Senin, 01 Januari 2018

Kesadaran Akal dan Pilihan Hati

Keadilan dalam hidup ini sederhana.
Kau memilih hidupmu tanpa merugikan orang lain,
dan tidak memaksakan pilihan hidupmu kepada orang lain.
@noffret


Nyaris semua tetangga saya memiliki televisi di rumah. Mereka biasa menonton televisi di siang hari, anak-anak mereka menonton televisi sore hari, dan sekeluarga berkumpul bersama di depan televisi pada malam hari. Saya pikir, begitu pula yang terjadi di tempat-tempat lain, pada kebanyakan keluarga lain.

Meski nyaris semua tetangga memiliki televisi di rumah, saya tidak punya hal yang sama. Di rumah saya tidak ada televisi. Sudah lebih dari 15 tahun saya tidak pernah menonton televisi, dan—terus terang—saya tetap belum berminat menghabiskan waktu di depan televisi.

Dulu, waktu pertama kali keluar dari rumah orang tua, dan hidup di rumah sendiri, saya memang punya televisi. Seperti umumnya “orang normal”, saya merasa rumah belum lengkap jika tidak ada televisi. Jadi, waktu itu, saya memasukkan televisi ke rumah, lengkap dengan tetek bengeknya (CD/VCD player sampai speaker aktif).

Tetapi, lama-lama menyadari, saya tidak butuh televisi. Setiap kali duduk di depan televisi, saya tidak merasa senang, tapi justru merasa terpaksa. Mungkin terdengar aneh, tapi saya benar-benar gelisah ketika harus duduk di depan televisi, dan menghabiskan waktu untuk menyaksikan hal-hal di dalamnya. Itu bukan hal-hal yang ingin saya lihat, apalagi sampai menghabiskan banyak waktu.

Tapi karena sudah punya televisi, saya pun merasa wajib menontonnya. Meski gelisah dan merasa terpaksa. Lama-lama, televisi di rumah cuma saya pakai untuk menyetel film di VCD (waktu itu DVD belum populer). Biasanya, saya duduk di depan televisi, menyetel VCD film atau musik, dan saya menikmatinya sambil merokok sendirian. Akhirnya, karena menganggap kegiatan itu hanya buang-buang waktu, saya pun mengeluarkan televisi dari rumah.

Seorang teman bersedia membeli televisi di rumah saya, lengkap dengan player dan speaker aktif yang melengkapinya. Sejak itu, tidak ada lagi televisi di rumah saya. Sejak itu pula, sampai saat ini, saya tidak lagi berminat punya televisi, apalagi sampai menghabiskan waktu di depan televisi. Daripada membuang waktu di depan televisi, saya lebih suka bekerja. Atau membaca buku. Atau melakukan hal lain yang lebih bermanfaat, semisal menemui teman dan bercakap-cakap.

Jadi, saat ini, meski semua tetangga memiliki televisi, saya tidak terpengaruh untuk sama dengan mereka. Mungkin tetangga-tetangga saya memang butuh televisi, misal untuk hiburan anak-anak mereka. Tapi saya tidak punya keluarga, apalagi anak-anak. Karena itu, saya tidak butuh televisi. Selain cuma menghabiskan waktu, suara televisi hanya merusak keheningan rumah.

Sebegitu tidak butuh, saya bahkan pernah menganggurkan televisi, tanpa pernah tertarik menyentuh sama sekali. Ceritanya, saya mendapat hadiah televisi dari bank tempat saya menjadi nasabah. Namanya hadiah, tentu tidak bisa memilih. Jadi, saya pun menerima hadiah itu. Sesampai di rumah, saya sempat membuka kardus kemasan, dan melihat televisi di dalamnya. Setelah itu saya tutup kembali kardus, dan membiarkannya di pojokan rumah tanpa pernah saya buka lagi. Wong tidak butuh! Belakangan, televisi hadiah itu dibeli seorang teman.

Jadi, umpama sekarang ada orang menawari televisi kepada saya, dan memberi pilihan lain, saya akan memilih yang lain. Jika tidak ada pilihan atau tawaran lain, mungkin saya akan menerima pemberian televisi tersebut—namanya juga diberi. Tapi saya tidak akan pernah menggunakannya! Paling-paling akan saya letakkan di pojokan rumah, siapa tahu ada teman yang berminat membeli.

