Kamis, 25 April 2019

Bersikap Adil Pada Maudy Ayunda

Mudah memang, menemukan kelebihan diri.
Tapi kesadaran penting yang kutahu adalah menemukan
kekurangan diri, lalu berupaya memperbaikinya,
sebaik yang kita bisa. Kupikir, itu tugas terberat setiap manusia,
seumur hidup, dan aku pun masih kesulitan
serta kepayahan melakukannya.
@noffret


Maudy Ayunda bikin heboh sebagian orang Indonesia, tempo hari, saat ia mengatakan galau antara memilih Harvard University atau Stanford University—dua perguruan tinggi prestisius dunia.

Terkait kegalauan Maudy Ayunda, waktu itu, orang-orang riuh memberi respons, dari pujian sampai nyinyiran. Banyak orang menyatakan bahwa Maudy Ayunda bisa meraih prestasi semacam itu karena dia punya privilese. Saya juga termasuk yang berpikir begitu, bahkan sampai menulis rangkaian tweet terkait hal tersebut.

Waktu itu, saya berpikir bahwa Maudy Ayunda memiliki privilese yang tidak saya miliki, sehingga ia mencapai prestasi yang tidak saya capai. Saya bahkan mengandaikan, kalau saya juga memiliki privilese seperti yang dimilikinya, saya pun tentu akan bisa mencapai prestasi yang ia capai.

Sekarang, saya bertanya-tanya sendiri, “Apa iya?”

Jika saya memiliki semua privilese yang dimiliki Maudy Ayunda—latar belakang keluarga, kekayaan, kecerdasan, pergaulan, dan sebagainya—benarkah saya akan mampu meraih prestasi seperti yang ia capai? Sekarang saya meragukannya. Mendapat tawaran dari Harvard dan Stanford itu bukan prestasi sepele, dan tidak setiap orang mampu. Boro-boro mendapat tawaran, bahkan mendaftar pun bisa ditolak!

Karenanya, setelah memikirkan dan mengendapkan kenyataan itu sampai lama, saya tiba pada kesadaran bahwa prestasi yang dicapai Maudy Ayunda tidak semata-mata karena privilese yang dimilikinya, tapi juga karena kemampuan dan kegigihan pribadi.

Jika kita mau jujur menerima kenyataan, ada banyak orang yang memiliki privilese seperti yang dimiliki Maudy Ayunda. Jumlahnya bukan puluhan atau ratusan, tapi ribuan! Mereka sama-sama berasal dari latar belakang keluarga kaya seperti Maudy Ayunda, atau bahkan lebih kaya. Mereka mendapat pendidikan yang baik sejak TK sampai SMA, sama seperti Maudy Ayunda. Mereka pun bergaul dengan jenis orang-orang yang bergaul dengan Maudy Ayunda. Tapi berapakah dari mereka yang bisa mencapai prestasi (tawaran dari Harvard dan Stanford) seperti yang dicapai Maudy Ayunda?

Tidak ada! Setidaknya, kita tidak mendengarnya!

Bisa melihat sesuatu di sini?

Karenanya, kalau kita mau bersikap adil, kita akan menyadari bahwa prestasi yang dicapai Maudy Ayunda tidak semata karena dia memiliki privilese. Kenyataannya, ada banyak orang yang memiliki privilese seperti dia, tapi tidak berhasil mencapai sesuatu yang ia capai. Karenanya pula, jika kita—khususnya saya—menempati posisi Maudy Ayunda dan mendapat semua privilese yang dimilikinya, tidak ada jaminan saya akan mencapai prestasi seperti yang ia capai!

Sekarang, sambil menulis catatan ini, saya menyadari bahwa menuduh orang lain mencapai kesuksesan semata-mata karena privilese itu tuduhan keliru. Karena nyatanya, meski ada banyak orang memiliki privilese serupa, tidak semuanya terjamin mencapai kesuksesan yang sama. Boro-boro sukses, sebagian mereka malah keblangsak. Sudah punya privilese, tapi tetap keblangsak! Jadi, apa makna privilese?

