Sabtu, 26 April 2014

Kesalahan Perempuan

Perempuaaaaaaaaaan, perempuan!
#gemescampurgimanagitu
@noffret


Saya menulis catatan ini dari sudut pandang lelaki, karena mungkin kebanyakan perempuan tidak menyadari kenyataan ini.

Ehmm....

Kebanyakan perempuan dihinggapi kesalahan klasik yang tampaknya tidak—atau belum—mereka sadari. Bahkan perempuan-perempuan paling pintar pun tampaknya masih sering terjebak dalam kesalahan ini.

Well, tahu mengapa seorang lelaki jatuh cinta pada seorang perempuan? Alasannya mungkin sangat beragam—karena cantik, atau pintar, atau supel, atau populer, dan lain-lain. Tetapi, kalau mau tahu, alasan sebenarnya bukan itu. Satu-satunya alasan hakiki mengapa seorang lelaki jatuh cinta pada seorang perempuan, karena perempuan itu tampil apa adanya, karena dia menjadi dirinya sendiri, yang asli. Orisinalitas kepribadian itulah yang kemudian membuat lelaki jatuh hati kepadanya, karena menganggap perempuan itu tepat seperti yang diimpikannya.

Tetapi, ironisnya, kebanyakan perempuan justru merusak pesonanya sendiri!

Ketika masih jomblo, umumnya perempuan bisa menjalani hidup dengan menjadi dirinya sendiri yang alami, dengan karakter aslinya, sekaligus dengan kebiasaan-kebiasannya. Pendeknya, dia menjadi dirinya yang sejati. Karena itulah kemudian ada lelaki—atau banyak lelaki—yang jatuh hati kepadanya.

Sekarang lihat apa yang biasanya terjadi.

Ketika seorang perempuan mulai menyadari ada lelaki yang tertarik kepadanya, dan dia juga tertarik pada lelaki itu, kira-kira apa yang biasa dilakukan kebanyakan perempuan?

Benar—mereka berubah. Dan itulah kesalahannya!

Si perempuan mungkin berpikir bahwa dengan berubah—biasanya karena berharap ingin tampak lebih menarik—maka si lelaki makin jatuh hati kepadanya.

Salah!

Yang terjadi justru sebaliknya. Ketika si perempuan berubah—meski bertujuan agar tampak lebih menarik—si lelaki justru akan kehilangan sosok perempuan yang semula membuatnya jatuh cinta. Ketika itu terjadi, bisa jadi si lelaki malah akan menjauh dan pergi. Lalu si perempuan menganggap si lelaki cuma PHP.

Paham lingkaran setan yang terjadi ini?

PHP, bagi saya, adalah konsep tolol. Cuma lelaki idiot kurang kerjaan atau ABG konyol yang mau-maunya memberikan harapan palsu pada seorang—apalagi beberapa orang—perempuan. PHP, bagi saya, sebenarnya tidak ada. Itu cuma istilah yang merupakan bagian tren, semacam CLBK dan semacamnya. Inti sebenarnya adalah hal biasa yang dibuat seolah barang baru. Dalam konsep saya, sekali lagi, PHP tidak ada. Yang ada adalah kekeliruan perempuan dalam menghadapi dan menanggapi lelaki yang mendekatinya.

Agar penjelasan ini bisa lebih dipahami, kita gunakan contoh nyata. Heri (bukan nama sebenarnya) kenal dan naksir seorang perempuan di Twitter. Sebut saja si perempuan dengan nama Yuni. Alasan mengapa Heri mem-follow Yuni di Twitter bukan semata karena Yuni tampak menarik, tapi lebih karena isi timeline-nya. Di timeline akun Twitter-nya, Yuni biasa menulis dengan asyik, lucu, ceplas-ceplos, jujur, pendeknya tidak sok jaim. Karena itulah Heri tertarik, dan mem-follow Yuni.

Heri mengakui, sejak awal dia sudah naksir Yuni karena menyukai kepribadian Yuni yang apa adanya. Jadi, ketika mereka kemudian saling follow di Twitter, Heri pun berusaha mengakrabi Yuni. Lama-lama, Yuni sadar kalau Heri tengah pedekate. Mungkin, Yuni juga bermaksud menerima Heri.

Lalu bencana dimulai.

Yuni, seperti umumnya perempuan lain, melakukan kesalahan yang sama. Menyadari ada lelaki yang naksir dirinya, dia berubah! Jika semula dia ceplas-ceplos dan asyik, sekarang sok jaim. Jika semula jujur dan apa adanya, sekarang sok alim. Mungkin dia berpikir dan berharap bisa tampil lebih menarik di mata Heri. Tapi dia keliru. Ketika dia berubah, Heri justru kehilangan sosok perempuan yang semula membuatnya jatuh cinta.

Ending-nya sangat ironis. Ketika Yuni berubah, Heri justru menjauhi Yuni, karena menurutnya dia sudah tidak lagi menemukan perempuan yang dicintainya pada sosok Yuni.

Dan ketika menyadari Heri mulai menjauhinya, Yuni jengkel, dan menuduh Heri hanya PHP. Lalu dia menyindir-nyindir di timeline Twitter-nya.

Sampai di sini, sudahkah kita melihat lingkaran setan yang disebut PHP?

PHP sebenarnya tidak ada. Yang ada adalah kekeliruan perempuan dalam merusak pesonanya sendiri karena mengira dia akan tampil lebih menarik di mata lelaki yang jatuh hati kepadanya. Itu keliru! Ketika seseorang berubah menjadi sosok lain yang bukan dirinya, pesonanya langsung sirna!

Mungkin, kebanyakan perempuan berpikir bahwa semua lelaki menginginkan perempuan yang lembut, halus, keibuan, suka malu-malu, bahkan terkesan ningrat. Mungkin memang ada, dan banyak, lelaki yang menginginkan perempuan seperti itu. Tetapi tidak berarti semua lelaki seperti itu! Di antara banyak lelaki di planet ini, sebagian justru suka perempuan yang berkebalikan dari semua sifat-sifat di atas. Untuk kasus ini, kita bisa berkaca pada kisah Erwin.

Erwin (bukan nama sebenarnya) tinggal di Bandung. Suatu hari, ketika sedang keluyuran di Bali, dia masuk ke sebuah kafe, dan melihat seorang perempuan yang sedang asyik sendirian di suatu meja dengan sebotol minuman dan sebungkus rokok di depannya. Perempuan itu tampak santai, cuek dengan sekelilingnya, dan Erwin menilainya eksotik. Singkat cerita, mereka berkenalan. Si perempuan bernama Erika (bukan nama sebenarnya), dan tinggal di Jakarta. Dia juga sedang berlibur, seperti Erwin.

Mereka mengobrol dengan asyik, mengalir lancar tanpa jaim-jaiman, dan Erwin makin terpesona pada perempuan itu. Di matanya, waktu itu, Erika adalah sosok perempuan yang diimpikannya. Cuek, ceplas-ceplos, tidak sok jaim, tapi jujur.

Ketika mereka telah pulang ke kota masing-masing, keduanya masih berteman, dan aktif berkomunikasi lewat ponsel. Karena sedari awal sudah naksir, Erwin mulai pedekate, dan tampaknya Erika memahami. Lalu Erwin menawari kencan, dan Erika bersedia. Erwin datang dari Bandung ke Jakarta, menemui Erika di tempat yang dijanjikan... dan dia kecewa.

Ketika menemuinya di Jakarta, Erwin melihat sosok Erika bukan lagi perempuan yang ia lihat di Bali, yang telah membuatnya jatuh cinta. Berbeda dengan Erika yang dulu dikenalnya, perempuan itu sekarang berubah. Jika dulu dia tampak cuek dan apa adanya, sekarang berusaha tampil lembut dan sok jaim. Jika sebelumnya ceplas-ceplos dan jujur, sekarang berusaha tampak malu-malu.

Mungkin Erika berharap Erwin makin jatuh hati kepadanya, tapi dia keliru. Erwin menyukai sosoknya yang asli—sosok perempuan cuek yang ia lihat di Bali. Ketika Erika berubah, Erwin merasa kehilangan perempuan yang pernah membuatnya jatuh cinta. Ending-nya, acara kencan yang semula dibayangkan indah itu gagal, dan Erwin pulang ke Bandung dengan jengkel sekaligus patah hati.

Sekali lagi, sudah melihat lingkaran setan yang disebut PHP?

PHP sebenarnya tidak ada. Yang ada adalah kesalahan perempuan dalam merusak pesonanya sendiri.

Ketika seorang lelaki jatuh cinta pada seorang perempuan, kata-kata yang paling ingin diucapkannya adalah, “Tolong, tolong jangan berubah!”

Konyolnya, perempuan justru cenderung berubah karena berharap si lelaki makin mencintainya! Apa yang lebih konyol dari ini, coba...???

Di banyak kesempatan, kadang saya menemukan perempuan yang tepat seperti yang saya impikan. Mereka jenis perempuan yang membuat saya terpesona, hingga jatuh cinta. Karena tertarik, saya pun mendekatinya. Dan nyaris semuanya melakukan kesalahan yang sama. Ketika tahu saya mendekat, mereka berubah! Dan ketika mereka berubah, saya pun mundur!

Mungkin mereka mengira saya PHP. Padahal, yang terjadi, mereka merusak pesonanya sendiri! Mungkin mereka berpikir perubahan yang mereka lakukan bertujuan agar tampak lebih menarik. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Saya malah tidak tertarik!

Apa pelajaran yang bisa kita ambil dari uraian ini? Hanya satu kalimat; jadilah dirimu sendiri!

Orang menyukaimu, bahkan jatuh cinta kepadamu, karena kau adalah kau. Sesosok unik, dengan segala kelebihan dan kekurangan, dengan kehebatan dan kekonyolan. Jangan berubah menjadi sosok lain hanya karena berharap agar tampil lebih menarik, karena itu tidak akan terjadi. Oh, well, tidak akan pernah terjadi! Ketika kau berubah menjadi sosok lain, kau justru tampak munafik—dan itu sungguh tidak menarik!

Jadi, sekali lagi, cara paling pasti untuk menjadi menarik—khususnya di mata lawan jenis—adalah ini: Jadilah dirimu sendiri.

Ketika seseorang jatuh cinta kepadamu, artinya dia jatuh cinta pada sosokmu yang asli, bukan yang palsu! Ketika kita menjadi diri sendiri, secara tak langsung kita membebaskan diri sendiri dan orang lain. Dengan menjadi diri sendiri, kita seolah berkata pada dunia, “Inilah aku. Kalau kau suka, kita bisa bersama. Kalau tidak suka, silakan pergi ke neraka!”

Cinta di Pikiranku

Aku sering membayangkan pertemanan
serupa teras rumah, persahabatan adalah ruang tamu,
dan hubungan pacaran adalah ruang tengah.
—Twitter, 18 April 2014

Kita tidak bisa masuk ke ruang tengah di rumah
seseorang, tanpa melewati teras atau bagian depannya.
Begitu pun hubungan cinta antarmanusia.
—Twitter, 18 April 2014

Pertemanan terjadi karena kecocokan,
persahabatan terjalin karena kepercayaan,
dan hubungan cinta bersemi karena perpaduan keduanya.
—Twitter, 18 April 2014

Aku percaya cinta dibangun di atas landasan
persahabatan, bukan sekadar faktor ketertarikan.
Itulah cinta yang membuat kita merasa nyaman.
—Twitter, 18 April 2014

Cinta karena faktor ketertarikan selalu menuntut
sejumlah syarat. Dari syarat fisik sampai hal lainnya.
Itu jenis cinta yang sangat rapuh.
—Twitter, 18 April 2014

Dalam berteman, kita tidak menuntut syarat apa pun,
selain kecocokan. Dalam persahabatan,
kita hanya membutuhkan kepercayaan.
—Twitter, 18 April 2014

Ketika kemudian pertemanan atau persahabatan
beralih menjadi cinta, hubungan itu memberi rasa nyaman,
sekaligus fondasi untuk bertahan.
—Twitter, 18 April 2014

Alasan mengapa hubungan pacaran sering berisi
sandiwara dan kebohongan, karena orang
membangun cinta tidak di atas persahabatan.
—Twitter, 18 April 2014

Cinta monyet: “Aku cinta kamu karena tertarik
padamu.” | Cinta dewasa: “Aku cinta padamu
karena aku percaya, dan nyaman bersamamu.”
—Twitter, 18 April 2014

Mungkin aku terlalu berlebihan. Tapi cinta
yang cuma berdasar ketertarikan sungguh tak bisa
dipercaya. Itu jenis cinta dengan banyak syarat.
—Twitter, 18 April 2014

Aku tidak mau pacaran dengan orang yang
tertarik padaku. Aku hanya mau pacaran dengan orang
yang percaya kepadaku. Itu dua hal yang berbeda.
—Twitter, 18 April 2014

Ketertarikan adalah pesona yang kita lihat dari luar.
Kepercayaan adalah pesona yang kita lihat di dalam.
Ketertarikan itu dangkal, rapuh.
—Twitter, 18 April 2014

Ketertarikan membutuhkan banyak syarat,
dan itu bisa dibuat-buat. Kepercayaan hanya butuh
satu syarat, dan itu mutlak, tak bisa dibuat-buat.
—Twitter, 18 April 2014

Aku hanya percaya pada cinta yang dibangun
karena kepercayaan, tanpa banyak syarat macam-macam,
tapi mutlak. Itu cinta yang membuat nyaman.
—Twitter, 18 April 2014

Pesona fisik bisa berubah seiring usia.
Apa pun yang kita miliki bisa hilang kapan saja.
Tapi cinta tak bersyarat tetap mekar selamanya.
—Twitter, 18 April 2014

Kita adalah dua orang asing yang mungkin
saling membutuhkan cinta. Untuk bisa membuat
kesepakatan yang dipercaya, kita harus berteman.
—Twitter, 18 April 2014

Pertemanan adalah cara mudah untuk saling
merasa nyaman. Setelah kita sama-sama nyaman,
apa pun bisa dibicarakan dan dilakukan.
—Twitter, 18 April 2014

Tanpa pertemanan, semua hubungan cinta hanyalah drama.
Yang jadi masalah, drama selalu memiliki akhir kisah.
—Twitter, 18 April 2014


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Senin, 21 April 2014

Empati untuk Dinda

Pertempuran besar selalu terjadi setiap hari
di relung-relung keheningan kita. Perang antara kita
dan sesuatu yang menyerupai kita.
@noffret


Dunia maya—khususnya Twitter—memang tak pernah kehabisan sensasi. Baru-baru ini, yang sempat bikin geger adalah sesosok perempuan bernama “Dinda”—saya tidak tahu itu nama asli atau cuma username yang dipakainya. Ceritanya, seperti yang kita tahu, Dinda menulis pernyataan pribadi di akun Path-nya. Pernyataan itu kemudian di-capture seseorang, dan diunggah ke Twitter. Hasilnya, seperti biasa, bully massal terjadi, dan timeline berdarah-darah.