Kebutuhan dan keinginan, itu dua hal yang mirip atau nyaris sama, tapi sebenarnya jauh berbeda. Sebegitu mirip, hingga banyak orang kesulitan membedakan keduanya. Keinginan dianggap kebutuhan, atau kebutuhan dikenali sebagai keinginan. Ketika kekacauan seperti itu terjadi, langkah pertama menuju kekacauan hidup pun dimulai.

Seperti saya yang dulu bela-belain membeli televisi, ketika merasa punya rumah sendiri. Saya ingin seperti orang-orang normal lain, yang bisa menonton televisi di rumah. Jadi, saya pun membeli televisi, dan memasangnya di rumah, tanpa menyadari bahwa sebenarnya saya tidak membutuhkan! Saya tidak sempat bertanya pada diri sendiri, “Apakah aku memang butuh menonton televisi di rumah? Apakah aku sudah siap meluangkan waktu untuk duduk menonton televisi?”

Akibatnya, ketika di rumah benar-benar ada televisi, keberadaannya bukan memberi manfaat, melainkan justru sebaliknya. Saya merasa terpaksa setiap kali duduk menonton televisi, lalu diam-diam menyesal. Hasilnya, saya memilih mengeluarkan televisi dari rumah, agar bisa menjalani kehidupan dengan lebih baik.

Televisi hanya satu hal. Selain televisi, ada banyak hal lain dalam hidup kita yang selalu berada di antara keinginan dan kebutuhan. Seperti mobil. Atau yang lain. Mungkin, karena tetangga-tetangga di lingkungan kita memiliki mobil, kita pun terpikir untuk juga punya mobil. Biar sama seperti orang-orang “normal”. Tapi mungkin kita tidak sempat memikirkan, apakah kita benar-benar membutuhkan mobil, atau hanya sekadar ingin?

Karena jika kita sebenarnya tidak butuh mobil, tapi memaksa untuk punya, keberadaan mobil bukan memberi manfaat, tapi justru menjadi beban. Pertama, tentu saja, soal uang. Mungkin tidak masalah kalau kita punya uang, dan membeli mobil adalah hal gampang. Tapi urusan mobil tidak sebatas membeli lalu selesai. Begitu punya mobil, kita harus memikirkan banyak hal lain yang mungkin sebelumnya tak pernah terpikir.

Setelah punya mobil, kita perlu garasi. Tidak tega rasanya, melihat mobil diparkir di depan rumah tanpa atap, sehingga kepanasan dan kehujanan. Jadi, kita harus membuat garasi. Agar mobil tidak kepanasan, tidak kehujanan, sekaligus lebih aman.

Setelah urusan garasi selesai, kita juga harus rajin merawat mobil setiap saat, dari rutin memanaskan mesin sampai rajin membawa ke tempat servis. Semua itu butuh waktu. Kemudian, setahun sekali, kita harus bayar pajak. Omong-omong, pajak mobil lumayan mahal. Semakin mewah mobilmu, semakin mahal pajaknya. Beberapa jenis mobil bahkan memiliki pajak yang mahalnya ngujubilah setan. Dan keparat itu—maksud saya, pajak yang sangat mahal itu—harus dibayar setiap tahun.

Melihat kenyataan-kenyataan di atas—dari keharusan menyiapkan garasi, perawatan setiap saat, sampai urusan membayar pajak—kepemilikan mobil bukan hal sepele. Jika kita memang butuh mobil, misal untuk keperluan kerja, hal-hal ribet terkait mobil bukan hal penting. Tapi jika kita sekadar ingin punya mobil, misal biar dianggap keren, hal-hal terkait mobil akan sangat memberatkan. Itu beban, bukan kesenangan!

Tapi memang kita sering kesulitan memilah antara kebutuhan dan kesenangan. Saat melihat barang bagus, dan tertarik, kita sering lupa memikirkan, “Apakah aku memang butuh, atau hanya sekadar ingin?” Karena, jika keinginan dianggap kebutuhan, yang kita miliki bukan memberi kesenangan, tapi justru menjadi beban.

Sebegitu penting kenyataan ini, saya merasa perlu mengulang dengan cetakan tebal. Jika keinginan dianggap kebutuhan, yang kita miliki bukan memberi kesenangan, tapi justru menjadi beban.

