Kamis, 25 April 2019

Bersikap Adil Pada Maudy Ayunda

Mudah memang, menemukan kelebihan diri.
Tapi kesadaran penting yang kutahu adalah menemukan
kekurangan diri, lalu berupaya memperbaikinya,
sebaik yang kita bisa. Kupikir, itu tugas terberat setiap manusia,
seumur hidup, dan aku pun masih kesulitan
serta kepayahan melakukannya.
@noffret


Maudy Ayunda bikin heboh sebagian orang Indonesia, tempo hari, saat ia mengatakan galau antara memilih Harvard University atau Stanford University—dua perguruan tinggi prestisius dunia.

Terkait kegalauan Maudy Ayunda, waktu itu, orang-orang riuh memberi respons, dari pujian sampai nyinyiran. Banyak orang menyatakan bahwa Maudy Ayunda bisa meraih prestasi semacam itu karena dia punya privilese. Saya juga termasuk yang berpikir begitu, bahkan sampai menulis rangkaian tweet terkait hal tersebut.

Waktu itu, saya berpikir bahwa Maudy Ayunda memiliki privilese yang tidak saya miliki, sehingga ia mencapai prestasi yang tidak saya capai. Saya bahkan mengandaikan, kalau saya juga memiliki privilese seperti yang dimilikinya, saya pun tentu akan bisa mencapai prestasi yang ia capai.

Sekarang, saya bertanya-tanya sendiri, “Apa iya?”

Jika saya memiliki semua privilese yang dimiliki Maudy Ayunda—latar belakang keluarga, kekayaan, kecerdasan, pergaulan, dan sebagainya—benarkah saya akan mampu meraih prestasi seperti yang ia capai? Sekarang saya meragukannya. Mendapat tawaran dari Harvard dan Stanford itu bukan prestasi sepele, dan tidak setiap orang mampu. Boro-boro mendapat tawaran, bahkan mendaftar pun bisa ditolak!

Karenanya, setelah memikirkan dan mengendapkan kenyataan itu sampai lama, saya tiba pada kesadaran bahwa prestasi yang dicapai Maudy Ayunda tidak semata-mata karena privilese yang dimilikinya, tapi juga karena kemampuan dan kegigihan pribadi.

Jika kita mau jujur menerima kenyataan, ada banyak orang yang memiliki privilese seperti yang dimiliki Maudy Ayunda. Jumlahnya bukan puluhan atau ratusan, tapi ribuan! Mereka sama-sama berasal dari latar belakang keluarga kaya seperti Maudy Ayunda, atau bahkan lebih kaya. Mereka mendapat pendidikan yang baik sejak TK sampai SMA, sama seperti Maudy Ayunda. Mereka pun bergaul dengan jenis orang-orang yang bergaul dengan Maudy Ayunda. Tapi berapakah dari mereka yang bisa mencapai prestasi (tawaran dari Harvard dan Stanford) seperti yang dicapai Maudy Ayunda?

Tidak ada! Setidaknya, kita tidak mendengarnya!

Bisa melihat sesuatu di sini?

Karenanya, kalau kita mau bersikap adil, kita akan menyadari bahwa prestasi yang dicapai Maudy Ayunda tidak semata karena dia memiliki privilese. Kenyataannya, ada banyak orang yang memiliki privilese seperti dia, tapi tidak berhasil mencapai sesuatu yang ia capai. Karenanya pula, jika kita—khususnya saya—menempati posisi Maudy Ayunda dan mendapat semua privilese yang dimilikinya, tidak ada jaminan saya akan mencapai prestasi seperti yang ia capai!

Sekarang, sambil menulis catatan ini, saya menyadari bahwa menuduh orang lain mencapai kesuksesan semata-mata karena privilese itu tuduhan keliru. Karena nyatanya, meski ada banyak orang memiliki privilese serupa, tidak semuanya terjamin mencapai kesuksesan yang sama. Boro-boro sukses, sebagian mereka malah keblangsak. Sudah punya privilese, tapi tetap keblangsak! Jadi, apa makna privilese?

Dalam perbincangan dengan Najwa Shihab, Maudy Ayunda mengatakan bahwa dia sangat suka belajar. Sebegitu suka, sampai dia gembira ketika masa ujian datang.

Sekarang, mari kita jujur pada diri sendiri, berapa banyakkah dari kita yang memiliki kebiasaan baik itu? Berapa banyakkah dari kita yang senang belajar? Berapa banyakkah dari kita yang gembira ketika masa ujian datang?

Tidak ada, eh?

Jadi, kalau kita tidak suka belajar—atau dengan kata lain, pemalas—masih mungkinkah kita akan mencapai prestasi seperti yang diraih Maudy Ayunda, andai kita memiliki semua privilese yang dimilikinya? Pikirkan pertanyaan itu, dan jawablah secara jujur!

Punya privilese mungkin penting, karena itu modal besar yang dapat membantu seseorang mencapai prestasi mengagumkan. Tapi ada yang lebih penting dari privilese, yaitu semangat dan kerja keras orang bersangkutan! Kalau dasarnya pemalas, mau diberi privilese sebanyak apa pun hasilnya tetap pecundang.

Well, sekarang, saya akan membalik uraian ini dari perspektif sebaliknya.

Bertahun lalu, saya berbicara di hadapan para mahasiswa di tempat ini, dan mereka khusyuk mendengarkan saya ngoceh. Saat masuk sesi tanya jawab, audiens diberi kesempatan untuk bertanya, dan banyak dari mereka mengacungkan jari. Saya menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka satu per satu.

Kemudian, ada audiens yang bertanya, “Sebelumnya mohon maaf, kalau pertanyaan saya keluar dari konteks pembahasan. Saya hanya ingin bertanya, bagaimana agar kami bisa seperti Anda?”

Ruangan hening, semuanya menunggu saya menjawab pertanyaan itu.

Sambil tersenyum, saya menjawab, “Kalian tidak akan bisa seperti saya.”

Mereka tertawa, mengira saya sedang melucu.

Sebelum saya melanjutkan uraian ini, saya perlu memberi sedikit penjelasan, agar kalian tidak salah paham. Saya bukan orang hebat, namun, di kalangan kampus, saya dikenal memiliki prestasi yang sulit dijangkau rata-rata orang lain yang sebaya. Karenanya, sejak awal masuk kampus, saya sudah menonjol dan menarik perhatian semua orang, bahkan nama saya dikenang abadi di sana, hingga saat ini.

Karenanya tidak mengherankan ketika ada mahasiswa yang bertanya bagaimana cara agar bisa seperti saya, karena—dalam pandangan mereka—saya telah mencapai prestasi yang sulit dicapai rata-rata orang lain. Dan saya menjawab, “Kalian tidak akan bisa seperti saya.”

Meski saya mengatakannya sambil tersenyum, dan mereka juga tertawa saat mendengar jawaban itu, sebenarnya saya sangat serius. Saya tahu betul bagaimana beratnya mencapai kehidupan yang sekarang saya capai—sendirian, miskin, tanpa orang tua atau keluarga yang mendukung, tanpa privilese apa pun—hingga akhirnya mencapai sesuatu yang saya tuju.

Selama bertahun-tahun, saya menyepi dan mengasingkan diri dalam sunyi, hanya untuk fokus belajar dan bekerja, karena saya menyadari tidak punya privilese apa pun. Orang tua saya bukan hanya miskin, tapi juga bodoh dan terbelakang. Kenyataan ini sengaja saya katakan terus terang, agar kalian bisa membayangkan kehidupan seperti apa yang saya hadapi.

Orang-orang hanya melihat hasilnya; prestasi yang saya capai. Tapi mereka tidak melihat prosesnya! Ada proses pembelajaran tekun bertahun-tahun, kerja keras siang malam, berhari-hari tanpa tidur, stres dan frustrasi tanpa henti, menghadapi cibiran bahkan dari orang tua sendiri—dan sederet kepahitan lain yang daftarnya masih panjang. Saya telah melalui semua itu; sesuatu yang tidak dilihat kebanyakan orang.

Karenanya, di hadapan para mahasiswa, waktu itu, saya mengatakan, “Kalau kau bisa tekun belajar sementara teman-temanmu asyik bermain, kalau kau bisa khusyuk bekerja keras ketika teman-temanmu asyik pacaran, kalau kau bisa meninggalkan tidur untuk mengejar impian sementara teman-temanmu terlelap... dan kau bisa konsisten melakukan semua itu bertahun-tahun... kau akan mencapai prestasi yang tidak dicapai teman-temanmu.”

Itu rumus sederhana, tapi saya tidak yakin semua orang mampu melakukannya.

Prestasi yang saya capai tentu tidak bisa dibandingkan dengan prestasi yang dicapai Maudy Ayunda. Tetapi, melalui uraian ini, saya ingin menunjukkan bahwa ada yang lebih penting dibanding privilese semata. Karenanya, kita tidak bisa serta merta menuduh semua orang yang berprestasi karena memiliki privilese. Itu sama saja mematikan potensi diri sendiri, khususnya jika kita tergolong tidak punya privilese.

Jika ada orang mengatakan bahwa saya berhasil mencapai prestasi karena adanya privilese, terus terang saya akan tertawa! Itu benar-benar lelucon konyol! Sama konyolnya dengan orang yang berceramah tentang kemiskinan di depan saya, padahal saya sudah bertahun-tahun menjalani kemiskinan, bahkan sebelum dia tahu arti kemiskinan.

Tentu saja, ada banyak orang yang sukses dan berprestasi karena adanya privilese. Tapi bukan berarti semua orang yang sukses dan berprestasi pasti karena privilese. Karena, dalam hal ini, kita tidak tahu perjuangan orang per orang. Bisa jadi, Maudy Ayunda tampak memiliki privilese. Tapi siapa yang tahu kalau ternyata dia mati-matian belajar siang malam, hingga mencapai prestasinya sekarang?

