Rabu, 01 Mei 2019

Orang Asing di Dalam Diri Kita

Kebiasaan adalah perbuatan asing
yang kita lihat dan lakukan berulang-ulang.
Kejanggalan adalah hal biasa yang baru kita kenal.
@noffret


Diam-diam, ada orang asing di dalam diri kita, yang mungkin tidak atau belum kita kenali. Dan saat orang asing itu menampakkan diri, bisa jadi kita terkejut atau bahkan terpesona. Saya tahu hal itu, ketika ada sekelompok tukang batu bekerja di rumah saya, sebagaimana tempo hari diceritakan di sini.

Semula, saya orang nokturnal alias biasa melek malam. Biasanya, saya baru tidur setelah subuh, bangun saat zuhur, dan begitu seterusnya. Kebiasaan itu telah berlangsung bertahun-tahun, dan saya benar-benar kesulitan mengubahnya.

Selama bertahun-tahun, ada kalanya saya harus menghadiri acara pagi hari, dan membutuhkan tubuh serta pikiran segar. Saya pun berusaha tidur pada malam hari, agar bisa bangun pagi. Tapi saya tidak pernah berhasil! Setiap kali berbaring untuk tidur di malam hari, mata saya tak mau terpejam. Akibatnya, saya sering menghadiri acara pagi atau siang hari dengan kondisi belum tidur sama sekali.

Selama bertahun-tahun pula, saya telah berusaha melakukan berbagai upaya agar bisa tidur. Aneka tip, saran, dan resep, sudah saya lakukan, dari yang modern sampai yang tradisional. Tapi tak ada yang berhasil. Insomnia saya tampaknya tak tertolong lagi, dan itulah diri saya yang selama bertahun-tahun saya kenali. Sosok yang tak pernah bisa tidur malam hari, dan hanya bisa terlelap setelah pagi.

Lalu datanglah bencana itu. Buku-buku saya digerogoti rayap karena ruangan yang lembap, hingga saya memutuskan untuk merombak dan memperbarui ruangan tempat penyimpanan buku-buku di rumah, dan saya memanggil para tukang batu untuk mewujudkannya (kisah selengkapnya bisa dibaca di sini).

Sebenarnya, bukan kali ini saja saya mengundang para tukang batu ke rumah untuk hal-hal tertentu. Sebelumnya, sudah beberapa kali ada tukang batu yang pernah bekerja di rumah saya. Tetapi, biasanya, setelah mereka datang ke rumah, saya akan tidur, dan membiarkan mereka bekerja.

Namun kali ini berbeda. Ruangan yang akan digarap adalah tempat penyimpanan buku, dan saya harus memastikan ruangan itu tepat seperti yang saya inginkan. Jadi, mau tak mau, saya harus memantau mereka bekerja, untuk memastikan segalanya sempurna. Karena itulah, mau tak mau, saya harus sadar (terjaga) dari pagi sampai sore—selama para tukang batu bekerja—dan artinya pula saya harus bisa tidur malam hari, bagaimana pun caranya!

Malam pertama, ketika akan memulai tidur malam hari, saya benar-benar tak yakin bisa melakukannya. Tapi saya memaksa diri untuk membaringkan tubuh di tempat tidur pada pukul 23:00, berusaha membuat diri senyaman mungkin, dan berharap mata mau terlelap.

Tepat seperti yang saya bayangkan, mata saya tidak mau terpejam!

Sampai satu jam kemudian, saya hanya gelisah di tempat tidur—berharap bisa lelap tapi tidak juga berhasil. Memasuki tengah malam, saya merasa marah pada diri sendiri. “Kenapa belum juga tidur, sialan?”

Tapi saya tetap tak tertidur. Semakin saya memarahi diri sendiri, mata saya makin sulit dipejamkan, dan sedikit pun tidak ada kantuk—ini, sebenarnya, kisah klise yang telah saya alami bertahun-tahun. Biasanya, kalau sudah begitu, saya akan bangkit dari tempat tidur, pergi ke dapur dan membikin segelas cokelat hangat, lalu udud. Dan terjaga sampai pagi.

Kali ini, saya tidak bisa melakukan hal itu, karena harus tidur sekarang, agar besok bisa bangun pagi saat para tukang batu bekerja.

Akhirnya, di ambang frustrasi, saya terpikir untuk mengubah taktik. Tidak lagi memarahi diri sendiri karena tidak bisa tidur, tapi membujuk agar bisa tidur. Saya berkata pada diri sendiri, “Hei, bocah, kita harus tidur sekarang. Besok kita harus bangun pagi, agar bisa menemani para tukang batu bekerja membereskan ruangan buku. Ayo tidur sekarang.”

Ajaib, saya pun tertidur!

Besoknya, saya bangun pagi dengan tubuh segar, dan siap menemani para tukang batu bekerja seharian. Sampai saat ini, saya masih tercengang dengan “keajaiban” itu. Selama bertahun-tahun, saya menantang dan memarahi diri sendiri agar bisa tidur malam hari, tapi upaya itu tak pernah berhasil. Sekarang, saya membujuk diri sendiri dengan baik-baik, dan keinginan untuk bisa tidur malam langsung berhasil.

Para tukang batu yang bekerja di rumah saya membutuhkan waktu sebulan lebih. Artinya, selama waktu-waktu itu, saya pun harus terus tidur malam hari, agar bisa selalu bangun pagi. Dan selama waktu-waktu itu pula, saya bisa terus tidur malam hari dengan mudah, dan bisa selalu bangun pagi!

