Selasa, 20 September 2022

Bocah-Bocah Menutup Telinganya

Terkait ribut-ribut soal sekelompok bocah yang menutup telinganya saat mendengar musik...

Ocehan sambil nunggu udud habis.

Sekelompok bocah—yang disebut penghafal Quran—menutupi telinganya saat mendengarkan musik, ketika mereka menunggu giliran vaksinasi. Mereka tidak melakukan apa pun; hanya duduk, diam, dan menutupi telinganya sendiri. Tidak ada aksi anarkis atau semacamnya.

Tapi bocah-bocah itu lalu dipersoalkan banyak orang, hingga ada yang mengkhawatirkan kalau-kalau mereka jadi muslim radikal. Kita tentu tidak bisa yakin apakah kekhawatiran itu benar atau tidak, dan tujuan ocehan ini bukan itu. Tujuan ocehan ini adalah untuk melihat akar masalah.

Ada sekelompok bocah menutupi telinga ketika mendengar musik, dan sebagian kita meributkannya—kenapa? Menurutku, karena kita telah terdoktrin sekaligus terjebak dalam dikotomi “suara yang baik” dan “suara yang buruk”. Kita terpecah karena doktrinasi dan dikotomi.

Padahal “suara baik” dan “suara buruk” itu hanyalah, meminjam istilah Harari, “tatanan yang diimajinasikan”. Sebagian kita meyakini bahwa musik adalah suara yang baik, hingga senang mendengarnya. Sementara sebagian lain meyakini musik adalah suara yang buruk, dan menutup telinga.

Sampai di situ—dalam dikotomi yang terbelah semacam itu—sebenarnya tidak ada masalah, andai kita saling menghormati keyakinan masing-masing. 

Akar masalah kita adalah ketiadaan hormat pada yang liyan, berharap semua orang harus sama, dan, tidak jarang, memaksakan keyakinan.

Yang disebut “memaksakan keyakinan” tidak harus dengan pedang. Sama seperti suara musik yang bisa mengganggu sekelompok bocah penghafal Quran, pernahkah kita memikirkan kalau suara-suara keras dari masjid dan musala yang terus membahana setiap hari bisa mengganggu liyan?

Kita meyakini, misalnya, suara-suara dari masjid dan musala—dari suara azan sampai suara pengajian—sebagai suara yang baik. Menurut siapa? Tentu menurut kita, menurut keyakinan kita! Tapi keyakinan kita bukan jaminan bahwa semua orang di dunia pasti punya keyakinan sama.

Apakah kita pernah memikirkan kenyataan itu? Mungkin tidak. Nyatanya, setiap hari, setiap waktu, suara-suara dari masjid dan musala terus membahana... dan kita menganggap semua itu baik-baik saja... tanpa sempat memikirkan apakah ada orang-orang yang mungkin terganggu.

Dan orang-orang yang mungkin terganggu itu selama ini hanya diam, karena tak berani menyatakan terang-terangan, karena melihat konsekuensi yang terjadi pada orang-orang yang nekat mengatakannya. Akibatnya, perasaan yang lama dipendam itu berubah jadi amarah dan kebencian.

And then, sekarang kita menyaksikan akibatnya. Hanya karena ada sekelompok bocah menutupi telinga karena mendengar musik, orang-orang ribut, dan sampai melemparkan aneka tuduhan. 

Dalam perspektifku sebagai bocah, semua tuduhan itu berasal dari amarah, sinisme, dan kebencian.

Ada amarah dan kebencian yang selama ini menjadi api dalam sekam, tersimpan diam-diam di lubuk hati banyak orang... amarah dari perasaan merasa “dibedakan”, “tak dianggap”, “tak dimanusiakan”, dan bara itu menyala, mencari cara untuk membakar apa pun yang lalu muncul.

Ada banyak orang di negeri ini—meski mereka mungkin tidak mengakuinya terang-terangan—yang telah lama terganggu dengan ulah dan sikap kita; orang-orang beragama yang merasa [paling] benar dan mayoritas, yang kadang memaksakan keyakinan dan sistem nilai kita pada semua orang.

Mereka mungkin berusaha tidak terang-terangan menyerang ajaran agama, karena—di negeri ini—agama sudah menjadi kebenaran yang tak boleh digugat, hingga ada ancaman penistaan agama. Kenyataan itu lalu menimbulkan resistensi, perlawanan diam-diam, dengan segala cara dan sarana.

Orang-orang sekuler dan para ateis pasti tahu—dan mereka benar-benar bodoh jika tidak tahu—bahwa agama adalah “tatanan yang diimajinasikan”. Itu serupa sistem nilai lain, dari demokrasi sampai Pancasila. Tatanan yang diimajinasikan adalah sistem nilai yang disepakati pelakunya.