Mengapa Dinda di-bully? Kalian sudah tahu ceritanya. Tetapi, demi keutuhan catatan ini, izinkan saya mengulang cerita yang terjadi, sebagaimana yang saya baca di berbagai artikel berita.

Jadi, suatu hari, Dinda naik KRL Jakarta-Depok, untuk berangkat kerja seperti biasa. Dia harus berangkat dari rumahnya pagi-pagi sekali demi bisa mendapat tempat duduk. Pada saat itulah kemudian muncul seorang ibu hamil yang masuk KRL dan meminta tempat duduknya. Entah Dinda memberikan tempat duduknya pada ibu hamil itu atau tidak, ia kemudian menulis pernyataan berikut ini di akun Path-nya:

“Benci sama ibu-ibu hamil yang tiba-tiba minta duduk. Ya gue tahu lw hamil tapi plis dong berangkat pagi. Ke stasiun yang jauh sekalian biar dapat duduk, gue aja enggak hamil bela-belain berangkat pagi demi dapat tempat duduk. Dasar emang enggak mau susah.. ckckck.. nyusahin orang. kalau enggak mau susah enggak usah kerja bu di rumah saja. mentang-mentang hamil maunya dingertiin terus. Tapi sendirinya enggak mau usaha.. cape dehh," #notetomyselfjgnnyusahinorg!!”

Pernyataan itu kemudian di-capture seseorang, dan diunggah ke Twitter. Karena pernyataan Dinda dianggap tidak simpatik, bahkan terkesan kasar—khususnya pada ibu hamil—orang-orang pun kemudian mem-bully Dinda. Orang-orang yang mem-bully tersebut menujukan simpatinya pada si ibu hamil, dan menganggap Dinda tidak punya empati. Masak memberikan tempat duduk pada ibu hamil saja keberatan...???

Bagi saya, kisah Dinda sekilas terdengar seperti Penganiaya dan Sang Tertindas. Dinda dianggap sebagai “Penganiaya”, sementara si ibu hamil dipersonifikasi sebagai “Sang Tertindas”. Di mana pun, orang cenderung membela pihak yang tertindas, sebagaimana kita cenderung menyalahkan pihak yang menganiaya. Pertanyaannya sekarang, benarkah Dinda memang “Penganiaya”?

Kita cenderung membela pihak yang tertindas karena kita memberikan empati kepadanya. Dalam kisah di atas, kita memberikan empati sepenuhnya pada si ibu hamil. Karena kita telah memberikan semua empati kepadanya, kita pun tidak lagi punya empati kepada Dinda. Yang menjadi persoalan, bagaimana kita bisa adil terhadap Dinda jika kita tidak punya sedikit pun empati kepadanya?

Saya bukan teman Dinda, saya bahkan tidak mengenalnya. Tetapi, saya pikir, kita telah berlaku tidak adil jika menghakimi Dinda secara massal tanpa sedikit pun memberikan empati kepadanya. Bahwa ibu hamil layak diperhatikan atau bahkan diistimewakan karena kehamilannya, kita semua setuju. Jika suatu hari saya naik kereta, dan kemudian ada ibu hamil yang meminta tempat duduk saya, maka saya tidak akan pikir panjang untuk memberikan tempat duduk untuknya. Itu bahkan saya anggap sebagai kehormatan, dan saya tidak akan mengeluh karenanya.

Kita semua sepakat bahwa kehamilan adalah beban berat bagi setiap (calon) ibu, dan kita layak berempati kepada siapa pun yang sedang hamil. Tetapi bukan berarti kita kemudian bisa menghakimi atau menganiaya orang lain karena tujuan itu. Niat baik tidak bisa dilakukan dengan cara buruk, sebagaimana perbuatan baik pada seseorang tidak bisa dilakukan dengan cara menindas orang lain.

Atas pernyataannya yang terkesan tidak simpatik di atas, Dinda punya penjelasan mengapa dia sampai sekasar itu. Dan inilah penjelasannya, sebagaimana yang ia tulis di akun Path miliknya:

"Path gw nyebar gara2 statemen ibu hamil yaa.. ayo monggo yang judge gw ngerasain dulu tiap hari naik kereta trs tiap hari berangkat abis subuh cuma biar dapet tempat duduk.. emg lw smuaa pada ngertiii kaki gw pincang2 gara2 geser tulangnya.. gak kan.. makanyaa gw bela2in berangkat jam 5 pagi buat dapet tmpat duduk..eh tiba2 ada ibu2 hamil baru masuk kereta jam 7 pagi.. gw udh lari2an jam 5 pagi jgn pada maunya cuma dingertiin doag para ibu.. emg gw belum hamil tapi kaki gw sakit aja gw ngerti ga mau nyusain org ko.. pliss sama2 dong kita saling ngerti jgn cuma maunyua enaknyaa doang yaa ibu2.. ayoo sinii yg ngejudge ikut sayaa yaa berangkat dari rumah saya jam 5 naik kereta tiap hari dari rumah saya 1 kali naik ojek trs 2 kali naik angkot lho ke stasiun.. ikutin aja rutinitas saya tiap hari kalo ga ada komen apa2 berarti saya yang berlebihan.. hehe..,"

Jika kalimat di atas agak membingungkan karena ejaan dan tanda baca yang kacau tak karuan (mungkin ditulis sambil emosi), izinkan saya “menerjemahkannya” ke bahasa Indonesia yang lebih baik:

“Path gue nyebar gara-gara statemen ibu hamil, ya? Ayo, monggo, yang judge gue, ngerasain dulu tiap hari naik kereta terus tiap hari, berangkat habis subuh biar dapat tempat duduk. Emang lu semua pada ngerti kaki gue pincang-pincang gara-gara geser tulangnya? Nggak, kan? Makanya, gue bela-belain berangkat jam 5 pagi buat dapat tempat duduk. Eh, tiba-tiba ada ibu-ibu hamil baru masuk kereta jam 7 pagi. Gue udah lari-larian jam 5 pagi. Jangan pada maunya cuma dingertiin doang, para ibu. Emang, gue belum hamil, tapi kaki gue sakit aja gue ngerti gak mau nyusahin orang, kok. Plis, sama-sama dong, kita saling ngerti. Jangan cuma mau enaknya doang ya, ibu-ibu. Ayo sini, yang nge-judge, ikut saya ya, berangkat naik angkot lho, ke stasiun. Ikutin aja rutinitas saya tiap hari. Kalo gak ada komen apa-apa, berarti saya yang berlebihan, hehe...”

Ketika membaca penjelasan itu, saya seperti diingatkan untuk lebih adil dalam memberikan empati. Sebagai manusia, tentu saja saya berempati pada ibu hamil yang naik kereta, dan butuh tempat duduk. Tetapi, sebagai manusia pula, saya merasa tidak adil jika tidak memberikan empati sedikit pun pada Dinda.

Jika saya memberikan empati kepada Dinda, dan membayangkan diri saya berada di tempatnya—setiap hari harus pergi dari rumah habis subuh, naik angkot menuju stasiun dengan buru-buru demi mendapat tempat duduk di kereta, dan dalam aktivitas itu harus sering lari-lari sampai kaki sakit dan terpincang-pincang, dan hal itu saya lakukan setiap hari—tiba-tiba saya bisa memahami bagaimana perasaan Dinda, hingga ia sampai menulis pernyataan seperti di atas.

Mungkin Dinda seorang perempuan yang baik dan penuh kasih. Tetapi aktivitas dan rutinitasnya yang berat—sebagaimana yang ia ceritakan di atas—kemudian mengeraskan perasaannya, membekukan hatinya. Atau, bisa jadi pula, Dinda tetap perempuan berhati lembut dan welas asih, tapi kebetulan hari itu dia sedang badmood karena suatu sebab, hingga muncul judesnya. Apa pun alasan pernyataannya yang terkesan kasar itu, sepertinya kita tetap tidak layak menghakiminya tanpa memberikan sedikit pun empati kepadanya.

Ketika kita menilai atau bahkan menghakimi seseorang tanpa mau berempati sedikit pun kepadanya, maka itu sama halnya memaksakan sepatu kita ke kaki orang lain. Tidak layak, sekaligus tidak adil.

Kita menghakimi Dinda dengan segala macam serapah dan caci-maki, kenapa? Jawabannya sangat gamblang, karena kita tidak menjalani kehidupan sebagaimana yang dijalani Dinda! Di situlah pentingnya empati, yakni menempatkan diri kita pada posisi orang lain sebelum menjatuhkan vonis. Ini bukan berarti bahwa Dinda tidak bersalah. Empati dibutuhkan agar kita bisa memberi penilaian dan menjatuhkan vonis yang adil, serta tidak berbalik menjadi penganiaya.

Bagaimana pun, Dinda tetap bersalah. Di antara kesalahannya adalah menumpahkan kekesalannya secara terbuka, yang kebetulan ia tujukan kepada seorang ibu hamil. Dalam hal itu mungkin Dinda perlu lebih arif untuk memilah mana yang layak ia umbar secara terbuka, dan mana yang lebih baik dipendam saja secara pribadi.

Di zaman ketika dunia maya tidak mengenal privasi seperti yang sekarang kita jalani, mengekspresikan sesuatu tetap dibutuhkan kedewasaan dan kearifan tersendiri.

Mulutmu harimaumu. Begitu pun akun Path atau akun Twitter-mu.

Cinta

Cinta adalah percakapan menyenangkan. Dan percakapan menyenangkan adalah hasil kerja dua orang.

Sesekali Kita Perlu Opname

Seperti udara yang berkurang, kesempitan
mengikis kesadaran perlahan-lahan.
@noffret


Dalam catatan yang diposting di sini, saya sekilas menceritakan peristiwa kecelakaan amat parah yang pernah saya alami. Nah, gara-gara kecelakaan itu, saya harus menjalani opname di rumah sakit selama berhari-hari.

Sepertinya, tidak ada orang yang bahagia selama opname—begitu pun saya. Selama berhari-hari, saya hanya bisa berbaring di atas ranjang rumah sakit, merasakan sakit dan perih di hampir sekujur tubuh, sulit bergerak, tak bisa apa-apa. Satu tangan ditancapi jarum infus, satunya lagi digips karena patah tulang. Sedang kedua kaki penuh luka-luka. Intinya, saya tersiksa.

Siapa pun yang pernah mengalami keadaan semacam itu—dan memiliki kepekaan yang cukup—pasti akan sampai pada kesadaran untuk mulai mengenali diri sendiri. Bahwa sebenarnya kita tak berdaya.

Selama menjalani rasa sakit berhari-hari itu, saya pun menghibur diri sendiri. Untuk mengalihkan rasa sakit, saya menyibukkan diri untuk berpikir. Dan dalam berpikir selama sakit itulah saya sampai pada kesadaran bahwa setiap manusia perlu opname sesekali. Agar memiliki waktu untuk berpikir, untuk menjauh sejenak dari hiruk-pikuk kesibukan sehari-hari, untuk mulai mengenali diri sendiri.

Well, sesekali kita mungkin perlu opname. Setidaknya sekali dalam hidup. Agar tahu bagaimana rasanya tak berdaya. Agar menyadari bahwa sakit itu tidak enak. Agar mengetahui betapa berartinya orang lain dalam hidup kita. Agar tahu sebenar-benar tahu, bahwa senikmat-nikmatnya rumah sakit tetap lebih nikmat tinggal di rumah kita sendiri.

Sesekali kita perlu opname. Agar bisa kembali menjadi manusia.

Rabu, 16 April 2014

CCBP: Curhat Cinta Bikin Pusing

Hahaha, emang! Gak di film gak di
dunia nyata, semua drama emang bikin pusing.
@noffret


Ini kisah seorang kawan, yang saya tulis di sini dengan harapan bisa menjadi pelajaran bagi kita semua, khususnya dalam hal hubungan cowok-cewek. Untuk menghormati privasi, semua nama dalam catatan ini terpaksa saya samarkan.