Menuduh semua orang berprestasi karena adanya privilese bukan hanya sembrono, tapi juga tidak adil. Siwon Super Junior, misalnya, anak orang paling kaya di Korea Selatan. Kita tentu bisa mudah menuduh Siwon mencapai kesuksesannya karena privilese (kekayaan orang tuanya). Tapi apakah benar begitu?

Tidak!

Siwon mencapai semua kesuksesannya tanpa bantuan apa pun dari orang tuanya. Ayahnya tidak setuju Siwon masuk dunia entertainment, dan sang ayah tidak mau membantunya sepeser pun. Praktis, Siwon mencapai kesuksesannya semata karena usaha dan kerja kerasnya sendiri. Saya sudah menceritakan kisah Siwon cukup lengkap, dari nol sampai sukses, dan kalian bisa membacanya di sini.

Jadi, kalau kau kebetulan anak orang berada, yang mampu mendapatkan pendidikan sampai tingkat tinggi, dan kau memperoleh dukungan orang tua serta keluargamu dalam menggapai cita-cita, kau patut bersyukur, dan gunakanlah semua itu sebagai modal untuk meraih impian hidupmu.

Sebaliknya, kalau kau kebetulan anak orang tidak mampu, yang hanya mendapatkan pendidikan seadanya, dan kau menjalani hidup yang penuh kekurangan, kau tetap punya alasan dan kemampuan untuk meraih cita-citamu. Karena privilese mungkin penting, tapi ada yang lebih penting... yakni semangat, pembelajaran, kerja keras, dan keyakinanmu.

Pemilu Bocah

"Jokowi sama Prabowo, kira-kira siapa yang menang?"

"Yang menang pasti mbakyuku!"

"Kok bisa?"

"Iya, soalnya di dunia ini tidak ada yang mengalahkan mbakyuku."

#PemiluBocah #NyoblosMbakyu #MbuhIkiOpo


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 April 2019.

Hujan ini Benar-benar Masalah

Hujan ini benar-benar masalah. Aku perlu keluar, nyari makan, dan nyari Marlboro Black! Tapi membayangkan terjebak macet sambil diguyur hujan membuatku malas keluar... sementara perut makin kelaparan, sementara otakku terus menerus membayangkan Marlboro Black sialan.

Lalu ada keparat yang ngemeng, "Makanya kawin, biar ada yang masak."

Kedengarannya hebat. Yang masih jadi pertanyaan, apakah ada jaminan pasanganmu bisa memasak? Kalau pun bisa, adakah jaminan masakannya enak? Dan, omong-omong, bagaimana dengan Marlboro Black? Aku harus keluar!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 Desember 2017.

Sabtu, 20 April 2019

Percakapan Pagi Hari

Aku tidak pernah menentang pernikahan, karena itu soal pilihan.
Yang aku tentang adalah orang-orang yang hobi berdusta
atas nama pernikahan.
@noffret


“Asli saya menyesal,” dia berkata. “Kalau saja saya tahu menikah ternyata seberat ini, saya tidak akan buru-buru menikah.”

Kalimat itu diucapkan seorang pria sebaya saya—seseorang yang sebenarnya tidak saya kenal—di suatu pagi, saat kami duduk berhadapan di samping rumah.

Seperti yang telah diceritakan di sini, saya mengundang para tukang batu untuk memperluas dan memperbarui ruangan penyimpanan buku di rumah. Sejak itu, ada 5 tukang batu yang setiap hari datang ke rumah untuk mengerjakan yang saya inginkan.

Setiap pagi, saya pun bersiap menyambut mereka—menyiapkan minum, jajan, dan lain-lain. Lima tukang batu itu rata-rata seusia saya, hanya satu yang terlihat sudah berumur 50-an.

Biasanya, setiap hari, para tukang batu sampai di rumah saya pukul 8 pagi, dan pulang pukul 4 sore. Namun, ada satu yang selalu datang saat masih pukul 7 pagi. Dia salah satu tukang batu yang sebaya dengan saya. Semula, saat pertama kali bekerja di tempat saya, dia datang pukul 8 seperti teman-temannya. Tapi pas hari kedua dan seterusnya, dia selalu datang pukul 7.

Ketika pertama kali mendapati dia datang pagi sekali, saya agak kaget. Saya menyapa ramah, “Kok sudah sampai sini, Mas?”

Dia cuma tersenyum.

Sejak itulah, dia selalu sampai di rumah saya pukul 7, sejam lebih awal dibanding teman-temannya. Biasanya, dia akan duduk di samping rumah saya yang kosong, menunggu teman-temannya datang.

Hari keempat, saya baru akan menyeduh kopi, saat dia datang pukul 7 seperti biasa. Saya pun menawarinya kopi. Dia menolak, tapi saya tetap membuatkan kopi untuknya. Saya bawakan cangkir kopi ke tempatnya duduk, dan dia menerima. Lalu kami menyeruput kopi bersama di samping rumah yang waktu itu terasa sejuk, karena masih pagi.

Saya menyulut rokok, menawarinya, tapi dia tidak merokok.

Karena semula saya tidak kenal dia, saya pun bertanya dia tinggal di mana, dan dia menyebutkan alamatnya. Lalu percakapan pun terjadi, dan kami bercakap-cakap seperti umumnya orang normal.

Dia bertanya, “Kok rumahnya sepi terus, Mas? Memang tinggal sendirian, atau keluarganya sedang pergi semua?”

Saya menjawab, hanya tinggal sendirian.

“Berarti belum menikah, Mas?” tanyanya.

“Belum,” saya menjawab.

Lalu hening menggantung.

Saya bertanya, “Sampeyan sudah menikah, Mas?”

“Sudah,” dia menjawab. “Malah sudah punya satu anak.”

Sekali lagi, hening menggantung.

Dia menatap sekeliling, lalu berkata ragu-ragu, “Pasti senang ya, Mas, tinggal sendirian, tidak ada yang mengganggu.”

Saya tersenyum. “Bukannya lebih senang punya pasangan, karena ada yang menemani, bisa saling curhat kalau pas ada beban pikiran?”

Dia tersenyum malu-malu. “Ah, kata siapa?”

Saya mengisap rokok, dan menyahut, “Saya sering mendengar orang mengatakan begitu. Malah banyak orang yang menyuruh-nyuruh saya agar cepat menikah, karena katanya menikah akan membuat saya bahagia, dan berbagai alasan lain yang terdengar menyenangkan.”

Dia menyahut cepat, “Sebaiknya jangan buru-buru percaya, Mas.”

“Kenapa?”

Dia terdiam sejenak, lalu berkata, “Dulu, saya juga berpikir seperti itu. Waktu belum menikah, saya juga sering mendengar orang mengatakan hal-hal indah tentang pernikahan, saat mereka menyuruh atau menyindir saya agar cepat menikah. Saya pun, seperti umumnya orang lain yang belum menikah, percaya dan terpengaruh omongan mereka. Sebenarnya, saya juga membayangkan menikah memang indah. Sepertinya, semua laki-laki pasti berpikir begitu, kan?”

Saya mengangguk.

“Tapi sebaiknya jangan buru-buru percaya,” dia melanjutkan. “Karena kenyataannya belum tentu seindah yang dibayangkan. Malah bisa jadi berbeda jauh dari yang kita bayangkan. Saya sudah mengalaminya, Mas, jadi saya berani mengatakan. Asli saya menyesal. Kalau saja saya tahu menikah ternyata seberat ini, saya tidak akan buru-buru menikah.”

“Waktu awal menikah, memang menyenangkan,” sambungnya. “Tapi seiring waktu, saya mulai menyadari, kesenangan dan keindahan itu menghilang, dan berganti beban serta kewajiban. Sejak itu pula, yang saya alami adalah tekanan demi tekanan. Adaaa saja kebutuhan yang harus dipenuhi, dari kebutuhan rumah tangga sampai kebutuhan anak dan istri.”

Dia menyeruput kopinya, lalu seperti tersenyum kecut, dan berkata, “Dulu, waktu belum menikah, saya membayangkan banyak hal indah—ya seperti yang dibayangkan orang lain umumnya. Tapi setelah menikah, saya sadar bayangan saya keliru. Dulu, saya berpikir pasti menyenangkan kalau ada seseorang yang menemani kita siang dan malam, hingga saya betah di rumah. Tapi kini, saya justru tertekan, karena selalu saja ada masalah, atau hal-hal yang memberati pikiran saya. Sebegitu tertekan, hingga saya merasa lebih tenang kalau di luar rumah. Karena itulah, saya sengaja keluar rumah pagi-pagi sekali.”

Mendengar tuturan itu, saya pun akhirnya memahami kenapa dia selalu datang pukul 7, meski pekerjaan di rumah saya dimulai pukul 8.

Saya bertanya, “Tapi, Mas, kalau memang pernikahan seperti itu—seperti yang sampeyan katakan—kenapa banyak orang suka menyuruh-nyuruh saya menikah, menjanjikan kebahagiaan dan segala macam?”

Dia kembali tersenyum kecut. “Saya tidak tahu,” jawabnya. “Sebenarnya, saya pun dulu menghadapi hal semacam itu. Ada tetangga sekampung yang dulu suka menyindir saya agar segera menikah. Dia juga mengiming-imingi aneka hal yang terdengar menggiurkan. Lalu saya menikah. Belakangan, kalau kami pas ngobrol, dan saya bilang padanya kalau pernikahan tidak seindah yang ia katakan dulu, dia cuma mengatakan, ‘yah, namanya menikah ya begitu’.”

Saya mengisap rokok sesaat, lalu bertanya, “Tetangga yang suka menyindir sampeyan itu... dia tentu sudah berkeluarga, ya?”

“Ya,” dia menjawab. “Dia sudah berkeluarga. Dia sudah menikah bertahun-tahun lalu, dan sudah punya tiga anak.”

“Menurut sampeyan, apakah hidupnya bahagia?”