Sejak itu, saya mengenali adanya orang asing di dalam diri saya, yang selama ini tidak saya kenali. Diri saya sebelumnya, yang telah saya kenal dengan akrab, adalah sosok pengidap insomnia yang tak pernah bisa tidur malam hari, meski ditantang dengan obat apa pun, meski dimarahi dengan kelelahan seperti apa pun. Saya begitu mengenalnya, karena ia akrab bersama saya setiap hari, menghabiskan malam-malam panjang dengan mata yang tak pernah bisa lelap, hingga bertahun-tahun.

Kini, saya mengenali ada sosok lain di dalam diri saya—sosok yang patuh jika dibujuk, termasuk dibujuk untuk tidur malam hari, dan sejak itu saya bisa menjalani kehidupan baru dengan sosok baru tersebut. Saya tetap menjadi diri saya seperti biasa, seperti sebelumnya. Tetapi, kali ini, sosok di dalam diri saya berbeda dengan sosok sebelumnya. Bukan lagi sosok nokturnal, tapi sosok normal yang tidur malam dan bangun pagi.

Sejak itu pula, saya menjalani kehidupan dengan sosok yang baru. Seharian terus terjaga, bekerja, melakukan berbagai aktivitas dan kesibukan seperti orang-orang lainnya, dan merasa lelah serta mengantuk saat malam tiba. Lalu saya membaringkan tubuh di tempat tidur, dan tak lama kemudian terlelap. Betapa berbeda dengan diri saya yang dulu! Dan, omong-omong, tidur sambil dikeloni mbakyu malam hari rasanya lebih menenteramkan.

Kini, para tukang batu telah menyelesaikan pekerjaan mereka di rumah saya. Tapi saya tetap menjalani hari seperti sebelumnya. Tidur malam hari, dan bangun pagi hari, seperti saat mereka masih bekerja di rumah saya.

Well, omong-omong soal para tukang batu, ada cerita unik yang juga layak saya ceritakan. Mula-mula, ada 5 tukang batu yang bekerja. Setelah pekerjaan-pekerjaan penting—yang membutuhkan orang banyak—selesai dilakukan, dua dari mereka tidak lagi bekerja di rumah saya, karena harus mengerjakan tugas mereka di tempat lain. Sejak itu, hanya ada 3 tukang batu yang meneruskan pekerjaan di rumah saya.

Setiap hari, saya menyiapkan minum untuk mereka, termasuk jajan dan rokok. Ketika tukang batu yang bekerja ada 5 orang, saya menyiapkan minuman dan lain-lain untuk 5 orang. Dan ketika tinggal 3 orang yang bekerja, saya pun menyiapkan sajian untuk 3 orang. Tiga orang ini punya kebiasaan unik yang membuat saya tercengang.

Jadi, pagi hari, saat mereka baru datang, saya menyiapkan tiga gelas teh hangat dan lain-lain. Saya juga meletakkan seteko teh dan gula, sehingga mereka leluasa kalau mau bikin teh sendiri. Di samping itu, saya juga menyediakan botol-botol berisi air putih, plus gelas-gelas kosong. Semuanya saya tempatkan di meja tersendiri.

Ketika baru disajikan, semua gelas dalam kondisi tertutup, begitu pula teko dan botol-botol. Keberadaan tutup ini penting, agar minuman mereka tidak terkontaminasi, khususnya karena debu-debu beterbangan selama mereka bekerja. Saya memastikan minuman untuk mereka benar-benar bersih, sehingga saya pun memastikan semuanya dalam kondisi tertutup rapat.

Tetapi, setiap kali para tukang itu mulai minum, semua tutup akan tersingkir dari tempatnya. Tutup gelas tidak lagi di tempatnya, tutup-tutup botol terlepas, bahkan tutup teko pun tidak lagi menutupi teko seperti sebelumnya. Semuanya dalam kondisi terbuka, dengan tutup-tutup bergeletakan di dekatnya.

Ketika pertama kali mendapati hal itu, saya pikir para tukang mungkin lupa kembali menutup. Jadi, saya pun menutup kembali gelas-gelas, botol, dan teko, seperti sebelumnya. Tetapi, setiap kali para tukang itu kembali minum, setiap kali pula tutup-tutup tidak kembali ke tempatnya, dan semua kembali dalam kondisi terbuka.

Dengan agak heran, saya menegur mereka, “Ini kalau tidak ditutup, nanti minumannya kemasukan debu.”

“Oh, iya, Mas,” sahut mereka waktu ditegur. “Tadi lupa, soalnya.”

Dan “lupa” itu terus terjadi setiap hari, berlangsung setiap waktu, selama mereka bekerja di rumah saya. Kapan pun mereka mendekati meja minuman, tutup-tutup pasti akan terlepas dan tidak dikembalikan. Kalau dipikir, sebenarnya, seberat apa sih menutup gelas, menutup botol, atau menutup teko? Ini pasti bukan soal lupa atau berat, tapi semata karena kebiasaan.

Para tukang itu, entah bagaimana, mungkin pernah menjalani hari panjang ketika mereka harus terbiasa minum dari gelas-gelas terbuka atau botol-botol terbuka. Sebegitu lama dan sebegitu terbiasa, sampai alam bawah sadar mereka menggerakkan tangan-tangan mereka untuk melepas tutup dari gelas, dari botol, sampai dari teko.

Ketika menyadari kemungkinan itu, saya pun akhirnya mengalah. Setiap kali melihat gelas-gelas mereka terbuka, saya menutupnya kembali. Setiap kali melihat teko dan botol-botol terbuka, saya memasang tutupnya lagi. Saya melakukan hal itu berulang kali, setiap hari, berhari-hari, demi memastikan mereka mengonsumsi minuman bersih selama bekerja di tempat saya.

Selama melakukan hal aneh itu, saya tidak marah sama sekali. Sebaliknya, entah kenapa, saya malah senyum-senyum sendiri.

 
;