Di internet, ada jutaan artikel yang membahas topik relationship—atau relasi antar lawan jenis—tapi bisa dibilang semuanya “mainstream”. Cuma gitu-gitu aja. Padahal, dalam realitas, urusan dan rumitnya hubungan cowok-cewek tidak sebatas “gitu-gitu aja”. Kisah yang akan saya ceritakan ini adalah salah satunya.

Sekitar dua tahun yang lalu, saya bersama Fadli (bukan nama sebenarnya) datang ke suatu acara. Di acara itu, kami bertemu Reina (teman saya) yang datang bersama temannya. Kita sebut saja teman Reina bernama Karin. Saya tidak kenal Karin, sebagaimana Reina juga tidak kenal Fadli. Maka kami pun saling memperkenalkan kawan kami masing-masing, lalu ngobrol-ngobrol sebagaimana umumnya teman.

Singkat cerita, tidak lama setelah acara itu, Fadli berhubungan dengan Karin di Facebook. Rupanya mereka saling meng-add di sana. Reina dan saya tidak mempermasalahkan, toh mereka sama-sama jomblo. Kalau pun mereka sampai jadian, kami ikut senang. Dan di situlah kemudian drama yang sangat memusingkan mulai terjadi. Sekadar catatan, Karin tinggal di Bekasi, sementara Fadli tinggal di Semarang.

Kenyataannya, Fadli dan Karin (mungkin) memang saling naksir. Tetapi rupanya hal yang seharusnya berlangsung “alami” itu berjalan dengan sangat rumit. Di Facebook, kedua orang itu tidak aktif berkomunikasi, meski telah menjadi teman. Fadli asyik dengan temannya sendiri, begitu pun Karin. Kadang Fadli menulis di notes-nya, dan Karin memberi komentar, lalu mereka bercakap seperlunya. Sudah, hanya itu.

Mungkin karena melihat sikap Fadli yang dinilainya terlalu pasif, Karin pun membicarakan hal itu dengan Reina. Kemudian Reina bertanya pada saya apakah Fadli masih jomblo atau sudah punya pacar. Saya menjawab jujur, kalau Fadli masih jomblo. Reina juga terus terang menyatakan kalau Karin, temannya, mungkin naksir Fadli.

“Kayaknya sih Fadli juga naksir temanmu,” jawab saya waktu itu. Kenyataannya, sebelum itu Fadli memang pernah curhat tentang perasaannya terhadap Karin, dan saya bilang kepadanya kalau saya mendukungnya.

Nah, di sinilah akar masalahnya.

Saya tidak tahu apakah semua cowok mengalami hal ini, ataukah hanya sebagian. Yang jelas, Fadli (dan terus terang, juga saya) masih sering “kebingungan” ketika berinteraksi dengan cewek yang ditaksir. Sejujurnya, saya bisa santai berinteraksi dengan siapa pun (khususnya cewek), jika tidak punya perasaan apa-apa kepadanya. Tetapi ketika berinteraksi dengan cewek yang membuat saya jatuh cinta, rasanya bingung dan serba salah—khususnya jika kami belum akrab berteman. 

Hal semacam itu juga dialami Fadli. Dia naksir Karin, tapi dia tidak tahu bagaimana memulainya. Persis seperti saya, Fadli pernah pacaran sebelumnya, tapi dengan seseorang yang telah berteman akrab. Ketika dia harus memulai pendekatan dengan seseorang yang belum akrab, dia kebingungan. Waktu itu, Fadli sempat bertanya pada saya, apa yang harus ia lakukan. Tapi saya juga tidak tahu bagaimana menjawabnya, karena saya sendiri pun begitu.

Ketika saya sampaikan kenyataan itu pada Reina, dia memahami secara bijak. Waktu itu saya bilang pada Reina, “Yang dibutuhkan Fadli adalah komunikasi yang intens, hingga mereka benar-benar akrab. Setelah itu dia akan paham sendiri. Tapi kalau Karin nggak mau berinisiatif mendekati, sampai kapan pun hubungan mereka akan tetap kayak gitu.”

Reina lalu memberitahukan hal itu pada Karin, dan Karin mulai berinisiatif mendekati Fadli di Facebook. Menyadari cowok itu terlalu pasif, Karin memutuskan dirinya yang harus aktif. Sebagai cewek, Karin tentu tahu bagaimana menarik perhatian Fadli, dan lama-lama tampaknya Fadli mulai memahami maksud Karin. Sesekali terjadi interaksi di antara mereka, kadang cukup singkat, kadang cukup lama. Tapi yang jelas komunikasi mereka mulai membaik.

Dan waktu-waktu berlalu.

Sampai hampir satu tahun, hubungan antara Fadli-Karin masih belum jelas. Karin tentu sering curhat ke Reina, dan kadang Reina menyampaikannya kepada saya, dengan harapan saya akan menyampaikannya ke Fadli. Saya berbaik hati menyampaikan hal itu kepada Fadli, dan biasanya dia akan menjawab dengan bingung. Faktanya, bagi Fadli, komunikasi mereka tetap belum bisa dibilang intens meski sudah hampir setahun.

“Komunikasi yang intens” dalam versi Fadli (dan terus terang, juga bagi saya) adalah komunikasi aktif dua arah yang telah sampai pada tahap tanpa sok jaim-jaiman. Itu jenis komunikasi antar teman biasa, ketika kita bisa saling bercanda dan menggoda, bisa saling tertawa lepas, dan, sekali lagi, tanpa sok jaim-jaiman. Selama percakapan belum sampai pada tahap itu, selama itu pula Fadli tidak akan memberanikan diri menyatakan perasaannya.

Fadli seorang introver seperti saya. Dalam hal perasaan, kami sangat tertutup, dan lebih nyaman membagi hati (menjalin pacaran) dengan seseorang yang sebelumnya telah menjadi teman. Ini memang masalah, dan saya pun mengakuinya. Tetapi cinta, katanya, bisa mengalahkan segalanya. Oh, well, kita lihat saja...

Jadi, saya berpesan pada Reina, “Bilangin aja si Karin agar nggak usah sok jaim-jaiman. Ambil inisiatif dan bersikaplah terbuka. Kalau Fadli pasif sementara Karin masih sok jaim, sampai kiamat pun mereka nggak akan pernah jadian.”

Lalu Reina menyampaikan hal itu pada Karin. Karena memang jatuh cinta pada Fadli, Karin berusaha memenuhi hal itu. Sedikit demi sedikit dia meninggalkan sikap jaimnya, dan terus berusaha menunjukkan inisiatif, agar Fadli tidak terlalu pasif. Sedikit demi sedikit, Fadli pun mulai memberikan respon yang lebih baik. Tapi tetap saja Fadli belum membukakan perasaannya pada Karin.

Karin mungkin curhat mengenai hal itu pada Reina, lalu Reina menyampaikan perkembangan itu pada saya. “So,” ujar Reina waktu itu, “menurutmu apa lagi yang harus dilakukan Karin agar mereka segera naik ranjang?”

“Agar mereka... apa?”

Reina cekikikan. “Maksudku, agar mereka segera jadian.”

“Apa, ya?” Saya juga bingung. “Mungkin Karin nggak akan mau ya, kalau misal dia diminta berinisiatif yang ngajak ketemuan?”

Reina terdiam sesaat, kemudian berujar, “Sebenarnya, dia mungkin mau.”

“Oh, bagus kalau gitu! Coba aja Karin ajak Fadli buat ketemuan. Kalau itu terlalu vulgar, pancing-pancing gitu, deh. Dia pasti paham, kan?”

“Dan kamu yakin Fadli akan mau?”

“Hampir pasti, ya,” saya menjawab. “Fadli kan juga ada perasaan sama Karin. Dia pasti akan mau ketemu, kalau Karin emang bisa bikin dia nyaman.”

Reina menatap saya, kemudian berkata, “Kalau mereka udah ketemu, menurutmu Fadli nggak akan malu-malu lagi? Sejujurnya, aku pengin mereka cepat jadian, biar nggak pusing terus mikirin mereka.”

Saya menegaskan, “Kalau Fadli bersedia pergi dari Semarang ke Bekasi, artinya dia udah nyaman. Nggak ada masalah. Asal Karin tetap bersikap terbuka dan nggak sok jaim. Uhm... kamu tahu, Fadli tuh tipe cowok yang mungkin nyatain cinta di bawah shower.”

Reina cekikikan.

Singkat cerita, Reina mungkin menyampaikan percakapan kami ke Karin, dan Karin kemudian menindaklanjutinya dengan inisiatif. Di Facebook, saat percakapan mereka mengalir lancar dan sesekali saling bercanda, Karin mulai memancing-mancing untuk ketemuan. Semula, Fadli menunjukkan respon positif, dan Karin hampir yakin kalau mereka akan segera bertemu.

Lalu “bencana” terjadi.

Ketika dua bocah itu tampaknya akan segera bertemu, dan mungkin akan saling mengucap cinta di bawah shower, Fadli sedang mulai mengerjakan sesuatu yang tak bisa ditinggal. Ketika sedang khusyuk mengerjakan sesuatu, bisa dibilang Fadli tidak bisa diganggu atau digoda dengan apa pun. Dia akan memprioritaskan pekerjaannya hingga benar-benar selesai, sebelum mengurusi hal lain.

Selama kesibukan itu pula, Fadli hanya sesekali muncul di Facebook. Karin masih tetap berusaha aktif dan berinisiatif membuka komunikasi. Tetapi karena kemunculan Fadli di Facebook yang selalu singkat, komunikasi mereka pun jadi tersendat-sendat. Hubungan yang semula mulai positif kini tampak tidak jelas lagi.

Selama beberapa bulan Fadli terus khusyuk menyelesaikan pekerjaannya, dan mungkin selama itu pula bayangan Karin hanya timbul tenggelam dalam benaknya. Saat bertemu Karin di Facebook, Fadli memang tetap merespon Karin dengan baik seperti sebelumnya, tapi kini tak bisa lama-lama. Setelah saling sapa sekadarnya, Fadli sign out dari Facebook. Lalu baru muncul lagi beberapa hari atau beberapa minggu kemudian.

Karin tidak memahami apa yang sedang terjadi pada Fadli—dia tidak tahu kalau selama waktu-waktu itu Fadli sedang sibuk (campur stres) memikirkan pekerjaannya. Yang dipahami Karin, Fadli menghindarinya. Kali ini, dia tidak lagi curhat pada Reina seperti biasa. Mungkin karena tidak enak terus-terusan curhat, atau mungkin pula karena alasan lain. Yang jelas, Karin menyimpulkan sikap Fadli sebagai hal negatif, dan mungkin dia sudah lelah untuk terus melanjutkannya.

Saya juga tidak tahu perkembangan terakhir itu, sebagaimana Reina.

Yang jelas, kemudian Karin memutuskan untuk meninggalkan Fadli, dan mengalihkan perhatiannya pada cowok lain. Reina maupun saya tentu tidak bisa menyalahkannya. Bagaimana pun, Karin sudah berusaha, dan nyatanya hubungan mereka tetap tidak membaik. Singkat cerita, Karin kemudian jadian dengan cowok lain—entah siapa namanya, saya tidak tahu.

Apakah cerita ini sudah selesai? Ternyata belum!

Dua bulan yang lalu, Fadli telah menyelesaikan pekerjaannya, dan bermaksud menyambung kembali komunikasinya dengan Karin yang sempat terputus. Setelah pikirannya fresh, pikirnya, dia akan mampu menghadapi Karin dengan lebih baik. Dia bahkan sudah mengangankan untuk menemui Karin. Sialnya, waktu itu, Karin sudah jadian dengan cowok lain.

Fadli pun pusing, kemudian curhat. Selama mendengar curhatnya, saya tidak bisa mengatakan apa-apa, karena ikut pusing.

