Rabu, 16 April 2014

CCBP: Curhat Cinta Bikin Pusing

Hahaha, emang! Gak di film gak di
dunia nyata, semua drama emang bikin pusing.
@noffret


Ini kisah seorang kawan, yang saya tulis di sini dengan harapan bisa menjadi pelajaran bagi kita semua, khususnya dalam hal hubungan cowok-cewek. Untuk menghormati privasi, semua nama dalam catatan ini terpaksa saya samarkan.

Di internet, ada jutaan artikel yang membahas topik relationship—atau relasi antar lawan jenis—tapi bisa dibilang semuanya “mainstream”. Cuma gitu-gitu aja. Padahal, dalam realitas, urusan dan rumitnya hubungan cowok-cewek tidak sebatas “gitu-gitu aja”. Kisah yang akan saya ceritakan ini adalah salah satunya.

Sekitar dua tahun yang lalu, saya bersama Fadli (bukan nama sebenarnya) datang ke suatu acara. Di acara itu, kami bertemu Reina (teman saya) yang datang bersama temannya. Kita sebut saja teman Reina bernama Karin. Saya tidak kenal Karin, sebagaimana Reina juga tidak kenal Fadli. Maka kami pun saling memperkenalkan kawan kami masing-masing, lalu ngobrol-ngobrol sebagaimana umumnya teman.

Singkat cerita, tidak lama setelah acara itu, Fadli berhubungan dengan Karin di Facebook. Rupanya mereka saling meng-add di sana. Reina dan saya tidak mempermasalahkan, toh mereka sama-sama jomblo. Kalau pun mereka sampai jadian, kami ikut senang. Dan di situlah kemudian drama yang sangat memusingkan mulai terjadi. Sekadar catatan, Karin tinggal di Bekasi, sementara Fadli tinggal di Semarang.

Kenyataannya, Fadli dan Karin (mungkin) memang saling naksir. Tetapi rupanya hal yang seharusnya berlangsung “alami” itu berjalan dengan sangat rumit. Di Facebook, kedua orang itu tidak aktif berkomunikasi, meski telah menjadi teman. Fadli asyik dengan temannya sendiri, begitu pun Karin. Kadang Fadli menulis di notes-nya, dan Karin memberi komentar, lalu mereka bercakap seperlunya. Sudah, hanya itu.

Mungkin karena melihat sikap Fadli yang dinilainya terlalu pasif, Karin pun membicarakan hal itu dengan Reina. Kemudian Reina bertanya pada saya apakah Fadli masih jomblo atau sudah punya pacar. Saya menjawab jujur, kalau Fadli masih jomblo. Reina juga terus terang menyatakan kalau Karin, temannya, mungkin naksir Fadli.

“Kayaknya sih Fadli juga naksir temanmu,” jawab saya waktu itu. Kenyataannya, sebelum itu Fadli memang pernah curhat tentang perasaannya terhadap Karin, dan saya bilang kepadanya kalau saya mendukungnya.

Nah, di sinilah akar masalahnya.

Saya tidak tahu apakah semua cowok mengalami hal ini, ataukah hanya sebagian. Yang jelas, Fadli (dan terus terang, juga saya) masih sering “kebingungan” ketika berinteraksi dengan cewek yang ditaksir. Sejujurnya, saya bisa santai berinteraksi dengan siapa pun (khususnya cewek), jika tidak punya perasaan apa-apa kepadanya. Tetapi ketika berinteraksi dengan cewek yang membuat saya jatuh cinta, rasanya bingung dan serba salah—khususnya jika kami belum akrab berteman. 

Hal semacam itu juga dialami Fadli. Dia naksir Karin, tapi dia tidak tahu bagaimana memulainya. Persis seperti saya, Fadli pernah pacaran sebelumnya, tapi dengan seseorang yang telah berteman akrab. Ketika dia harus memulai pendekatan dengan seseorang yang belum akrab, dia kebingungan. Waktu itu, Fadli sempat bertanya pada saya, apa yang harus ia lakukan. Tapi saya juga tidak tahu bagaimana menjawabnya, karena saya sendiri pun begitu.