Dalam perbincangan dengan Najwa Shihab, Maudy Ayunda mengatakan bahwa dia sangat suka belajar. Sebegitu suka, sampai dia gembira ketika masa ujian datang.

Sekarang, mari kita jujur pada diri sendiri, berapa banyakkah dari kita yang memiliki kebiasaan baik itu? Berapa banyakkah dari kita yang senang belajar? Berapa banyakkah dari kita yang gembira ketika masa ujian datang?

Tidak ada, eh?

Jadi, kalau kita tidak suka belajar—atau dengan kata lain, pemalas—masih mungkinkah kita akan mencapai prestasi seperti yang diraih Maudy Ayunda, andai kita memiliki semua privilese yang dimilikinya? Pikirkan pertanyaan itu, dan jawablah secara jujur!

Punya privilese mungkin penting, karena itu modal besar yang dapat membantu seseorang mencapai prestasi mengagumkan. Tapi ada yang lebih penting dari privilese, yaitu semangat dan kerja keras orang bersangkutan! Kalau dasarnya pemalas, mau diberi privilese sebanyak apa pun hasilnya tetap pecundang.

Well, sekarang, saya akan membalik uraian ini dari perspektif sebaliknya.

Bertahun lalu, saya berbicara di hadapan para mahasiswa di tempat ini, dan mereka khusyuk mendengarkan saya ngoceh. Saat masuk sesi tanya jawab, audiens diberi kesempatan untuk bertanya, dan banyak dari mereka mengacungkan jari. Saya menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka satu per satu.

Kemudian, ada audiens yang bertanya, “Sebelumnya mohon maaf, kalau pertanyaan saya keluar dari konteks pembahasan. Saya hanya ingin bertanya, bagaimana agar kami bisa seperti Anda?”

Ruangan hening, semuanya menunggu saya menjawab pertanyaan itu.

Sambil tersenyum, saya menjawab, “Kalian tidak akan bisa seperti saya.”

Mereka tertawa, mengira saya sedang melucu.

Sebelum saya melanjutkan uraian ini, saya perlu memberi sedikit penjelasan, agar kalian tidak salah paham. Saya bukan orang hebat, namun, di kalangan kampus, saya dikenal memiliki prestasi yang sulit dijangkau rata-rata orang lain yang sebaya. Karenanya, sejak awal masuk kampus, saya sudah menonjol dan menarik perhatian semua orang, bahkan nama saya dikenang abadi di sana, hingga saat ini.

Karenanya tidak mengherankan ketika ada mahasiswa yang bertanya bagaimana cara agar bisa seperti saya, karena—dalam pandangan mereka—saya telah mencapai prestasi yang sulit dicapai rata-rata orang lain. Dan saya menjawab, “Kalian tidak akan bisa seperti saya.”

Meski saya mengatakannya sambil tersenyum, dan mereka juga tertawa saat mendengar jawaban itu, sebenarnya saya sangat serius. Saya tahu betul bagaimana beratnya mencapai kehidupan yang sekarang saya capai—sendirian, miskin, tanpa orang tua atau keluarga yang mendukung, tanpa privilese apa pun—hingga akhirnya mencapai sesuatu yang saya tuju.

Selama bertahun-tahun, saya menyepi dan mengasingkan diri dalam sunyi, hanya untuk fokus belajar dan bekerja, karena saya menyadari tidak punya privilese apa pun. Orang tua saya bukan hanya miskin, tapi juga bodoh dan terbelakang. Kenyataan ini sengaja saya katakan terus terang, agar kalian bisa membayangkan kehidupan seperti apa yang saya hadapi.

