Rabu, 10 Januari 2018

Jaran Goyang, Semar Mesem, Taik Kucing

Pacaran, bagiku, adalah aktivitas mempersulit
hal-hal mudah, pemborosan waktu sia-sia, dan melakukan
sandiwara tolol yang membosankan!


Hal terbesar yang ada dalam otak kebanyakan cowok ketika puber adalah cewek. Saya tahu betul soal itu, karena saya juga cowok, dan mengalami hal tersebut. Di waktu SMA, misal, topik percakapan kami—cowok-cowok—biasanya berkisar seputar cewek, cewek, dan cewek.

Waktu itu, dengan segala kebodohan akibat pubertas, kami sama sekali tidak menyadari bahwa ada banyak hal lain yang sebenarnya lebih penting untuk dibahas dibanding membicarakan cewek. Misalnya membicarakan astronomi, atau geografi, atau ekonomi, atau kisah nabi-nabi. Kalau mengingat masa-masa itu, terus terang saya malu pada diri sendiri.

Saya masih ingat, suatu ketika di masa lalu, pernah mempelajari sebuah buku yang membahas “cara menaklukkan wanita”. Cara yang dibahas di dalamnya bukan berdasarkan perspektif ilmiah sehingga dapat dicerna akal sehat, tapi cara yang “gaib”. Namanya gaib, tentu tidak rasional. Tapi dasar tolol, saya percaya pada yang saya baca waktu itu, dan berpikir akan dapat menaklukkan cewek mana pun dengan mantra-mantra yang tertulis dalam buku.

Kisah itu terjadi pada masa SMA. Seperti yang disebut tadi, masa-masa itu adalah masa ketika cowok sedang “tergila-gila” pada lawan jenis, akibat hormon keparat yang mengubah otak kami jadi kurang waras. Waktu itu, hal besar yang kami impikan adalah punya pacar, tapi kenyataan tampaknya sangat suram. Tidak ada cewek yang cukup gila untuk mau jadi pacar kami—cowok-cowok pecundang tanpa masa depan.

Sampai kemudian, seorang teman mengenalkan saya pada buku yang isinya “mantra-mantra penakluk lawan jenis”. Saya sudah lupa judul buku itu. Yang jelas, dari buku itulah saya pertama kali mengenal Ajian Jaran Goyang, Semar Mesem, dan lain-lain, yang semuanya menuju satu hal—menaklukkan wanita mana pun yang kita incar. Oh, well, kedengarannya hebat.

Bagaimana tidak hebat, coba? Berdasarkan teori (TEORI???) dalam buku, disebutkan bahwa kita dapat menaklukkan cewek mana pun—sekali lagi, cewek mana pun—dengan ilmu-ilmu yang dibahas dalam buku tersebut. Kau hanya cukup menguasai Jaran Goyang, atau Semar Mesem, atau apa pun yang tertulis dalam buku, dan... sim salabim, cewek yang kauinginkan akan takluk. Cowok puber mana yang tidak mabuk kepayang dengan janji semacam itu?

Jadi, waktu itu saya percaya pada yang tertulis dalam buku tersebut. Bukan hanya percaya, saya bahkan tekun mempelajari! Bersama teman-teman yang waktu itu menjadi sohib akrab, kami sama-sama mempelajari dan menghafalkan mantra-mantra di dalamnya, hingga akhirnya benar-benar menguasai. Mantra-mantra itu menggunakan kalimat yang agak aneh, dan kami harus membacanya sepenuh hati. Di tengah mantra itu ada bagian kosong, yang harus kami isi dengan nama cewek yang kami tuju.

Agar mantra-mantra itu dapat berfungsi, kami harus menjalani persyaratan yang lumayan berat, di antaranya puasa beberapa hari. Selama berpuasa, kami harus membaca mantra setiap malam, sebelum tidur. Beberapa ilmu tertentu bahkan mengharuskan kami menepuk (atau menggampar) bantal dengan sangat keras, sambil dalam hati menyebut nama cewek yang kami incar. Dasar cowok-puber-tolol-ngebet-punya-pacar, kami mengikuti semua intruksi dengan sepenuh hati.