Ketika saya sampaikan kenyataan itu pada Reina, dia memahami secara bijak. Waktu itu saya bilang pada Reina, “Yang dibutuhkan Fadli adalah komunikasi yang intens, hingga mereka benar-benar akrab. Setelah itu dia akan paham sendiri. Tapi kalau Karin nggak mau berinisiatif mendekati, sampai kapan pun hubungan mereka akan tetap kayak gitu.”

Reina lalu memberitahukan hal itu pada Karin, dan Karin mulai berinisiatif mendekati Fadli di Facebook. Menyadari cowok itu terlalu pasif, Karin memutuskan dirinya yang harus aktif. Sebagai cewek, Karin tentu tahu bagaimana menarik perhatian Fadli, dan lama-lama tampaknya Fadli mulai memahami maksud Karin. Sesekali terjadi interaksi di antara mereka, kadang cukup singkat, kadang cukup lama. Tapi yang jelas komunikasi mereka mulai membaik.

Dan waktu-waktu berlalu.

Sampai hampir satu tahun, hubungan antara Fadli-Karin masih belum jelas. Karin tentu sering curhat ke Reina, dan kadang Reina menyampaikannya kepada saya, dengan harapan saya akan menyampaikannya ke Fadli. Saya berbaik hati menyampaikan hal itu kepada Fadli, dan biasanya dia akan menjawab dengan bingung. Faktanya, bagi Fadli, komunikasi mereka tetap belum bisa dibilang intens meski sudah hampir setahun.

“Komunikasi yang intens” dalam versi Fadli (dan terus terang, juga bagi saya) adalah komunikasi aktif dua arah yang telah sampai pada tahap tanpa sok jaim-jaiman. Itu jenis komunikasi antar teman biasa, ketika kita bisa saling bercanda dan menggoda, bisa saling tertawa lepas, dan, sekali lagi, tanpa sok jaim-jaiman. Selama percakapan belum sampai pada tahap itu, selama itu pula Fadli tidak akan memberanikan diri menyatakan perasaannya.

Fadli seorang introver seperti saya. Dalam hal perasaan, kami sangat tertutup, dan lebih nyaman membagi hati (menjalin pacaran) dengan seseorang yang sebelumnya telah menjadi teman. Ini memang masalah, dan saya pun mengakuinya. Tetapi cinta, katanya, bisa mengalahkan segalanya. Oh, well, kita lihat saja...

Jadi, saya berpesan pada Reina, “Bilangin aja si Karin agar nggak usah sok jaim-jaiman. Ambil inisiatif dan bersikaplah terbuka. Kalau Fadli pasif sementara Karin masih sok jaim, sampai kiamat pun mereka nggak akan pernah jadian.”

Lalu Reina menyampaikan hal itu pada Karin. Karena memang jatuh cinta pada Fadli, Karin berusaha memenuhi hal itu. Sedikit demi sedikit dia meninggalkan sikap jaimnya, dan terus berusaha menunjukkan inisiatif, agar Fadli tidak terlalu pasif. Sedikit demi sedikit, Fadli pun mulai memberikan respon yang lebih baik. Tapi tetap saja Fadli belum membukakan perasaannya pada Karin.

Karin mungkin curhat mengenai hal itu pada Reina, lalu Reina menyampaikan perkembangan itu pada saya. “So,” ujar Reina waktu itu, “menurutmu apa lagi yang harus dilakukan Karin agar mereka segera naik ranjang?”

“Agar mereka... apa?”

Reina cekikikan. “Maksudku, agar mereka segera jadian.”

“Apa, ya?” Saya juga bingung. “Mungkin Karin nggak akan mau ya, kalau misal dia diminta berinisiatif yang ngajak ketemuan?”

Reina terdiam sesaat, kemudian berujar, “Sebenarnya, dia mungkin mau.”

“Oh, bagus kalau gitu! Coba aja Karin ajak Fadli buat ketemuan. Kalau itu terlalu vulgar, pancing-pancing gitu, deh. Dia pasti paham, kan?”

“Dan kamu yakin Fadli akan mau?”

“Hampir pasti, ya,” saya menjawab. “Fadli kan juga ada perasaan sama Karin. Dia pasti akan mau ketemu, kalau Karin emang bisa bikin dia nyaman.”