Noffret’s Note: Kasatmata

Masalah kita, tampaknya, terlalu mempercayai
apa yang tampak dan tidak memikirkan
yang mungkin tak tampak di balik yang tampak.
—Twitter, 6 April 2014

Kita mempercayai orang yang tampak kaya
tidak kekurangan apa pun, yang jelita pasti bahagia,
dan yang tampak pintar pasti tahu segalanya.
—Twitter, 6 April 2014

Mempercayai adalah satu hal, tapi terlalu mempercayai
adalah hal lain. Masalah kebanyakan kita adalah
terlalu mempercayai yang tampak.
—Twitter, 6 April 2014

Padahal yang tidak tampak selalu lebih besar
dibanding yang tampak atau yang mungkin tampak.
Tapi kita sering kali menafikan kenyataan itu.
—Twitter, 6 April 2014

Kita terlalu mempercayai orang yang tampak kaya
tidak kekurangan apa pun. Lalu kita tak percaya
saat tahu dia sedang membutuhkan sesuatu.
—Twitter, 6 April 2014

Kita terlalu mempercayai orang yang tampak jelita
pasti bahagia. Dan kita terkejut campur tak percaya
saat tahu ternyata dia kesepian.
—Twitter, 6 April 2014

Kita terlalu mempercayai orang yang tampak pintar
pasti tahu segalanya. Dan kita lagi-lagi terkejut,
tak percaya, saat dia bertanya sesuatu.
—Twitter, 6 April 2014

Kita sering memaksakan sepatu kita ke kaki orang lain,
menganggap yang kita pikirkan tentang orang lain
pasti tepat. Padahal belum tentu.
—Twitter, 6 April 2014

Kenyataannya, setiap orang punya ukuran
sendiri-sendiri, dan yang kita pikir tentangnya
sering kali jauh dari yang kita sangka.
—Twitter, 6 April 2014

Selalu ada yang tersembunyi di balik permukaan,
selalu ada yang tak tampak di balik yang tampak,
selalu ada yang belum kita tahu.
—Twitter, 6 April 2014

Tetapi, memang, masalah kita tampaknya
terlalu mempercayai yang tampak, dan
menafikan segala sesuatu yang tak tampak.
—Twitter, 6 April 2014

Manusia adalah gunung es. Yang selalu tampak
di mata kita hanya sedikit permukaannya.
Yang jadi masalah, permukaan itulah yang kita percaya.
—Twitter, 6 April 2014


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Noffret’s Note: Kepercayaan

Dalam apa pun, hal paling penting memang
kepercayaan. Segalanya bisa dipoles, dipermak,
atau dimanipulasi. Tapi kepercayaan... tidak!
—Twitter, 30 Maret 2014

Kita memilih seseorang, entah pemimpin, teman,
atau pasangan, bukan semata karena suka atau cinta.
Tapi lebih karena kita percaya kepadanya.
—Twitter, 30 Maret 2014

Kita bisa cocok dengan siapa saja. Kadang kita
bahkan bisa jatuh cinta pada siapa saja. Tapi kita
belum tentu bisa percaya pada siapa saja.
—Twitter, 30 Maret 2014

Jika aku harus memilih pasangan yang membuatku
jatuh cinta atau yang bisa kupercaya, aku akan
memilih yang kedua. Cinta bisa menyusul.
—Twitter, 30 Maret 2014

Kita mungkin bisa membuat banyak orang jatuh cinta.
Itu mudah, hanya butuh pesona. Tapi kita belum tentu
mampu membuat banyak orang percaya.
—Twitter, 30 Maret 2014

Dicintai atau bahkan dipuja hanya butuh pesona
sekadarnya. Siapa pun bisa melakukannya.
Tapi dipercaya membutuhkan integritas yang teruji.
—Twitter, 30 Maret 2014

Kau hanya cukup muncul di panggung gemerlap
dengan tebaran pesona, dan orang akan jatuh cinta.
Tapi mereka belum tentu percaya kepadamu.
—Twitter, 30 Maret 2014

Kepercayaan tidak bisa dibangun dari pesona sesaat—
ia penghargaan yang diberikan pada integritas seseorang
yang telah teruji bertahun-tahun.
—Twitter, 30 Maret 2014

Mau membuat orang lain jatuh cinta? Mudah!
Cukup sentuh egonya dengan tepat, dan dia akan mabuk.
Tapi membuat orang lain percaya? Sulit!
—Twitter, 30 Maret 2014

Karunia tertinggi di dunia manusia bukan cinta
dan kekaguman yang diberikan kepadamu,
melainkan kepercayaan yang diserahkan untukmu.
—Twitter, 30 Maret 2014

Seseorang mau menyerahkan hati dan hidupnya
untuk kita, kenapa? Bukan karena cinta.
Tapi karena percaya kepada kita!
—Twitter, 30 Maret 2014

Cinta memang penting, percaya jauh lebih penting.
Dicintai memang penting, tapi dipercaya
jauh lebih penting. Tak ada cinta tanpa percaya.
—Twitter, 30 Maret 2014

Kita bisa jatuh cinta pada seseorang, tanpa percaya
kepadanya. Kita percaya pada seseorang,
dan dia bisa membuat kita jatuh cinta.
—Twitter, 30 Maret 2014

Pesona tertinggi di muka bumi bukan keindahan,
tapi kejujuran. Terlalu banyak keindahan yang cuma
berisi kemunafikan, dusta, dan kebobrokan.
—Twitter, 30 Maret 2014


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.
 

Ingin Berguru pada Zenicman

Kadang-kadang aku ingin berguru pada Zenicman, agar bisa enjoy nyepik cewek—tak peduli berapa pun banyaknya!

Minggu, 13 April 2014

Tutup Mulut, dan Bekerjalah!

“Kae bocah kakean cocot, tapi ora ono kerjane!”
Chandra


Chandra adalah teman sekampus saya. Waktu masih kuliah, kami tergabung dalam sebuah organisasi ekstrakampus, dan di organisasi itulah kami menjalin persahabatan akrab. Seperti sesama teman akrab lain, kami juga kadang saling ledek di waktu-waktu tertentu, kadang bahkan sampai menggunakan kalimat yang terdengar kasar bagi orang lain.

Dalam aktivitas di organisasi, Chandra dikenal sangat giat dalam bekerja. Katakan saja apa yang harus dilakukan, dan dia akan melakukannya dengan baik, tanpa banyak mulut. Pada waktu-waktu tertentu, organisasi kami mengadakan suatu acara, dan Chandra biasanya menjadi orang terdepan di lapangan. Dia yang mengatur panggung acara, soundsystem, tatanan ruangan, hingga mengantarkan undangan pada orang-orang tertentu, dan lain-lain.

Setiap orang memiliki kelebihan, sekaligus dilengkapi kekurangan. Begitu pula dengan Chandra. Dia hebat di lapangan, bisa mengerjakan apa pun yang harus dikerjakan, tapi mungkin agak lemah saat diminta berpikir dan membuat konsep. Sebaliknya, ada pula orang yang hebat ketika diminta berpikir dan merancang konsep, tapi kebingungan ketika harus turun ke lapangan. Saya mungkin termasuk yang begitu.

Karenanya pula, dalam organisasi, biasanya panitia dibagi dua—konseptor dan pelaksana, atau yang biasa disebut dengan istilah SC dan OC. Konseptor membuat rencana, dan pelaksana mewujudkannya. Dua bagian itu tentu tidak ada yang lebih hebat atau lebih rendah, karena keduanya saling melengkapi. Konseptor tidak bisa melakukan apa-apa tanpa pelaksana, sebagaimana pelaksana juga tidak akan bisa berbuat banyak tanpa konsep terencana.

Nah, suatu hari, organisasi kami mengadakan suatu acara, dan para panitia begadang menyiapkan segalanya menjelang hari H. Chandra dan saya ikut begadang waktu itu. Seperti biasa, Chandra tampak sangat cekatan mengatur banyak hal, sementara saya dan beberapa teman yang lain beristirahat—duduk-duduk di pinggir ruangan—setelah selesai menyusun konsep untuk acara besok.

Sambil duduk-duduk dan merokok, kami memperhatikan Chandra yang sedang sibuk bekerja bersama yang lain. Seorang teman mengomentari hal itu, dan berkata dengan nada kelakar, “Si Chandra tuh hebat kalau disuruh kerja, tapi bego kalau diajak mikir.”

Saya menimpali sambil tersenyum, “Iya, soalnya Chandra tuh otaknya sebesar biji sawi.”

Teman-teman ngakak. Lalu ada yang berteriak ke Chandra, “Ndra! Kata Hoeda, otakmu sebesar biji sawi.”

Chandra ikut ngakak. Sambil ngakak pula dia menyahut, “Kae bocah kakean cocot, tapi ora ono kerjane! (Itu bocah banyak mulut, tapi tidak ada kerjanya!)”

Ledek-ledekan semacam itu biasa kami lakukan, dan kami paham itu ditujukan untuk bercanda, jadi tidak ada yang tersinggung. Saya pun ikut ngakak bersama yang lain mendengar komentar Chandra, dan sama sekali tidak menganggapnya serius.

Sekarang, setelah tidak lagi kuliah, saya kadang merindukan saat-saat dulu, waktu kami masih bisa berkumpul bersama, di kampus atau di tempat lain, saling ledek, saling bercanda, dan tertawa-tawa.

Ketika saya menulis catatan ini, Chandra mungkin sudah melupakan kata-katanya yang kasar itu. Tapi saya masih mengingatnya. Saya tidak mengingat kalimat itu sebagai ejekan yang membuat saya tersinggung, tapi mengingatnya sebagai salah satu pelajaran penting. Bahwa hidup tidak sebatas di pikiran, tidak sebatas pada konsep, tapi harus ada realisasi. Bahwa siapa kita tidak dinilai dari apa yang kita ucapkan, tapi dari apa yang kita lakukan.

Jika dulu di masa kuliah kita mungkin bisa saling bahu membahu melakukan sesuatu bersama teman-teman, dalam kehidupan nyata sering kali kita harus melakukannya seorang diri. Tidak ada lagi pemisahan panitia—konseptor dan pelaksana—sebagaimana di kampus dulu. Dalam kehidupan nyata, kita harus menjadi konseptor sekaligus pelaksana, karena hidup masing-masing orang pada akhirnya ditentukan oleh orang bersangkutan.

Dan di situlah “mantra” yang diucapkan Chandra selalu saya ingat. Bahwa pada akhirnya yang dilihat orang adalah apa yang kita lakukan, bukan yang kita ucapkan. Mungkin saya bisa mengucapkan hal-hal hebat, tetapi dunia tidak menilai ucapan saya. Dunia menilai perbuatan saya, dunia melihat apa yang saya lakukan. Tanpa perbuatan dan tindakan nyata, semua pikiran dan ucapan sehebat apa pun hanya omong kosong.

Kesadaran itu pula yang kemudian membentuk kebiasaan baru saya—lebih sedikit bersuara, dan lebih banyak bekerja. Orang paling sia-sia adalah orang yang sangat sibuk berbicara, bising bersuara, pamer macam-macam di mana saja, tapi tidak ada hal bermanfaat yang dikerjakannya. Dunia mungkin melihat orang semacam itu. Tapi hanya sebatas melihat—sebagaimana kita kadang penasaran ingin melihat sejenak tukang obat di jalanan.

Jujur saja, saya lebih mengagumi orang tidak terkenal tapi memiliki karya hebat, daripada orang terkenal tapi tak punya karya apa-apa.

Orang-orang hebat—yang benar-benar hebat—sering kali memang lebih sibuk berkarya, sehingga tidak punya waktu berkoar-koar atau mencari perhatian. Mereka mungkin tidak terkenal, tetapi hal-hal yang dikerjakannya membuat kita kagum. Sebaliknya, orang yang tidak punya karya apa-apa punya banyak waktu untuk berkoar-koar, mencari perhatian di mana-mana, dan biasanya jadi terkenal. Tetapi, yeah... hanya sebatas itu. Terkenal, tapi terkenal sebagai bukan apa-apa.

Saya mengenal seorang penulis yang sangat produktif. Dia telah menulis lebih dari 100 buku yang telah diterbitkan. Untuk menunjang produktivitasnya, dia benar-benar fokus pada pekerjaannya. Dia tidak punya blog, tidak punya akun di jejaring sosial mana pun—pendeknya tidak pernah berkoar-koar dengan tujuan menjadi terkenal. Tetapi, sekali lagi, dia fokus dan sangat sibuk mengerjakan karya-karyanya. Sebegitu fokus, hingga bisa dibilang dia tidak melakukan apa pun selain menulis.

Nah, suatu hari, ada seseorang di Twitter yang melancarkan tuduhan sok tahu pada penulis tersebut. Orang itu berkoar-koar di timeline-nya, menuduh teman saya yang sangat produktif itu melibatkan sekelompok tim penulis yang membantunya menulis banyak buku. Saya masih ingat tweet itu kira-kira berbunyi, “Tidak mungkin ada orang yang bisa menulis sebanyak itu.”

Faktanya, “orang yang bisa menulis sebanyak itu” benar-benar ada!

Sebagai orang yang mengenalnya secara pribadi, saya bisa menjamin bahwa dia sama sekali tidak melibatkan orang lain—apalagi tim penulis—untuk membantunya, dan dia memang menulis semua bukunya sendirian. Dia benar-benar penulis dalam arti sebenarnya. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, dia terus berkutat di depan komputer dengan setumpuk buku dan dokumen literatur. Dia tidak punya waktu untuk berkoar-koar, atau sibuk pamer, karena waktunya sudah habis untuk berkarya.

Begitulah perbedaan antara yang banyak mulut, dan yang banyak berkarya.

Orang yang banyak berkarya tidak punya waktu untuk membangga-banggakan diri, atau memamer-mamerkan karyanya demi mencari perhatian. Sementara orang yang banyak mulut malah sibuk menuduh orang lain dengan tuduhan sok tahu, padahal dirinya tidak punya karya apa-apa. Ketika melihat orang pendengki semacam itu, rasanya saya ingin meneriakkan umpatan Chandra, “Kae bocah kakean cocot, tapi ora ono kerjane!”

Orang-orang yang “kakean cocot” punya ciri khas yang mudah dikenali. Tidak punya karya apa-apa, tapi dengki pada karya orang lain. Tidak punya sesuatu yang layak dibanggakan, tapi sibuk mencari-cari kelemahan orang lain. Tidak punya hasil kerja apa-apa, tapi mencerca dan merendahkan kerja orang lain. Mereka tepat seperti yang dinyatakan Chandra, “Kakean cocot, tapi ora ono kerjane!”

Sekali lagi, dunia tidak menilai cocot kita, atau ucapan kita. Dunia menilai karya kita, dan apa yang kita kerjakan. Tak peduli sebesar apa kita membuka cocot untuk berkoar ke mana-mana, cocot tetap hanya cocot. Ucapan hanya sebatas ucapan. Tak ada gunanya, selain hanya menambah bising dunia. Sebagaimana pohon tumbuh dengan perbuatan menanam, tidak ada buah yang bisa dipetik jika kita hanya sibuk berkoar-koar.