Demokrasi, sebagai tatanan yang diimajinasikan, sebagai misal, dirancang sebagai itikad baik dalam membangun negara dan kemanusiaan. Kita menyepakati itu, dan, alih-alih membenci, kita justru mendukung. Tapi kita membenci para penjahat yang menggunakan topeng demokrasi.

Bisa melihat yang kumaksud? Agama, sebagai tatanan kemanusiaan, yang—dalam bayangan almarhum Gus Dur—diharapkan menjadi pengantar masyarakat madani, sebenarnya tidak masalah... sebagai seperangkat sistem keyakinan. 

Tetapi, memang, kadang ada orang-orang curang di dalam sistem.

“Orang-orang curang” itulah yang lalu memercik amarah dan kebencian diam-diam pada sebagian orang lain, hingga mereka tidak hanya menujukan pandangan pada orang-orang curang tadi, tapi juga pada semua orang yang tergabung di dalam sistem. 

Inilah akar masalah kita semua.

“Orang-orang curang” itu bisa berupa da’i yang menebarkan kebencian pada yang liyan, penceramah yang memaksakan kebenaran dirinya sendiri dan mudah mengkafir-kafirkan, orang-orang agamis yang tak mengenal toleransi, sampai pengumbar suara-suara bising dari corong toa membahana.

Kita membiarkan semua “kecurangan” itu berlangsung di depan mata kita, dari waktu ke waktu, menganggap semuanya biasa saja, tanpa menyadari semua itu akan menjadi bom waktu. Sementara amarah tersimpan menjadi bara api, kebencian menyala di hati banyak orang yang terluka.

Lalu bocah-bocah penghafal Quran yang tak bersalah menjadi sasaran amarah dan kebencian itu, hanya karena mereka menutup telinganya dari kebisingan. Mereka tidak melakukan apa pun, tapi setumpuk tuduhan dilemparkan pada mereka... tuduhan yang berasal dari amarah dan kebencian.

Masalah kita sebenarnya bukan bocah-bocah yang menutupi telinganya, bukan apakah musik itu baik atau buruk, bukan apakah bocah-bocah itu kelak akan menjadi teroris atau menjadi pejuang kemanusiaan... masalah kita adalah tiadanya toleransi untuk memanusiakan yang liyan.

Selama kita tidak mau mengakui kenyataan yang terang benderang itu, selama kita masih ngotot memaksakan kebenaran diri sendiri pada semua orang, dan selama kita masih mengumbar suara-suara seenaknya hanya karena menganggap itu suara baik, masalah ini tidak akan pernah selesai.

Sistem keyakinan apa pun yang ada dalam pikiran manusia—selama itu tidak berwujud konkret—hanyalah tatanan yang diimajinasikan. Semua orang memilikinya, yang teis maupun ateis, yang beragama maupun agnostik. Itu tidak masalah. 

Karena masalah kita adalah toleransi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 September 2021.

Dalam Hening

Tak pernah ada badai dalam hening. Itu yang membuat aku jatuh cinta kepadanya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Maret 2012.

Jualan Kecap

Di mana-mana sedang musim jualan kecap, dan tiba-tiba semua kecap berubah putih tanpa cacat.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Maret 2012.

Terlelap

Orang-orang terlelap di dunia nyata, dan terjaga di dunia maya. Udara telah menjadi bagian virtual, dan kehidupan cuma segaris pita digital.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Maret 2012.

Misteri Penjual Nasgor

Misteri penjual nasgor: Ditunggu nggak lewat-lewat, nggak ditunggu bolak-balik lewat.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 Maret 2012.

Sabtu, 10 September 2022

Temuan Ilmiah yang Menggelisahkan

Ada riset terkenal yang telah terbukti ilmiah, diyakini para ilmuwan, khususnya dalam bidang psikologi, tapi sangat menggelisahkanku. Riset itu menunjukkan bahwa orang-orang lebih suka sosok yang hangat (meski sangat bodoh), daripada sosok yang dingin (meski sangat pintar).

Sosok yang hangat itu misalnya ramah, supel, murah senyum, pintar basa-basi dan mencairkan suasana, pandai bergaul, dan semacamnya. 

Sementara sosok yang dingin itu misalnya pendiam, tidak banyak bicara, kaku, berwajah murung, terkesan angkuh, dan lebih suka menyendiri.

Dari perbandingan ilustrasi tadi, siapa pun pasti akan lebih suka dan lebih tertarik pada sosok yang hangat, daripada sosok yang dingin.

