Bunyi paling menenteramkan adalah “tit”
di awal loading komputer. Bunyi itu seolah berkata,
“Aku baik-baik saja. Mari kita kerja.”
—@noffret
di awal loading komputer. Bunyi itu seolah berkata,
“Aku baik-baik saja. Mari kita kerja.”
—@noffret
—Mengenang komputerku yang telah tiada
Catatan ini saya tulis sambil mengenang komputer yang amat saya sayangi, sebuah benda yang selama ini menemani hari-hari saya, malam-malam saya, saat bahagia maupun sedih. Catatan ini saya tulis sambil membayangkan kenangan demi kenangan yang telah saya jalani bersamanya—saat marah, letih, gelisah, atau senang, karena berbagai alasan. Catatan ini saya persembahkan untuk mendiang komputer saya tercinta, yang semoga bahagia di alam sana—jika memang ada.
Di dunia ini, tidak ada siapa pun yang lebih memahami saya selain komputer yang selama bertahun-tahun telah menjadi teman serumah, kawan dalam bekerja, dan sahabat dalam hidup. Dialah yang telah membantu saya menulis naskah, artikel, makalah, juga catatan-catatan yang diposting di blog. Dia sahabat dalam arti sebenarnya—sosok yang banyak membantu namun diam di balik kesuksesan sahabatnya. Dan sahabat terbaik itu sekarang telah mati, pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan saya dalam duka cita.
*Mengusap air mata*
Dua belas tahun yang lalu, saya membeli komputer, yang kemudian menjadi belahan jiwa dan teman kerja terbaik. Waktu itu, Pentium 3 baru muncul. Saya membelinya satu set—CPU, monitor, speaker, keyboard, dan mouse. Itulah komputer pertama yang saya miliki di muka bumi. Sejak itu pulalah, saya memulai persahabatan panjang dengan komputer tersebut, dan perjalanan kami kemudian berlangsung selama dua belas tahun lamanya.
Selama dua belas tahun, komputer itu setia menemani siang dan malam, pagi dan sore, kapan pun saya membutuhkan. Sering kali, saat saya bangun tidur, saya akan langsung menyalakannya, dan kemudian kami bekerja sampai malam tiba. Kalau saya tidak beristirahat, dia juga tidak beristirahat. Kalau saya lembur dan begadang sampai pagi, dia juga ikut begadang. Bahkan, ketika saya tidak tidur berhari-hari, dia juga ikut tidak tidur berhari-hari.
Selama waktu-waktu itu, dia menjadi sahabat yang sangat baik, rekan kerja yang menyenangkan. Dia selalu siap diajak bekerja tanpa kenal lelah. Dan ketika saya ingin berkeluh kesah menuliskan apa pun di dalamnya, dia juga tidak pernah bosan menerima keluh kesah saya. Kadang-kadang saya juga menyemburkan kemarahan dan caci maki lewat tulisan, dan dia tetap tenang, memberi kesempatan saya melakukannya.
Kadang-kadang, saya juga sangat keterlaluan. Di waktu-waktu tertentu, saya perlu memecahkan hal-hal rumit yang tak mampu dipahami otak saya. Entah dokumen yang terkunci enkripsi, atau rumus-rumus membingungkan, atau lainnya. Ketika menghadapi hal semacam itu, saya akan memberikannya pada komputer untuk mengerjakannya. Kadang dia butuh waktu lama untuk mengerjakan itu, dan saya pun meninggalkannya untuk tidur. Biasanya, saat saya bangun tidur, dia telah menyelesaikan tugasnya, meski badannya jadi cukup panas.
Dia tak pernah mengeluh, tak pernah lelah membantu saya—seberat apa pun tugas yang harus dikerjakannya, sepanjang apa pun waktu yang diberikannya. Kadang-kadang, saat kelelahan bekerja, saya tertidur di hadapannya tanpa sengaja, namun dia tidak ikut tidur. Dia terus terjaga. Biasanya pula dia baru akan tidur setelah saya terjaga, dan sadar dia masih menyala, lalu mematikannya melalui shut down. Kalau tidak terlalu lelah, saya kadang menepuk-nepuknya dengan sayang, sambil minta maaf.
Bahkan telah sebaik itu pun, saya kadang masih bersikap kasar kepadanya. Ketika saya memberinya tugas tertentu yang mungkin sulit, dan dia agak kebingungan, saya kadang marah-marah kepadanya. Jika mengingat hal itu, saya sangat menyesal.
Dia sangat memahami diri saya, sifat dan karakter, juga kebiasaan-kebiasaan saya. Dia tahu catatan apa saja yang pernah saya tulis. Dia tahu bagaimana perjalanan buku-buku saya mulai dari nol, sejak saya menuliskan kata pertama. Dia tahu sebanyak apa tulisan saya yang tak pernah terpublikasikan, dan hanya kami nikmati berdua. Dia pun tahu musik-musik apa yang pernah kami nikmati, juga film-film apa yang pernah kami tonton bersama.
Dia sahabat terbaik yang bisa diperoleh seorang penyendiri seperti saya.
Dan sekarang sahabat terbaik itu telah pergi. Selamanya.
Suatu hari, komputer yang hebat namun bersahaja itu tak mau terbangun saat saya nyalakan. Biasanya, begitu saya menyentuh tombol power, dia langsung terjaga, dan mengeluarkan suara “tit” yang akrab. Lalu lampu-lampunya menyala, seolah menyapa dengan ramah. Tapi hari itu dia hanya diam. Tidak ada suara, tidak ada lampu menyala. Saya kembali menekan tombol power, dan dia lagi-lagi hanya diam.