Ketika kita masih kecil, masih anak-anak, orangtua kita bekerja keras membanting tulang demi mendapatkan uang untuk makan. Mereka tahu, perut kita tidak bisa dikenyangkan dengan ucapan, tak peduli sehebat apa pun ucapan yang bisa mereka katakan. Hal yang sama masih berlaku sampai sekarang, ketika kita telah dewasa. Perut kita pun tidak bisa kenyang hanya dengan mendengar orang berkoar-koar, tak peduli sekeras apa pun koar-koarnya.

Ilustrasi mudah itu dengan jelas menunjukkan bahwa yang paling penting di dunia ini adalah perbuatan yang kita lakukan, dan bukan sibuk berkoar untuk pamer dan cari perhatian.

Sudahlah, tutup saja mulut kita, dan mulailah bekerja! Dunia ini sudah terlalu bising, dan kita tidak perlu menambahinya. Kalau kita cuma pandai berkoar-koar mencari perhatian, nilai kita sama dengan orang gila di jalanan. Sebaliknya, kalau kita memang hebat, bahkan diam saja pun dunia pasti akan melihat. Pada akhirnya, kehidupan akan memberikan bayaran setimpal untuk masing-masing kita—yang sibuk berkoar-koar, atau yang sibuk berkarya.

Khayalan Bocah

Aku sering membayangkan, suatu hari kelak, bersama jungkir balik sains genetika, manusia akan bisa menjadi mutan. Dan ketika itu terjadi, aku berharap masih hidup, agar bisa mewujudkan impianku yang paling fantastis—menjadi Magneto.
 

Noffret’s Note: Eksistensi

Secara fitrah maupun psikologi, setiap orang
butuh aktualisasi, karena melalui aktualisasi itulah
kita menunjukkan eksistensi diri.
—Twitter, 25 Juli 2013

Eksistensi diri adalah kebutuhan orang per orang.
Siapa pun, seperti apa pun, di mana pun,
orang butuh eksistensi.
—Twitter, 25 Juli 2013

Yang mungkin masih jarang dipahami,
eksistensi beda dengan popularitas.
Keduanya bisa bersama, pun bisa terpisah.
—Twitter, 25 Juli 2013

Banyak orang eksis tanpa kita kenal,
pun banyak popularitas tanpa eksistensi
yang jelas, alias sekadar tenar.
—Twitter, 25 Juli 2013

Setiap orang butuh eksistensi, benar.
Tapi tidak setiap eksistensi bersanding ketenaran.
Lebih dari itu, tidak setiap orang ingin terkenal.
—Twitter, 25 Juli 2013

Yang jadi masalah, kita telah menganggap eksistensi
dan popularitas sebagai satu paket.
Akibatnya, semua orang ingin terkenal.
—Twitter, 25 Juli 2013

Ketika orang menginginkan keterkenalan,
dia mulai melupakan tujuan awal eksistensi,
dan hanya mengejar ketenaran.
—Twitter, 25 Juli 2013

Akibatnya, banyak muncul orang-orang terkenal
tanpa eksistensi yang jelas. Mereka populer,
dikenal banyak orang, tapi hanya itu.
—Twitter, 25 Juli 2013

Lebih ironis lagi, tujuan popularitas kadang
menghalalkan segala cara. Ketika itu terjadi,
tak ada lagi arti eksistensi.
—Twitter, 25 Juli 2013

Orang bisa eksis tanpa terkenal,
dan banyak orang terkenal
yang tak mengenal arti eksistensi sejati.
—Twitter, 25 Juli 2013

Petani yang mencangkul sawah dengan baik,
tukang sapu yang menyapu dengan baik,
mereka eksis. Tapi mungkin tak terkenal.
—Twitter, 25 Juli 2013

Eksistensi adalah “arti keberadaan kita bagi dunia”.
Itu tujuan setiap manusia waras yang masih bernapas.
Itulah tujuan aktualisasi diri.
—Twitter, 25 Juli 2013

Dalam tujuan untuk berarti bagi dunia, popularitas
sama sekali tidak penting. Jika itu terjadi,
maka popularitas hanya efek samping.
—Twitter, 25 Juli 2013

Mengejar popularitas dengan mengesampingkan
tujuan eksistensi, hanya menjadikan kita sesosok mumi.
Berwujud, tapi kosong, mati.
—Twitter, 25 Juli 2013

Mumi tidak mampu memberikan kemanfaatan
bagi sesama. Begitu pun popularitas yang hanya
dibangun di atas sensasi, tanpa eksistensi sejati.
—Twitter, 25 Juli 2013

Terpujilah petani yang baik, tukang sapu yang baik,
guru yang baik, dokter yang baik,
orangtua yang baik, kawan yang baik...
—Twitter, 25 Juli 2013

...dan orang-orang lain yang mengerjakan tugas,
pekerjaan, serta perannya dengan baik,
karena itulah wujud eksistensi sejati.
—Twitter, 25 Juli 2013

Merekalah yang telah menjadikan Bumi
menjadi tempat yang lebih baik, tanpa ribut-ribut,
tanpa pamer, tanpa ingin populer.
—Twitter, 25 Juli 2013

Dan kita bisa memilih meniru mereka dengan
menjadi manusia sejati, atau memuja sensasi
demi popularitas tanpa arti.
—Twitter, 25 Juli 2013

In the end, hidup yang tak memiliki arti
adalah kehidupan yang tak layak dijalani.
—Twitter, 25 Juli 2013


*) Ditranskrip dari timeline @noffret 

Kamis, 10 April 2014

Ironi Manusia

Kalau hidup kita berantakan, bukan berarti kita berhak
merusak dan mengacaukan hidup orang lain.
@noffret


Suatu malam, menjelang pukul 24:00, saya berkendara sendirian sepulang dari rumah teman. Jalanan cukup sepi, karena memang bukan jalan utama, juga karena sudah larut malam. Tiba-tiba, dari arah belakang, sebuah mobil Jazz melaju dengan kecepatan tinggi. Sebenarnya tidak masalah, karena waktu itu jalanan sudah sepi, hingga ia bisa ngebut seenak udelnya. Tapi rupanya mobil itu sedang menyongsong malapetaka.

Sekitar seratus meter di depan ada perempatan lampu merah. Meski sudah larut, lampu lalu lintas di perempatan masih difungsikan. Ketika mobil Jazz itu sampai di perempatan, lampu merah menyala. Tapi tampaknya si pengemudi tidak peduli. Mobil itu masih terus melaju dengan kecepatan tinggi, tanpa usaha pengereman sedikit pun—saya tidak melihat lampu rem belakangnya menyala. Mungkin, pengemudinya berpikir waktu itu sudah larut malam, dan jalanan sudah sepi, hingga ia merasa bebas menerobos lampu merah.

Akibat yang terjadi sungguh mengerikan.

Tepat ketika mobil Jazz itu menerobos zebra cross, sebuah mobil Blazer melaju dari arah kiri, yang waktu itu lampunya sedang hijau. Tepat ketika Blazer sampai di tengah perempatan, Jazz yang sedang ngebut itu pun menghantamnya dengan sangat keras. Seketika terdengar bunyi logam berbenturan, dan dua mobil itu langsung terpental berdempetan, membentur sebuah toko di dekat perempatan, hingga dinding depan toko hancur berantakan.

Adegan itu sekilas tampak seperti film action yang biasa saya tonton. Tapi itu kejadian nyata, dan saya benar-benar ngeri, karena tahu para pengemudi kedua mobil tidak sedang berakting.

Ketika saya dan orang-orang di sana mendekati lokasi kecelakaan, kami menyaksikan orang-orang di dalam mobil tampak berlumuran darah, sementara kondisi mobil tak kalah mengerikan. Bagian tengah Blazer yang dihantam Jazz tampak ringsek ke dalam, menjepit penumpang di dalamnya. Sementara bagian depan Jazz hancur, dan sopirnya tampak pingsan—atau tewas—dengan darah membasahi kepala.

Beberapa menit setelah kecelakaan, polisi mulai datang diikuti ambulans, dan upaya mengeluarkan para korban dari mobil tampak sangat merepotkan. Karena benturan yang terjadi antara dua mobil sangat keras, pintu mobil sulit dibuka akibat mekanismenya rusak. Beberapa orang berusaha membuka pintu dengan paksa, dan upaya itu butuh waktu cukup lama, hingga akhirnya korban-korban dalam mobil bisa dikeluarkan.

Saya bergidik ngeri ketika menyaksikan orang-orang itu digotong ke ambulans. Ada dua orang dari dalam Jazz, dan ada empat orang dari dalam Blazer. Semuanya bisa dibilang tidak ada yang “enak dilihat”. Tubuh mereka luka-luka, dengan darah di mana-mana, dan mungkin ada di antara mereka yang telah tewas.

Ketika saya kemudian melaju pulang, pemandangan yang baru saya saksikan tak juga hilang dari kepala. Mimpi apa orang-orang itu hingga sampai mengalami kecelakaan mengerikan seperti tadi? Mungkin tidak penting mereka mimpi apa sebelum kecelakaan. Yang lebih penting adalah melihat betapa mengerikan akibat yang bisa terjadi hanya karena kita tidak menaati peraturan.

Seperti mobil Jazz tadi. Dia menerobos lampu merah, karena mungkin berpikir waktu itu jalanan sudah sepi, hingga ia bebas melanggar aturan lalu lintas. Siapa pun yang bisa mengendarai mobil tentunya paham bahwa lampu merah artinya harus berhenti. Tapi ia tidak berhenti—apa pun alasannya. Dan pelanggaran terhadap aturan yang ia lakukan tidak saja membahayakan dirinya sendiri, tapi juga orang lain. Hanya karena tidak mau bersabar menunggu lampu merah, orang-orang lain terkena akibatnya.

Sejak menyaksikan kejadian itu, saya pun bersumpah pada diri sendiri untuk selalu berhenti di perempatan jika lampu merah menyala, tak peduli waktu itu sedang sepi sekali pun, tak peduli di sana tidak ada polisi sekali pun. Jauh lebih baik bersabar beberapa menit selama lampu merah menyala, daripada nekat melanggar aturan dan bisa berakibat bencana.

Ehmm....

Beberapa hari sebelum menulis catatan ini, saya membaca berita kecelakaan yang tak kalah tragis. Kali ini melibatkan kereta api dan odong-odong. Peristiwanya terjadi di Weleri, Kendal, yang diawali sebuah kereta api yang akan lewat.

Beberapa menit sebelum kereta api lewat, semua penjaga palang pintu lintasan rel akan diberitahu. Mereka pun kemudian bersiap menutup pintu rel yang memotong jalan raya, sehingga para pengendara dari kedua sisi jalan harus berhenti dan menunggu sampai kereta lewat. Hal itu pula yang terjadi di Weleri. Mustakfirin, penjaga palang pintu lintasan rel di sana, telah menutup pintu di kanan-kiri rel begitu kereta akan melintas. Itu prosedur rutin yang biasa dijalankannya.

Ketika palang pintu telah menutup, beberapa saat kemudian kereta api akan melintas lewat. Para pengendara di kedua sisi jalan sudah berhenti. Tapi rupanya ada orang yang tak sabar. Mungkin karena kereta tidak juga muncul, dua orang yang berboncengan motor di sana nekat menaikkan palang pintu yang menghalangi, lalu menerobos rel.

Langkah nekat itu kemudian diikuti odong-odong yang ada di belakangnya. Melihat dua orang tadi bisa menerobos dengan selamat, sopir odong-odong mungkin berpikir tak ada salahnya mengikuti mereka. Lalu dia pun membawa odong-odongnya menerobos rel, dan... kereta api tepat sampai di sana.

Akibatnya tentu sudah bisa dibayangkan. Begitu kereta api yang melaju kencang itu menabrak odong-odong, hasilnya adalah bencana. Seketika odong-odong terlempar, dan orang-orang di dalamnya menjadi korban. Ada sekitar 30 orang yang menumpang odong-odong itu, sebagian terluka parah, sementara dua orang dinyatakan tewas—seorang nenek, dan seorang balita.

Salah satu korban yang menderita parah bernama Kafrah, berusia 58 tahun. Dia termasuk penumpang odong-odong yang harus menjalani perawatan di rumah sakit. Akibat kecelakaan itu, tangan kirinya mengalami patah tulang, sementara kaki kirinya harus diamputasi. Biaya yang sudah dikeluarkan untuk perawatan mencapai 16 juta, padahal dia masih harus menginap di rumah sakit setidaknya sebulan lagi.

Polisi menetapkan Mustakfirin, penjaga lintasan rel kerata api, sebagai tersangka. Ia terancam Pasal 359 KUHP, dengan hukuman di atas 7 tahun. Banyak orang menganggap penahanan terhadap Mustakfirin sebagai ketidakadilan, karena dia telah menjalankan tugasnya dengan benar. Terlepas apakah Mustakfirin memang layak dijadikan tersangka atau tidak, sekali lagi kita menyaksikan betapa mengerikan efek yang ditimbulkan akibat melanggar peraturan.