Dia menatap saya sesaat, lalu menjawab ragu-ragu, “Sepertinya tidak. Karena, sebagai tetangga, saya tahu bagaimana kehidupannya.”

Sambil menahan senyum, saya berkata, “Jadi, tetangga sampeyan sudah menikah dan menjalani hidup yang tidak bahagia, dan dia menyuruh sampeyan cepat menikah agar bahagia?”

Kembali dia menatap saya, dan, mungkin, mulai memahami maksud saya. Lalu dia berkata dengan serbasalah, “Saya benar-benar tidak menyadari itu...”

Begitu pula orang-orang lain, pikir saya.

Percakapan itu mungkin masih akan berlanjut, tapi kemudian para tukang batu lain berdatangan, karena sudah pukul 8 pagi. Saya membawa cangkir-cangkir kopi ke dapur, sementara lawan bicara saya bergabung dengan teman-temannya.

Hari baru dimulai.

Tiga Kata Paling Mahal di Dunia

“Ternyata cuma gitu.”

Noffret’s Note: Maudy Ayunda

Kalau aku lahir dan tumbuh besar dalam keluarga seperti keluarga Maudy Ayunda, dan aku memiliki fasilitas, lingkungan, serta privilese yang dimilikinya, aku juga pasti akan bisa meraih yang sekarang diraihnya.

Jadi, kupikir, yang sekarang dicapai Maudy Ayunda biasa-biasa saja.

Maudy Ayunda mencapai prestasi luar biasa? Mungkin ya, kalau dia anak miskin dengan kehidupan serbasulit, harus menghadapi berbagai masalah membelit yang ditimpakan kemiskinan dan kemalangan. Jika dia dalam kondisi itu dan berhasil seperti sekarang, kita patut bersulang untuknya.

Oh, jangan salah paham. Tentu saja kita patut mengapresiasi prestasi yang sekarang dicapai Maudy Ayunda. Tapi kita toh tetap harus objektif dan realistis, sehingga kita tidak perlu membanding-bandingkan dengan orang-orang lain yang kebetulan tidak punya privilese seperti dia.

Kalau mau membandingkan sesuatu, carilah yang apple to apple, agar timbangan benar-benar adil. Maudy Ayunda jelas tidak bisa dibandingkan dengan anak-anak buruh pabrik atau tukang becak. Karena jika itu yang kita lakukan, bahkan para malaikat akan terluka, dan iblis akan merana.

Jadi, apa pesan moralnya? Oh, ini kisah Maudy Ayunda, bukan kisah Roro Jonggrang!

Tetapi, kalau memang ingin pesan moral, "Menikahlah setelah kau benar-benar mapan, agar bisa membesarkan anakmu secara layak, agar dia tumbuh dengan baik, sehingga bisa diharapkan seperti Maudy Ayunda."

Jika ingin menyelami lebih lanjut ocehan ini, silakan baca kisah nyata berikut: Mengubah Takdir » https://bit.ly/2tRV8T0

Kisah itu menjelaskan dengan gamblang, bagaimana dua anak kembar bisa memiliki takdir jauh berbeda, ketika mereka dididik dan dibesarkan dengan cara berbeda.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 5 Maret 2019.

Senin, 15 April 2019

Musuh Buku Paling Berbahaya

Aku tidak pernah takut mati. Yang kadang membuatku takut,
aku keburu mati padahal masih ada buku-buku bagus
yang belum sempat kubaca.
@noffret


Setidaknya ada empat musuh buku yang sangat berbahaya, dan para kutu buku, kolektor buku, pencinta buku, atau pembaca buku, harus mengenali empat hal tersebut.

Musuh buku yang pertama adalah para pembakar buku—orang-orang kurang mikir yang mengira bisa memusnahkan pemikiran hanya dengan membakar tumpukan kertas. Apa pun motivasinya, membakar buku adalah perilaku barbar yang jauh dari beradab.

Musuh buku yang kedua adalah para peminjam buku yang tak bertanggung jawab. Meminjam buku bisa menjadi aktivitas yang baik, jika dilakukan secara bertanggung jawab. Setelah pinjam, ya bukunya dibaca dengan baik, lalu segera dikembalikan pada pemiliknya, dalam keadaan utuh seperti saat dipinjam.

Para peminjam semacam itu bisa jadi orang-orang yang suka membaca dan belajar, namun tidak memiliki kemampuan membeli buku. Kita patut membantu mereka, dengan meminjamkan buku-buku yang kita punya.

Tetapi ada jenis peminjam buku yang benar-benar bangsat. Mereka meminjam buku bukan karena memang senang membaca, tapi karena “gatal”. Biasanya, orang semacam itu datang ke rumah kita, dan kebetulan melihat buku di meja atau di tempat lain, lalu gatal ingin pinjam. Setiap kali buku saya dipinjam orang gatal semacam itu, saya hampir bisa meramalkan nasib tragis.

Biasanya, peminjam buku “tipe gatal” tidak membaca buku yang ia pinjam. Sampai berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, dia tidak juga mengembalikan. Saat ditagih, sering kali jawabannya “belum selesai dibaca”, atau kalimat terkutuk senada. Padahal, apakah dia benar membaca buku itu atau tidak, iblis pun tak tahu.

Ketika akhirnya dia mengembalikan buku yang dipinjam, biasanya buku dalam keadaan kusut, rusak, kluwus, atau penuh tekukan dan lipatan, pendeknya sudah jauh berbeda dari saat dipinjam. Itu pun masih lumayan. Tidak jarang, buku yang ia pinjam malah hilang. Alasannya klise, “Aku tidak ingat di mana menaruh buku itu.”

Tentu saja kau tidak ingat, bangsat! Wong bukunya tidak dibaca, bagaimana kau akan ingat? KALAU MEMANG TIDAK SUKA MEMBACA BUKU, MBOK TIDAK USAH SOK MINJAM-MINJAM!

Mohon maaf kalau saya terdengar emosi, karena nyatanya banyak buku saya yang hilang gara-gara dipinjam secara tak bertanggung jawab. Karenanya saya benar-benar jengkel pada orang yang hobi minjam buku, tapi tidak dibaca, malah bukunya hilang.

Well, musuh buku yang ketiga adalah air. Kalian tentu paham, air bisa merusak buku dengan cara paling mengerikan. Bagaimana pun, buku terbuat dari kertas. Sekuat apa pun, kertas kalah dengan air. Karenanya, kalau kebetulan tinggal di daerah yang rentan banjir, ada baiknya meletakkan buku di tempat yang cukup tinggi, agar lebih aman.

Musuh buku yang keempat, dan paling berbahaya, adalah rayap. Ia paling berbahaya, karena seperti musuh dalam selimut. Tak terlihat, tapi merusak dari dalam. Ia datang tanpa kita tahu, merusak buku demi buku tanpa kita tahu, sampai kemudian kita menyadari kerusakan telah terjadi. Kenyataan ini pula yang tempo hari membuat saya frustrasi.

Di rumah, saya punya ruangan khusus untuk menyimpan buku. Ribuan buku itu tertata di rak-rak yang menjulang tinggi ke langit-langit. Karena semua rak telah penuh, banyak buku yang hanya saya simpan di dalam kardus. Karena makin hari buku saya makin bertambah, buku-buku dalam kardus pun semakin banyak. Akibatnya, ruangan kian sempit, karena kardus-kardus berisi buku terus menumpuk. Hasil akhirnya, ruangan itu perlahan-lahan lembap, dan saya terlambat menyadari.

Kelembapan ruangan akan mengundang rayap, dan itulah yang terjadi. Tanpa saya tahu, rayap muncul di ruang penyimpanan buku. Saya tidak tahu kapan keparat-keparat kecil itu muncul di ruang buku, karena wujud mereka nyaris tak terlihat, dan aktivitas mereka juga tak terlihat. Yang jelas, ketika saya menyadari keberadaan mereka, kerusakan yang terjadi sudah parah.

Suatu malam menjelang pagi, saya masuk ke ruangan itu untuk mengambil beberapa buku. Suasana waktu itu sangat hening. Saat saya baru masuk ke ruang buku, telinga saya menangkap suara mencurigakan. Sangat lirih, nyaris tak terdengar. Lalu diam—suara tadi hilang. Saya berdiam di sana, menunggu. Beberapa saat kemudian, suara itu muncul lagi. Lirih seperti semula, tapi kali ini saya benar-benar mendengarnya.

Detik itu pula saya tahu apa yang terjadi, dan perasaan saya tak karuan.

Mengikuti arah datangnya suara, saya membongkar deretan buku di sana, dan hasilnya tepat seperti yang saya khawatirkan. Ada pasukan rayap membangun markas di antara buku-buku, dan mereka menggerogoti lembar-lembar buku dengan sangat tidak ilmiah, tidak akademis, tidak environmental, dan tidak moratorium—apa pun artinya. Berikut ini contohnya.


Jika dilihat dari luar, buku-buku itu tampak baik-baik saja, bahkan terlihat masih mulus. Tapi ketika dibuka, lembar-lembar kertas di dalamnya telah rusak karena digerogoti rayap, hingga sulit dibaca. Inilah musuh buku yang paling berbahaya, karena ia merusak dari dalam, diam-diam, dan kita sering tak menyadari. Terkait hal ini, ada banyak buku saya yang rusak gara-gara keparat itu, dan saya terlambat menyadari.

Malam itu, saya misuh-misuh sambil membongkar-bongkar buku, menyisihkan buku-buku yang rusak karena rayap. Ketika pagi menjelang, tumpukan buku yang rusak sudah mencapai 2 meter! Dan saya benar-benar murka, dengan kepala memunculkan api karena amarah membara.