Orang-orang hanya melihat hasilnya; prestasi yang saya capai. Tapi mereka tidak melihat prosesnya! Ada proses pembelajaran tekun bertahun-tahun, kerja keras siang malam, berhari-hari tanpa tidur, stres dan frustrasi tanpa henti, menghadapi cibiran bahkan dari orang tua sendiri—dan sederet kepahitan lain yang daftarnya masih panjang. Saya telah melalui semua itu; sesuatu yang tidak dilihat kebanyakan orang.

Karenanya, di hadapan para mahasiswa, waktu itu, saya mengatakan, “Kalau kau bisa tekun belajar sementara teman-temanmu asyik bermain, kalau kau bisa khusyuk bekerja keras ketika teman-temanmu asyik pacaran, kalau kau bisa meninggalkan tidur untuk mengejar impian sementara teman-temanmu terlelap... dan kau bisa konsisten melakukan semua itu bertahun-tahun... kau akan mencapai prestasi yang tidak dicapai teman-temanmu.”

Itu rumus sederhana, tapi saya tidak yakin semua orang mampu melakukannya.

Prestasi yang saya capai tentu tidak bisa dibandingkan dengan prestasi yang dicapai Maudy Ayunda. Tetapi, melalui uraian ini, saya ingin menunjukkan bahwa ada yang lebih penting dibanding privilese semata. Karenanya, kita tidak bisa serta merta menuduh semua orang yang berprestasi karena memiliki privilese. Itu sama saja mematikan potensi diri sendiri, khususnya jika kita tergolong tidak punya privilese.

Jika ada orang mengatakan bahwa saya berhasil mencapai prestasi karena adanya privilese, terus terang saya akan tertawa! Itu benar-benar lelucon konyol! Sama konyolnya dengan orang yang berceramah tentang kemiskinan di depan saya, padahal saya sudah bertahun-tahun menjalani kemiskinan, bahkan sebelum dia tahu arti kemiskinan.

Tentu saja, ada banyak orang yang sukses dan berprestasi karena adanya privilese. Tapi bukan berarti semua orang yang sukses dan berprestasi pasti karena privilese. Karena, dalam hal ini, kita tidak tahu perjuangan orang per orang. Bisa jadi, Maudy Ayunda tampak memiliki privilese. Tapi siapa yang tahu kalau ternyata dia mati-matian belajar siang malam, hingga mencapai prestasinya sekarang?

Menuduh semua orang berprestasi karena adanya privilese bukan hanya sembrono, tapi juga tidak adil. Siwon Super Junior, misalnya, anak orang paling kaya di Korea Selatan. Kita tentu bisa mudah menuduh Siwon mencapai kesuksesannya karena privilese (kekayaan orang tuanya). Tapi apakah benar begitu?

Tidak!

Siwon mencapai semua kesuksesannya tanpa bantuan apa pun dari orang tuanya. Ayahnya tidak setuju Siwon masuk dunia entertainment, dan sang ayah tidak mau membantunya sepeser pun. Praktis, Siwon mencapai kesuksesannya semata karena usaha dan kerja kerasnya sendiri. Saya sudah menceritakan kisah Siwon cukup lengkap, dari nol sampai sukses, dan kalian bisa membacanya di sini.

Jadi, kalau kau kebetulan anak orang berada, yang mampu mendapatkan pendidikan sampai tingkat tinggi, dan kau memperoleh dukungan orang tua serta keluargamu dalam menggapai cita-cita, kau patut bersyukur, dan gunakanlah semua itu sebagai modal untuk meraih impian hidupmu.

Sebaliknya, kalau kau kebetulan anak orang tidak mampu, yang hanya mendapatkan pendidikan seadanya, dan kau menjalani hidup yang penuh kekurangan, kau tetap punya alasan dan kemampuan untuk meraih cita-citamu. Karena privilese mungkin penting, tapi ada yang lebih penting... yakni semangat, pembelajaran, kerja keras, dan keyakinanmu.

 
;