Hanya karena tidak sabar menunggu kereta api yang akan lewat, orang-orang tak bersalah menjadi korban. Padahal, jika dikalkulasi dan dinalar dengan akal sehat, seberapa ruginya kita kehilangan waktu beberapa menit sampai kereta api lewat? Beberapa menit itu pasti tidak akan ada harganya jika dibandingkan dengan keselamatan kita.

Tetapi begitulah ironisnya kebanyakan manusia. Kita sering menghabiskan banyak waktu untuk hal-hal tak berguna, seperti menonton acara televisi yang tak bermanfaat, dan kita tidak menyadari bahwa itu pemborosan waktu sia-sia. Tetapi begitu diminta menunggu beberapa menit saja di perempatan lalu lintas atau di lintasan rel kereta api, kita tidak sabar.

Padahal, selama-lamanya waktu lampu merah di perempatan menyala, atau selama-lamanya pintu lintasan rel kereta api menutup, durasinya jauh lebih singkat dibanding waktu yang kita habiskan di depan televisi, atau dibanding pemborosan waktu lain yang biasa kita lakukan sehari-hari.

Manusia memang sering kali ironis. Untuk hal-hal tidak bermanfaat, kita rela menghabiskan banyak waktu. Untuk hal-hal sia-sia, kita bersedia memboroskan banyak waktu. Padahal waktu yang kita gunakan tidak memberikan hasil apa-apa, selain terbuang percuma. Tetapi begitu diminta meluangkan sedikit waktu demi mematuhi peraturan, kita tidak sabar. Padahal waktu yang kita berikan untuk hal itu berhubungan dengan keselamatan hidup kita dan orang lain.

Mungkin ada baiknya untuk mengingat bahwa lampu merah bukan ditujukan untuk menghambat perjalanan kita, tetapi dimaksudkan untuk menjaga nyawa kita. Mungkin ada baiknya pula untuk mengingat bahwa palang pintu rel kereta api tidak ditujukan untuk menghalangi perjalanan, melainkan untuk menjaga keselamatan. Dan langkah terbaik yang bisa kita lakukan terhadap sang penjaga bukan mengutuknya, melainkan berterima kasih kepada mereka.

Yang Ada Unsur Mbakyunya

Dia berkata, “Da’, kamu mau tak cariin pacar?”

Saya menyahut, “Ah, kamu baik sekali. Mau, dong.”

“Kamu penginnya yang kayak gimana, sih?”

“Yang ada unsur mbakyunya.”

Dia menatap saya bingung, “Yang... apa?”

“Yang ada unsur mbakyunya.”

“Yang ada unsur mbakyunya?” dia ragu-ragu. “Uh, unsur mbakyu itu yang gimana, sih?”

Sekarang saya yang bingung. “Yah... yang gitu, lah. Dewasa, dan menenteramkan.”

“Uhm... agak kabur gambarannya. Bisa kasih contoh?”

“Itu, yang kayak Ren Mukai.”

“Ren Mukai itu siapa?”

....
....

Hening.

Ini Ngehek Banget

“Dia ngomong apa, sih?”

“Nggak tahu, Bang. Dia emang suka ngemeng nggak jelas gitu. Katanya sih dia mendengar suara langit.”

(((((Mendengar suara langit???)))))

Senin, 07 April 2014

Catatan Duka untuk yang Tercinta

Bunyi paling menenteramkan adalah “tit”
di awal loading komputer. Bunyi itu seolah berkata,
“Aku baik-baik saja. Mari kita kerja.”
@noffret 


—Mengenang komputerku yang telah tiada

Catatan ini saya tulis sambil mengenang komputer yang amat saya sayangi, sebuah benda yang selama ini menemani hari-hari saya, malam-malam saya, saat bahagia maupun sedih. Catatan ini saya tulis sambil membayangkan kenangan demi kenangan yang telah saya jalani bersamanya—saat marah, letih, gelisah, atau senang, karena berbagai alasan. Catatan ini saya persembahkan untuk mendiang komputer saya tercinta, yang semoga bahagia di alam sana—jika memang ada.

Di dunia ini, tidak ada siapa pun yang lebih memahami saya selain komputer yang selama bertahun-tahun telah menjadi teman serumah, kawan dalam bekerja, dan sahabat dalam hidup. Dialah yang telah membantu saya menulis naskah, artikel, makalah, juga catatan-catatan yang diposting di blog. Dia sahabat dalam arti sebenarnya—sosok yang banyak membantu namun diam di balik kesuksesan sahabatnya. Dan sahabat terbaik itu sekarang telah mati, pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan saya dalam duka cita.

*Mengusap air mata*

Dua belas tahun yang lalu, saya membeli komputer, yang kemudian menjadi belahan jiwa dan teman kerja terbaik. Waktu itu, Pentium 3 baru muncul. Saya membelinya satu set—CPU, monitor, speaker, keyboard, dan mouse. Itulah komputer pertama yang saya miliki di muka bumi. Sejak itu pulalah, saya memulai persahabatan panjang dengan komputer tersebut, dan perjalanan kami kemudian berlangsung selama dua belas tahun lamanya.

Selama dua belas tahun, komputer itu setia menemani siang dan malam, pagi dan sore, kapan pun saya membutuhkan. Sering kali, saat saya bangun tidur, saya akan langsung menyalakannya, dan kemudian kami bekerja sampai malam tiba. Kalau saya tidak beristirahat, dia juga tidak beristirahat. Kalau saya lembur dan begadang sampai pagi, dia juga ikut begadang. Bahkan, ketika saya tidak tidur berhari-hari, dia juga ikut tidak tidur berhari-hari.

Selama waktu-waktu itu, dia menjadi sahabat yang sangat baik, rekan kerja yang menyenangkan. Dia selalu siap diajak bekerja tanpa kenal lelah. Dan ketika saya ingin berkeluh kesah menuliskan apa pun di dalamnya, dia juga tidak pernah bosan menerima keluh kesah saya. Kadang-kadang saya juga menyemburkan kemarahan dan caci maki lewat tulisan, dan dia tetap tenang, memberi kesempatan saya melakukannya.

Kadang-kadang, saya juga sangat keterlaluan. Di waktu-waktu tertentu, saya perlu memecahkan hal-hal rumit yang tak mampu dipahami otak saya. Entah dokumen yang terkunci enkripsi, atau rumus-rumus membingungkan, atau lainnya. Ketika menghadapi hal semacam itu, saya akan memberikannya pada komputer untuk mengerjakannya. Kadang dia butuh waktu lama untuk mengerjakan itu, dan saya pun meninggalkannya untuk tidur. Biasanya, saat saya bangun tidur, dia telah menyelesaikan tugasnya, meski badannya jadi cukup panas.

Dia tak pernah mengeluh, tak pernah lelah membantu saya—seberat apa pun tugas yang harus dikerjakannya, sepanjang apa pun waktu yang diberikannya. Kadang-kadang, saat kelelahan bekerja, saya tertidur di hadapannya tanpa sengaja, namun dia tidak ikut tidur. Dia terus terjaga. Biasanya pula dia baru akan tidur setelah saya terjaga, dan sadar dia masih menyala, lalu mematikannya melalui shut down. Kalau tidak terlalu lelah, saya kadang menepuk-nepuknya dengan sayang, sambil minta maaf.

Bahkan telah sebaik itu pun, saya kadang masih bersikap kasar kepadanya. Ketika saya memberinya tugas tertentu yang mungkin sulit, dan dia agak kebingungan, saya kadang marah-marah kepadanya. Jika mengingat hal itu, saya sangat menyesal.

Dia sangat memahami diri saya, sifat dan karakter, juga kebiasaan-kebiasaan saya. Dia tahu catatan apa saja yang pernah saya tulis. Dia tahu bagaimana perjalanan buku-buku saya mulai dari nol, sejak saya menuliskan kata pertama. Dia tahu sebanyak apa tulisan saya yang tak pernah terpublikasikan, dan hanya kami nikmati berdua. Dia pun tahu musik-musik apa yang pernah kami nikmati, juga film-film apa yang pernah kami tonton bersama.

Dia sahabat terbaik yang bisa diperoleh seorang penyendiri seperti saya.

Dan sekarang sahabat terbaik itu telah pergi. Selamanya.

Suatu hari, komputer yang hebat namun bersahaja itu tak mau terbangun saat saya nyalakan. Biasanya, begitu saya menyentuh tombol power, dia langsung terjaga, dan mengeluarkan suara “tit” yang akrab. Lalu lampu-lampunya menyala, seolah menyapa dengan ramah. Tapi hari itu dia hanya diam. Tidak ada suara, tidak ada lampu menyala. Saya kembali menekan tombol power, dan dia lagi-lagi hanya diam.

Saya mendekatinya, dan berbisik, “Kamu kenapa?”

Dia hanya diam.

“Kamu sakit?”

Dia diam.

“Tolong jawab aku...”

Diam.

Pada waktu itulah firasat saya menyatakan sesuatu telah terjadi padanya. Setelah berusaha “membangunkan” namun dia tetap diam seperti semula, saya pun menyimpulkan dia sedang mengalami masalah. Maka saya menghubungi rumah sakit—maksud saya tukang servis komputer—untuk menanyakan kondisinya.

Si tukang servis memeriksa komputer saya, membuka badan CPU, mengecek semua yang perlu diperiksa. Setelah itu ia menggelengkan kepala dengan sedih, seperti dokter yang akan mengabarkan berita kematian.

“Maafkan saya,” tukang servis itu berkata sopan, “ini komputer built-up.”

“Ya...?” saya menatapnya bingung. “Apa artinya itu?”

Menyadari saya tidak paham maksudnya, dia pun menjelaskan dengan bahasa awam, “Begini. Ada komputer rakitan, ada pula komputer built-up. Komputer rakitan adalah komputer yang dirakit tangan. Artinya, komputer itu semula komponen-komponen terpisah, kemudian dirakit manusia. Sedang komputer built-up adalah komputer yang dirakit mesin pabriknya secara langsung. Artinya, sejak semula komputer built-up sudah saling menyatu.”

Kedengarannya hebat, pikir saya. Tapi saya tetap belum paham.

Si tukang servis melanjutkan, “Karena dirakit mesin pabriknya secara langsung, komputer built-up lebih bagus—karena lebih presisi—juga lebih awet, dan tentu lebih mahal. Tapi komputer built-up punya kelemahan. Jika satu komponen mengalami masalah atau kerusakan, biasanya semua komponen akan terkena dampaknya. Hal itulah yang sekarang terjadi pada komputer Anda.”

“Jadi... apa yang terjadi dengan komputer saya?”

“Motherboard komputer Anda bermasalah,” jawabnya dengan nada profesional. “Motherboard adalah induk komputer, yang menopang hampir semua komponen dalam CPU.”

“Bisakah itu diganti?” tanya saya penuh harap.

Dia berusaha tersenyum untuk menghibur hati saya yang risau. “Seperti yang tadi saya bilang, ini komputer built-up. Jika masalah semacam ini terjadi pada komputer rakitan, motherboard yang rusak bisa dilepas dan diganti yang baru. Tapi hal semacam itu sulit dilakukan pada komputer Anda. Omong-omong, sudah berapa lama komputer ini dipakai?”

“Dua belas tahun,” jawab saya jujur.

“Dua belas tahun...???” dia terkejut, seolah mendengar Nabi Isa akan turun dari langit nanti sore.

“Uh... apa itu salah?” tanya saya dengan lugu.

Dia menjelaskan, “Seumur-umur jadi tukang servis, baru kali ini saya menemui ada komputer yang bisa hidup sampai dua belas tahun.”

“Dia sahabat sejati saya!” tanpa sadar saya berteriak, rasanya ingin terisak.

“Uh... yeah, sepertinya komputer Anda memang sudah saatnya... anu... uhm... sudah saatnya mengalami masalah seperti ini.”

Sambil menahan tangis, saya bertanya penuh harap, “Tidak bisakah kita hidupkan dia lagi? Saya masih ingin bersamanya!”

“Sulit, Mas,” jawabnya. “Kalau pun kita memaksa dia untuk bisa hidup lagi, maka kita harus mengganti semua komponen di dalamnya. Uhm... jujur saja, itu biayanya bisa lebih mahal daripada beli komputer yang baru.”

Sambil menyentuh CPU yang kini membeku dingin, saya berkata sambil menahan tangis, “Saya tak mengira dia akan pergi secepat ini...”

Tukang servis itu menatap saya dengan sedih, lalu berkata perlahan, “Sudah takdirnya, Mas. Sebaiknya diikhlaskan...”

Saya terisak.

....
....

Setelah menerima keadaan bahwa sahabat saya—maksudnya komputer itu—tak bisa tertolong lagi, mau tak mau saya pun harus merelakannya. Sekarang keberadaannya telah digantikan komputer baru yang lebih hebat dan lebih canggih, dengan kinerja yang juga lebih mengagumkan, tapi saya tahu dia sosok yang tak tergantikan. Dengan segala keterbatasan dan kesederhanaannya, dia telah menjadi sahabat yang baik selama bertahun-tahun, dan saya tahu kebersamaan dengannya tak bisa digantikan dengan apa pun.

Kini, saat saya menulis catatan ini, saya kembali terkenang segala kenangan bersamanya—kenangan-kenangan yang kami bangun dalam diam, kebersamaan yang kami lalui dengan hening. Suatu saat, kapan pun, di salah satu buku yang saya tulis, saya akan mengucapkan terima kasih khusus untuknya, di sebuah lembar khusus, sebagai penghargaan kepadanya. Dia telah menjadi teman terbaik, pendukung paling setia dalam pekerjaan, yang memberikan segalanya... namun dalam diam.