Akhirnya, hari itu juga, saya menghubungi tukang batu (tukang bangunan). Saya meminta mereka merombak dan memperbarui ruangan itu, agar jauh dari kemungkinan lembap, agar rayap-rayap terkutuk menjauh dari sana, agar buku-buku saya damai sentosa, agar saya bisa beristirahat dengan tenang. Butuh waktu sebulan bagi para tukang batu mewujudkan yang saya inginkan.

Kini, ruangan buku di rumah saya sudah diperbarui, dan sekarang sudah beres. Saya pun memastikan diri untuk selalu membuka jendela setiap hari, agar sinar matahari bisa masuk.

....
....

Agar kalian—khususnya para pencinta dan kolektor buku—tidak mengalami masalah seperti yang saya alami, berikut saya ingin berbagi tip agar buku-buku kalian selamat dari rayap.

Pertama dan terutama, pastikan ruangan tempat menyimpan buku tidak lembap. Ini aturan yang tak bisa diganggu gugat. Rayap senang tempat lembap, dan kelembapan akan mengundang rayap.

Kelembapan bisa datang dari lantai, dinding-dinding, atap ruangan, sampai penataan barang di dalamnya. Karenanya, pastikan semua bagian ruangan dalam kondisi kering. Akan lebih baik jika di ruangan itu ada jendela yang bisa dibuka setiap hari, sehingga sinar matahari bebas masuk.

Jika buku yang kita miliki hanya beberapa puluh, tentu urusannya lebih mudah. Kita bisa rutin mengangin-anginkan buku-buku tersebut di luar ruangan, misal seminggu sekali, untuk menjauhkan mereka dari kemungkinan lembap. Tapi kalau buku kita sudah mencapai ribuan, urusan mengangin-anginkan jadi sulit dilakukan, karena butuh waktu sangat lama. Bahkan iblis di neraka pun pasti malas melakukannya!

So, pastikan saja semua bagian ruangan selalu kering. Setelah itu, pastikan penataan buku di dalam ruangan tidak sampai menimbulkan kelembapan. Artinya, upayakan ada ruangan yang cukup, agar tidak berdesak-desakan. Inilah kesalahan yang saya lakukan. Saya menumpuk kardus-kardus berisi buku sampai ruangan benar-benar penuh dan sesak, dan hal itu menimbulkan kelembapan, karena sirkulasi udara macet. Setelah lembap, rayap datang.

Well, setelah ruangan tempat menyimpan buku sudah beres, hal lain yang perlu kita perhatikan adalah rak untuk menata buku. Sebagian orang menggunakan rak yang terbuat dari kayu, sebagian lain menggunakan rak yang terbuat dari rangka besi. Manakah yang lebih bagus? Sama-sama bagus, meski rak dengan rangka besi lebih kuat. Namun soal estetika, rak kayu tampak lebih bagus.

Sekadar saran, sebaiknya buatlah rak sendiri—bukan membeli yang sudah jadi—khususnya jika buku yang kita miliki sangat banyak.

Berdasarkan pengalaman, rak yang dibeli dalam keadaan sudah jadi biasanya ringkih, khususnya rak-rak yang dibuat menggunakan hardboard. Banyak rak buku yang terbuat dari hardboard—tersedia di swalayan sampai di marketplace—yang tampak bagus, tapi sebenarnya sangat ringkih. Rak-rak itu biasanya tidak mampu menopang tumpukan buku dalam jumlah banyak.

Dengan membuat sendiri, kita bisa memilih bahan-bahan (kayu) yang berkualitas, sekaligus bisa menentukan bentuk dan ukurannya, juga dapat disesuaikan dengan ruangan yang ada di rumah kita. Cukup temui tukang kayu yang berpengalaman, dan minta mereka membuat rak seperti yang kita inginkan. Ada pula produsen rak/lemari yang menerima pesanan, dan mereka bisa memproduksi rak yang kita mau, dengan bahan-bahan seperti yang kita minta.

Setelah ruangan beres, rak juga beres, hal selanjutnya adalah penataan buku. Soal ini sesuai selera saja, asal tetap mengingat aturan penting tadi—hindari kelembapan. Sebagian orang kadang meletakkan kamfer atau kapur barus di rak-rak buku untuk menjauhkan rayap. Sebenarnya, itu mitos! Kamfer sebanyak apa pun tidak akan berfungsi kalau ruangan dan penataan tetap lembap, dan rayap akan tetap datang.

Setelah semuanya beres, dari ruangan sampai rak-rak dan penataannya, apa lagi yang harus kita lakukan dengan buku-buku yang kita miliki? Ya dibaca! Bacalah buku-buku yang dimiliki, jangan dikumpulkan saja. Karena kita menjadi pintar dan bertambah wawasan dengan membaca buku, bukan dengan mengoleksi buku.
 

Ekonomi di Era Jokowi

Jokowi tidak korupsi, tapi kebijakan ekonominya bikin susah!
@RamliRizal

Tepat seperti itulah yang kupikirkan selama ini.
@noffret


Sebagai rakyat biasa yang tidak punya kepentingan politik apa pun, aku percaya Presiden Jokowi orang baik. Tetapi, jujur saja, meminjam ungkapan Rizal Ramli, "kebijakan ekonominya bikin susah".

Itu bukan retorika, karena aku benar-benar merasakan dampaknya.

‏Sekadar pengingat, ini berita lama. Tapi melalui berita ini, kita tahu bagaimana ekonomi Indonesia dijalankan dan dikendalikan, dan karena itulah sejak dulu aku tidak terlalu berharap banyak pada pemerintahan Jokowi. Dan nyatanya memang begitu. » Sri Mulyani: Satu Penduduk Indonesia Tanggung Utang Negara Rp13 Juta

Beberapa orang kerap menggunakan perbandingan utang Indonesia dengan utang negara lain, sebagai upaya "ngadem-ngademi" kita bahwa utang Indonesia tidak ada apa-apanya dibanding negara lain.

Mungkin memang terdengar baik, bahkan ilmiah. Padahal itu perbandingan yang bermasalah!

Membandingkan utang Indonesia dengan utang negara maju itu seperti membandingkan utang seorang buruh pabrik dengan utang juragan batik. Tidak ilmiah blas!

Memang sama-sama berutang, bahkan bisa jadi si juragan punya utang lebih banyak. Tapi adilkah perbandingan semacam itu?

Dalam simpulan sederhana, beginilah ekonomi Indonesia dijalankan akhir-akhir ini: Tumpuk utang terus menerus untuk infrastruktur—atau sebut apa pun. Bagaimana membayarnya? Tarik pajak rakyat sebesar-besarnya!

Itulah yang, menurut Rizal Ramli, "kebijakan ekonominya bikin susah!"

Kita telah melihat Yunani bangkrut secara mengerikan karena utang, dan kita juga telah melihat Venezuela mengalami krisis luar biasa, hingga mencampakkan kemanusiaan ke tempat sampah. Harus berapa banyak lagi contoh yang perlu kita lihat untuk mulai sadar dan mau belajar?

Musuh yang paling berbahaya bukan dia yang ada jauh di luar sana, tapi yang hidup seatap dengan kita. Penjahat yang paling perlu diwaspadai bukan dia yang wajahnya telah distempel bekas kejahatan, tapi yang namanya disanjung-sanjung sebagai pahlawan besar.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Januari 2019.

Alasan Golput

Yang mau pilih Jokowi, monggo. Yang mau pilih Prabowo, monggo. Yang tidak memilih siapa pun, juga monggo. Ini negara demokrasi. Setiap orang berhak memilih, termasuk memilih untuk tidak memilih.

....

"Kenapa kamu golput?"

Soalnya golput adalah golongan putih, dan aku suka putih-puttiiiiiihhhhh...

#Apeuh

....

Hidup adalah soal pilihan. Termasuk memilih untuk tidak memilih.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20/21 Januari 2019.

Kamis, 11 April 2019

Siomay dari Abad Kegelapan

Jajan siomay dulu, biar tidak stres.
@noffret


Seperti di mana pun, di tempat saya tinggal ada beberapa penjual siomay yang lewat di kampung-kampung. Mereka biasanya muncul di siang hari. Karenanya, orang-orang yang kebetulan sedang lapar tapi malas makan, biasanya akan menghentikan penjual siomay yang lewat di depan rumah. Dalam hal ini, saya salah satunya.

Bertahun-tahun lalu, penjual siomay di tempat tinggal saya cuma satu. Dia biasa lewat di depan rumah saya sekitar jam 1 atau 2 siang. Waktu itu, karena dia satu-satunya penjual siomay yang ada, orang-orang pun mengandalkannya dalam urusan siomay. Kalau kebetulan dia tidak lewat, kami merasa kehilangan.

Siomay orang itu sama dengan siomay-siomay di tempat lain. Ada tahu, kol, bulatan siomay, telur, juga kentang, dengan tambahan bumbu atau sambal, sehingga aktivitas menyantap siomay jadi terasa maknyus. Kalau soal rasa, mungkin relatif. Bagi saya, siomay orang itu biasa-biasa. Enak ya tidak, tidak enak juga tidak. Biasa-biasa saja—cukup untuk mengganjal perut kosong di siang bolong.

Yang agak menjengkelkan dari penjual siomay itu adalah kebiasaannya yang selalu memberi sambal atau bumbu sangat sedikit. Akibatnya, sering kali kami—para konsumen siomay—harus kecewa saat menyantapnya. Siomay di piring masih banyak, tapi sambalnya sudah habis.

Jika diperhatikan, penjual siomay itu punya kebiasaan khas, yang mungkin kurang sesuai prinsip-prinsip environmentalisme—apa pun artinya. Jadi, setelah semua irisan siomay tertata di piring, dia akan menyendok bumbu/sambal sedikit-sedikit, dan meratakannya ke irisan siomay di piring. Intinya, dia berusaha memberi sambal sesedikit mungkin, asal merata dan menutup semua bagian siomay di piring.

