Aku tidak pernah takut mati. Yang kadang membuatku takut,
aku keburu mati padahal masih ada buku-buku bagus
yang belum sempat kubaca.
—@noffret
aku keburu mati padahal masih ada buku-buku bagus
yang belum sempat kubaca.
—@noffret
Setidaknya ada empat musuh buku yang sangat berbahaya, dan para kutu buku, kolektor buku, pencinta buku, atau pembaca buku, harus mengenali empat hal tersebut.
Musuh buku yang pertama adalah para pembakar buku—orang-orang kurang mikir yang mengira bisa memusnahkan pemikiran hanya dengan membakar tumpukan kertas. Apa pun motivasinya, membakar buku adalah perilaku barbar yang jauh dari beradab.
Musuh buku yang kedua adalah para peminjam buku yang tak bertanggung jawab. Meminjam buku bisa menjadi aktivitas yang baik, jika dilakukan secara bertanggung jawab. Setelah pinjam, ya bukunya dibaca dengan baik, lalu segera dikembalikan pada pemiliknya, dalam keadaan utuh seperti saat dipinjam.
Para peminjam semacam itu bisa jadi orang-orang yang suka membaca dan belajar, namun tidak memiliki kemampuan membeli buku. Kita patut membantu mereka, dengan meminjamkan buku-buku yang kita punya.
Tetapi ada jenis peminjam buku yang benar-benar bangsat. Mereka meminjam buku bukan karena memang senang membaca, tapi karena “gatal”. Biasanya, orang semacam itu datang ke rumah kita, dan kebetulan melihat buku di meja atau di tempat lain, lalu gatal ingin pinjam. Setiap kali buku saya dipinjam orang gatal semacam itu, saya hampir bisa meramalkan nasib tragis.
Biasanya, peminjam buku “tipe gatal” tidak membaca buku yang ia pinjam. Sampai berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, dia tidak juga mengembalikan. Saat ditagih, sering kali jawabannya “belum selesai dibaca”, atau kalimat terkutuk senada. Padahal, apakah dia benar membaca buku itu atau tidak, iblis pun tak tahu.
Ketika akhirnya dia mengembalikan buku yang dipinjam, biasanya buku dalam keadaan kusut, rusak, kluwus, atau penuh tekukan dan lipatan, pendeknya sudah jauh berbeda dari saat dipinjam. Itu pun masih lumayan. Tidak jarang, buku yang ia pinjam malah hilang. Alasannya klise, “Aku tidak ingat di mana menaruh buku itu.”
Tentu saja kau tidak ingat, bangsat! Wong bukunya tidak dibaca, bagaimana kau akan ingat? KALAU MEMANG TIDAK SUKA MEMBACA BUKU, MBOK TIDAK USAH SOK MINJAM-MINJAM!
Mohon maaf kalau saya terdengar emosi, karena nyatanya banyak buku saya yang hilang gara-gara dipinjam secara tak bertanggung jawab. Karenanya saya benar-benar jengkel pada orang yang hobi minjam buku, tapi tidak dibaca, malah bukunya hilang.
Well, musuh buku yang ketiga adalah air. Kalian tentu paham, air bisa merusak buku dengan cara paling mengerikan. Bagaimana pun, buku terbuat dari kertas. Sekuat apa pun, kertas kalah dengan air. Karenanya, kalau kebetulan tinggal di daerah yang rentan banjir, ada baiknya meletakkan buku di tempat yang cukup tinggi, agar lebih aman.
Musuh buku yang keempat, dan paling berbahaya, adalah rayap. Ia paling berbahaya, karena seperti musuh dalam selimut. Tak terlihat, tapi merusak dari dalam. Ia datang tanpa kita tahu, merusak buku demi buku tanpa kita tahu, sampai kemudian kita menyadari kerusakan telah terjadi. Kenyataan ini pula yang tempo hari membuat saya frustrasi.
Di rumah, saya punya ruangan khusus untuk menyimpan buku. Ribuan buku itu tertata di rak-rak yang menjulang tinggi ke langit-langit. Karena semua rak telah penuh, banyak buku yang hanya saya simpan di dalam kardus. Karena makin hari buku saya makin bertambah, buku-buku dalam kardus pun semakin banyak. Akibatnya, ruangan kian sempit, karena kardus-kardus berisi buku terus menumpuk. Hasil akhirnya, ruangan itu perlahan-lahan lembap, dan saya terlambat menyadari.
Kelembapan ruangan akan mengundang rayap, dan itulah yang terjadi. Tanpa saya tahu, rayap muncul di ruang penyimpanan buku. Saya tidak tahu kapan keparat-keparat kecil itu muncul di ruang buku, karena wujud mereka nyaris tak terlihat, dan aktivitas mereka juga tak terlihat. Yang jelas, ketika saya menyadari keberadaan mereka, kerusakan yang terjadi sudah parah.
Suatu malam menjelang pagi, saya masuk ke ruangan itu untuk mengambil beberapa buku. Suasana waktu itu sangat hening. Saat saya baru masuk ke ruang buku, telinga saya menangkap suara mencurigakan. Sangat lirih, nyaris tak terdengar. Lalu diam—suara tadi hilang. Saya berdiam di sana, menunggu. Beberapa saat kemudian, suara itu muncul lagi. Lirih seperti semula, tapi kali ini saya benar-benar mendengarnya.
Detik itu pula saya tahu apa yang terjadi, dan perasaan saya tak karuan.
Mengikuti arah datangnya suara, saya membongkar deretan buku di sana, dan hasilnya tepat seperti yang saya khawatirkan. Ada pasukan rayap membangun markas di antara buku-buku, dan mereka menggerogoti lembar-lembar buku dengan sangat tidak ilmiah, tidak akademis, tidak environmental, dan tidak moratorium—apa pun artinya. Berikut ini contohnya.
