Jika dunia yang lebih luas disempitkan oleh orang lain, kau harus membangun alam semesta di dalam dadamu sendiri. —Mohammad Hatta
Di Australia, ada program “uji nyali” bernama Wilderness Society. Ini adalah tantangan bagi siapa pun yang ingin menguji dirinya sendiri dengan meninggalkan hiruk pikuk kota, dan tinggal di hutan yang sunyi, sendirian, selama 12 bulan. Tentu saja tanpa ponsel atau gadget apa pun.
Tempo hari, perempuan asal Newcastle, bernama Claire Dunn, berhasil menaklukkan tantangan tersebut. Dia meninggalkan kota tempat tinggalnya, dan masuk hutan yang sunyi sendirian, tanpa barang-barang yang biasa ada dalam kesehariannya. Dia mampu bertahan sampai 12 bulan.
Belakangan, dia menceritakan, hal terberat pertama saat masuk hutan sendirian adalah menghadapi kesunyian. Setelah setiap hari telinganya biasa pekak oleh kebisingan kota, dia seperti masuk peradaban yang hilang. Kesunyian seperti monster mengerikan yang siap mencabik-cabiknya.
Tetapi seiring hari-harinya di hutan yang sunyi, dia perlahan-lahan bisa beradaptasi dengan kesunyian, bahkan akhirnya menikmati. Dia terlepas dari adiksi kebisingan yang selama ini biasa masuk telinganya, dan terlepas dari ketergantungan benda-benda duniawi yang biasa dibawanya.
Dua belas bulan kemudian, saat akhirnya ia “lulus” dalam program tersebut, dan bisa keluar dari kesunyian hutan untuk kembali masuk ke kotanya, dia menghadapi hal sama; telinganya sangat tersiksa oleh kebisingan! Setelah setahun bersama sunyi, kebisingan benar-benar menyiksa.
Yang terjadi pada Claire Dunn sebenarnya juga terjadi pada kehidupan kita. Selama ini, tanpa disadari, hidup kita diserbu oleh aneka kebisingan, dari suara kendaraan sampai bising toa. Kita menganggap semua itu hal biasa, padahal—yang sebenarnya terjadi—kita membiasakan diri.
Kita membiasakan diri dengan kebisingan, karena kita dipaksa untuk melakukannya. Sejak bangun tidur sampai mau tidur kembali, hidup kita terus menerus terisi kebisingan dan kebisingan. Mau tak mau, kita terpaksa membiasakan diri, dan begitulah hidup kita. Hidup yang bising.
Dan di dalam kebisingan peradaban, manusia tidak punya kesempatan untuk hening, untuk berpikir, untuk menemukan kesadaran. Dalam pikiranku, itulah tujuan besar kebisingan yang terus menerus datang dalam keseharian hidup kita. Ia memang sengaja menjauhkan manusia dari kesadaran.
Sejak bangun tidur sampai mau tidur lagi, kebisingan mendikte dan mendoktrin tentang apa yang harus kita percaya dan apa yang harus kita ingkari. Dan dalam rentetan kebisingan tanpa henti semacam itu, manusia tidak punya kesempatan untuk berpikir dan menemukan kesadaran sejati.
Apa yang kita percaya dan kita yakini? Tidak ada!
Yang kita percaya hanyalah hal-hal yang didiktekan oleh kebisingan kepada kita. Yang kita yakini hanyalah hal-hal yang didoktrinkan kebisingan kepada kita.
Kita tidak mempercayai dan meyakini apa pun, selain doktrin yang bising.
Cobalah sesekali sendirian dalam hening, lalu tanya diri sendiri:
"Apakah hal-hal yang kupercaya memang sesuatu yang ingin kupercaya, ataukah karena aku dipaksa untuk mempercayainya? Apakah hal-hal yang kuyakini memang ingin kuyakini, ataukah karena aku dipaksa meyakininya?"
Jika pertanyaan itu terlalu filosofis, mari gunakan contoh nyata yang mudah dibuktikan. Doktin pernikahan, misalnya.
Kita dipaksa percaya bahwa orang menikah akan bahagia dan lancar rezeki. Sekarang, mari pertanyakan: Apakah itu memang kenyataan... ataukah cuma doktrin dusta?
Itu contoh mudah yang bisa dibuktikan siapa pun, kapan pun, di mana pun. Kalau memang pernikahan menjamin bahagia, kenapa banyak pasangan bercerai? Kalau memang menikah menjamin rezeki lancar, kenapa banyak keluarga yang terjerat utang, dan anak-anak telantar? Tanya dan pikirkan!
Hidup ini begitu singkat. Dan dalam singkatnya hidup, kita dijejali kebisingan demi kebisingan hingga tak punya kesempatan untuk berpikir dan menemukan kesadaran, selain menerima mentah-mentah apa saja yang dicekokkan kepada kita.
Hidup cuma sekali, dusta berteriak berkali-kali.
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 Maret 2019.