Saat disajikan ke pembeli, siomay di piring itu memang tampak tertutup sambal. Tapi sangat sedikit, karena hanya menutup bagian permukaan. Ketika mulai disantap, pembeli siomay mulai menyadari, bahwa sambal itu hanya ada di permukaan, sangat tipis, dan tidak cukup. Akibatnya itu tadi, siomay masih ada di piring, tapi sambalnya keburu habis.

Karena hal itu terus terulang, para pembeli siomay pun mengingatkan si penjual, “Bumbunya yang banyak, ya, Pak.”

Biasanya, setelah diingatkan, penjual siomay akan memperbanyak bumbu atau sambalnya. Setelah beberapa hari diingatkan, pembeli biasanya akan berhenti mengingatkan, karena berpikir si penjual siomay masih ingat dan paham sendiri. Tapi ternyata tidak. Begitu kami berhenti mengingatkan, dia pun kembali ke kebiasaannya semula; hanya memberi sedikit bumbu.

Kenyataan yang mungkin konyol tapi menjengkelkan itu terjadi berulang-ulang, dan menimpa semua orang yang saban hari membeli siomay. Karena itu pula, saya pernah mendapati ibu-ibu tetangga yang protes dengan jengkel, “Saban hari sudah diingatkan, bumbunya yang banyak, tapi masih juga sedikit!”

Kalau mendapat protes semacam itu, si penjual siomay biasanya akan ngeles, “Kalau memang kurang, silakan minta lagi, nanti saya tambahi.”

Kenyataannya, kalau ada pembeli yang minta tambahan bumbu, dia memang akan menambahkan bumbu, bahkan cukup banyak, hingga kali ini giliran bumbunya yang akan sisa di piring.

Meski si penjual bersedia menambah bumbu kalau diminta lagi, tapi sepertinya tawaran itu kurang menarik bagi rata-rata pembeli. Mereka ingin menikmati siomay dengan tenang, tanpa khawatir kehabisan bumbu, dan tanpa repot-repot meminta tambahan bumbu.

Saya termasuk yang merasakan hal semacam itu. Ketika menikmati sepiring siomay, saya ingin menikmatinya dengan tenang, tanpa khawatir kehabisan bumbu, hingga piring benar-benar bersih sebelum akhirnya saya kembalikan kepada si penjual. Ini remeh, sepele, tapi sangat environmental—maksud saya, urusan meminta tambahan bumbu bisa merusak kenikmatan makan siomay.

Beberapa kali, saya makan siomay, dan mendapati bumbunya kurang. Akibatnya, masih ada beberapa irisan siomay di piring yang sisa. Mau saya makan, rasanya tidak enak, karena tidak ada bumbunya. Sementara saya juga malas meminta tambahan bumbu. Jadi, biasanya, saya pun mengembalikan piring dengan sisa beberapa iris siomay di atasnya, yang kehabisan bumbu.

Mestinya, penjual siomay itu menyadari saat melihat hal tersebut. Fakta bahwa ada pembeli yang mengembalikan piring dengan beberapa iris siomay tanpa bumbu, artinya bumbunya kurang. Kalau dia mau sedikit sadar, dia bisa mengingat hal itu, dan besoknya memperbanyak bumbu, agar pembeli tidak perlu menyisakan siomay yang dinikmatinya.

Dan apakah dia sadar? Tidak!

Sampai beberapa tahun, orang-orang di tempat tinggal saya saban hari menghadapi realitas yang membingungkan; siomay yang tidak environmental.

Kami harus menghadapi kenyataan atas kebutuhan terhadap siomay, tapi kami juga harus menghadapi kondisi yang menjengkelkan, yaitu siomay yang selalu, selalu, selalu, kurang bumbu. Tidak ada pilihan lain, mau tak mau kami harus menyantap siomay yang tidak envionmental itu, karena nyatanya tidak ada alternatif pilihan.

Dalam perspektif saya, masa-masa itu layak disebut Abad Kegelapan.

Hingga suatu hari, masa Renaissance tiba, setidaknya di tempat tinggal saya. Jika sebelumnya hanya ada satu penjual siomay, akhirnya muncul penjual siomay lain. Penjual siomay baru ini juga muncul di waktu-waktu sama dengan penjual siomay sebelumnya. Sama-sama menyediakan siomay, dan enaknya juga relatif sama dengan siomay sebelumnya. Namun, kali ini, si penjual siomay memberi banyak bumbu tanpa diminta.

Apa yang terjadi kemudian? Kalian sudah bisa membayangkan. Begitu penjual siomay yang baru itu muncul, seketika orang-orang berpindah ke siomay yang baru, dan meninggalkan penjual siomay yang lama. Bukan karena lebih enak, tapi semata-mata karena kami bisa menikmati siomay dengan tenang, tanpa khawatir kehabisan bumbu di tengah makan.

Sepele? Sangat! Tapi yang sepele itu mampu mengubah peradaban—setidaknya peradaban (kebiasaan) orang-orang di tempat saya tinggal.

Sewaktu-waktu, kadang dua penjual siomay muncul bersamaan. Dan pemandangan yang membingungkan terjadi di depan rumah saya. Orang-orang—tetangga kanan kiri—keluar rumah untuk menghentikan penjual siomay yang baru, dan seketika gerobaknya dikerubungi orang-orang. Sementara penjual siomay yang lama terus lewat, tanpa ada satu pun yang menghentikan.

Saat menghadapi pemandangan semacam itu, kadang saya berhenti di pintu rumah, dan sejenak membayangkan hari-hari lalu, saat kami tidak punya pilihan lain selain menyantap siomay yang tidak enviromental. Apakah penjual siomay yang lama pernah membayangkan itu?

Apakah penjual siomay yang lama pernah memikirkan, bahwa jika dia tidak mau mengubah kebiasaannya, dia bisa ditinggalkan? Mungkin tidak pernah. Karena nyatanya dia terus dan terus dan terus melakukan kebiasaannya—hanya memberi sedikit bumbu, hingga orang-orang terus kecewa dan kecewa. Mungkin dia tidak pernah membayangkan ada penjual siomay baru yang akan mendobrak kebekuan hidup, dan memperbarui kebiasaan lama.

Kini, takdir itu benar-benar datang. Penjual siomay baru muncul dengan tawaran yang lebih relevan, dengan sesuatu yang diam-diam dirindukan oleh banyak orang... tapi selama ini hanya disimpan di lubuk hati karena ditekan oleh keadaan.

Selalu ada Masa Pencerahan, seremeh apa pun, sesederhana apa pun—dan ia memang harus diupayakan—agar manusia tidak terus berkubang di Abad Kegelapan.

Ingin Ngewe Saja Pakai Ndakik-ndakik

Doktrin:
Tidak ada kasih sayang sebesar yang diberikan ayahmu.
Surga ada di bawah telapak kaki ibu.

Fakta:
Ayah dan ibu kandung menempati peringkat teratas sebagai pelaku kekerasan pada anak.

Doktrin:
Tempat paling aman bagi anak adalah rumah.
Ridha Tuhan tergantung ridha orang tuamu.

RIDHA WHAT?

Lihat statistik terkutuk ini: 73,7 persen anak Indonesia mengalami kekerasan di rumahnya sendiri.

Dalam pikiranku, korban pertama sekaligus korban terbesar yang dihasilkan dari perkawinan tanpa persiapan adalah anak-anak. Karena kawin tanpa persiapan matang, suami istri akan sering stres karena keblangsak. Dalam hal itu, anak sering menjadi sasaran amarah mereka.

Ada banyak idiot yang kawin dan beranak pinak karena meyakini itu kewajiban. Ketika mereka kawin dan punya anak, lalu keblangsak, idiot-idiot itu menyalahkan anak-anak mereka, "Gara-gara kamu, hidupku jadi keblangsak!"

Padahal, hidup mereka keblangsak karena kawin tanpa mikir.

Tentu saja mereka tidak akan mengatakan secara verbal bahwa mereka menyalahkan anak-anak mereka. Tapi perlakuan mereka terhadap anak adalah refleksi jelas mengenai apa yang ada dalam pikiran mereka.

Aku bisa tahu seperti apa perkawinanmu, dengan melihat perlakuanmu pada anakmu.

Kalau kau menikah dan menikmati kehidupan bahagia, kenakalan anak-anakmu adalah persoalan ringan, dan kau akan menghadapinya dengan kasih sayang.

Tapi kalau kau menikah dan hidup keblangsak, kenakalan anak-anakmu adalah persoalan berat, dan kau akan menghadapinya dengan amarah.

Kalau kau menikah dan bahagia, anak-anakmu akan ikut bahagia. Tapi kalau kau menikah dan keblangsak, anak-anakmu pasti ikut keblangsak! Sudah melihat lingkaran setan-iblis-terkutuk-dan-terlaknat ini?

Karena itulah, menikah perlu pikiran dan persiapan, bukan cuma selangkangan!

Setiap kali mendengar doktrin yang terdengar indah seperti angin sorga tentang pernikahan, jangan telan mentah-mentah, tapi lihatlah REALITAS. Berapa banyak yang indah, dan berapa banyak yang keblangsak?

Itulah alasan manusia memiliki pikiran, hati, dan tidak cuma selangkangan.

Sebenarnya, kalau mau jujur, semua doktrin tentang perkawinan yang ndakik-ndakik sampai setinggi langit dan sedalam samudra, yang terdengar begitu indah hingga bisa membuat iblis mimisan, bisa disimpulkan dalam dua kata sederhana: Ingin ngewe.

Karenanya, gunakan akal sehatmu.


*) Ditanskrip dari timeline @noffret, 10 Maret 2018.

Urip Mung Mampir Ngapusi

Dikarang-karang dewe, dipercoyo dewe.

Yo ora opo-opo.

Mung yo ora usah mekso-mekso wong liyo kudu melu percoyo.

