Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan hidup.
Dan yang paling pahit adalah berharap kepada manusia.
—Ali bin Abi Thalib
Dan yang paling pahit adalah berharap kepada manusia.
—Ali bin Abi Thalib
Iwan Fals menyanyikan, “Keinginan adalah sumber penderitaan.” Sejujurnya, saya membutuhkan waktu sangat lama untuk memahami—benar-benar memahami—kalimat tersebut.
“Keinginan adalah sumber penderitaan.”
Kalimat itu sebenarnya bukan milik Iwan Fals, meski dia mempopulerkan kalimat tersebut dalam satu lagunya. Kalimat itu telah saya baca di beberapa buku filsafat ketika masih SMA. Sebenarnya, saya bahkan tidak tahu kalimat itu milik siapa, atau siapa yang pertama kali mencetuskan. Yang jelas, kalimat itu saya temui di beberapa buku filsafat, meski saya tidak langsung memahami maksud atau artinya.
Kini, setelah dewasa, saya mulai memahami arti kalimat itu. Bahwa keinginan, sesungguhnya, memang sumber penderitaan. Dari penderitaan kecil, remeh, sepele, sampai penderitaan-penderitaan besar yang dialami manusia. Sebagian besar—jika tidak semuanya—diawali keinginan. Manusia menciptakan keinginan bagi dirinya, dan keinginan mendatangkan penderitaan baginya.
Sebagai manusia, saya mulai mengenal “keinginan” sejak TK (Taman Kanak-kanak). Bahkan, TK pulalah yang pertama kali mengajari saya tentang “keinginan”. Semuanya diawali ketika saya lulus TK, dan dinyatakan sebagai juara kelas. Hadiahnya, waktu itu, tidak terlalu hebat. Cuma beberapa buku tulis dan alat sekolah. Tapi saya senang. Dan kesenangan itu melahirkan “keinginan” untuk mengulang hal yang sama di SD.
Di SD, sejak kelas satu, saya terus menjadi juara kelas. Pada masa itu, setiap akhir tahun ajaran, sekolah kami mengadakan acara kelulusan untuk kelas enam, yang dimeriahkan pentas seni. Pada acara itu, para orang tua/wali murid kelas enam diundang, dan pihak sekolah mengumumkan murid-murid yang menjadi juara kelas, dari kelas satu sampai kelas enam.
Setiap tahun, saya selalu naik panggung di acara itu, karena menjadi juara kelas, dan—seperti biasa—mendapatkan hadiah. Meski tetap saja hadiahnya tidak bisa dibilang hebat, cuma beberapa buku dan peralatan sekolah. Tapi saya senang. Namanya jadi juara, siapa yang tak senang?
Karena setiap tahun hal sama terus terulang, bisa dibilang saya tidak kaget ketika nama saya disebut sebagai salah satu juara. Diam-diam, waktu itu, saya telah terbiasa menjadi juara.
Lalu, suatu “anomali” terjadi. Ketika kelas enam SD, saya tidak lagi menjadi juara! Pada waktu acara pentas seni di sekolah, nama saya tidak lagi disebut seperti tahun-tahun sebelumnya. Kini ada murid lain yang menggantikan saya sebagai juara. Terus terang, saya terkejut setengah mati waktu itu.
Saya terkejut, karena dua hal. Pertama, karena ternyata saya bisa tidak juara. Kedua, karena saya terkejut mendapati diri saya ternyata bisa terkejut!
Semula, saya pikir saya tidak akan terkejut, kalau sewaktu-waktu berhenti menjadi juara, toh selama ini sudah biasa juara. Tapi ternyata saya masih terkejut ketika berhenti menjadi juara, dan—kenyataan itu—benar-benar membuat terkejut. Bahkan, diam-diam, saya menyadari bahwa saya tidak sekadar terkejut, melainkan juga patah hati.
Saya patah hati, karena tidak menjadi juara lagi.
Itulah pertama kali saya mengenali hakikat “keinginan” dalam diri saya, sebagai manusia. Meski dari luar mungkin saya tampak “biasa-biasa saja” dengan predikat juara kelas, tetapi, sebenarnya, di dalam diri saya terdapat “keinginan”. Dan ketika keinginan itu tak tercapai, saya patah hati, meski mungkin diam-diam, dan mungkin dari luar tampak biasa-biasa saja.
Jadi, meski tidak pernah mengatakan ingin menjadi juara setiap tahun, tetapi sesungguhnya saya punya keinginan itu. Keinginan yang tidak pernah saya ucapkan, keinginan yang lahir, dan tumbuh, dan hidup diam-diam. Ketika suatu waktu keinginan itu tak terjadi, saya pun sedih dan patah hati. Keinginan... adalah sumber penderitaan.
Seiring tumbuh besar, saya makin mengenali bahwa sebagian besar penderitaan dalam hidup memang diawali keinginan. Ketika SMP, saya jatuh cinta pada murid perempuan di sekolah, dan ingin menjadikannya pacar. Dia menolak, dan saya patah hati berbulan-bulan.
Di SMA, saya mencoba mengirim naskah cerpen ke majalah, dengan keinginan bisa dimuat. Majalah itu menolak, dan saya sedih berhari-hari. Lulus SMA, saya melamar kerja di sebuah perusahaan, dengan keinginan bisa bekerja di sana. Perusahaan itu menolak, dan saya patah arang. Semuanya diawali keinginan, dan keinginan mendatangkan kesedihan.