Punya televisi jelas menyenangkan, jika—dan hanya jika—kita memang butuh. Jika tidak butuh, keberadaan televisi justru menjadi beban. Kita harus meluangkan waktu untuk sesuatu yang sebenarnya tidak kita nikmati. Begitu pun punya mobil. Memiliki mobil jelas menyenangkan, jika—dan hanya jika—kita memang butuh. Jika tidak butuh, keberadaan mobil justru menjadi beban. Setiap hari harus merawat, setiap tahun harus bayar pajak, padahal kita jarang menggunakan.

Dari televisi sampai mobil, juga pada hal-hal lain, masing-masing orang tidak bisa disamaratakan. Karena kehidupan orang per orang memang selalu memiliki kemungkinan perbedaan.

Ada yang memang benar-benar butuh, sehingga berupaya memiliki hal-hal tertentu, meski dengan kerepotan. Misal ada keluarga yang benar-benar butuh mobil, untuk keperluan mengantar anak-anak sekolah, sampai untuk urusan sehari-hari. Karena butuh, mereka pun berupaya memiliki mobil, meski kemampuan mungkin kurang. Jadi, mereka pun membeli mobil secara kredit, dan mengangsur sampai beberapa tahun. Tidak apa-apa, namanya juga butuh.

Sebaliknya, ada orang yang sama sekali tidak butuh mobil. Misal lajang yang hidup sendirian, dan jarang bepergian. Meski secara kemampuan mungkin bisa membeli mobil, bahkan secara kontan, dia tetap tidak membeli. Karena memang tidak butuh. Kita tidak bisa menyalahkan orang hanya karena tidak membeli mobil, padahal punya kemampuan untuk membeli. Karena masing-masing orang punya kehidupan berbeda, dan kita tidak bisa memaksakan cara kita.

Begitu pula punya pasangan, menikah, dan punya anak. Sebagian orang membutuhkan pasangan, dengan berbagai sebab dan alasan. Lalu montang-manting mencari pasangan, lalu montang-manting lagi menikah, dan montang-manting lagi punya anak. Tidak apa-apa, namanya juga butuh. Dia yang memilih, dia yang menjalani, dan dia paling tahu yang terbaik bagi hidupnya sendiri. Mau montang-manting seperti apa pun, biarkan saja. Toh mereka yang menghadapi dan mengalami.

Sebaliknya, ada orang-orang yang belum butuh punya pasangan apalagi menikah, meski mungkin punya kemampuan. Atau, ada orang-orang yang sudah menikah tapi memutuskan tidak punya anak. Juga tidak apa-apa, wong mereka yang memilih, yang menjalani, dan yang paling tahu apa yang terbaik bagi hidup mereka.

Mungkin Si A tampak hidup mapan, tapi belum menikah. Kita tidak bisa menyalahkan, atau menyuruh-nyuruh Si A cepat menikah. Karena yang menjadi kebutuhan bagi kita, belum tentu menjadi kebutuhan bagi orang lain. Begitu pula dengan pasangan yang sudah lama menikah, tapi tetap tenang dan damai meski tidak punya anak. Sekali lagi, kita tidak punya hak untuk meributkan, karena mereka yang menjalani, mereka yang menghadapi, mereka yang mengalami.

Kalau kita memiliki mobil karena memang butuh, kita tidak punya hak menyuruh-nyuruh orang lain untuk punya hal yang sama. Karena belum tentu mereka juga butuh seperti kita. Lebih lagi, kita tidak berhak mengejek orang lain hanya karena tidak punya mobil seperti kita.

Bahkan, kalau dipikirkan lebih dalam, memaksa orang lain untuk memiliki sesuatu yang sebenarnya tidak mereka butuhkan, bisa jadi semacam kejahatan. Karena ketika orang memiliki sesuatu karena keterpaksaan—semisal akibat sering diprovokasi atau disuruh-suruh—kepemilikan itu bukan memberi kedamaian dan kebahagiaan, tapi justru beban dan masalah.

Seperti televisi yang pernah saya miliki. Atau seperti mobil yang sebenarnya tak dibutuhkan. Alih-alih memberi kebahagiaan, memiliki sesuatu yang sekadar didasari keinginan—apalagi keterpaksaan—sering kali justru menjadi beban.

 
;