Yang kadang jadi masalah adalah saat kita butuh seseorang yang memiliki pengetahuan/kemampuan tertentu, misal untuk kita ajak bekerja bersama.

Berdasarkan pengalaman, ada orang-orang yang memiliki kemampuan luar biasa, tapi mereka belum tentu sosok yang menyenangkan (dalam arti hangat, supel, dan murah senyum). Rata-rata mereka sangat dingin, pendiam, bahkan terkesan angkuh. Tapi kemampuannya sangat menakjubkan.

Masih berdasar pengalaman. Aku mengamati bahwa semakin cerdas seseorang, dia akan semakin logis. Dan semakin logis seseorang, dia akan semakin dingin. Karena logika memang butuh otak, bukan emosi. Padahal emosi itulah yang menjadikan orang lebih "hangat". 

Meski tak mesti begitu.

Aku percaya, di luar sana ada orang-orang yang luar biasa cerdas, sekaligus ramah dan murah senyum, serta pintar bergaul dengan segala basa-basi. Mereka yang disebut punya... well, kecerdasan intelektual sekaligus emosional.

Tetapi, sejujurnya, aku belum pernah menemukannya.

Satu hal pasti yang selalu kukenali tiap bertemu orang-orang luar biasa cerdas (dan kalian bisa menggunakannya sebagai semacam "pemandu"); mereka to the point, dan tidak banyak bacot tidak penting.

Karenanya, temanmu yang sangat cerdas, biasanya juga orang yang kalian jauhi.

Dalam ilustrasi mudah, ini perbedaan orang bodoh dan orang pintar saat akan ngutang:

Orang bodoh ngajak ngobrol ngalor ngidul sampai capek, lalu mengatakan maksudnya; mau ngutang.

Orang pintar to the point, langsung mengatakan maksudnya, mau ngutang, baru setelah itu ngobrol.

Orang bodoh meletakkan hal-hal tidak penting lebih dulu (misal basa-basi dan banyak bacot), sebagai semacam "pelumas" (karena emosi mereka lebih berperan). Sementara orang pintar meletakkan hal-hal penting lebih dulu, baru setelah itu mengurus/membicarakan hal-hal tidak penting.

Sayangnya, cara "to the point" semacam itu sering sulit diterima kebanyakan orang, bahkan bisa jadi dinilai tidak sopan. Ini kembali pada cara kita dalam menghadapi orang lain (lebih dominan emosi/perasaan, atau lebih dominan rasio/pikiran). Dan kebanyakan lebih pakai perasaan.

Ini tak jauh beda dengan cowok saat akan ngajak "bobo emesh" seorang cewek, misalnya. Saat cowok ngajak gituan, dia pasti akan banyak bacot, banyak rayuan, banyak aksi, dan lain-lain. Padahal, baik si cowok maupun si cewek sama-sama tahu bahwa intinya ngajak emesshh... appeuuh...

Bayangkan saja seorang cowok, misalnya, ngomong ke seorang cewek, "Aku ingin bobo emesh sama kamu." Kemungkinan besar si cewek akan ngamuk, menuduh si cowok melakukan pelecehan seksual, sampai ngemeng HAM segala macam, bahkan meski sebenarnya dia juga sama-sama menginginkannya.

Bisa melihat sesuatu yang "merisaukan" di sini? Homo sapiens adalah makhluk emosi, bukan makhluk logika, karenanya mereka lebih mengedepankan perasaan. Dan inilah yang menjadikan kebanyakan kita menyukai orang yang hangat, meski bodoh, daripada orang yang dingin, meski pintar.

Cowok butuh seribu macam bacotan tidak penting untuk sampai pada ajakan emesshh pada seorang cewek. Dan terus terang, aku tidak punya kemampuan semacam itu. Aku akan mengatakan langsung maksudku. Tapi kamu pasti akan ngamuk. Jadi aku lebih memilih tidak pernah melakukannya.

Ocehan ini, kalau kulanjutkan, masih panjang sekali, dan mungkin baru selesai tahun 3877. Tapi buat apa? Wong intinya aku cuma ingin bobo emesshh sama kamuuuuhhh... Apppeeeeuuuuhhh...


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 Desember 2020.

Keajaiban Takdir

Bertahun-tahun aku menunggu keajaiban takdir. Sekarang aku tahu, takdir hanyalah debu di antara putaran kincir angin.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 Februari 2012.

Mengubah

Jangan berusaha mengubah dirimu agar sama dengan orang lain, karena bisa jadi orang lain sangat ingin jadi dirimu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 7 Januari 2012.

Kayaknya Gitu

Aneh: Kelaziman yang baru kita lihat. | Lazim: Keanehan yang biasa kita lihat. #KayaknyaGitu


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 September 2012.