Saya mendekatinya, dan berbisik, “Kamu kenapa?”
Dia hanya diam.
“Kamu sakit?”
Dia diam.
“Tolong jawab aku...”
Diam.
Pada waktu itulah firasat saya menyatakan sesuatu telah terjadi padanya. Setelah berusaha “membangunkan” namun dia tetap diam seperti semula, saya pun menyimpulkan dia sedang mengalami masalah. Maka saya menghubungi rumah sakit—maksud saya tukang servis komputer—untuk menanyakan kondisinya.
Si tukang servis memeriksa komputer saya, membuka badan CPU, mengecek semua yang perlu diperiksa. Setelah itu ia menggelengkan kepala dengan sedih, seperti dokter yang akan mengabarkan berita kematian.
“Maafkan saya,” tukang servis itu berkata sopan, “ini komputer built-up.”
“Ya...?” saya menatapnya bingung. “Apa artinya itu?”
Menyadari saya tidak paham maksudnya, dia pun menjelaskan dengan bahasa awam, “Begini. Ada komputer rakitan, ada pula komputer built-up. Komputer rakitan adalah komputer yang dirakit tangan. Artinya, komputer itu semula komponen-komponen terpisah, kemudian dirakit manusia. Sedang komputer built-up adalah komputer yang dirakit mesin pabriknya secara langsung. Artinya, sejak semula komputer built-up sudah saling menyatu.”
Kedengarannya hebat, pikir saya. Tapi saya tetap belum paham.
Si tukang servis melanjutkan, “Karena dirakit mesin pabriknya secara langsung, komputer built-up lebih bagus—karena lebih presisi—juga lebih awet, dan tentu lebih mahal. Tapi komputer built-up punya kelemahan. Jika satu komponen mengalami masalah atau kerusakan, biasanya semua komponen akan terkena dampaknya. Hal itulah yang sekarang terjadi pada komputer Anda.”
“Jadi... apa yang terjadi dengan komputer saya?”
“Motherboard komputer Anda bermasalah,” jawabnya dengan nada profesional. “Motherboard adalah induk komputer, yang menopang hampir semua komponen dalam CPU.”
“Bisakah itu diganti?” tanya saya penuh harap.
Dia berusaha tersenyum untuk menghibur hati saya yang risau. “Seperti yang tadi saya bilang, ini komputer built-up. Jika masalah semacam ini terjadi pada komputer rakitan, motherboard yang rusak bisa dilepas dan diganti yang baru. Tapi hal semacam itu sulit dilakukan pada komputer Anda. Omong-omong, sudah berapa lama komputer ini dipakai?”
“Dua belas tahun,” jawab saya jujur.
“Dua belas tahun...???” dia terkejut, seolah mendengar Nabi Isa akan turun dari langit nanti sore.
“Uh... apa itu salah?” tanya saya dengan lugu.
Dia menjelaskan, “Seumur-umur jadi tukang servis, baru kali ini saya menemui ada komputer yang bisa hidup sampai dua belas tahun.”
“Dia sahabat sejati saya!” tanpa sadar saya berteriak, rasanya ingin terisak.
“Uh... yeah, sepertinya komputer Anda memang sudah saatnya... anu... uhm... sudah saatnya mengalami masalah seperti ini.”
Sambil menahan tangis, saya bertanya penuh harap, “Tidak bisakah kita hidupkan dia lagi? Saya masih ingin bersamanya!”
“Sulit, Mas,” jawabnya. “Kalau pun kita memaksa dia untuk bisa hidup lagi, maka kita harus mengganti semua komponen di dalamnya. Uhm... jujur saja, itu biayanya bisa lebih mahal daripada beli komputer yang baru.”
Sambil menyentuh CPU yang kini membeku dingin, saya berkata sambil menahan tangis, “Saya tak mengira dia akan pergi secepat ini...”
Tukang servis itu menatap saya dengan sedih, lalu berkata perlahan, “Sudah takdirnya, Mas. Sebaiknya diikhlaskan...”
Saya terisak.
....
....
Setelah menerima keadaan bahwa sahabat saya—maksudnya komputer itu—tak bisa tertolong lagi, mau tak mau saya pun harus merelakannya. Sekarang keberadaannya telah digantikan komputer baru yang lebih hebat dan lebih canggih, dengan kinerja yang juga lebih mengagumkan, tapi saya tahu dia sosok yang tak tergantikan. Dengan segala keterbatasan dan kesederhanaannya, dia telah menjadi sahabat yang baik selama bertahun-tahun, dan saya tahu kebersamaan dengannya tak bisa digantikan dengan apa pun.
Kini, saat saya menulis catatan ini, saya kembali terkenang segala kenangan bersamanya—kenangan-kenangan yang kami bangun dalam diam, kebersamaan yang kami lalui dengan hening. Suatu saat, kapan pun, di salah satu buku yang saya tulis, saya akan mengucapkan terima kasih khusus untuknya, di sebuah lembar khusus, sebagai penghargaan kepadanya. Dia telah menjadi teman terbaik, pendukung paling setia dalam pekerjaan, yang memberikan segalanya... namun dalam diam.
Selamat jalan komputer tersayang. Meski kau telah pergi, saat-saat bersamamu tetap tersimpan di sini, dalam kenangan, tak terlupakan.