Sabtu, 06 April 2019

Aturan Penting Alam Semesta

Alam semesta, dengan caranya sendiri, memberikan
banyak pelajaran. Manusia, bersama kebodohannya sendiri,
terlalu malas untuk belajar.
@noffret


Di antara semua aturan penting tertulis di muka bumi, aturan yang paling penting tak pernah tertulis. Tapi aturan itu terus berlaku, dan tak bisa dilanggar. Aturan itu bernama Keseimbangan. Berpikirlah sedalam apa pun, dan kita akan sampai pada kesimpulan itu. Pergi dan jelajahilah bumi sejauh mana pun, dan kita akan sampai pada kenyataan itu.

Keseimbangan. Itulah aturan penting alam semesta.

Ada pria dan ada wanita, itu keseimbangan. Ada siang dan ada malam, itu keseimbangan. Ada atas dan ada bawah, itu keseimbangan. Ada hujan dan ada kemarau, itu pun keseimbangan. Semua hal dalam kehidupan manusia memiliki pasangan, dan keberadaan pasangan adalah hakikat keseimbangan. Kita kemudian mengenalnya sebagai hukum alam.

Mengapa kehidupan harus memiliki keseimbangan? Itu tak lepas dari sifat alam semesta yang menyukai keserasian. Keseimbangan diciptakan agar kehidupan serasi, selaras, seimbang. Alam semesta menyukai keserasian. Karenanya, kita akan selalu melihat bahwa keseimbangan yang dijaga akan terus terjaga, tapi ketidakseimbangan pasti akan hancur.

Mari kita gunakan contoh yang mudah. Bumi yang kita tinggali tidak hanya berisi padang pasir, tapi juga lautan. Tempat tinggal manusia tidak hanya berisi tanah lapang untuk pemukiman, tapi juga kawasan hutan yang dipenuhi pepohonan. Itu keseimbangan. Jika manusia mampu menjaga keseimbangan itu, dunia akan baik-baik saja. Tapi jika tidak, dunia akan hancur... kapan pun waktunya.

Tidak usah menunggu lama, bahkan saat ini pun kita sudah mulai melihat kebenaran itu. Karena jumlah manusia semakin banyak, dan kerakusan manusia semakin bertambah, hutan yang semula penuh pepohonan ditebangi. Kayu-kayu yang berasal dari pohon dijual, sementara lahan yang terbuka diubah menjadi pemukiman. Sekilas, mungkin tampak tidak ada yang terjadi. Tapi sebenarnya ada yang terjadi.

Karena pohon-pohon terus ditebangi, tidak ada lagi yang mampu menyerap air saat hujan turun. Akibatnya, banjir mudah datang. Karena pohon-pohon terus ditebangi, tanah tidak lagi memiliki kekuatan. Akibatnya, longsor mudah terjadi. Karena pohon-pohon terus ditebangi, penyerap karbondioksida berkurang. Akibatnya, polusi udara di mana-mana. Siapa yang paling dirugikan? Manusia.

Manusia mengira bisa mencurangi alam dengan membabat pohon seenaknya, padahal pohon-pohon tumbuh untuk menjaga keseimbangan. Ketika keseimbangan dirobohkan, dunia menuju kehancuran. Kelak, jika pohon terus ditebangi sampai habis, dan hutan-hutan di bumi terus terkikis, kiamat hanya tinggal menunggu detik.

Itu contoh yang mudah, kasatmata, gampang dipahami.

Jika kita menjaga keseimbangan, alam akan menjaga kehidupan kita. Tapi kalau kita mencoba melanggar aturan keseimbangan yang telah ditetapkan alam semesta, kita sedang membuka pintu neraka.

Itu contoh keseimbangan dalam skala besar, yakni bumi luas yang kita tinggali. Dalam kehidupan kecil di lingkungan sekitar, kita pun menghadapi aturan yang sama. Keseimbangan. Ada pria, ada wanita. Ada siang, ada malam.

Dunia pasti tidak serasi—bahkan kacau dan wagu—kalau semua manusia berjenis kelamin pria, atau semua manusia berjenis kelamin wanita. Begitu pun, dunia pasti tidak akan seimbang kalau hanya berisi siang atau hanya berisi malam. Itu tidak sesuai hukum alam. Karena hukum alam adalah keserasian, karena aturan semesta adalah keseimbangan.

Begitu pula, ada yang tua dan ada yang muda. Tujuannya agar seimbang. Yang muda menghormati yang tua, dan yang tua membimbing yang muda. Ada yang bodoh dan ada yang pintar, tujuannya agar seimbang. Yang bodoh rajin belajar, yang pintar mau membagikan pengetahuan. Dunia pasti akan membosankan, kalau orang pintar semua. Dan pasti akan jauh lebih membosankan, kalau orang bodoh semua.

Ada yang bahagia, ada pula yang menderita. Tujuannya juga agar seimbang. Yang bahagia bisa menghibur yang menderita, sekaligus ingat bahwa manusia tidak bahagia selamanya. Yang menderita bisa mendapat pundak untuk berbagi kesedihan, sekaligus ingat bahwa manusia juga punya kesempatan untuk bahagia. Itulah keseimbangan, keserasian, sekaligus alasan mengapa alam semesta memastikan segalanya berpasangan.

Ada hitam, dan ada putih. Agar manusia bisa memahami perbedaan dan menyadari bahwa semua hal bisa berbeda. Di luar hitam dan putih, alam semesta juga menyediakan aneka warna lain, sebagai pelajaran yang seharusnya mudah dipahami bahwa tidak ada jaminan bahwa semua yang ada di dunia pasti sama. Kalau jenis warna saja bisa berbeda-beda, apalagi manusia?

Sampai di sini, mungkin ada yang otaknya gatal dan berpikir, “Kalau semuanya berpasangan—termasuk manusia—lalu mengapa ada orang melajang?”

Oh, well, itu pun bagian dari keseimbangan. Lha saya ngomong dari tadi, apa kalian tidak paham?

Kalau semua orang harus melajang, apa kalian mau? Tentu saja tidak, karena kalian pasti ingin kawin! Wong yang sudah kawin saja ingin poligami. Begitu pun, kalau semua orang harus menikah, belum tentu semua setuju. Karenanya, dalam hal ini pun ada keseimbangan—ada yang menikah, ada pula yang tidak. Bahkan sesuatu yang disebut materi pun memiliki pasangan bernama antimateri. Karenanya, jika ada orang yang menikah, maka tentu ada pula yang tidak. Itulah keseimbangan.

Karenanya, tidak usah menyuruh-nyuruh, memprovokasi, apalagi memaksa-maksa orang lain menikah, karena itu sama saja membabat pepohonan di hutan. Sekilas mungkin tampak tidak bermasalah, tapi sebenarnya mengundang musibah.

Orang-orang tolol mungkin berpikir, “Ah, apa gunanya pohon di hutan? Babat saja! Kayunya bisa dijual, dan lahan yang terbuka bisa dijadikan perumahan.” Sekilas mungkin tampak benar, tapi itu sangat... sangat salah! Karena petaka dan bencana berawal dari situ.

Begitu pun, orang-orang tolol mungkin berpikir, “Ah, apa enaknya melajang? Ayo menikah saja! Setelah menikah, nanti hidupmu akan lebih bahagia, lancar rezeki, dan lebih tenteram.” Sekilas, ocehan seperti itu mungkin terdengar benar, bahkan bijaksana, tapi itu bisa sangat... sangat salah! Karena petaka dan kesengsaraan berawal dari ocehan semacam itu.

Saya sering ditanya, kenapa sepertinya tidak percaya kalau semua orang menikah pasti bahagia? Jawaban saya sederhana; karena itu melanggar hukum alam!

Hukum alam adalah aturan penting alam semesta. Aturan ini telah dimulai sejak Adam dan Hawa turun dari surga, dan akan terus berlangsung sampai kiamat tiba. Dan hukum alam memberlakukan keseimbangan... untuk semua hal. Termasuk perkawinan.

Mari kita kembali ke awal lagi, untuk memahami kenyataan ini.

Ada pria, ada wanita. Itu keseimbangan. Karena dari situ tercipta ketertarikan, lalu keduanya saling mengikat janji perkawinan. Tetapi, aturan alam semesta menyangkut keseimbangan tidak berhenti di situ. Setelah perkawinan terjadi, aturan yang sama juga berlaku. Yaitu keseimbangan. Sebagaimana ada bodoh dan pintar, atau kaya dan miskin, perkawinan pun ada yang bahagia dan ada yang tidak.

Itulah keseimbangan. Dan itu hukum alam.

Jika kita melemparkan sepuluh biji mangga ke tanah, berapakah yang akan tumbuh menjadi pohon mangga? Paling-paling hanya tiga atau lima. Sisanya akan membusuk di tanah. Itulah keseimbangan. Tidak semua biji akan tumbuh, begitu pun tidak semua biji akan membusuk. Alam semesta tidak akan melanggar aturannya sendiri!

Terkait perkawinan, sangat mustahil kalau semua orang menikah pasti bahagia. Karena itu jelas melanggar hukum alam. Bagaimana pun, mutlak pasti ada yang bahagia dan ada yang tidak, karena dengan cara itulah keseimbangan terjadi.

Karenanya, saya benar-benar TIDAK PERCAYA setiap kali mendengar orang mengatakan bahwa semua yang menikah pasti bahagia. Karena itu jelas-jelas kebohongan dan dusta yang sangat nyata.

Kalau semua orang menikah pasti bahagia, lalu di mana hukum keseimbangan? Jelas, ada yang menikah dan bahagia, ada pula yang menikah dan tidak bahagia. Lagi pula, kalau semua orang menikah pasti bahagia, tenteram, lancar rezeki, dan lain-lain, lalu kenapa ada perceraian?

Karena itu pulalah, saya berkali-kali menyatakan, kalau menikah adalah pilihanmu, menikahlah. Setelah itu, tolong tidak usah merayu, memprovokasi, apalagi sampai membohongi dan menjerumuskan orang lain dengan angan-angan kosong yang jelas menipu. Kehidupanmu adalah milikmu, begitu pula perkawinanmu. Susah atau senang, kaulah yang merasakan. Begitu pula, kehidupan orang lain adalah milik orang lain. Susah atau senang, merekalah yang merasakan. Tidak usah ribut!