Reina menatap saya, kemudian berkata, “Kalau mereka udah ketemu, menurutmu Fadli nggak akan malu-malu lagi? Sejujurnya, aku pengin mereka cepat jadian, biar nggak pusing terus mikirin mereka.”

Saya menegaskan, “Kalau Fadli bersedia pergi dari Semarang ke Bekasi, artinya dia udah nyaman. Nggak ada masalah. Asal Karin tetap bersikap terbuka dan nggak sok jaim. Uhm... kamu tahu, Fadli tuh tipe cowok yang mungkin nyatain cinta di bawah shower.”

Reina cekikikan.

Singkat cerita, Reina mungkin menyampaikan percakapan kami ke Karin, dan Karin kemudian menindaklanjutinya dengan inisiatif. Di Facebook, saat percakapan mereka mengalir lancar dan sesekali saling bercanda, Karin mulai memancing-mancing untuk ketemuan. Semula, Fadli menunjukkan respon positif, dan Karin hampir yakin kalau mereka akan segera bertemu.

Lalu “bencana” terjadi.

Ketika dua bocah itu tampaknya akan segera bertemu, dan mungkin akan saling mengucap cinta di bawah shower, Fadli sedang mulai mengerjakan sesuatu yang tak bisa ditinggal. Ketika sedang khusyuk mengerjakan sesuatu, bisa dibilang Fadli tidak bisa diganggu atau digoda dengan apa pun. Dia akan memprioritaskan pekerjaannya hingga benar-benar selesai, sebelum mengurusi hal lain.

Selama kesibukan itu pula, Fadli hanya sesekali muncul di Facebook. Karin masih tetap berusaha aktif dan berinisiatif membuka komunikasi. Tetapi karena kemunculan Fadli di Facebook yang selalu singkat, komunikasi mereka pun jadi tersendat-sendat. Hubungan yang semula mulai positif kini tampak tidak jelas lagi.

Selama beberapa bulan Fadli terus khusyuk menyelesaikan pekerjaannya, dan mungkin selama itu pula bayangan Karin hanya timbul tenggelam dalam benaknya. Saat bertemu Karin di Facebook, Fadli memang tetap merespon Karin dengan baik seperti sebelumnya, tapi kini tak bisa lama-lama. Setelah saling sapa sekadarnya, Fadli sign out dari Facebook. Lalu baru muncul lagi beberapa hari atau beberapa minggu kemudian.

Karin tidak memahami apa yang sedang terjadi pada Fadli—dia tidak tahu kalau selama waktu-waktu itu Fadli sedang sibuk (campur stres) memikirkan pekerjaannya. Yang dipahami Karin, Fadli menghindarinya. Kali ini, dia tidak lagi curhat pada Reina seperti biasa. Mungkin karena tidak enak terus-terusan curhat, atau mungkin pula karena alasan lain. Yang jelas, Karin menyimpulkan sikap Fadli sebagai hal negatif, dan mungkin dia sudah lelah untuk terus melanjutkannya.

Saya juga tidak tahu perkembangan terakhir itu, sebagaimana Reina.

Yang jelas, kemudian Karin memutuskan untuk meninggalkan Fadli, dan mengalihkan perhatiannya pada cowok lain. Reina maupun saya tentu tidak bisa menyalahkannya. Bagaimana pun, Karin sudah berusaha, dan nyatanya hubungan mereka tetap tidak membaik. Singkat cerita, Karin kemudian jadian dengan cowok lain—entah siapa namanya, saya tidak tahu.

Apakah cerita ini sudah selesai? Ternyata belum!

Dua bulan yang lalu, Fadli telah menyelesaikan pekerjaannya, dan bermaksud menyambung kembali komunikasinya dengan Karin yang sempat terputus. Setelah pikirannya fresh, pikirnya, dia akan mampu menghadapi Karin dengan lebih baik. Dia bahkan sudah mengangankan untuk menemui Karin. Sialnya, waktu itu, Karin sudah jadian dengan cowok lain.

Fadli pun pusing, kemudian curhat. Selama mendengar curhatnya, saya tidak bisa mengatakan apa-apa, karena ikut pusing.

 
;