“Ketika anakmu tidak mau sekolah, kau menipu dirimu sendiri kalau kaupikir bisa memaksa mereka. Paksaan hanya akan mengubah anakmu jadi pembohong,” ujar David Gilmour.
Sayang sekali, orang tuaku tidak berpikir seperti itu, dan tetap memaksaku sekolah.
Sekolah, seperti beberapa hal lain, sebenarnya hanya pilihan, tapi dipaksakan sebagai kewajiban. Padahal, yang wajib adalah belajar, sementara sekolah hanyalah cara. Tidak masalah kalau anak belajar di luar sekolah, karena intinya adalah belajar, dan sekolah hanya satu sarana.
Tidak semua anak cocok bersekolah. Itu sama alami dengan tidak setiap anak cocok dengan satu kegiatan meski teman-temannya asyik melakukan. Kita tidak bisa memaksa setiap anak bermain kelereng hanya karena anak-anak tetangga bermain kelereng. Itu konyol.
Tapi kita hidup dalam peradaban konyol semacam itu; sebentuk peradaban yang menganggap pilihan sebagai kewajiban, lalu memaksakan pilihan sebagai kewajiban, dan menganggap aneh orang yang tidak sama. Wong pilihan kok harus sama. Siapakah sebenarnya yang aneh?
Dari sekolah sampai menikah sampai bagaimana menjalani kehidupan, kita dipaksa untuk sama. Yang belum sekolah dipaksa sekolah. Yang sudah tidak sekolah, dipaksa kawin. Yang sudah kawin, dipaksa beranak-pinak. Lalu mereka mewariskan hal sama pada anak-anaknya dengan cara serupa.
Jadi, itulah peradaban kita. Sebuah peradaban manusia yang sibuk luar biasa... tapi ironis. Selama bertahun-tahun aku memikirkan keanehan itu, dan sampai pada satu jawaban: Manusia sengaja disibukkan dengan segala tetek-bengek itu, agar mereka tidak punya waktu untuk berpikir.
Hewan-hewan, termasuk primata, memiliki banyak waktu luang, tapi mereka tidak bisa berpikir seperti manusia. Itulah kenapa, manusia harus dibuat sibuk luar biasa (dari diwajibkan sekolah sampai didoktrin menikah dan beranak pinak), agar mereka tidak punya waktu untuk berpikir.
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Mei 2018.