
;