Selamat jalan komputer tersayang. Meski kau telah pergi, saat-saat bersamamu tetap tersimpan di sini, dalam kenangan, tak terlupakan.

Mencari Mbakyu

Saya sedang duduk bengong di depan rumah ketika seorang bocah tetangga keluar dari rumahnya dengan terburu-buru. Melihat itu, saya menegur, “Kamu mau kemana, kok buru-buru?”

“Aku mau mencari mbakyuku,” sahut si bocah.

Mendengar itu, saya buru-buru mengambil sandal, dan berteriak pada si bocah, “Aku ikuuut...!”

Ngemeng

Dalam ideologi, semua hal hanya konsep selama tidak ada bukti.

Dalam realitas, semua hal hanya omong kosong jika tanpa realisasi.
 
Jumat, 04 April 2014

Prabowo Ngambek Gara-gara Megawati Kelamaan Mandi

Orang pertama yang perlu kita mintai maaf
adalah diri sendiri. Orang pertama yang
paling perlu dimaafkan adalah diri sendiri.
@noffret 


Ini serius. Nama Prabowo serta Megawati yang ada pada judul catatan ini memang Prabowo Subianto serta Megawati yang terkenal itu. Dan hanya gara-gara kelamaan menunggu Megawati mandi, Prabowo “ngambek” hingga hubungan keduanya menjadi renggang.

Kisah ini dimulai pada lebaran tahun lalu (2013). Ceritanya, Prabowo bersilaturrahmi ke rumah Megawati. Kebetulan, saat Prabowo datang, Megawati sedang mandi. Maka Prabowo pun menunggu. Tapi Megawati tidak juga selesai mandi.

Yang jadi masalah, waktu itu Megawati mandi di kamar mandi pribadi yang ada di kamar tidurnya. Akibatnya, orang rumah jadi enggan mengetuk pintu. Satu-satunya pilihan mereka hanya menunggu Megawati selesai, hingga ia keluar dari kamar dan siap menyambut tamu-tamunya.

Selama beberapa saat, Prabowo menyabarkan diri menunggu. Tetapi, setelah dipikirnya Megawati kelamaan mandi, Prabowo pun gusar, lalu memutuskan untuk pulang. Ia juga ngambek, karena mengira Megawati tidak mau menemuinya. Beberapa menit kemudian, Megawati selesai mandi, tapi Prabowo sudah pergi. Gara-gara insiden itu, hubungan keduanya renggang.

Kisah itu menunjukkan kepada kita, bahwa seterkenal apa pun seseorang, mereka tetap manusia biasa. Yang kadang egois, atau kadang terlalu sensitif.

Mungkin Megawati biasa mandi lama-lama, jadi dia tidak peduli apakah dirinya sedang ditunggu tamu atau tidak. Umumnya wanita memang seperti itu—suka mandi lama-lama—karena nyokap saya pun begitu. Atau bisa jadi Megawati sebenarnya tidak tahu kalau saat itu ada Prabowo yang sedang menunggunya di ruang tamu, jadi ia tetap asyik saja mandi lama-lama tanpa menyadari dia sedang ditunggu.

Sementara itu, Prabowo mungkin terlalu sensitif. Karena Megawati tidak juga selesai mandi, bisa jadi Prabowo berpikir kalau itu hanya “akal-akalan” Megawati saja yang tidak ingin menemuinya. Atau mungkin pula waktu itu Prabowo sedang buru-buru, jadi dia tidak mau buang-buang waktu hanya untuk menunggu Megawati selesai mandi. Apa pun kemungkinannya, hubungan kedua orang itu jadi renggang.

Sekali lagi, kisah itu menunjukkan kepada kita, bahwa seterkenal apa pun seseorang, mereka tetap manusia biasa. Yang kadang egois, atau kadang terlalu sensitif.

Ketika menyadari hubungan mereka renggang sejak insiden itu, kenapa tidak ada upaya dari mereka untuk berkomunikasi? Misalnya, mengapa Megawati tidak menghubungi Prabowo dan berkata baik-baik, “Pak Prabowo, maafkan saya. Kemarin waktu Pak Prabowo datang ke rumah, saya sedang mandi, dan saya sama sekali tidak tahu kalau Pak Prabowo sedang menunggu. Saya benar-benar menyesal.”

Dan kenapa juga Prabowo tidak mencoba menghubungi Megawati secara baik-baik dan berkata, misalnya, “Bu Mega, kemarin saya ke rumah Anda, tapi—menurut orang rumah—Anda sedang mandi. Saya sudah menunggu, tapi kebetulan waktu itu sedang buru-buru, jadi saya putuskan untuk pulang. Saya minta maaf, karena telah menjadi tamu yang kurang sabar.”

Jika kedua orang itu mau berkomunikasi secara baik-baik seperti di atas, mungkin hubungan mereka akan tetap sebaik semula. Tapi tidak—keduanya hanya diam, tidak ada yang mau mengalah, dan konflik kecil itu kemudian menjadi luka menganga. Tetapi, sekecil apa pun, luka tetap luka. Sebagaimana tubuh terluka mudah terinfeksi kuman dan bakteri, hubungan yang terluka juga sama.

Mungkin Megawati terlalu egois. Atau mungkin Prabowo terlalu sensitif. Yang jelas, keduanya ikut berperan atas terjadinya luka kecil dalam hubungan mereka. Dan karena luka kecil itu tidak segera diobati, kuman-kuman dan bakteri pun menghinggapi, hingga kemudian terjadi infeksi. Dalam konteks hubungan Megawati-Prabowo, infeksi yang terjadi adalah konflik politik yang sekarang terjadi.

Hanya karena luka kecil yang tidak segera ditutup dan diobati, hubungan yang semula baik menjadi buruk, seseorang yang semula dianggap teman berubah menjadi lawan. Kenyataan semacam itu tidak hanya terjadi di dunia politik, tapi juga dalam kehidupan kita sehari-hari—di dunia nyata, maupun di dunia maya.

Di Twitter, saya pernah mendapati seseorang marah-marah pada temannya, hanya karena mention-nya tidak dibalas. Itu masalah sepele, cuma mention yang tidak dibalas. Dan penyebab mention yang tidak dibalas pun bisa sangat beragam—karena sedang sibuk dan stres hingga tidak sempat membalas mention, atau karena terlalu banyaknya mention yang masuk hingga tidak sempat membalas satu per satu. Tetapi hanya karena masalah sesepele itu pun, dua orang yang semula berteman bisa berselisih.

Begitulah manusia—begitulah kita. Sering kali, hubungan baik antar manusia rusak justru karena hal-hal sepele semacam itu.

Suatu malam, saya pernah menelepon seorang teman, untuk menanyakan sesuatu yang waktu itu sedang sangat saya butuhkan. Kami sempat bercakap-cakap beberapa saat, kemudian hubungan itu terputus tiba-tiba. Saya mencoba meneleponnya kembali, tapi ponselnya mati. Saya coba lagi beberapa kali, tapi ponselnya tetap tidak bisa dihubungi. Waktu itu saya sedang bingung campur panik, jadi kenyataan itu terasa sangat mengesalkan hingga membuat saya memaki-maki dalam hati.

Ketika sedang mengalami hal semacam itu, naluri kekanakan saya muncul dengan segala sensitifitasnya yang kadang keterlaluan. Setelah beberapa kali mencoba menelepon dan tetap tidak bisa, saya pun menyimpulkan teman saya memang tidak mau menjelaskan sesuatu yang saya tanyakan kepadanya. Saya ngambek! Dan, yang memalukan, saya sempat berjanji dalam hati untuk membalas perbuatannya. Lain kali, pikir saya waktu itu, jika dia menanyakan sesuatu, saya tidak akan sudi menjawabnya!

Keesokan harinya, sambil menikmati kopi setelah bangun tidur, kepala saya sudah dingin, dan logika saya mulai bisa diajak bekerja. Saya pun berpikir, mungkin teman saya tidak bermaksud buruk. Mungkin dia tidak sengaja memutus percakapan kami. Mungkin baterai ponselnya kebetulan habis ketika kami sedang berkomunikasi. Ya, hal-hal semacam itu biasa terjadi, kan?

Kenyataannya memang begitu. Satu hari setelah kejadian itu, teman saya menelepon, dan berkata, “Sori, kemarin pas kamu nilpon, bateraiku pas habis. Nggak bisa nge-cas, karena lagi di jalan.”

Apakah saya marah mendengar penjelasan itu? Tentu saja tidak! Kami bahkan sempat ngobrol dan cekikikan di ponsel waktu itu, dan sampai sekarang hubungan kami baik-baik saja. Bahkan umpama dia menelepon ketika kepala saya masih panas pun, kemungkinan besar saya tidak akan marah, karena dia meminta maaf, dan menjelaskan masalahnya secara jujur.

Kebesaran hati untuk meminta maaf dan komunikasi yang jujur adalah pilar penting dalam hubungan yang baik antar manusia. Hal itu berlaku sejak zaman para filsuf agung yang hidup ribuan tahun lalu, dan tetap sama berlakunya bagi manusia-manusia modern yang hidup di zaman sekarang. Berurusan dengan manusia artinya berurusan dengan emosi dan logika.

Emosi dan logika, itulah dua faktor yang menggerakkan manusia. Orang tergerak untuk melakukan sesuatu, berbuat sesuatu, membangun sesuatu, atau bahkan merusak sesuatu, semuanya digerakkan oleh emosi dan logika. Dua faktor penting itu terus bekerja dalam kehidupan manusia—kadang beriringan, kadang sendiri-sendiri. Apa pun bentuknya, berurusan dengan manusia tetap saja berurusan dengan emosi dan logika.

Karenanya, kebesaran hati untuk meminta maaf dibutuhkan untuk meredam emosi manusia lain. Sementara komunikasi yang jujur dibutuhkan untuk menjawab logika manusia lain.

Jika masing-masing manusia mau berbesar hati untuk meminta maaf dan berkomunikasi secara jujur, tidak ada masalah di muka bumi yang tidak bisa diselesaikan. Yang menjadikan masalah berlarut-larut dan kemudian meruncing menjadi perselisihan atau bahkan permusuhan, karena manusia terlalu tinggi hati untuk meminta maaf, dan tidak mau jujur dalam berkomunikasi.

Megawati tidak mau meminta maaf pada Prabowo, mungkin karena berpikir, “Salah saya apa, ya? Saya kan lagi mandi, dan tidak tahu kalau dia ada di rumah saya. Kalau dia tidak sabar dan kemudian pulang, kenapa saya harus minta maaf kepadanya?”

Sementara Prabowo mungkin terlalu dikuasai sensitifitasnya, hingga tidak mau berpikir lain, dan tetap menganggap Megawati sengaja mandi lama-lama karena memang tidak mau menemuinya. Prabowo juga tentu tidak mau minta maaf, karena dia bisa saja berpikir, “Kenapa saya yang harus minta maaf? Kan dia yang kelamaan mandi, sampai saya harus menunggu terlalu lama!”

Secara fisik, manusia memang berubah—dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa, hingga menua. Tetapi secara psikis, manusia tak pernah berubah—tetap dikuasai emosi dan logika. Tinggal faktor mana yang paling berperan, maka itulah dirinya. Dan kepada Pak Prabowo serta Ibu Megawati, tolong maafkan saya karena telah menulis catatan yang mungkin kurang ajar ini.

Noffret’s Note: Perempuan

“Tidak masuk akal” adalah sesuatu
yang diteriakkan laki-laki dalam kesunyian,
dan dilakukan perempuan secara terang-terangan.
—Twitter, 28 Januari 2013

Semula, Benci dan Rindu menjalin persahabatan.
Tetapi, kemudian, Tuhan menciptakan Perempuan.
Lalu kisah baru pun dimulai.
—Twitter, 26 November 2012

Perempuan mungkin diciptakan ketika langit sedang hujan,
atau ketika angin cemburu pada hening rembulan.
—Twitter, 7 Desember 2012

Perempuan diciptakan dengan unsur kecemburuan
yang sepertinya terlalu besar. Lelaki hidup dengan
menanggung kebodohan dalam memahaminya.
—Twitter, 10 Desember 2012

Bahkan jika dia bukan pacarmu pun, perempuan
sudah cemburu jika dia tahu atau melihatmu
melakukan sesuatu yang sama kepada perempuan lain.
—Twitter, 10 Desember 2012

Perempuan tak menginginkan pesaing.
Bahkan jika si pesaing dapat ia kalahkan.
—Twitter, 10 Desember 2012

Kecemburuan bukan ancaman, tapi
keterancaman. Tanyakan saja pada perempuan.
Dengan catatan mereka sedang sadar.
—Twitter, 28 Januari 2013

Ketika lelaki menjalin hubungan dengan perempuan,
hubungan itu terdiri dari 1 lelaki, 1 perempuan,
2 cinta, dan 1.000 kemungkinan cemburu.
—Twitter, 10 Desember 2012


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Soal Hati

Kalau kau berpikir aku mempermainkanmu, aku justru berpikir kau sedang mempermainkanku.

Kau memanggil-manggilku. Tapi begitu aku mendekat, kau menutup pintu. Orang lain berusaha meraihku, kau justru berusaha menyakitiku.

Aku khawatir, di suatu waktu, aku akan lelah. Atau bosan. Dan kita benar-benar tak akan pernah bertemu.