Lalu kami mencoba mempraktikkan. Masing-masing kami waktu itu punya cewek incaran yang diharapkan bisa dipacari. Jadi, kami pun mencoba mempraktikkan mantra-mantra gaib yang telah kami pelajari, berharap keajaiban muncul, dan cewek impian kami bersedia menjadi pacar.

Tapi tak terjadi, tak pernah terjadi.

Saya dan tiga teman waktu itu sama-sama mempelajari dan mempraktikkan hal yang sama, tapi tidak satu pun di antara kami yang berhasil dapat pacar. Cewek-cewek yang kami tuju sepertinya tidak mempan dimantrai, dan mereka tetap menunjukkan tanda tidak mau jadi pacar kami.

Semula, kami masih optimis, dan berpikir mungkin kurang khusyuk menjalani ritual. Kami pun mengulang puasa selama beberapa hari, membaca mantra sebelum tidur, menggampar bantal dengan keras, lalu berharap cewek idaman bersedia menjadi pacar. Tetapi, oh sialan, cewek-cewek itu sepertinya kebal mantra!

Akhirnya, setelah berkali-kali mencoba dan terus gagal, kami pun menyerah. Sepertinya memang tidak setiap orang mampu menguasai ilmu gaib, pikir kami waktu itu. Atau kebetulan cewek yang kami incar punya kesaktian tinggi, yang menjadikan mereka tidak mampu dipikat dengan cara gaib. Kami lupa, bahwa kami hanya bocah-bocah puber, dan bukan Wiro Sableng.

Bertahun-tahun kemudian, setelah dewasa, saya selalu tersenyum sendiri setiap kali teringat kisah itu. Entah teman-teman saya masih ingat atau tidak, tapi saya masih selalu ingat. Kisah itu tidak hanya menyadarkan bahwa saya pernah sangat tolol, tapi juga memberitahu sesuatu yang penting, khususnya dalam hal memikat lawan jenis.

Buku yang kami baca dan pelajari di masa lalu—yang mengajarkan mantra-mantra gaib—mungkin akan berhasil kalau saja kami cowok-cowok hebat dengan pesona menawan. Tapi mantra-mantra itu tidak berfungsi kalau kami cuma kumpulan bocah pecundang. Kenyataan itu tidak perlu diperdebatkan, karena kami sudah membuktikan. Nyatanya, meski telah mencoba berkali-kali, waktu itu kami gagal. Tidak ada satu pun dari kami yang dapat pacar.

Sekarang saya memahami, mendapatkan pacar adalah urusan daya tarik. Kita tertarik pada seseorang, dan dia juga tertarik pada kita. Karena saling tertarik, kita pun bersepakat untuk menjadi pasangan. Masalah terjadi, ketika kita tertarik pada seseorang, tapi dia tidak tertarik pada kita. Masalah lain, urusan tarik menarik di antara lawan jenis bisa dibilang sangat relatif, sehingga tidak bisa disimpulkan apalagi dipastikan.

Karena tidak bisa dipastikan, saya pikir cara paling logis dan paling ilmiah untuk bisa memiliki pacar adalah memperbaiki diri, sehingga kita memiliki daya tarik (kalau bisa setinggi mungkin), khususnya di mata lawan jenis. Introspeksi, barangkali kata paling penting dalam urusan ini.

Diakui atau tidak, disadari atau tidak, masing-masing kita memiliki kecenderungan untuk menilai diri sendiri secara lebih tinggi dari kenyataan. Yang ganteng biasa saja, misal, bisa jadi merasa sangat ganteng sekali. Yang pintarnya biasa saja, bisa jadi merasa sangat pintar sekali. Yang mungkin memiliki sedikit keistimewaan, bisa jadi merasa sangat istimewa dan tak terkalahkan. Itu kecenderungan umum yang bisa dialami siapa saja.

Masalahnya adalah... kita menilai diri kita berdasarkan ego kita, sementara orang lain menilai diri kita berdasarkan kenyataan. Sebegitu penting hal ini, hingga saya merasa perlu mengulang dengan cetakan tebal. Kita menilai diri kita berdasarkan ego kita, sementara orang lain menilai diri kita berdasarkan kenyataan.