Orang-orang yang suka merayu dan memprovokasi orang lain agar cepat kawin, tidak jauh beda dengan keparat-keparat tamak yang membabat pohon dan merusak hutan seenaknya. Semula, hutan hidup dalam ketenangan, dengan pohon-pohon yang tumbuh subur. Meski tampak tidak berguna, keberadaan mereka menjaga keseimbangan alam.

Tapi selalu ada keparat-keparat rakus berpikiran cetek. Pohon-pohon yang tampak tidak berguna itu ditebangi, dan hutan dibabat untuk dijadikan pemukiman. Sekilas, niat mereka mungkin tampak benar, tapi akibatnya sangat berbahaya. Karena kemudian banjir melanda, tanah longsor di mana-mana, sementara polusi menyerang udara, dan cuaca semakin panas.

Sama seperti keparat-keparat yang suka menyuruh dan memprovokasi orang lain cepat menikah. Semula, para lajang menjalani kehidupan tenang, tenteram, dan bahagia. Tapi karena mereka terus diprovokasi agar cepat menikah, mereka pun tertekan. Akibatnya, mereka menikah tanpa persiapan. Lalu rumah tangga guncang, anak-anak lahir dan telantar, dan masalah dunia bertambah.

Berhentilah merusak alam, dan berhentilah merusak manusia! Sudah terlalu banyak alam rusak karena kebodohan, sama banyaknya kehidupan manusia yang rusak karena kebodohan serupa.

Jika hidupmu memang rusak, berusahalah untuk membenahi! Bukan malah berusaha merusak kehidupan orang lain dengan dalih yang tampak benar! Kalau kau menyesali perkawinanmu, katakan itu pada orang lain, agar mereka belajar dari kehidupanmu. Bukan malah merayu dan memprovokasi orang lain agar sama menyesal dan menderita sepertimu!

Sudah rusak, masih berusaha merusak! Itu benar-benar sesat sekaligus menyesatkan, bejat sebejat-bejatnya!

Aturan penting alam semesta adalah keseimbangan. Ada siang dan ada malam, ada yang terbit dan ada yang tenggelam, ada kebahagiaan dan ada penderitaan. Keseimbangan diciptakan untuk menjaga manusia agar hidup dalam keserasian. Karena kupu-kupu datang untuk menyerbuki bunga, dan rembulan tenggelam saat fajar tiba.

Ayat-Ayat Avengers

Kabar gembira. Kalian mendapat hak istimewa karena diselamatkan
oleh Makhluk Titan Terkuat. Kalian mungkin mengira ini penderitaan.
Bukan. Ini keselamatan. Timbangan Alam Semesta menuju
keseimbangan karena pengorbanan kalian. Tersenyumlah... bahkan
dalam kematian, kalian menjadi Anak-anak Thanos.
Ebony Maw

Aku tahu rasanya kalah. Mati-matian merasa sudah benar, tapi tetap gagal.
Secepat kilat, semua milikmu sirna. Kutanya, apa gunanya?
Ditakuti, dihindari, Takdir tetap tak berubah. Dan sekarang sudah tiba.
Atau, haruskah kukatakan, aku sudah datang?
Thanos

Dari awal mula Alam Semesta, tidak ada apa-apa. Kemudian, bum!
Big Bang menimbulkan enam unsur kristal, melintasi Alam Semesta hampa.
Tiap Infinity Stone, masing-masing, mengendalikan sifat dasar aspek
eksistensi. Ruang (Space), Realitas (Reality), Kekuatan (Power),
Jiwa (Soul), Pikiran (Mind), dan Waktu (Time).
Wong & Doctor Strange

Kenyataan sering mengecewakan. Memang begitu.
Kini, aku bisa memanipulasi kenyataan.
Thanos


“Aku benci kursi itu.”

“Kau pernah mengatakannya. Meski begitu, kuharap kau bisa mendudukinya.”

“Aku benci ruangan ini, pesawat ini. Aku benci hidupku.”

“Kau pernah mengatakannya juga. Setiap hari. Selama hampir dua puluh tahun.”

“Kau menculikku saat aku kecil.”

“Aku menyelamatkanmu.”

“Tidak. Kami bahagia di planet kami sendiri.”

“Kelaparan? Mengemis makanan? Planetmu sekarat. Aku yang menghentikannya. Tahu apa yang terjadi selanjutnya? Anak-anak lahir dengan perut kenyang, dan langit cerah... bagai di surga.”

“Kau membantai separuh populasi planet.”

“Pengorbanan kecil, demi keselamatan.”

“Kau gila!”

“Mungil, ini sederhana. Alam semesta terbatas. Sumber dayanya juga terbatas. Jika populasi tak terkendali, kehidupan akan punah. Semua harus diperbaiki!”

“Kau tidak tahu itu!”

“Hanya aku yang tahu. Dan hanya aku yang berani bertindak.”

Thanos dan putrinya 


Dulu aku pernah mengabaikan takdirku.
Aku tak akan melakukannya lagi.
Thanos


“Menurutmu, kau dibawa ke mana?”

“Biar kutebak. Rumahmu?

“Dulu. Dulu sangat indah. Titan seperti kebanyakan planet. Terlalu banyak mulut, tak cukup bertahan lama. Dan saat kami menghadapi kepunahan, aku menawarkan solusi.”

“Genosida?”

“Acak. Tak memihak, adil. Orang kaya dan miskin sama saja. Dan mereka menyebutku gila. Dan yang kuprediksi benar-benar terjadi.”

“Selamat. Ternyata kau peramal.”

“Aku seorang penyintas.”

“Orang yang bersedia membunuh miliaran orang?”

“Dengan keenam Batu, cuma kujentikkan jariku. Mereka semua musnah. Kuanggap itu belas kasih.”

“Lalu?”

“Akhirnya aku beristirahat. Sambil menyaksikan matahari terbit di Alam Semesta. Pilihan tersulit membutuhkan tekad terkuat.”

Thanos kepada Doctor Strange

Ra

Oooh... Ra.

Senin, 01 April 2019

Andai Kunyatakan Cinta

Pekerjaan pertama dalam cinta bukan mencari cinta
yang layak dan tepat, tapi melayakkan diri
agar bisa mendapatkan cinta yang tepat.
@noffret


Di Stasiun Bogor, Jawa Barat, ada sebuah benda mirip cermin berukuran besar. Benda aneh yang dilapisi alumunium itu mungkin dimaksudkan sebagai hiasan atau seni, yang ditempatkan di sarana publik. Namun karena bentuknya menyerupai cermin, orang-orang pun menganggapnya sebagai cermin. Yang unik, pada benda mirip cermin itu terdapat tulisan, “Jangan lupa ngaca. Mungkin jodohmu di kereta.”

Meski bukan cermin, benda itu memang bisa digunakan untuk bercermin. Setidaknya, jika berdiri di depannya, orang akan bisa melihat bayangannya sendiri di sana. Ditambah tulisan yang melekat pada benda itu, orang-orang pun makin menganggap benda tersebut memang cermin, dan—seiring waktu—terkenal dengan sebutan Cermin Jomblo.

Terkait jodoh, kita memang tidak pernah tahu di mana jodoh atau calon pasangan kita. Oh, jangankan kita, bahkan orang tua kita yang sudah jelas menikah puluhan tahun pun, mungkin dulu tidak menyangka siapa yang akan jadi pasangan. Selalu ada jalan cerita. Selalu ada lika-liku seseorang menemukan orang yang tepat, hingga merasa saling nyaman, dan menjalin hubungan.

Orang bisa menemukan jodohnya di bioskop, saat antre di depan loket. Orang bisa menemukan jodohnya di kafe atau restoran, saat kehabisan meja dan terpaksa duduk di samping orang asing. Orang bisa menemukan jodohnya di rumah sakit, saat sedang menjenguk teman yang dirawat. Orang bahkan bisa menemukan jodohnya di kantor polisi, saat melaporkan motornya yang hilang, dan polisi yang menerima kebetulan ramah dan baik hati.

Begitu pun, orang bisa menemukan jodohnya di kereta api atau commuter line. Mungkin karena kesadaran itu pula, pengelola stasiun kereta api di Bogor memasang benda mirip cermin, dan menempelkan kalimat, “Jangan lupa ngaca. Mungkin jodohmu di kereta.”

Ya, jangan lupa ngaca. Jangan lupa bercermin. Agar kita tampak lebih baik, lebih rapi, lebih enak dilihat. Karena kita tidak tahu di mana akan ketemu jodoh. Siapa tahu di dalam kereta. Saat seseorang melihatmu begitu rapi, dia terkesan, lalu mengajak bercakap dengan sopan, dan kau tertarik, lalu berkenalan, saling tukar nomor ponsel, saling menghubungi, lalu ketemuan, jadian, sampai menikah, dan... well, kalian pun bahagia selama-lamanya.

Siapa tahu?

Jauh-jauh hari sebelum Stasiun Bogor memasang cermin, ada humor yang mungkin pararel, terkait jodoh dan cermin. Humor itu menyatakan, orang yang sulit mendapat/menemukan jodoh, membutuhkan sarana yang disebut 3B. Yaitu Berusaha, Berdoa, dan Bercermin.

Mungkin humor itu cenderung sarkas. Kenyataannya, meski sudah puluhan kali membaca atau mendengar humor tersebut, saya tidak pernah mampu tertawa. Meski begitu, saya mengakui kebenaran humor tersebut. Bahwa untuk mendapatkan sesuatu, dalam hal ini jodoh, kita perlu berusaha, berdoa, sekaligus bercermin.