Twitwar Seru

Rupanya ada yang sedang twitwar seru di Twitter. Nyimak ah... *ngunyah cokelat*


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 Februari 2012.

Kamis, 01 September 2022

Sambil Nunggu Udud Habis di Blog

Doktrin: 

Menikah akan membuatmu bahagia dan lancar rezeki.

Fakta:

“Aku menikah, dan nyatanya memang bahagia dan lancar rezeki.” 

Bagus sekali, dan aku ikut senang dengan kebahagiaanmu. Yang masih perlu kita pikirkan dan bicarakan sekarang adalah, berapa banyak pasangan lain yang juga menikmati karunia semacam itu?

Kita didoktrin bahwa menikah akan membuat bahagia dan melancarkan rezeki, dan kita dipaksa percaya mentah-mentah. Mari periksa, sebanyak apa orang yang benar-benar bahagia dan lancar rezeki setelah menikah, untuk melihat apakah doktrin itu memang layak dipercaya.

Secara pribadi, aku percaya hanya ada nol koma sekian persen pasangan yang benar-benar bahagia dan rezekinya baik-baik saja setelah menikah—sisanya tertekan dan menderita. Tapi mungkin kalian tidak setuju dengan statistik yang kupercaya, jadi mari gunakan angka moderat.

Mari andaikan setengah dari semua pasangan yang menikah benar-benar bahagia dan lancar rezeki, dalam arti bisa menghidupi keluarga secara layak. Setengah dari semua pasangan yang menikah—ini sangat moderat. Tetapi bahkan seperti itu pun, implikasinya mengerikan.

Ada berapa miliar orang yang menikah di dunia ini? Jika penduduk bumi ada 7 miliar, mari andaikan 4 miliar di antaranya menikah (2 miliar pasangan). Dari 2 miliar pasangan itu, setengahnya bahagia dan lancar rezeki, sementara setengahnya lagi tertekan dan menderita!

Jika kemungkinan itu bisa diterima, artinya ada 1 miliar pasangan di muka bumi yang hidup tertekan dan menderita, padahal mereka menikah dan beranak pinak. Satu miliar pasangan, alias 2 miliar orang! Itu bukan angka kecil untuk sebuah doktrin yang dipercaya mentah-mentah!

Bisa melihat masalah besar di sini? Semua berawal dari doktrin yang memaksa dipercaya bahwa menikah akan membuatmu bahagia dan lancar rezeki. Dan doktrin itu mengonfirmasi sebagian pasangan yang kebetulan memang bahagia, sekaligus membungkam yang menderita.

Maksudku begini. Jika ada pasangan yang kebetulan memang bahagia dan lancar rezeki setelah menikah, pasangan itu akan mengoar-ngoarkan doktrin tadi, karena merasa terkonfirmasi—atau sebaliknya, merasa bisa mengonfirmasi, “Doktrin itu benar, kok. Menikahlah!”

Sebaliknya, ketika ada pasangan yang ternyata menjalani hidup penuh tekanan dan menderita setelah menikah, mereka tidak berani menyalahkan doktrin—memangnya siapa yang berani? Alih-alih menyalahkan doktrin, mereka justru akan menyalahkan diri sendiri dan pasangan.

Belum pernah ada—setidaknya aku belum pernah menemukan—orang yang terang-terangan mengatakan, “Jangan percaya doktrin perkawinan! Nyatanya aku menikah dan hidupku malah keblangsak!” Mereka tidak akan mengatakan itu, kenapa? Jawabannya sepele; ego!

Bahkan umpama seseorang menderita dalam perkawinannya, mereka tidak akan mengatakannya terang-terangan (kecuali sudah cerai). Pertama, karena mereka sadar itu akan bertabrakan dengan keyakinan sosial. Kedua, karena mengakui hal itu akan melukai ego mereka sendiri.

Ocehan ini, kalau kulanjutkan, masih panjang sekali, dan mungkin baru selesai tahun 9346... atau 9368—entahlah, karena masih panjang sekali. Tapi ududku habis.

Cahaya Kunang-kunang

Terlalu banyak nasihat instan, sama banyaknya dengan pelajaran dangkal. Di zaman sekarang, pengetahuan hanya sebatas cahaya kunang-kunang.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 Januari 2012.

Bukan Jaminan Kebahagiaan

Uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Itu benar. Begitu pula pacaran atau perkawinan. Sama-sama bukan jaminan kebahagiaan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 November 2012.

Sometimes the Magic

Love can sometimes be magic, but magic can sometimes just be an illusion.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 Januari 2012.

!

Capek!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 Februari 2012.

 
;