Yang “ajaib”, saya tidak pernah berhenti mencoba, tidak pernah berhenti punya keinginan. Meski beberapa kali telah dikhianati keinginan, saya tetap merasa perlu memiliki keinginan. Keinginan mencoba lagi, keinginan berusaha lagi, bahkan keinginan untuk tetap punya keinginan. Ajaib, kalau dipikir-pikir, karena selama itu saya membangun dan terus membangun keinginan, meski berakhir kekecewaan, kesedihan, dan patah hati.
....
....
Dalam refleksi yang sering saya lakukan terhadap kehidupan diri sendiri, saya menyadari bahwa sumber kesedihan terbesar dalam hidup memang dimulai dan diawali keinginan.
Karena itulah, sekarang, sebisa mungkin saya tidak akan lagi melakukan kesalahan sama. Sebisa mungkin, saya tidak akan lagi punya keinginan, dan membiarkan apa pun terjadi tanpa harus saya ingin-inginkan.
Di kehidupan sehari-hari, kadang saya punya rencana atau inisiatif tertentu, dan mengajak teman untuk melakukan bersama. Dulu, jika tawaran atau ajakan saya ditolak, saya bisa kecewa. Tetapi, sekarang, saya mulai belajar legowo. Jadi, saat mengajak seseorang untuk melakukan sesuatu, saya akan senang jika dia menerima. Kalau pun dia menolak, saya akan melakukannya sendiri.
Intinya, sekarang, saya berusaha menjauhkan diri dari keinginan pada sesama manusia. Bukan karena kesombongan atau keangkuhan, melainkan karena menyadari... keinginan adalah sumber penderitaan, khususnya keinginan yang disandarkan pada sesama manusia.
Sebagai penulis, misal, sewaktu-waktu saya mengirim naskah ke media atau penerbit. Di masa lalu, saya tentu sangat berharap, dan ingin, naskah itu diterima untuk diterbitkan. Ketika harapan dan keinginan tak tercapai, saya sedih. Sekarang, saat mengirim naskah ke penerbit, saya berpikir, “Diterima (untuk diterbitkan) ya syukur, tidak ya tidak apa-apa.”
Memang, mula-mula, melatih diri untuk bersikap semacam itu sulitnya luar biasa. Bagaimana pun, ketika akhirnya naskah yang saya kirim dinyatakan ditolak, saya tetap merasa kecewa, meski sejak awal sudah menyiapkan diri untuk itu. Tetapi, seperti latihan dalam bentuk apa pun, lama-lama saya mulai terbiasa, dan perlahan namun pasti benar-benar “tidak terpengaruh” oleh penerimaan atau pun penolakan.
Kini, ketika mengirim naskah ke penerbit/media, saya benar-benar bisa ikhlas membiarkan untuk diterima atau ditolak. Jadi, ketika suatu naskah diterima atau ditolak, sekarang tidak ada bedanya bagi saya. Diterima ya biasa-biasa saja, ditolak juga biasa-biasa saja. Di masa lalu, penolakan bisa membuat saya sedih berhari-hari. Sekarang, penolakan hanya membuat saya berkata, “Oh.” Sudah, begitu saja. Tidak ada perasaan lain.
Begitu pun ketika menulis di blog. Saya juga berpikir, “Kalau ada yang tertarik membaca, silakan. Kalau tidak ada yang membaca, juga tidak apa-apa.” Karenanya, saya tidak direpotkan aneka hal seperti mikir SEO dan segala macam. Dalam ngeblog, saya hanya ingin menulis. Kalau ada orang tertarik membaca ya silakan, kalau pun tidak ada yang membaca juga bukan masalah. Fakta bahwa blog ini kemudian dibaca banyak orang, bisa dibilang tidak ada pengaruhnya bagi saya.
Jadi, terkait hal-hal semacam itu, saya hanya berpikir bagaimana bekerja (berkarya) dengan baik, dan membiarkan takdir mengurus lanjutannya. Saya pikir, pekerjaan atau karya yang baik, yang dikerjakan dengan niat baik, akan menarik takdir yang sama baik.
Lama-lama, gaya hidup (atau gaya pikiran) semacam itu lebih menyenangkan, karena mendekatkan saya pada keikhlasan dan kedamaian, sekaligus menjauhkan saya dari kegelisahan dan kegersangan. Semakin kecil keinginan yang saya miliki, semakin sedikit pula kegelisahan yang saya rasakan.
Pada akhirnya, saya melatih diri untuk menjalani kehidupan dengan pola pikir yang sama, dengan keinginan yang nyaris nol. Saya akan melakukan apa pun yang saya anggap baik, dengan cara terbaik yang saya bisa, dan membiarkan takdir mengurus lanjutannya. Kalau orang lain melihat yang saya lakukan, dan menilainya baik, saya akan bersyukur. Kalau pun tidak, juga tidak apa-apa, karena tugas saya hanya melakukan yang harus dilakukan. Saya tidak lagi butuh pengakuan, penghargaan, atau hal-hal artifisial semacamnya.
Meski belum seratus persen mampu melakukan gaya hidup seperti itu, setidaknya saya mulai bisa belajar menjalani hidup dengan keikhlasan, dan perlahan menjauh dari segala macam keinginan yang bisa jadi tidak penting. Semakin kecil keinginan yang saya miliki, semakin sedikit pula kegelisahan yang saya rasakan. Karena keinginan, sebagaimana kata para filsuf, memang sumber penderitaan.