Saya bisa saja menganggap dan menilai diri sangat ganteng—sebegitu ganteng hingga tidak pernah bosan menatap diri sendiri di cermin. Itu lumrah, manusiawi, dan banyak orang mengalami. Yang menjadi masalah, yang dilihat orang lain pada diri kita belum tentu sama dengan yang kita lihat. Karena kita menilai diri berdasarkan ego kita, sementara orang lain menilai diri kita berdasarkan kenyataan. Artinya, kalau kenyataannya saya tidak ganteng, orang lain akan menilai saya tidak ganteng, tak peduli saya merasa paling ganteng seprovinsi.

Kenyataan semacam itu belum saya pahami bertahun lalu, ketika masih puber. Karenanya, dulu saya berpikir—dan yakin—cewek mana pun dapat ditaklukkan dengan mantra Jaran Goyang atau Semar Mesem. Padahal, dalam urusan tarik menarik di antara lawan jenis, masalahnya tidak sesederhana itu. Saya tertarik pada Si A dan mengharapkannya menjadi pacar, tetapi... apa daya tarik saya di mata Si A? Persoalan itu jelas tidak bisa diselesaikan hanya dengan membaca mantra!

Karena itulah, seperti yang disebut tadi, cara paling logis untuk bisa membuat lawan jenis tertarik adalah dengan memperbaiki diri—sebaik mungkin, agar daya tarik kita meningkat. Kalau kita memang memiliki daya tarik, lawan jenis juga akan tertarik, meski kita tidak hafal mantra apa pun.

Kalau menggunakan analogi, agar lebih mudah dipahami, kita bisa membayangkan datang ke bank untuk meminjam sejumlah uang. Kita tahu, bank akan bersedia meminjamkan uang, namun dengan sejumlah syarat, di antaranya ada jaminan bahwa kita bisa mengembalikan pinjaman. Kalau kita bermaksud meminjam sejumlah uang ke bank, sementara kita tidak bisa memberi jaminan apa pun, mungkinkah bank akan memenuhi permintaan kita? Kemungkinan besar tidak, meski kita menggunakan mantra apa pun.

Sebaliknya, bank akan meluluskan permintaan kita—memberi sejumlah pinjaman—kalau kita memenuhi persyaratan yang ditetapkan, meski kita tidak hafal mantra Jaran Goyang. Jadi, apa yang menjadi inti dalam urusan ini? Jelas, bukan mantra Jaran Goyang, tapi kemampuan kita dalam memenuhi persyaratan!

Kenyataan tak jauh beda terjadi ketika berurusan dengan lawan jenis, yang kita harapkan mau memenuhi keinginan kita (menjadi pacar). Kita berharap dia mau menjadi pacar—itu keinginan kita. Tapi jangan lupa, dia juga memiliki sejumlah persyaratan. Mungkin dia ingin pacar yang ganteng. Atau pintar. Atau kaya. Atau ketiga-tiganya. Cara paling pasti agar dia mau menjadi pacar kita, tentu saja, memenuhi persyaratan itu. Kalau pun tidak bisa memenuhi ketiga-tiganya, minimal kita memiliki satu atau dua syarat yang diharapkan.

Karenanya, sekali lagi, cara paling ampuh untuk bisa mendapatkan pasangan adalah dengan menengok ke dalam—introspeksi—dan memperbaiki diri. Jauh lebih baik kita sibuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang mungkin kita miliki, daripada memikirkan pacar seperti apa yang ingin kita miliki. Karena, tak peduli sesibuk apa pun kita memikirkan pasangan yang kita impikan, selamanya hanya akan jadi impian, kalau kita tidak memenuhi “persyaratan”.

Membaca buku yang mengajarkan Jaran Goyang tentu tidak masalah, khususnya jika tidak ada buku lain yang lebih layak untuk dibaca. Tetapi memahami dan menyadari realitas tetap jauh lebih penting, daripada mengharapkan yang ada di luar sana sambil lupa diri.

 
;