Jika dilihat dari luar, buku-buku itu tampak baik-baik saja, bahkan terlihat masih mulus. Tapi ketika dibuka, lembar-lembar kertas di dalamnya telah rusak karena digerogoti rayap, hingga sulit dibaca. Inilah musuh buku yang paling berbahaya, karena ia merusak dari dalam, diam-diam, dan kita sering tak menyadari. Terkait hal ini, ada banyak buku saya yang rusak gara-gara keparat itu, dan saya terlambat menyadari.
Malam itu, saya misuh-misuh sambil membongkar-bongkar buku, menyisihkan buku-buku yang rusak karena rayap. Ketika pagi menjelang, tumpukan buku yang rusak sudah mencapai 2 meter! Dan saya benar-benar murka, dengan kepala memunculkan api karena amarah membara.
Akhirnya, hari itu juga, saya menghubungi tukang batu (tukang bangunan). Saya meminta mereka merombak dan memperbarui ruangan itu, agar jauh dari kemungkinan lembap, agar rayap-rayap terkutuk menjauh dari sana, agar buku-buku saya damai sentosa, agar saya bisa beristirahat dengan tenang. Butuh waktu sebulan bagi para tukang batu mewujudkan yang saya inginkan.
Kini, ruangan buku di rumah saya sudah diperbarui, dan sekarang sudah beres. Saya pun memastikan diri untuk selalu membuka jendela setiap hari, agar sinar matahari bisa masuk.
....
....
Agar kalian—khususnya para pencinta dan kolektor buku—tidak mengalami masalah seperti yang saya alami, berikut saya ingin berbagi tip agar buku-buku kalian selamat dari rayap.
Pertama dan terutama, pastikan ruangan tempat menyimpan buku tidak lembap. Ini aturan yang tak bisa diganggu gugat. Rayap senang tempat lembap, dan kelembapan akan mengundang rayap.
Kelembapan bisa datang dari lantai, dinding-dinding, atap ruangan, sampai penataan barang di dalamnya. Karenanya, pastikan semua bagian ruangan dalam kondisi kering. Akan lebih baik jika di ruangan itu ada jendela yang bisa dibuka setiap hari, sehingga sinar matahari bebas masuk.
Jika buku yang kita miliki hanya beberapa puluh, tentu urusannya lebih mudah. Kita bisa rutin mengangin-anginkan buku-buku tersebut di luar ruangan, misal seminggu sekali, untuk menjauhkan mereka dari kemungkinan lembap. Tapi kalau buku kita sudah mencapai ribuan, urusan mengangin-anginkan jadi sulit dilakukan, karena butuh waktu sangat lama. Bahkan iblis di neraka pun pasti malas melakukannya!
So, pastikan saja semua bagian ruangan selalu kering. Setelah itu, pastikan penataan buku di dalam ruangan tidak sampai menimbulkan kelembapan. Artinya, upayakan ada ruangan yang cukup, agar tidak berdesak-desakan. Inilah kesalahan yang saya lakukan. Saya menumpuk kardus-kardus berisi buku sampai ruangan benar-benar penuh dan sesak, dan hal itu menimbulkan kelembapan, karena sirkulasi udara macet. Setelah lembap, rayap datang.
Well, setelah ruangan tempat menyimpan buku sudah beres, hal lain yang perlu kita perhatikan adalah rak untuk menata buku. Sebagian orang menggunakan rak yang terbuat dari kayu, sebagian lain menggunakan rak yang terbuat dari rangka besi. Manakah yang lebih bagus? Sama-sama bagus, meski rak dengan rangka besi lebih kuat. Namun soal estetika, rak kayu tampak lebih bagus.
Sekadar saran, sebaiknya buatlah rak sendiri—bukan membeli yang sudah jadi—khususnya jika buku yang kita miliki sangat banyak.
Berdasarkan pengalaman, rak yang dibeli dalam keadaan sudah jadi biasanya ringkih, khususnya rak-rak yang dibuat menggunakan hardboard. Banyak rak buku yang terbuat dari hardboard—tersedia di swalayan sampai di marketplace—yang tampak bagus, tapi sebenarnya sangat ringkih. Rak-rak itu biasanya tidak mampu menopang tumpukan buku dalam jumlah banyak.
Dengan membuat sendiri, kita bisa memilih bahan-bahan (kayu) yang berkualitas, sekaligus bisa menentukan bentuk dan ukurannya, juga dapat disesuaikan dengan ruangan yang ada di rumah kita. Cukup temui tukang kayu yang berpengalaman, dan minta mereka membuat rak seperti yang kita inginkan. Ada pula produsen rak/lemari yang menerima pesanan, dan mereka bisa memproduksi rak yang kita mau, dengan bahan-bahan seperti yang kita minta.
Setelah ruangan beres, rak juga beres, hal selanjutnya adalah penataan buku. Soal ini sesuai selera saja, asal tetap mengingat aturan penting tadi—hindari kelembapan. Sebagian orang kadang meletakkan kamfer atau kapur barus di rak-rak buku untuk menjauhkan rayap. Sebenarnya, itu mitos! Kamfer sebanyak apa pun tidak akan berfungsi kalau ruangan dan penataan tetap lembap, dan rayap akan tetap datang.
Setelah semuanya beres, dari ruangan sampai rak-rak dan penataannya, apa lagi yang harus kita lakukan dengan buku-buku yang kita miliki? Ya dibaca! Bacalah buku-buku yang dimiliki, jangan dikumpulkan saja. Karena kita menjadi pintar dan bertambah wawasan dengan membaca buku, bukan dengan mengoleksi buku.