Selasa, 01 April 2014

Kursus LDR di Travel

Tantangan LDR, katanya, kau tidak tahu pacarmu
sedang apa atau bersama siapa di malam Minggu,
di tempat yang jauh darimu.
@noffret


Saya bisa menghafal banyak hal dengan cukup mudah, tapi sering kesulitan menghafal arah jalan. Jangankan arah jalan di tempat asing, bahkan jalan di kota saya pun sering tampak membingungkan. Sepertinya ada yang “eror” dalam memori saya, hingga sulit mengingat arah. Untuk menghafal suatu jalan, saya harus melewati jalan itu berpuluh kali hingga saya benar-benar bisa “menyerap” semua yang ada di sana.

Karena kelemahan itu pula, saya pun selalu mengandalkan travel untuk bepergian. Sebagai orang rumahan yang biasa damai tinggal di rumah, sebenarnya saya tidak suka bepergian, jalan-jalan, traveling, atau apa pun sebutannya. Hanya berdiam di rumah, saya bisa mengerjakan apa pun, berkomunikasi dengan siapa pun, dan bisa mendapatkan apa pun yang saya inginkan.

Tetapi, kadang-kadang, sesuatu memaksa saya keluar dari rumah dan pergi ke suatu tempat. Entah untuk urusan pekerjaan, atau menemui seseorang. Untuk keperluan itu, saya benar-benar bersyukur dengan adanya travel. Saya tinggal menelepon, menyebutkan tujuan dan jadwal yang saya inginkan, maka travel langganan pun akan datang menjemput... dan mengantarkan saya ke tempat tujuan. Mudah, dan praktis. Saya tinggal duduk manis.

Suatu hari, saya perlu pergi ke Yogya untuk menemui seseorang. Travel datang menjemput jam sembilan pagi. Tanpa diduga, saya mendapat tempat duduk tepat di sebelah seseorang yang saya kenal. Namanya Fikri—dia teman sepermainan zaman SMA. Maka selama perjalanan itu pun kami ngobrol asyik sembari bernostalgia.

“Ada acara apa di Yogya?” tanyanya di sela-sela obrolan kami.

“Menemui teman,” saya menjawab. “Kamu?”

“Menemui pacar.”

“LDR, ya?”

Fikri mengangguk sambil tersenyum. Dia lalu menceritakan hubungannya dengan si pacar di Yogya. Mereka bertemu pada waktu kuliah di sebuah kampus di sana. Saling jatuh cinta, dan memutuskan untuk menjalin hubungan. Saat lulus kuliah, Fikri membantu usaha orang tuanya di kota kami, sementara si pacar melanjutkan kuliah S2. Tapi mereka berkomitmen untuk melanjutkan hubungan, meski jarak kini memisahkan. Maka mereka pun menjalani LDR—long distance relationship, atau hubungan jarak jauh—hingga tiga tahun ini.

“Bagaimana rasanya menjalani LDR?” tanya saya penasaran.

“Yeah, seperti hubungan lain. Ada sukanya, juga ada dukanya.”

Sukanya, menurut Fikri, LDR menjadikan masing-masing mereka punya waktu untuk mengurus diri sendiri. Berbeda dengan hubungan yang setiap saat bisa bertemu, LDR lebih memberi kesempatan bagi mereka untuk mengurus hidup masing-masing, karena minimnya pertemuan dengan pacar. Dengan kata lain, LDR memberi kesempatan untuk tumbuh mandiri dan tidak terlalu terikat dengan sang pacar.

Saya memahami hal itu. Hubungan dengan seorang pacar sering kali sangat menyita waktu, dan itu cukup menyiksa, khususnya kalau kita punya banyak kesibukan. Pacar yang tinggal berdekatan—katakan saja satu kota—sering menghabiskan waktu kita untuk hal-hal “tidak penting”, semisal menemaninya belanja, nyalon, jalan-jalan, atau setidaknya permintaan untuk datang ke rumahnya. Itu pun masih ditambah dengan telepon-telepon tidak penting dan SMS-SMS yang sama tidak pentingnya.

LDR bisa membebaskan masing-masing pasangan untuk tumbuh mandiri, karena masing-masing memiliki lebih banyak waktu dan kebebasan. “Itu sukanya LDR,” ujar Fikri. Ia mengakui, LDR membuatnya leluasa mengurus kesibukannya di rumah, karena tidak selalu “direcoki” pacarnya. Karenanya, Fikri pun bisa memusatkan seluruh konsentrasinya pada pekerjaan, hingga bisa bekerja dengan lebih baik.

Selain itu, LDR memberikan saat-saat pertemuan yang sangat manis dan berkesan. Tentu saja, karena mereka tidak bisa bertemu setiap saat. Setelah masing-masingnya dilanda kerinduan yang lama dipendam, detik-detik pertemuan pun terasa lebih membahagiakan. “Setiap kali aku datang menemuinya, aku merasa makin cinta kepadanya,” ujar Fikri menceritakan pacarnya, sementara travel terus melaju menuju Yogya.

Hal semacam itu sulit diperoleh dalam hubungan jarak dekat. Kalau sepasang pacar selalu ketemuan setiap hari, apalagi masih ditambah telepon dan SMS setiap saat, cepat atau lambat salah satunya—atau keduanya—akan bosan. Di awal hubungan mungkin hal semacam itu terasa manis dan menyenangkan. Tetapi, lama-lama, rasa bosan mulai datang. Dari situlah biasanya lalu muncul pertengkaran, perselisihan, dan hal-hal tidak penting lainnya, yang berujung pada putus hubungan.

LDR memberi sesuatu yang sangat penting dalam hubungan, yakni jarak. Dalam hubungan apa pun, jarak selalu dibutuhkan. Selama masing-masing orang menghormati jarak tersebut, hubungan akan selamat. Tetapi jika jarak itu diretas atau diterobos, hubungan pun akan bubar.

Hubungan yang kita jalin dengan seseorang tak jauh beda dengan pasir dalam genggaman. Jika kita menggenggamnya dengan wajar, pasir itu akan tetap ada. Tetapi begitu kita mengeratkan genggaman, pasir akan keluar dari sela-sela jari. Mengeratkan genggaman pada pasir adalah menghilangkan jarak dalam hubungan. Jika jarak dihilangkan, hubungan pun bubar.

Karenanya, cara mudah memutuskan hubungan dengan seseorang bukan menjauhinya, melainkan justru semakin mendekatinya. Jika dua orang menjalin hubungan dengan sangat dekat tanpa jarak apa pun, hampir bisa dipastikan hubungan itu akan bubar. Tidak adanya jarak menghilangkan sikap respek pada seseorang. Tidak adanya jarak memicu gesekan perselisihan. Dalam contoh paling mudah, tidak adanya jarak menimbulkan kebosanan.

Untuk orang-orang yang menginginkan hubungan secara dewasa, LDR adalah hubungan yang ideal. LDR memberi pelajaran tentang cara menjalin hubungan secara lebih baik, dewasa, dan lebih bertanggung jawab. 

Tetapi, poin terakhir itu pula yang kadang menjadi dukanya LDR. Tanggung jawab dalam LDR harus dimiliki keduanya. Artinya, masing-masing pelaku LDR harus saling percaya pada pasangannya. “Kalau ingin menjalin LDR dengan seseorang,” ujar Fikri, “hal pertama yang harus kita miliki adalah kepercayaan.”

Kepercayaan itu sulit, dan Fikri pun mengakuinya. Bagaimana pun, mereka terpisah jarak cukup jauh, sehingga tidak setiap saat bisa bertemu, tidak setiap saat bisa bertatap muka. Kalau kangen, mereka hanya berkomunikasi lewat ponsel atau sarana internet. Komunikasi dalam LDR sangat penting, tetapi yang lebih penting lagi adalah kepercayaan—percaya bahwa pasangan kita bisa dipercaya.

“Itu hal tersulit dalam LDR,” kata Fikri. “Bagaimana pun, kamu tidak selalu tahu pacarmu sedang apa, sedang bersama siapa, dan tidak ada cara pasti untuk mengetahuinya.”

Di era teknologi seperti sekarang, memantau aktivitas seseorang mungkin bukan hal sulit. Tetapi, ironisnya, memantau pacar kita sendiri justru sangat sulit.

Orang yang menjalani LDR mungkin bisa memantau pacarnya lewat Twitter. Tetapi si pacar bisa saja tampak manis di Twitter, namun ternyata selingkuh di Facebook. Kita pantau di Facebook, dia bisa asyik saling rayu di BBM. Kita pantau di BBM, dia ngumpet di WhatsApp. Kita pantau di WhatsApp, dia nyelonong ke Line. Kita pantau di Line, dia chatting via e-mail. Kita retas e-mailnya, dia bisa ketemuan langsung dengan selingkuhan tanpa sepengetahuan kita.

Bagaimana pun, seperti yang dinyatakan Fikri tadi, tidak ada cara pasti untuk mengetahuinya. Itulah tantangan terbesar LDR—kepercayaan dan tanggung jawab. Kepercayaan bahwa pacar kita bisa dipercaya, dan tanggung jawab untuk selalu menjaga kepercayaan pacar kita. Itu pula modal Fikri dalam menjalin LDR dengan pacarnya. “Aku percaya dia menjaga kepercayaanku, sebagaimana aku selalu berupaya menjaga kepercayaannya.”

Dalam LDR, kata Fikri, siapa kita sama sekali tidak penting. Sama tidak pentingnya dengan berapa panjang jarak yang memisahkan. Yang paling penting adalah komitmen untuk saling menjaga kepercayaan, dan tanggung jawab dalam melangsungkan hubungan.

Saya setuju dengannya. Jangankan LDR yang dibatasi jarak, bahkan hubungan dengan pacar satu kampung pun bisa bubar jika tidak ada tanggung jawab, komitmen, dan kepercayaan.

“Tantangan terbesar dalam menjalin hubungan,” kata Fikri, “adalah menunjukkan bukti bahwa kita bisa dipercaya. Apalagi dalam hubungan jarak jauh. Dalam LDR, kesetiaan pacar kita diukur dari tingkat kepercayaan kita kepadanya.”

Percakapan kami masih terus berlangsung, seiring travel yang terus melaju, dan tanpa terasa kami mulai memasuki Yogya. Hari sudah mulai sore. Satu per satu penumpang turun di tempat tujuan masing-masing, dan isi travel terus berkurang. Karena tujuan Fikri lebih dekat, travel mengantarkan Fikri terlebih dulu. “Aku turun di sini,” ujarnya berpamitan pada saya.

Dia turun di depan sebuah rumah yang mungkin tempat kos pacarnya. Saat dia melangkah memasuki halaman, tampak seorang perempuan menyambutnya dengan ekspresi yang meluluhkan hati seorang kekasih. Sesaat saya memandangi mereka. Saya ingin lebih lama memandangi mereka... tapi travel mulai melaju kembali.

Sore itu, gerimis turun di Yogya.

Ngaku Salah aja Ribet!

Jadi, kalau aku menulis yang begitu-begitu, pura-pura tidak tahu. Tapi kalau aku menulis yang begini-begini, langsung kirim link ke dasboard. Oh, tentu saja aku paham. Itu mainan anak-anak!

Semula, karena panik, kirim link saban hari. Biar dikira pembaca setia. Makin lama semakin jarang. Lama-lama bakal hilang beneran, deh.

Ngaku salah aja kok ribet!

Soal Marissa Haque

Saya bukan penggemar Marissa Haque, jadi tidak selalu mengikuti berita tentangnya. So, ketika ada teman yang minta agar saya menulis tentang Marissa Haque, terus terang saya kebingungan, dan tidak tahu apa yang harus saya tulis tentangnya.

Teman saya tertarik pada Marissa Haque, karena wanita mantan artis itu tampaknya sangat hobi memamerkan gelar atau titelnya, hingga semuanya ditulis di depan dan belakang namanya. Menurutnya, itu konyol. Ya, menurut saya juga konyol. Karena manusia bukan apa gelar atau titel akademisnya, melainkan apa yang dilakukannya.

Maksud saya, terus terang saja, saya menghormati seseorang bukan karena gelar atau titelnya, tapi bagaimana dirinya. Orang boleh bergelar Doktor campur Profesor, tetapi saya tidak bisa menghormatinya jika perilakunya tercela. Sebaliknya, seseorang mungkin tidak punya gelar atau titel apa-apa, bahkan mungkin tidak makan bangku sekolah, tapi bisa jadi saya akan mencium tangannya dengan takzim karena dia memang sosok mulia.

Soal Marissa Haque, terus terang saya tidak tahu banyak tentang dia. Hanya, dulu, saya sempat tertarik mengikuti berita tentangnya ketika dia diketahui “mengubah” komentar beberapa orang di blognya, hingga para “korbannya” melancarkan protes. Lalu ada pula beberapa “keributan” yang berhubungan dengan dirinya di Twitter yang pernah mencuat, dan saya juga sempat mengikuti beritanya.

Sudah, hanya itu.

Jadi, bisa dibilang saya tidak tahu banyak tentang Marissa Haque.

Tetapi, jika saya diminta menyebutkan sifat positif Marissa Haque yang layak dipuji, saya bisa menyebutkan. Dia wanita yang sangat menghormati dan mencintai suaminya, juga seorang pasangan yang setia. Bagi saya, itu kualitas terbaik yang bisa didapatkan seorang suami dari wanita yang menjadi istrinya.

 
;