Terkait ribut-ribut soal sekelompok bocah yang menutup telinganya saat mendengar musik...
Ocehan sambil nunggu udud habis.
Sekelompok bocah—yang disebut penghafal Quran—menutupi telinganya saat mendengarkan musik, ketika mereka menunggu giliran vaksinasi. Mereka tidak melakukan apa pun; hanya duduk, diam, dan menutupi telinganya sendiri. Tidak ada aksi anarkis atau semacamnya.
Tapi bocah-bocah itu lalu dipersoalkan banyak orang, hingga ada yang mengkhawatirkan kalau-kalau mereka jadi muslim radikal. Kita tentu tidak bisa yakin apakah kekhawatiran itu benar atau tidak, dan tujuan ocehan ini bukan itu. Tujuan ocehan ini adalah untuk melihat akar masalah.
Ada sekelompok bocah menutupi telinga ketika mendengar musik, dan sebagian kita meributkannya—kenapa? Menurutku, karena kita telah terdoktrin sekaligus terjebak dalam dikotomi “suara yang baik” dan “suara yang buruk”. Kita terpecah karena doktrinasi dan dikotomi.
Padahal “suara baik” dan “suara buruk” itu hanyalah, meminjam istilah Harari, “tatanan yang diimajinasikan”. Sebagian kita meyakini bahwa musik adalah suara yang baik, hingga senang mendengarnya. Sementara sebagian lain meyakini musik adalah suara yang buruk, dan menutup telinga.
Sampai di situ—dalam dikotomi yang terbelah semacam itu—sebenarnya tidak ada masalah, andai kita saling menghormati keyakinan masing-masing.
Akar masalah kita adalah ketiadaan hormat pada yang liyan, berharap semua orang harus sama, dan, tidak jarang, memaksakan keyakinan.
Yang disebut “memaksakan keyakinan” tidak harus dengan pedang. Sama seperti suara musik yang bisa mengganggu sekelompok bocah penghafal Quran, pernahkah kita memikirkan kalau suara-suara keras dari masjid dan musala yang terus membahana setiap hari bisa mengganggu liyan?
Kita meyakini, misalnya, suara-suara dari masjid dan musala—dari suara azan sampai suara pengajian—sebagai suara yang baik. Menurut siapa? Tentu menurut kita, menurut keyakinan kita! Tapi keyakinan kita bukan jaminan bahwa semua orang di dunia pasti punya keyakinan sama.
Apakah kita pernah memikirkan kenyataan itu? Mungkin tidak. Nyatanya, setiap hari, setiap waktu, suara-suara dari masjid dan musala terus membahana... dan kita menganggap semua itu baik-baik saja... tanpa sempat memikirkan apakah ada orang-orang yang mungkin terganggu.
Dan orang-orang yang mungkin terganggu itu selama ini hanya diam, karena tak berani menyatakan terang-terangan, karena melihat konsekuensi yang terjadi pada orang-orang yang nekat mengatakannya. Akibatnya, perasaan yang lama dipendam itu berubah jadi amarah dan kebencian.
And then, sekarang kita menyaksikan akibatnya. Hanya karena ada sekelompok bocah menutupi telinga karena mendengar musik, orang-orang ribut, dan sampai melemparkan aneka tuduhan.
Dalam perspektifku sebagai bocah, semua tuduhan itu berasal dari amarah, sinisme, dan kebencian.
Ada amarah dan kebencian yang selama ini menjadi api dalam sekam, tersimpan diam-diam di lubuk hati banyak orang... amarah dari perasaan merasa “dibedakan”, “tak dianggap”, “tak dimanusiakan”, dan bara itu menyala, mencari cara untuk membakar apa pun yang lalu muncul.
Ada banyak orang di negeri ini—meski mereka mungkin tidak mengakuinya terang-terangan—yang telah lama terganggu dengan ulah dan sikap kita; orang-orang beragama yang merasa [paling] benar dan mayoritas, yang kadang memaksakan keyakinan dan sistem nilai kita pada semua orang.
Mereka mungkin berusaha tidak terang-terangan menyerang ajaran agama, karena—di negeri ini—agama sudah menjadi kebenaran yang tak boleh digugat, hingga ada ancaman penistaan agama. Kenyataan itu lalu menimbulkan resistensi, perlawanan diam-diam, dengan segala cara dan sarana.
Orang-orang sekuler dan para ateis pasti tahu—dan mereka benar-benar bodoh jika tidak tahu—bahwa agama adalah “tatanan yang diimajinasikan”. Itu serupa sistem nilai lain, dari demokrasi sampai Pancasila. Tatanan yang diimajinasikan adalah sistem nilai yang disepakati pelakunya.
Demokrasi, sebagai tatanan yang diimajinasikan, sebagai misal, dirancang sebagai itikad baik dalam membangun negara dan kemanusiaan. Kita menyepakati itu, dan, alih-alih membenci, kita justru mendukung. Tapi kita membenci para penjahat yang menggunakan topeng demokrasi.
Bisa melihat yang kumaksud? Agama, sebagai tatanan kemanusiaan, yang—dalam bayangan almarhum Gus Dur—diharapkan menjadi pengantar masyarakat madani, sebenarnya tidak masalah... sebagai seperangkat sistem keyakinan.
Tetapi, memang, kadang ada orang-orang curang di dalam sistem.
“Orang-orang curang” itulah yang lalu memercik amarah dan kebencian diam-diam pada sebagian orang lain, hingga mereka tidak hanya menujukan pandangan pada orang-orang curang tadi, tapi juga pada semua orang yang tergabung di dalam sistem.
Inilah akar masalah kita semua.
“Orang-orang curang” itu bisa berupa da’i yang menebarkan kebencian pada yang liyan, penceramah yang memaksakan kebenaran dirinya sendiri dan mudah mengkafir-kafirkan, orang-orang agamis yang tak mengenal toleransi, sampai pengumbar suara-suara bising dari corong toa membahana.
Kita membiarkan semua “kecurangan” itu berlangsung di depan mata kita, dari waktu ke waktu, menganggap semuanya biasa saja, tanpa menyadari semua itu akan menjadi bom waktu. Sementara amarah tersimpan menjadi bara api, kebencian menyala di hati banyak orang yang terluka.
Lalu bocah-bocah penghafal Quran yang tak bersalah menjadi sasaran amarah dan kebencian itu, hanya karena mereka menutup telinganya dari kebisingan. Mereka tidak melakukan apa pun, tapi setumpuk tuduhan dilemparkan pada mereka... tuduhan yang berasal dari amarah dan kebencian.
Masalah kita sebenarnya bukan bocah-bocah yang menutupi telinganya, bukan apakah musik itu baik atau buruk, bukan apakah bocah-bocah itu kelak akan menjadi teroris atau menjadi pejuang kemanusiaan... masalah kita adalah tiadanya toleransi untuk memanusiakan yang liyan.
Selama kita tidak mau mengakui kenyataan yang terang benderang itu, selama kita masih ngotot memaksakan kebenaran diri sendiri pada semua orang, dan selama kita masih mengumbar suara-suara seenaknya hanya karena menganggap itu suara baik, masalah ini tidak akan pernah selesai.
Sistem keyakinan apa pun yang ada dalam pikiran manusia—selama itu tidak berwujud konkret—hanyalah tatanan yang diimajinasikan. Semua orang memilikinya, yang teis maupun ateis, yang beragama maupun agnostik. Itu tidak masalah.
Karena masalah kita adalah toleransi.
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 September 2021.