Bercermin, dalam perspektif saya, adalah proses dua arah. Pertama, bercermin memungkinkan kita untuk memperbaiki diri—merapikan rambut, membenahi pakaian yang tampak semrawut, mengurangi asesoris yang terlalu mencolok, atau pula memperbarui dan meningkatkan wawasan. Artinya, bercermin membantu kita untuk mengeluarkan atau menunjukkan pesona dan kelebihan kita.

Kedua, bercermin juga memungkinkan kita untuk introspeksi. Setelah membantu kita menunjukkan kelebihan dan pesona yang kita miliki, proses bercermin juga membantu kita mengenali diri sendiri, beserta kekurangan atau kelemahan yang mungkin kita miliki. Karena bercermin artinya bersikap jujur pada diri sendiri. Kita tidak pernah berusaha membohongi cermin, karena kita tahu cermin pun tak pernah bohong.

Kapan pun saya berdiri di depan cermin, bayangan yang saya tangkap adalah sosok yang ramping dan cenderung kurus. Karena kenyataannya saya memang begitu. Saya tidak bisa—dan sepertinya tidak perlu—membohongi cermin dengan memakai baju berlapis busa agar tampak gemuk, karena saya sadar tak ada gunanya. Kapan pun saya membohongi cermin, di waktu yang sama saya sedang membohongi diri.

Jadi, saya berusaha menerima kenyataan itu. Bahwa meski membayangkan punya tubuh seperti Captain America terasa hebat, kenyataannya saya bukan Captain America. Yang benar, saya Magneto!

Oke, saya ngawur!

Dulu, waktu masih kuliah, saya pernah jatuh cinta pada seorang senior di kampus, bernama Lily. Lengkapnya Lily Maulidya. Waktu itu saya semester empat, dan Lily semester enam. Yang membuat saya jatuh hati, Lily memiliki tampilan fisik yang sangat mirip dengan Nadia, wanita yang sebelumnya telah membuat saya jatuh cinta, sebagaimana yang pernah saya ceritakan di sini.

Jadi, waktu itu, melalui bantuan seorang teman, saya dan Lily saling kenal. Singkat cerita, kami kemudian akrab, dan kadang saya datang ke rumahnya, kadang pula dia datang ke rumah saya. Hubungan kami waktu itu bisa dibilang sudah sama-sama nyaman. Di kampus maupun di luar kampus, kami bisa asyik—mengobrol, bercanda, dan tertawa-tawa. Saya nyaman bersamanya, dan dia juga nyaman bersama saya.

Lily tahu saya jatuh cinta kepadanya. Dan, berdasarkan hubungan yang kami jalani waktu itu, saya pun tahu Lily akan menerima saya... andai saya menyatakan cinta. Tetapi, ada satu masalah waktu itu.

Saya tahu, Lily pernah pacaran dengan dua cowok sebelumnya. Kedua cowok itu bukan mahasiswa di kampus kami, tapi saya tahu siapa mereka. Bagi saya, dua cowok yang menjadi mantan Lily memiliki kualitas yang jauh lebih unggul dari saya. Ini bukan bentuk kerendahdirian, ini bentuk objektivitas dan kesadaran. Karena objektivitas dan kesadaran itu pula, saya pun menahan diri.

Saya tidak tahu bagaimana kesan Lily seutuhnya terhadap diri saya. Waktu itu, saya khawatir, dia mengenali saya lebih tinggi dari diri saya yang sebenarnya. Dengan kata lain, Lily kemungkinan besar hanya mengenali saya dari sisi luar, dan—mungkin—dia mengira saya seperti dua cowok yang telah menjadi mantannya.

Kesadaran mengenai hal itu sempat membuat saya ragu. Di satu sisi, saya mengakui jatuh cinta kepadanya. Tetapi, di sisi lain, saya takut mengecewakannya, karena bisa jadi saya tidak setinggi atau sehebat yang mungkin ia bayangkan. Cukup lama saya memikirkan hal itu, untuk mencari dan menemukan sikap terbaik yang sebaiknya saya lakukan terhadap Lily.

Sampai suatu siang, saat dia ada di rumah saya, dan kami bercakap-cakap santai di sofa, saya pun membuka diri terhadapnya. Karena hubungan kami waktu itu memang sudah saling nyaman, saya pun bisa cukup santai—tidak terlalu tegang—saat akhirnya harus jujur kepadanya.

Saya katakan kepada Lily, bahwa saya jatuh cinta kepadanya. Tapi saya tidak pernah menyatakan perasaan itu, karena takut mengecewakannya. Waktu itu, saya berkata kepada Lily, “Aku tahu siapa dua mantanmu, meski kamu tidak pernah menceritakan.” Setelah itu, saya katakan dengan jujur bagaimana perasaan saya, dan alasan kenapa saya selalu menahan diri untuk tidak menyatakan cinta. “Aku takut mengecewakanmu, karena aku tidak sebaik mereka.”

Keheningan menggantung, waktu itu.

Ketika akhirnya Lily akan membuka suara, saya berkata, “Tak perlu katakan apa pun. Aku hanya ingin kamu tahu.”

Sejak itu, hubungan kami tidak berubah. Kami tetap asyik saat bertemu di kampus atau pun di luar kampus. Kami bahkan terus berhubungan baik, saat akhirnya Lily lulus kuliah, dan wisuda.

Sekitar setahun setelah wisuda, Lily menikah. Beberapa hari sebelum pernikahan, saya datang ke rumah Lily, dan bercakap-cakap seperti biasa. Lily mengatakan bahwa ada kemungkinan kami tidak akan bisa bertemu seperti biasa, karena—setelah menikah nanti—dia harus mengikuti suaminya ke kota lain. Di akhir percakapan, Lily berkata kepada saya, “Aku pasti akan sangat kehilanganmu. Kamu cowok terbaik yang pernah kukenal.”

Itulah kalimat terakhir yang saya dengar saat bersama Lily.

Beberapa hari setelah itu, dia menikah.

Sejak itu, saya tidak pernah lagi bertemu apalagi bercakap dengan Lily. Kabar terakhir yang saya dengar, Lily dan suaminya telah dikaruniai seorang anak.

Hari ini, saat menulis catatan ini, saya kadang membayangkan... andai dulu saya menyatakan cinta kepada Lily, ada kemungkinan dia akan menerima. Lalu kami menjalin hubungan sebagai pasangan. Karena telah sama-sama nyaman, kami pun mungkin akan menikah, dan, bisa jadi, saat ini kami telah memiliki anak.

Andai dulu saya menyatakan cinta kepada Lily, mungkin jalan hidup saya akan jauh berbeda dengan yang sekarang saya jalani. Bukan sebagai lajang, tapi sebagai suami. Bukan sebagai bocah, tetapi seorang ayah.

Tapi saya tidak menyatakan cinta kepadanya, meski saya tahu mungkin dia akan menerima.

Jika kalian bertanya apakah saya menyesal, terus terang saya tidak menyesal.

Kehilangan Lily tentu meninggalkan kesedihan di batin saya. Merelakan dia menikah dengan orang lain tentu membuat saya patah hati. Tetapi, meski begitu, saya tidak menyesal atas langkah yang telah saya lakukan. Karena, bagi saya, itu jauh lebih baik daripada Lily menikah dengan saya, dan kemudian dia menyesal. Bagaimana pun, saya tidak sebaik dan setinggi yang mungkin dia bayangkan.

Well, omong-omong, itulah fungsi dan refleksi bercermin. Yaitu kesadaran untuk objektif menilai diri sendiri, dan secara jujur mengakui kekurangan serta kelemahan yang mungkin kita miliki. Bukan untuk ditutupi dan disembunyikan, melainkan untuk diakui agar kita hidup dengan kesadaran.

Terkait hubungan saya dengan Lily, sebenarnya inti masalahnya sepele. Saya sadar memiliki nilai 7, sementara Lily mengira saya memiliki nilai 9. Kira-kira seperti itulah gambarannya. Itulah kenapa, saya khawatir mengecewakannya, karena tidak setinggi yang ia bayangkan.

Sebagian kalian, yang membaca catatan ini, mungkin ada yang ingin ngemeng, “Ah, kamu mungkin terlalu sensitif.”

Mungkin, ya.

Dan kalian tahu, kenapa saya begitu sensitif? Karena saya rajin bercermin. Di hadapan cermin yang merefleksikan diri saya apa adanya, saya mengakui bukan makhluk sempurna—oh, well, saya bahkan memiliki begitu banyak kekurangan. Sebegitu banyak, hingga saya tidak berani mengimpikan pasangan yang macam-macam, karena saya tahu, dan menyadari, siapa diri saya.

Dalam bayangan saya sebagai bocah, saya hanya mengimpikan sosok sederhana, yang menilai saya secara sederhana, sehingga saya tidak khawatir mengecewakannya. Karena, di hadapan Cermin, kenyataannya saya bukan siapa-siapa.

Cinta yang Layak

Rezeki menjauh dari orang-orang malas, katanya.
Begitu pun cinta, menjauh dari orang-orang yang tak layak.
—Twitter, 4 Februari 2016

Mencari orang yang tepat untuk dicintai itu mudah. Oh, sangat mudah.
Yang sulit adalah menjadi sosok yang tepat untuk dicintai olehnya.
—Twitter, 5 Februari 2016

Mencari dan melamar pekerjaan itu mudah. Oh, sangat mudah. Yang sulit
adalah menjadi sosok yang tepat seperti yang diharapkan pekerjaan itu.
—Twitter, 5 Februari 2016

Pekerjaan pertama dalam cinta bukan mencari cinta yang layak dan tepat,
tapi melayakkan diri agar bisa mendapatkan cinta yang tepat.
—Twitter, 5 Februari 2016


*) Ditranskrip dari timeline @noffret.

Bahan Pemikiran Bocah

Para mbakyu itu... kalau lagi ngumpul, apa yang mereka bicarakan, ya? Kok kayak tidak ada habisnya?

 
;